cover jilid 2

Akankah Hari Esok Tiba Keesokannya?
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta dan Kaede menyantap sarapan mereka, dan ia bersiap-siap---mengganti pakaian tidurnya dengan seragam SMA Minegahara. Ada pemahaman seperti aturan yang tidak tertulis kalau semua siswa-siswi harus mengikuti kelas tambahan---tidak setiap Hari Sabtu dalam setiap bulannya, namun sekitar 2 atau 3 kali setiap bulannya. Kelas ini seperti kelas biasanya yang berlangsung sampai jam makan siang. Kebanyakan dari kelas tambahan ini dipakai untuk mengejar ketertinggalan mata pelajaran yang berlangsung Senin-Jumat.

Apa yang dianggap pemerintah sebagai langkah yang dapat dilakukan dan apa yang harus dilakukan oleh guru di lapangan tidak selalu sejalan, dan terkadang kelas tambahan aneh ini tercipta.

“Baiklah, Aku pergi dulu, Kaede!”

“Hati-hati di jalan!”

Kaede melambaikan tangannya saat melihat Sakuta pergi bersekolah dengan menguap.

Situasi di dunia tampak tenteram seperti biasanya. Tidak ada seorang pun yang terkejut kalau tanggal 28 Juni tiba. Satu-satunya yang berbeda dari pagi hari biasanya adalah minimnya pekerja kantoran. Yang mengartikan kalau kerumunan orang di stasiun akan cukup lengang.

Sakuta menaiki Enoden di Stasiun Fujisawa seperti biasanya. Tidak ada seorang pun yang berkata kalau, “Akhirnya 28 Juni tiba!” atau “Aku lebih suka 27 Juni yang pertama” atau “Aku penasaran, apa 29 Juni juga akan tiba.”

Suasana ruang kelas 2-1 juga sama. 

Sejauh yang Sakuta ketahui dari tempat duduknya yang ada di samping jendela, semua teman kelasnya bertingkah seperti biasanya.

Tampaknya, tidak ada gunanya melihat kelakuan teman-teman kelasnya, jadi Sakuta mengalihkan perhatiannya ke laut yang ada di lepas Pantai Shichirigahama.

Sinar matahari menyinari permukaan laut tersebut. Langit yang cerah membuat gradasi perubahan dari biru ke putih menjadi terlihat jelas dan di antara lautan dan langit dapat terlihat sebuah garis lurus yang menandakan cakrawala sebagai pembatas antara kedua fenomena alam tersebut.

Pemandangan itu menyejukkan mata yang memandang.

“Hei.”

Sakuta harus meminta maaf ke Mai nanti. Mendapatkan permohonan maafnya memang tidak mudah, namun hanya itu cara satu-satunya untuk keluar dari kekacauan ini.

“Kau bisa mendengarku?”

Rupanya, seseorang mencoba berbicara dengan Sakuta.

Sakuta menoleh, dan terdapat seorang gadis yang berdiri di depan mejanya.

Teman sekelasnya yang bernama Saki Kamisato sedang berdiri di depannya. Dengan kedua tangannya yang melipat ke dada, melotot ke arah Sakuta, tatapan sinis, riasan sempurna, dan kancing baju atas yang sengaja tidak dikancingkan. Semua orang di kelasnya tahu siapa Saki Kamisato; karena dia adalah figur penting untuk kumpulan gadis populer dan dia juga pacar dari Kunimi.

“Beraninya kau mengabaikanku!”

“Aku tak membayangkan kalau kau akan berbicara denganku lagi, Kamisato.”

“Dasar aneh.”

Sebenarnya, apa yang dilihat Kunimi darinya? Seleranya membingungkan Sakuta.

“Sepulang sekolah, di atap, kita perlu bicara.”

Setelah pernyataan sepihak tersebut, dia kembali berjalan ke tempat duduknya. Keempat siswi lain dari grup yang sama dengannya berkumpul mengerubunginya.

“Apa yang Azusagawa lakukan?”

“Saki! Malang sekali nasibmu!”

Situasi yang membingungkan, bahkan untuk Sakuta sekalipun.

Ia tidak melakukan apa-apa padanya, tetapi ia dianggap sebagai pihak yang salah dalam hal ini. Apa tidak ada yang akan memihaknya?

“Cuma tentang Yuuma. Jangan khawatir.”

“Oh…Hei, coba lihat apa yang kutemukan kemarin ini.”

Topik pembicaraan mereka langsung berganti membicarakan aplikasi ponsel pintar.

“Ah, lucu!”

“Baiklah, mari kita main!”

“Aku ikut!”

