Akan sebuah rapat bersama Raja dan penasehatnya

Penerjemah: Zerard | Proofreader: Yon


“Baiklah, Aku mengerti situasinya sekarang.” Sang raja muda dari lahan ini bersandar lelah pada lengan tahtanya dan menghela dalam. Dia memiliki kantor (terpisah dari ruang tahta) dengan kursi yang sangat bagus di dalamnya, tahta ini masihlah elegan dan nyaman. Dia hanya merasa akan lebih efisien untuk mengurung dirinya di kantor dan bekerja, namun entah mengapa, dia merasa dia tidak dapat melakukan itu.

Apa mereka takut aku akan melalaikan kewajibanku?

Dia melirik ke samping, di mana kardinal berambut merah tengah berdiri. Kardinal itu menegur, “Yang Mulia.”

“Ya, ya,” raja membalas, dan melihat pada kertas yang berada di tangannya. Bahkan di dalam keluarga bangsawan, banyak yang tidak dapat membaca atau menulis—seseorang perlu untuk mempekerjakan seorang juru tulis untuk membantu mereka—namun tidak dapat di pungkiri bahwa kedua hal tersebut adalah kemampuan yang bagus untuk di miliki. Dia berharap dia dapat menyumbangkan sedikit uangnya untuk Dewa Pengetahuan, tetapi... Yah, lebih baik untuk fokus pada pekerjaan yang ada sekarang.

“Saat kita mengira kalau keributan di timur itu adalah kejadian utamanya, ternyata kita mengetahui bahwa pasukan Kekacauan memiliki markas di wilayah kita sendiri selama ini.”

“Saya rasa, itu adalah kejadian yang sangat biasa.”

“Itulah mengapa kita seperti tidak pernah punya cukup uang atau persediaan.”

Ini tampak seperti hal yang paling lumrah sedunia. Tak ada satupun negara yang memiliki sumber daya yang tak terbatas. Terlalu banyak mengumpulkan pajak, dan akan terjadi pemberontakan. Gagal untuk mengumpulkan pajak yang cukup, dan keuangan negara akan mengering. Tanpa uang pada gudang keuangan, maka akan mustahil untuk menegakkan kebijakan, dan kemudian gerutu masyarakat akan menyusul. Tak ada satupun bagian dari negara yang dapat di abaikan, akan tetapi seseorang hanya memiliki sedikit kartu untuk di mainkan. Seseorang harus menggunakannya dengan cermat, langkah demi langkah.

Sejujurnya, akan lebih mudah untuk membentuk sebuah party berisi enam orang, pikir sang raja. Kardinal berambut merah menyengir lembut, dan tersenyum seolah membaca pikiran sang raja. “Dalam sejarah, satu-satunya negara yang sempurna itu hanya berada dalam imajinasi.”

“Dan apa itu yang menjadikan alasan agar aku tidak perlu berusaha mendirikan yang nyata?”

Seolah mereka tidak pernah mendiskusikan ini sebelumnya. Sang raja mengangkat bahunya. Sang kardinal mengangguk. “Setidaknya negara ideal itu adalah negara yang menancapkan kakinya di tanah, dan menjadi lebih dari sekedar rakyat jelata yang bermimpi di tengah pekerjaan mereka di kebun.”

“Ya kurang lebih begitu.”

Sang raja hampir menghela—dia telah kehilangan hitungan yang keberapa kalinya ini—namun berhasil menahannya di hadapan kardinal, yang tengah menatapnya seolah ingin mengatakan bahwa apa yang dirinya lakukan hanyalah mengeluh saja. Sang raja batuk sekali, kemudian menunjuk pada sebuah gulungan kertas domba.

“Sepertinya kita dapat mempertahankan garis peperangan,” dia berkata. “Para prajurit benar-benar bertahan dengan baik. Pastikan mereka memiliki persediaan yang mereka butuhkan.” Walau keuangan negara tidak dapat di hamburkan begitu saja. Namun hanya orang bodoh yang akan mengabaikan kebutuhan prajuritnya. “Hal terakhir yang aku tidak inginkan adalah menembak orang kita sendiri dari belakang.”

“Benar sekali.” Kardinal mengangguk tanpa melihat pada kertas itu sedikitpun. “Dan juga, kita mempunyai laporan adanya monster unik yang muncul...”

