Akankah Hari Esok Tiba Keesokannya?
(Bagian 3)
(Penerjemah : Nana)
Sakuta baru selesai bekerja hingga pukul 9:20 malam. Para pelanggan yang masih asyik makan dan minum mencegahnya selesai bekerja tepat pukul sembilan malam.
Tetapi hal itu juga berlaku untuk Koga. Hari pertamanya begitu sibuk dan dirinya terlihat kelelahan.
Sakuta mengganti seragam kerjanya dan berjalan keluar, menunggu di dekat sepedanya yang terparkir di halaman belakang restoran. Ia sengaja meninggalkannya di sini beberapa hari yang lalu ketika hujan mulai turun ketika ia sedang mengerjakan shiftnya. Tetapi setidaknya ia bisa cepat sampai ke rumah dengan mengendarai sepedanya.
Sakuta berniat untuk menunggu sebentar dan langsung pulang jika Koga tidak muncul, namun dia langsung muncul sepuluh detik kemudian setelah Sakuta keluar sambil menatap layar ponselnya.
Ketika Koga melihat kalau Sakuta menunggunya, dia berlari ke arahnya sambil memegang ponsel.
“Senpai, Aku mau minta tol---,” ucapnya.
“Tidak.”
“Aku bahkan belum bilang apa-apa!” keluh Koga dengan kesal.
“Tetap tidak.”
“Setidaknya dengarkan dulu!”
“Tak mau.”
“Kenapaaa?”
“Karena kau pasti ingin meyakinkanku agar orang lain mengira kalau kita sedang pacaran kan,” keluh Sakuta.
Jika Koga sedang kesulitan karena Sindrom Pubertas, Sakuta tidak keberatan untuk membantunya, tetapi permintaannya ini adalah masalah yang benar-benar berbeda.
“Apa senpai bisa membaca pikiran orang-orang?!” Dia segera meletakkan kedua tangannya di dada karena terkejut. Logat Hakatanya muncul lagi, tetapi Sakuta yakin kalau Koga tidak menyadari hal ini.
“Kemarin kau bilang kalau kau lebih baik mati jika harus ditembak oleh cowok yang disukai oleh temanmu.”
“Aku tak bilang seperti itu!”
“Oh benar juga, kau bilang jika kau menerima ajakan si Maesawa berarti kau dianggap sebagai ‘orang yang tak membaca situasi.’”
“Ya…”
“Karena itu Aku tak mau.”
“Kata-kata senpai tak masuk akal!”
“Kurasa kau punya masalah lain yang lebih besar untuk diurus.”
Seperti kenapa tanggal 27 Juni berhenti terulang, dan kenapa tanggal 28 Juni tiba? Kenapa hanya tanggal 27 Juni saja yang terulang? Teori yang dipikirkan oleh Sakuta saat ini mungkin belum tentu benar.
“Masalah apa?”
“Sindrom Pubertasmu?.”
“Kita tak terjebak lagi, jadi tak lagi penting” Koga jelas-jelas sudah berhenti memikirkan hal itu. “Itu tak penting sekarang! Yang sekarang ini jauh lebih penting!”
Menjaga pertemanannya saat ini jauh lebih penting baginya dan menjadi hal utama dibandingkan masalah lain. Sampai-sampai masalah tentang Sindrom Pubertas bahkan tidak dipedulikannya.
Yang berarti melanjutkan obrolan ini lebih lanjut hanya akan membuang waktu Sakuta saja.
Sakuta dipaksa agar fokus dengan permintaannya.
“Aku tak peduli dengan alasannya, berbohong tetap saja salah.”
“Urp.” Kata-kata ini membuat Koga agak terkejut gugup.
“Bayangkan perasaan si Maesawa!”
Dari apa yang Kunimi katakan, jujur saja, Sakuta masih tidak yakin apakah si Maesawa benar-benar berniat untuk berpacaran dengan Koga. Ia masih belum putus dengan pacarnya yang sekarang, dan ada kemungkinan besar kalau si Maesawa hanya bermain-main dengan Koga. Karena Koga sendiri terlihat seperti orang yang gampang dipermainkan.
“Jangan blak-blakan seperti itu…” keluh Koga yang merasa malu.
“Dan yang terpenting, Aku tak mau.”
“Senpai menyebalkan!”
“Berapa lama kau ingin terus berbohong seperti ini? Sampai senpai kelas tiga kita lulus? Aku tak mau. Kita pasti akan ketahuan dan itu akan memperburuk situasinya.”
“Aku sudah punya rencana untuk itu!”