Suara mereka dapat terdengar jelas di ruang kelas ini.

Sekelompok gadis lain sedang melihat mereka dari kejauhan dengan tampak kesal. Meskipun, mereka tidak saling mengatakan apa-apa. Kapan pun ketika kedua grup saling pandang satu sama lain, mereka semua langsung menoleh seperti tidak peduli dan sibuk sendiri dengan percakapan grup mereka masing-masing.

Lingkaran pertemanan para gadis terasa sedikit lebih intens dibandingkan dengan para pria.

Saat ia memikirkan hal ini, Sakuta menyadari sesuatu.

Ia merasa para gadis yang berkumpul di sekitar Kamisato telah berubah beberapa hari terakhir. Sambil mencoba mencari tahu perbedaan tersebut, Sakuta melihat ke ruang kelasnya. Ada satu gadis yang sedang duduk sendiri di belakang dan tidak berbicara dengan siapa pun. Gadis itu seharusnya menjadi bagian dari kelompok Kamisato beberapa hari sebelumnya.

Dia dikucilkan? Hal semacam ini terkadang bisa terjadi di sekolah.

Biasanya, ia akan mengabaikan hal ini, tetapi hari ini, hal itu mengganggu dirinya.

“……”

Mungkin karena mengingatkannya dengan Koga.


Setelah pelajaran bahasa inggris (mata pelajaran yang Sakuta benci) berakhir di jam pertama, Sakuta mengunjungi kelas Mai, 3-1. Tetapi dirinya tidak ada di sana dan tasnya juga tidak ada di mejanya.

Setelah jam sekolah berakhir, dan sudah waktunya untuk pulang. Sakuta mengunjungi kelas Mai lagi, tetapi tidak ada tanda-tanda keberadaan dirinya. Ia mencoba bertanya dengan gadis yang duduk di dekat Mai.

“Dia tak masuk hari ini,” cibirnya sambil menahan tawa. Sepertinya orang-orang yang masih menertawainya saat pernyataan cintanya di depan seluruh murid masih ada.

“Makasih,” ucap Sakuta dan kembali menuruni tangga. Saat ia sedang mengganti uwabakinya di loker sepatu, Sakuta merasakan suatu hal yang mengganjal seperti ada sesuatu yang ia lupakan.

“Oh, benar juga.”

Saki Kamisato memanggilnya lagi ke atap sekolah.


“Kau telat!”

Dia sudah marah-marah bahkan sebelum Sakuta tiba.

“Jadi, apa maumu?”

Sakuta mengabaikan suasana hati Kamisato, dan langsung ke intinya. Ia harus pergi bekerja. Karena ia tidak punya waktu untuk berbasa-basi, ia memutuskan untuk segera menyelesaikan masalahnya.

“Kan sudah kubilang untuk menjauh dari Yuuma.”

“Aku yakin kau bilang kalau jangan berbicara dengannya.”

“Sama saja.”

“Baiklah. Dua-duanya sama saja, dan Aku tak akan melupakannya. Akan kubawa hal ini sampai mati.”

Sungguh peristiwa yang tidak terlupakan. Jarang sekali ia mendapatkan perlakuan baik dari amarah seseorang. Mungkin Kunimi tertarik dengan sikap Kamisato yang seperti ini. Memanggil Sakuta ke atap sendirian tanpa ada teman-teman yang mengikutinya di belakang mungkin bisa diartikan sebagai gadis yang sangat mandiri.

“Ada apa dengan salah satu temanmu?” tanya Sakuta.

“Huh?”

“Yang tak berkumpul denganmu lagi.”

“Bukan urusanmu,” gerutunya.

Kamisato tampak benar-benar marah sekarang ini. Tetapi tidak ditujukan ke Sakuta---melainkan ke orang lain. Sepertinya dengan gadis yang ditanyakan.

“Dia merebut pacar orang?”

“Yep.”

Sakuta bermaksud untuk bercanda tetapi hal itu menjadi bumerang balik baginya. Tapi Kamisato saat ini berpacaran dengan Kunimi dan Kunimi tidak akan semudah itu dicuri oleh temannya.

“Tentu saja bukan dariku,” jelasnya.

Jadi salah satu gadis di lingkaran pertemanannya.

“Dia sembunyi-sembunyi berkencan dengan pacar temanku.”

Sakuta merasa ia bisa menebak sisanya.

“Omong-omong, kenapa dengan cewek yang ada di lab sains itu?”

“Huh?”

“Apa hubungannya dengan Yuuma? Mereka sering berbicara berdua.”