“Dan sudah di tangani oleh petualang, benar.” Untuk pertama kalinya pada hari itu, sang raja benar-benar terlihat senang seraya dia melihat berkasnya.

“Yang Mulia.”

“Aku tidak mengatakan apapun......... Ahh, sial.” Sang raja menggerutu kembali, pada alasan yang benar-benar tidak berhubungan dengan teguran kardinal.

Pegawai berambut silver, berdiri di salah satu sudut ruangan, memberikan jempol bangga, walaupun ekspresi kalemnya tidak pernah berubah.

“...Jadi, ada seseorang di dalam. Itu menjelaskan mengapa mereka mengetahui apa yang harus di lakukan.” Sang raja melirik cepat pada laporan kegaduhan di kota air, “Kedengarannya para bajingan itu berharap untuk bisa ke ibukota.”

“Yah, itu tergantung dari negara mana,” Kardinal berkata santai. “Sebuah peta ibukota, dan peta dari kastil. Dapat kedua benda itu dan siapa yang tahu ke mana pikiranmu berjalan.”

“Heh! Kalau mereka meremehkan aku, mereka perlu berpikir lebih lagi!”

“Adalah karena kamu begitu remeh yang membuat mereka berpikir bahwa mereka dapat mengesampingkan kamu.” Nona berambut silver bergumam, benar-benar tidak sopan.

“Intinya adalah, rencana telah gagal—kita bisa memikirkan tentang legalitasnya nanti,” kardinal melanjutkan, dan tidak bersikap sopan juga, dan sang raja mendengus, tidak sedikitpun terhibur. Dia menyerahkan surat kepada kardinal, yang melirik surat tersebut dan kemudian melemparkannya ke dalam api di perapian.

“Buang-buang kertas bagus,” pegawai berambut silver berkomentar, nadanya kali ini terdengar sarkas. Namun sang kardinal mengenal lama nona ini, dan sudah terbiasa dengan perilakunya. Kardinal menggeleng kepala dan berkata, “Apa laporannya tidak bisa hancur dengan otomatis.”

“Di saat kamu berencana untuk menghapus semua pengetahuan tentang diriku dan bantuanku jika kita tertangkap atau terbunuh.”

Kamulah yang memutuskan bahwa perintah bangsawan wajib di penuhi walau dengan pertaruhan nyawamu sendiri, dan bahkan walau tidak ada seorangpun yang akan mengambil mayatmu,” sang raja berkata.

“Benar juga,” wanita itu berkata datar, itulah arti dari sebuah aset sekali buang. Jika hal seperti itu yang kamu keluhkan, maka kamu tidaklah cocok untuk pekerjaan ini. Pegawai sangat memahami bahwa nyawanya dapat di buang begitu saja. Oleh karena itu, dia menatap raja dengan matanya yang sayu dan berkata, “Jadi, apa yang akan kamu lakukan?”

“Tidak ada sebuah permainan di mana semua kartunya menghadap ke atas,” sang kardinal menjawab, tampak mengetahui apa yang di pikirkan raja.

“Itu benar,” raja berkata, mengangguk. “Aku tidak akan merendahkan diriku sendiri hanya untuk memainkan trik murahan mereka. Apa kamu melihat apa yang kita terima dari nona terhormat kita di perbatasan?”

Respon jawabannya sangatlah cepat:

“Ah, maksud anda gulungan itu, tuan?”

“Momennya terlalu kebetulan sekali.”

Sang raja menyeringai seolah telah melihat rencananya membuahkan hasil. “Mantra Gate. Hmph... para bajingan Kekacuan itu bukanlah satu-satunya yang bisa pergi mengejar peta.”

“Aku nggak pernah menyadari kalau kita mengenal seseorang yang menangani hal semacam itu,” nona berambut silver berkata,  nona itu terdengar terkesan, namun ekspresinya masih tidak berubah sama sekali. “Aku benar-benar kagum.”

“Masih banyak para sage rahasia di dunia ini, penyihir besar yang jarang di kenali, pembaca mantra akan kemampuan yang tidak di ketahui, dan pertapa.” Kardinal berkata.

“Tidak ada yang mengetahui apa yang terdapat di dalam tumpukan kartu, walau sudah banyak yang mencoba.” Sang raja melipat lengannya dan menyeringai bagaikan hewan buas, seolah tengah menatap pasukan Kekacauan pada saat ini. “Jadi yang bisa kita lakukan adalah memotong tumpukan kartunya. Mencari kartu yang bagus, sesuatu yang kuat, yang dapat mengakhiri permainan.”