“Huh?” Sangat tidak terduga.
“Senpai tak percaya denganku!”
“Bahkan jika Aku percaya, Aku tak peduli.”
“Argh, senpai jahat!”
“Yah, maaf saja! Jika kau sangat membenciku seperti itu, Aku bisa menjauh darimu.”
Sakuta menginjak pedal sepedanya dengan keras, tetapi laju sepedanya terhenti.
Ia melihat Koga di belakangnya memegangi kursi belakang sepedanya dengan putus asa.
“Kita hanya perlu berpura-pura sampai semester ini berakhir.”
“Aku tak begitu peduli dengan rencanamu itu, Koga.”
“Begitu libur musim panas tiba, dan kita tak perlu pergi ke sekolah, kita bisa putus! Lalu, semester selanjutnya akan baik-baik saja!”
“Jadi kebohonganmu sudah direncanakan? Tak kusangka kau orang yang licik seperti itu.”
“Karena saat ini Aku putus asa!”
“Aku bisa tahu.”
Lagi pula, Koga berusaha sekuat tenaga menahan sepeda Sakuta.
Tetapi rencananya punya banyak kekurangan. Yang terbesar adalah karena Sakuta sendiri.
“Aku benci mengatakan ini, tapi karena reputasiku di sekolah, kau yakin ingin agar siswa-siswi lain berpikir kalau kita ini pacaran?”
“Menurut para cewek di kelas satu, setidaknya senpai menjadi orang yang layak untuk dipacari. Tak masalah.”
“Ak—Apa?”
Layak bagaimana? Sakuta harus mencari tahu hal ini! Tidak, pasti itu cuma sebuah kebohongan.
“Tak ada orang waras yang mau meneriakkan cintanya di tengah halaman sekolah.”
“Ya, dan semua orang menertawakanku akhirnya.”
Tetapi setelah dipikir-pikir lagi, teman-teman Koga tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Siswa-siswi di kelas dua masih mengabaikannya, tetapi Rena dan kedua temannya berbincang dengan Sakuta atas kemauan mereka sendiri.
Reputasi Sakuta yang spesial di sekolah disebabkan oleh rumor yang mengatakan kalau ia berkelahi dengan teman sekelasnya hingga harus dirawat di rumah sakit saat SMP, tetapi rumor tersebut sudah menyebar sejak tahun lalu. Koga dan siswa-siswi yang baru masuk di sekolah Minegahara tidak mengalami rumor tersebut secara langsung, jadi mungkin kesan mereka terhadap Sakuta tidak terlalu buruk. Cuma salah satu dari banyak hal yang senpai mereka katakan.
Dan ketika semester pertama hampir berakhir, siswa-siswi kelas satu mulai mengembangkan budaya/aturan mereka sendiri, jadi sebuah kesenjangan terhadap kesan atas dirinya menjadi berbeda antara siswa-siswi kelas satu dan dua.
“Kupikir, yang senpai lakukan itu agak romantis.”
“Aku tak mau melakukan itu untukmu, Koga.”
“Bahkan jika senpai melakukannya, rasanya canggung.”
Sakuta benar-benar tidak mengerti pikiran gadis SMA.
“Oh, baiklah. Akan aneh rasanya jika langsung berpacaran, kita bisa mulai secara bertahap.”
“Kau terlalu percaya diri.”
“Misalnya, ‘lebih dari senpai, tapi bukan pacar.’”
“Hubungan yang akan lebih susah dipalsukan dibandingkan dengan pacaran. Apa kau marah?”
“Marah kenapa?”
“Kau ingin agar Aku berpura-pura menjadi pacarmu?”
Sakuta melihat tampilan Koga lagi. Dia mengenakan seragam musim panas SMA Minegahara. Dengan blus putih dan rok pendek. Kaus kaki yang berwarna biru laut dan sepatu pantofel cokelat. Dirinya terkesan kecil dan semua ukuran tubuhnya seimbang dengan sempurna.
“Yah, kuyakin kau pernah berpacaran dengan orang lain sebelumnya,” ucap Sakuta. Gadis-gadis SMA seperti Koga biasanya sudah pernah melakukannya.
“B-benar sekali…Tapi tak, yah, tak lama, tapi…” Koga mengalihkan pandangannya.
“Hmm.”
“Ap-apa?”
“Kau sangat dewasa.”
“Senpai seperti orang mesum. Harus senpai ingat, kalau saat ini seharusnya senpai yang tergila-gila denganku!”