Kamisato jelas-jelas sedang membicarakan Futaba. Dalam hal ini, ada baiknya sebuah sarang lebah dibiarkan tidak tersentuh, namun orang yang menyadari hal itu merupakan orang paling buruk. Bagaimana ia harus menjawab pertanyaan Kamisato?

“Apa kau bertanya dengan Kunimi?”

“Kau juga berteman dengannya.”

“Entahlah, sepertinya Aku tak dianggap.”

“Sudah jawab saja pertanyaannya!”

“Kau sangat kasar hari ini…”

Sakuta hampir mengatakan apakah dia sedang datang bulan lagi tetapi ia berhasil menghentikan ucapannya sebelum terlambat.

“Apa kau sedang sembelit?” tanya Sakuta kemudian.

“Ap?!”

“Apa kau juga merasa sesak?”

“Mati saja sana! Sekarang juga!”

Wajah Kamisato menjadi merah padam dan meninggalkan atap sambil membanting pintu keluar.

“Banyak makan yang berserat!”

Sayangnya, Sakuta kira dia tidak mendengar sarannya yang berguna.


Kali ini, ia selesai mengganti sepatunya dan meninggalkan sekolahnya.

Sakuta berjalan menuju stasiun kereta. Ketika sebuah kereta yang menuju Stasiun Fujisawa tiba, ia menumpangi kereta tersebut. Dengan perjalanan selama lima belas menit melaju di rel tunggal.


Stasiun Fujisawa bisa terlihat di pemberhentian berikutnya. Sakuta turun dari kereta yang ditumpanginya dan membeli sebuah roti kari dari kios yang ada di luar gerbang tiket. Dimakannya roti tersebut saat ia berjalan menuju tempat kerja paruh waktunya.

“Selamat siang!” ucapnya, saat masuk ke restoran. Manajernya sedang berada di belakang meja kasir.

“Siang. Mari tetap semangat!”

“Baik, pak.”

Sakuta berhasil untuk tidak menguap di depan manajernya dan segera berjalan menuju ruang istirahat di belakang. Di dalamnya terdapat jejeran loker, dan para staf pria berganti di ruang yang sama. Sementara, para staf wanita mendapat ruang ganti sendiri, namun…situasinya tidak jauh berbeda dari ruang ini.

“’Yo,” Kunimi menyapanya dengan muncul dari balik loker.

“’Yo,” balas Sakuta sambil bersiap mengganti pakaiannya. “Kunimi,” ucapnya sambil memegang baju kerjanya sebagai pelayan.

“Mm?”

“Akan merepotkan jika ku tunda, jadi akan langsung kukatakan. Pacarmu memarahiku lagi.”

“Kasihan sekali dirimu,” tawa Kunimi dengan keras seperti tidak peduli dengan situasi Sakuta sama sekali.

“Kau harus memilih. Aku atau Kamisato!”

“Pilihan yang sangat mudah. Baiklah, Aku akan meneleponnya malam ini.”

“Makasih.”

Sakuta mengenakan celana panjangnya sebagai pelayan.

“Oh, ada lagi…”

“Apa lagi?”

“Kau kenal dengan Maesawa di klub basket?”

“Mm? Oh, Yousuke-senpai?”

Jadi nama lengkapnya adalah Yousuke Maesawa.

“Seperti apa dirinya?”

“Uh, yah…ia itu pemain terbaik yang dimiliki sekolah kita.”

Sakuta selesai memakai seragamnya hingga tinggal mengikat celemeknya.

“Jadi ia cukup terkenal di kalangan gadis-gadis,” timpa Kunimi.

“Bagus, bagus, terus berikan alasan agar Aku membencinya.”

“Sikapmu buruk Sakuta,” tegur Kunimi sambil menggelengkan kepalanya dengan tertawa. “Kau bertengkar dengannya?”

“Ceritanya panjang, tapi…jika ia cowok baik-baik, Aku mungkin akan merasa bersalah.”

Semua kejadian sebelum ini hanya sebuah kesalahpahaman belaka, tetapi Sakuta membuat Maesawa menjadi salah paham tentang hubungannya dengan Koga. Hal ini juga menghalanginya untuk berpacaran dengan Mai seperti yang ia sudah rencanakan.

Sakuta yakin kalau si Maesawa pasti akan mengetahui kejadian yang sebenarnya segera, tetapi ia merasa sedikit bersalah. Bahkan ketika Maesawa mengejeknya.

“Aku tak suka membicarakan orang lain tanpa sepengetahuannya,” ucap Kunimi namun suaranya langsung menghilang. Ia benar-benar bersungguh-sungguh akan hal tersebut.

“Aku mengerti! Kalau begitu, Maesawa itu orang yang mesum?”