“Hrm.” Nona muda berambut silver melipat lengannya di depan dada, sebuah gerakan yang sangat tidak kewanitaan, dan menambahkan dengan keyakinan dari seorang prajurit veteran, “Kalau begitu kita butuh sebuah pengalihan.”

“Yeah, aku juga berpikir begitu.”

“Keseluruhan pasukan? Unit kecil?”

“Unit kecil,” Raja berkata singkat. “Aku serahkan pemilihan anggotanya kepadamu, tapi kalau bisa, cari orang yang cukup terkenal.”

“Baiklah.” Nona itu mengangguk dan menggerakkan tubuhnya keluar dari ruangan tahta dengan anggun. Atau mungkin karena mereka sudah terbiasa dengan cara wanita itu berjalan, mereka dapat melihat keanggunan tersebut. Bagi seseorang yang tidak terbiasa, wanita itu tampak seperti menghilang begitu saja, seperti bayangan.

“Persiapkan pasukannya juga. Ini adalah pertempuran besar. Kita perlu untuk memancing pasukan musuh keluar dari markas mereka, sebanyak mungkin.”

“Siap laksanakan,” Kardinal berkata dengan hormat kepala.

Ini seharusnya sudah cukup. Gunakan pasukan sebagai pengalih, seraya pasukan pilihan akan menyerang titik vital. Tentunya musuh akan menduga itu, oleh karena itu pasukan kecil itu harus berpencar untuk menyerang. Seseorang perlu menyerang di tempat di mana kartu pamungkasnya berada—namun tidak membiarkan musuh mengetahui yang mana kartu pamungkasnya, itu adalah kunci dari strategi.

Menggencarkan kekuatan militer secara terus menerus bukanlah pilihan bijak—terkecuali jika keadaan tidak berpihak kepadamu. Namun menggencarkan pasukanmu ketika kamu mengetahui kekuatan musuhmu adalah—sebuah strategi yang bagus. Ini merupakan prinsip kokoh semenjak jaman sang pahlawan berarmor berkilau telah mengubah permainan perang selamanya.

Bukanlah pilihan bijak, itu, yang mereka katakan kepadamu, adalah apa yang harus kamu hindari.

Tapi mungkin mereka harus mengatakan, “kecuali waktunya tepat.” Pikiran itu melintas tiba-tiba di kepala sang raja, dan dia mendapati itu cukup masuk akal. Jika kamu menyerahkan segalanya kepada bawahanmu dan penasehatmu, maka itu adalah perilaku dari penguasa yang bodoh.

“Dan siapa yang akan kita kirim untuk pekerjaannya, Yang Mulia?”

“Coba ku lihat...”

Petualang terkenal, akan ideal, setidaknya Silver.

Mereka berusaha untuk menyelinap ke dalam markas musuh dan menumbangkan pemimpin mereka. Oleh karena itu, pengalaman menelusuri dungeon adalah sebuah keharusan. Dan tidaklah mungkin untuk dapat masuk dan keluar dari situasi ini hanya dengan bermodalkan pedang saja, beberapa kemampuan sihir akan di perlukan. Kemudian juga, party penyelinap tidak boleh sampai ketahuan. Dan benar-benar tidak boleh lebih dari enam orang yang pergi.

Kemampuan beradaptasi juga merupakan persyaratan. Para musuh mungkin akan menggunakan jumlah mereka, oleh karena itu anggota dari misi ini harus memiliki pengalaman berhadapan dengan beragam monster dan situasi pertarungan. Ini tidaklah hanya tentang siapa yang pergi dan berapa level mereka, mereka juga perlu memiliki banyak persediaan dan perlengkapan yang siap pakai.

Yang berarti, pemimpin party ini harus seseorang yang mampu membawa dan mempertahankan party guerrila seperti ini. Dan terlebih lagi, mereka harus dapat bergerak secepatnya.

“Baiklah, kalau begitu...!”

“Yang Mulia...”

Ketika sang raja melompat dari tahtanya, kardinal berambut merah menyapanya dengan nada menyerah lelah. Sang penguasa muda, tentunya, tidak sedikitpun tertarik untuk mendengarkan pria itu.