Koga mengasumsikan kalau Sakuta menerima permintaannya, meskipun ia tidak bilang setuju atau apa.
“Apa kau menyadari yang akan kau lakukan mulai saat ini?”
Sasaran utama dari kebohongan ini mungkin cuma Maesawa, tetapi agar kebohongan itu tidak terbongkar, mereka harus menipu semua mata yang memandang mereka. Koga sudah menipu teman dekatnya, dan kebohongan itu akan menyebar dari tipuan tersebut.
Berita tentang siapa yang berpacaran dengan siapa akan menyebar begitu cepat tanpa bantuan dari kedua pihak yang berpacaran. Bahkan, jika berita itu hanya sebuah kebohongan belaka.
Terutama jika hal itu melibatkan seseorang yang begitu terkenal seperti Sakuta.
Agar si Maesawa memercayai hubungan mereka, Sakuta dan Koga harus berbohong ke seluruh siswa-siswi di sekolah.
“Kita harus berbohong ke seisi sekolah.” Bukan sebuah kebohongan yang kecil.
“Aku tahu itu!” desak Koga.
“Sungguh?”
“Sungguh.”
Apa Koga orang yang berani? Atau dirinya sangat polos sampai-sampai tidak mengerti hal ini? Sakuta tidak yakin.
“Pokoknya, Aku minta tolong senpai!” Dia menyatukan kedua tangannya sambil membungkuk.
“Dengar ya…apa untungnya bagiku?”
Sakuta sudah bisa membayangkan begitu banyak sisi negatifnya. Terutama yang menyangkut tentang Mai. Awal dari hubungan mereka sepertinya semakin menjauh. Dalam alur yang sebenarnya, mereka berdua sudah resmi sebagai sepasang kekasih, jadi seharusnya ia dan Mai sedang bermesraan berdua saat ini…
“Jika senpai membantuku, Aku akan melakukan apa pun yang senpai inginkan---satu kali saja.”
“Nah, tak ada yang kuinginkan darimu,” ucap Sakuta.
“M-maksudku apa saja?” ulang Koga sambil menatap ke arah Sakuta.
Koga tidak terlihat begitu percaya diri dan hal ini membuatnya malu sendiri.
“Cewek seumuranmu seharusnya jangan menawarkan hal itu ke cowok mana pun.” Karena hal itu sangat ampuh.
“T-tapi jika Aku tak melakukan sesuatu, Aku akan dikucilkan di kelas!”
Koga menatap kedua tangannya yang gemetaran.
“Aku akan sendirian ketika jam istirahat, makan bekal sendirian, dan harus ke toilet sendiri---Aku tak bisa menjalaninya!”
“Yang terakhir memang harus dilakukan sendiri!”
Tidak mungkin kan kalau para gadis masuk ke bilik toilet secara bersama-sama. Atau sejak lama memang sudah seperti itu, dan hanya Sakuta tidak mengetahuinya? Hal-hal seperti ini membuatnya bingung.
“Dengar ya, senpai mungkin sudah menebaknya, jadi tak masalah jika kuceritakan lagi. Aku tinggal di Fukuoka sampai tahun lalu. Satu-satunya teman yang kumiliki di sini hanyalah teman SMA-ku. Rena, Hinako, dan Aya.”
“Tiga orang tadi?”
“Mm.” Koga mengangguk sambil mengarahkan pandangannya ke bawah.
“Menjadi penyendiri itu lebih mudah kau tahu. Kau tak perlu merubah dirimu untuk menyesuaikan dengan orang lain, dan ketika kau terbiasa, tak sesepi yang ikira.”
Dalam kasus Sakuta, ia masih punya Kunimi dan Futaba, dan akhir-akhir ini ada Mai. Ketiga orang itu membantunya.
“Aku tak khawatir jika harus sendirian.”
“Huh? Kalau begitu kenapa?”
“Menjadi penyendiri itu…memalukan.”
Dibisikkannya kata-kata itu.
Namun, hal ini menjelaskan banyak hal buat Sakuta.
“Aku tak ingin orang lain menunjuk ku dan berkata, “Lihat, dia selalu sendirian.’”
“Ah.”
Koga tidak takut sendirian. Dia hanya tidak ingin agar orang lain menganggapnya sebagai orang yang dikucilkan. Dia tidak ingin orang lain menyebarkan rumor tentangnya. Dan yang terpenting, dia tidak ingin mendengar suara tawa dari orang-orang yang mengejeknya.