Mungkin hal terbaik yang dapat di jabarkan tentang raja ini adalah bahwa dia selalu memutuskan sendiri apakah dia perlu mendengarkan ejekan orang lain. Biarkan mereka memanggil dirinya Penghangat tahta yang menghabiskan waktunya memikirkan bagaimana cara untuk membuat lahannya menjadi lebih damai. Jika mereka ingin mengatakan bahwa dirinya adalah orang tidak berguna yang berasal dari seorang petualang, mari kita lihat apakah mereka dapat berdiri setelah menerima satu pukulan darinya. Jika dia mengatakan pada orang-orang itu, baiklah, mereka dapat memerintah negara ini—maka mereka akan terbirit-birit melarikan diri. Orang seperti benar-benar terlalu sombong, merasa yakin dirinya lebih pintar dan lebih hebat dari siapapun.

Namun apa yang dia pedulikan? Jika dihukum oleh raja adalah sebuah kehormatan, maka pastinya adalah hal memalukan jika kamu di tumbangkan oleh anak ketiga dari seorang ksatria miskin.

“Panggil kapten dari garda royal. Dan wizard istana juga. Mereka pasti lagi bosan.”

Yang Mulia.”

“Oh, jangan khawatir,” Sang raja berkata, dan tersenyum dengan apa yang dia rasa adalah sebuah solusi aman. “Kamu siapkan barang-barangmu juga. Tongkat apimu, dan baju besi esmu. Mungkin aku perlu memanggil yang lain juga. Ini kejadian terbesar yang terjadi pada kita sejak waktu dulu.”

“...” Untuk pertama kalinya di hari itu, kardinal berambut merah menghela. Tampaknya laporan dari kota air adalah cara dari sang raja untuk menangani semua frustrasinya yang menumpuk. Sekarang, apa yang harus di lakukan tentang ini...

“Permisi...” sela suara dari ujung ruang tahta.

Di sana berdiri seorang gadis, dengan postur tubuh sempurna, pakaiannya terjahit melekat rapi pada lekuk tubuhnya, pedang aluminium pada pinggulnya—Female Merchant.

“Hrm,” sang raja mendengus, kesal tentunya karena seseorang telah mengusik kegembiraannya. Kalimat itu adalah hal pertama yang wanita ini katakan semenjak dia tiba, sebelumnya dia benar-benar tidak berkata apapun. Sang raja tahu bahwa tidak ada alasan untuk tidak mendengarkan wanita itu, sang raja berkacak pinggul. “Ada apa? Kamu tahu kalau kamu di persilahkan untuk mengutarakan pikiranmu kapan saja.”

“Apakah benar di perbolehkan, Yang Mulia?”

“Aku tidak pernah melihat saranmu yang berakhir buruk.”

“...Tapi saya juga pernah melakukan hal yang bodoh.” Senyum tipis masam tampak menyeringai pada wajah Female Merchant. Wanita itu membiarkan matanya menatap lantai untuk beberapa detik, kemudian dia mendongakkan kepala dan menatap kepada sang raja. “Kalau begitu, terdapat sebuah laporan yang harus saya sampaikan kepada Yang Mulia.”

“Dan apakah itu?”

“Saya sudah menduga anda mungkin akan menanyakan itu, Yang Mulia.” Female Merchant berkata, “Oleh karena itu, saya sudah terlebih dahulu memanggil mereka.”

Itulah ketika pintu terbuka dengan bang dan sebuah suara menyegarkan bagaikan sumber air datang memasuki ruangan: YaaaaaannnggggMuliiiiiiaaaaa! Kami datangggggg!” kedua pasang langkah kaki mengikuti, dan adik kecilnya memasuki ruangan.

“Yang sopan!” tegur seorang wanita berambut merah, namun dengan cepat wanita itu menenangkan dirinya di hadapan sang raja.

Seseorang perlu menyerang di tempat di mana kartu pamungkasnya berada—namun tidak membiarkan musuh mengetahui yang mana kartu pamungkasnya...

Sang raja mendengus pelan dan mencoba untuk mencari kata. Akhirnya, dia hanya mengatakan hal yang terlintas di dalam pikirannya: “...Sebuah strategi bagus.”

“Terima kasih, Yang Mulia.” Female Merchant tersenyum dengan sedikit kebanggaan, namun sang raja kembali merosot duduk di tahtanya dengan helaan.