Bagi para remaja, luka dari rasa malu jauh lebih buruk dibandingkan luka dari rasa kesepian. Merasa tidak berguna, merasa seakan-akan martabatmu menghilang secara perlahan-lahan…dan rasa percaya diri yang hancur, hati seseorang bisa menutup diri untuk selamanya.
“……”
Koga terus menatap ke bawah sampai Sakuta mengelus kepalanya.
“Senpai?” Dia melihat ke Sakuta dengan cemas.
Kaede juga mengatakan hal yang sama ketika dia sedang dirundung.
“Pergi ke sekolah itu…memalukan.”
Ketakutan akan siapa pun yang melihatnya sedang dirundung begitu hebat hingga Kaede tidak bisa meninggalkan rumahnya lagi. Tumbuh rasa takut akan tatapan orang-orang di diri Kaede.
Dan Sakuta melihat hal itu di diri Koga.
Alasan untuk pengucilannya tidak terlalu penting. Tidak ada yang tahu apa yang menjadi pemicunya. Hal terkecil bahkan bisa menciptakan situasi semacam itu, namun ketika pengucilan itu mulai terjadi, hal tersebut dapat menyebar seperti penyakit. Ketika sang korban menyadarinya, hal itu sudah terlambat baginya. Akan sangat tidak mungkin untuk diselesaikan masalahnya.
Terutama dalam lingkaran pertemanan para gadis, yang mana sangat berbeda dari para pria. Apa pun situasi resminya itu, sudah sangat jelas jika dilihat dari sudut pandang orang luar kalau bentuk hubungannya toxic. Dan jika seseorang tidak berhasil berbaur di suatu kelompok, kemungkinan orang itu bisa pindah ke kelompok lain akan sangat rendah.
“Koga, Kelompokmu yang paling tinggi status sosialnya, kan?”
“Huh?”
“Kalian kelompok ‘cewek paling imut di kelas.’”
“A-aku…tak yakin harus mengakuinya.”
Koga mengerutkan bibirnya, tetapi hal ini menjawab pertanyaan yang Sakuta butuhkan.
Jika pemimpin dari kelompok yang paling tinggi status sosialnya di kelas memusuhi seseorang, sudah pasti buruk. Karena pengaruhnya paling besar. Tidak ada satu pun yang berani melawannya. Tidak ada seorang pun. Jika seseorang membuatnya marah, orang itu sudah pasti akan dikucilkan. Jadi, kau harus selalu setuju dengannya. Jika dia bilang suatu hal itu imut, maka sudah pasti imut. Jika dia bilang menjijikkan, maka sudah pasti menjijikkan.
Dan dalam hal ini, Rena Kashiba adalah orang yang memegang posisi tersebut untuk saat ini. Sementara itu, pria yang disukai oleh Rena menembak Koga.
Sakuta akhirnya mengerti kenapa ini menjadi masalah besar untuk Koga.
Ia mengambil napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya.
“Baiklah,” ucap Sakuta.
“Huh?”
“Aku akan membantumu berbohong ke seisi sekolah.”
“Sungguh?”
“Tapi Aku punya syarat.”
“S-senpai ingin tubuhku?” ucap Koga terbata-bata sambil memegang dirinya sendiri.
“Aku tak tertarik dengan bokong kurusmu itu. Jangan kasar.”
“Senpai yang kasar!”
“Dengarkan saja.”
“B-baiklah.”
Koga mengangguk dengan gugup. Sakuta bisa mendengarnya menelan ludah.
Kemudian, ia menghela napas panjang lagi.
“Kau harus menyemangati Timnas bola Jepang dalam pertandingan ketiga mereka di penyisihan grup,” ucapnya dengan muram.
“Huh?” Koga begitu terkejut.
“Jika mereka kalah, kesepakatan kita batal.”
“Apa hubungannya dengan kesepakatan kita?!”
Sakuta menolak untuk menjelaskannya lebih lanjut.
“Sudah lakukan saja!” desak Sakuta dan bersiap mengayuh sepedanya kembali.
“Ah! Tunggu senpai!”
“Pembicaraan kita sudah selesai!”
“Aku akan menyemangati pertandingan sepak bolanya! Tapi Aku punya permintaan lain.”
Sakuta berbalik dan melihat Koga yang gugup.
“B-besok…”
“Ya?”
“Senpai selesai bekerja hingga jam dua, kan?”
“Ya.”
“S-setelah itu, bisakah kita pergi j-j-j---?”
“Jentikkan dahi?”
“Bukan!” teriak Koga sambil melindungi dahinya dengan kedua tangannya.
Sepasang kekasih melewati mereka sambil tertawa. “Sedang bertengkar?” tanya salah satu pasangan tersebut.
Karena wajahnya semakin memerah karena malu, Koga akhirnya mengatakannya.
“J-jalan-jalan berdua untuk kencan.”
Ketika mereka selesai mengobrol, Sakuta mengantar Koga sampai di dekat rumahnya, lalu kembali mengayuhkan sepedanya menuju apartemennya. Ternyata, Koga tinggal dekat darinya.
Di akhir bulan Juni ini, dengan angin kering musim panas yang mulai muncul dan hawa lembap yang muncul---terpaan angin malam saat mengendarai sepedanya tidak terlalu buruk pikirnya.
Awan putih yang melintasi langit gelap serta bintang-bintang yang mulai bermunculan di tengah gelapnya malam. Bahkan, Sakuta tahu tentang Segitiga Musim Panas, ada Vega sebagai bintang dari rasi bintang Lyra dan Altair dari Aquila. Alias Putri Orihime dan Pangeran Hikoboshi, sepasang kekasih dari cerita rakyat Jepang yang terpisahkan oleh Galaksi Bimasakti, dan hanya bisa bertemu setahun sekali pada tanggal 7 Juli---atau Festival Tanabata.
Ia harus berpikir sejenak sebelum ia dapat mengingat bintang ketiga, Deneb yang berasal dari rasi bintang Cygnus. Tentang seorang gadis yang berkata kalau Deneb adalah cinta pertamanya. Gadis SMA yang bernama Shoko Makinohara, yang Sakuta temui saat kelas tiga di SMP.
Sakuta tidak tahu di mana dia berada atau apa yang dia lakukan saat ini. Tidak mungkin untuk menghubunginya juga. Ia mungkin tidak akan pernah melihat Makinohara lagi.
Ketika Sakuta mencoba untuk mengingat wajahnya, bayangannya terasa kabur. Ia seperti tidak bisa membayangkannya. Sebaliknya, wajah Mai muncul di benaknya dengan tatapan sinisnya.
“Kalau begitu apa yang harus kulakukan?”
Ia mengingat apa yang Koga katakan sebelum mereka berpisah.
“J-jalan-jalan berdua untuk kencan.”
“Kenapa?” tanya Sakuta. Sebuah pertanyaan yang masuk akal.
“Rena bertanya padaku seperti apa rencana kencan kita, jadi…yah seperti itulah.”
“Seperti apa?”
“Kencan akhir pekan!”
“Kau benar-benar banyak permintaan ya.”
“Senpai wajahmu menyeramkan!”
“Jentikkan dahinya masih berlaku.”
Koga melindungi dahinya lagi.
“Kau tak bisa mengatakan kalau, ‘Wow, kencan kita sangat menyenangkan kemarin!’ dan karang saja sisanya?”
“Untuk jaga-jaga, Aku ingin bukti foto.”
“……Kau benar-benar menyiapkan segalanya ya.”
Ia bisa mengerti maksud Koga karena jika dia mengatakan kalau, “Kami berkencan kemarin!” pasti akhirnya mengarah ke “Ada fotonya?” “Tunjukkan ke kita!” lalu jika tidak berkencan bagaimana dia akan mendapatkan bukti foto itu? Sudah pasti akan sangat aneh jika tidak memotret apa-apa. Di zaman sekarang ini, orang-orang punya yang namanya ponsel pintar dan semua itu dapat berfungsi sebagai kamera. Karenanya, Sakuta benci itu.
Jadi sekarang ini, ia terjebak harus berkencan dengan Koga besok.
Situasinya menjadi begitu buruk dengan cepat.
Bagaimana ia harus menjelaskan hal ini ke Mai? Dia sudah cukup kesal setelah melihatnya memeluk Koga kemarin. Jika ia memberi tahu berita yang berkaitan dengan Koga ini, amarahnya pasti akan memuncak.
Mai pasti akan melakukan sesuatu yang kejam, seakan Sakuta yang membuatnya kesal memberinya hak untuk melakukan itu. Karena ia juga salah, Sakuta tidak bisa menolaknya. Dan setelah Sakuta mencapai batas dirinya, Mai akan tersenyum seperti orang yang belum pernah sesenang ini sebelumnya.
Dan hal itu akan menjadi…
“Sial, Aku mulai menantikannya.”
Semakin Sakuta memikirkannya, semakin pula dirinya terangsang. Dalam perjalanan pulangnya, terpampang senyum lebar di wajah Sakuta sambil mengayuh sepedanya.
0 Comments
Posting Komentar