“Aku tak tahu kalau hal itu, tapi setelah latihan kemarin, Yousuke-senpai bilang kalau ia akan memutuskan pacarnya karena pacarnya itu tak mau bercinta dengannya. Yousuke-senpai mengatakan banyak hal buruk tentang mantan pacarnya. Setelah itu, Aku selalu memikirkan kalau…Aku tak ingin menjadi seperti itu.”

Jika Kunimi sampai berbicara seburuk itu, si Maesawa ini pasti pria bejat. Menjadi populer memang merusak dirimu sebagai manusia yah.

“Jadi, ia punya pacar?”

“Yeah, siswi kelas tiga dari sekolah lain. Pacarnya cukup imut.”

“Tapi Kamisato lebih imut?”

“Yah, tentu saja.”

Beginilah bagaimana para gadis ingin agar pacar prianya memuji mereka. Wajah Futaba terbayang di benak Sakuta, dan ia merasa sedikit menyesal karenanya.

“Info yang berharga. Makasih.”

Tampaknya Sakuta bisa sepenuh hati membenci Maesawa. Ia tidak percaya kalau si Maesawa berani mengajak Koga untuk menjadi pacarnya meskipun ia sendiri sudah punya pacar.

Tetapi sudah waktunya untuk mulai bekerja. Jadi, Sakuta dan Kunimi mengisi absen. Saat keluar dari ruang istirahat, manajernya memanggil mereka. “Kunimi, Azusagawa, tolong ke sini sebentar.”

“Ya?” Mereka berdua berbalik dan manajernya sedang berdiri di samping seorang gadis. Sekejap, gadis tersebut terlihat gugup seperti tidak terbiasa memakai seragam pelayan sama sekali.

“Ini Koga. Dia akan bergabung mulai hari ini. Tolong ajarkan caranya ke dia, ya?”

Sakuta langsung mengenali gadis tersebut.

Koga tampaknya juga terkejut melihat Sakuta.

“Kau dari Minegahara juga, kan?” tanya Kunimi.

“Oh, benar juga! Kalian berdua juga bersekolah di Minegahara. Jadi Koga ini juga kohai kalian berdua! Tolong bantu dia ya!”

Manajernya langsung meninggalkan mereka berdua dan berjalan menuju ruangannya seakan pekerjaannya sudah selesai. Mereka bisa mendengar manajernya sedang melakukan panggilan bisnis setelahnya.

“T-Tomoe Koga. Senang bertemu denganmu.”

“Namaku Yuuma Kunimi, dan ini Sakuta Azusagawa. Kami berdua kelas dua…tapi kalian sudah kenal satu sama lain, kan?”

Sakuta melirik ke arah Koga.

“Yeah, Aku pernah bercerita kalau kita pernah menendang bokong satu sama lain, kan?”

Tangan Koga langsung meraih bokongnya.

“Kenapa senpai menceritakan hal itu ke orang lain?!” teriak Koga yang gelisah. Dia mengeluarkan air mata?

“Aku tak bisa diam saja ketika ada cerita lucu yang terjadi.”

Senpai tak bisa dipercaya!”

Koga melotot ke arahnya.

“Sepertinya hubungan kita kurang baik,” ucap Sakuta. “Kuserahkan padamu, Kunimi!”

“Uh, tunggu! Sakuta!”

Sakuta mengabaikannya, bersiap untuk melayani pelanggan.


Setelah memaksa Kunimi untuk melatih Koga, Sakuta harus bekerja keras sebagai gantinya.

Ia memandu pelanggan ke tempat duduk mereka dan menerima pesanan mereka. Saat pesanannya siap, Sakuta membawanya ke meja pelanggan dan jika ada pelanggan yang bersiap untuk membayar, ia juga yang mengurus kasir. Ketika ia luang, ia juga mengisi ulang gelas kosong di konter minuman.

Saat jam makan malam tiba, semua meja terisi penuh, dan dapat terlihat antrian yang menunggu meja kosong.

Hari ini mungkin hari pertama Koga, namun di saat-saat jam sibuk, dia bekerja keras mengerjakan tugasnya.

Ada dua tugas yang harus dia kerjakan. Yang pertama adalah mencuci piring dan yang kedua mengatur meja yang kosong.

Melihatnya meregangkan tubuh untuk membersihkan tepi meja membuat Sakuta tersenyum. Namun, Koga masih terbilang agak lambat, dan setiap kali Sakuta melihatnya membawa tumpukan piring kotor, hal itu membuatnya gelisah. Sudah dua kali, piring yang dibawanya hampir jatuh dan Kunimi berhasil menghentikan itu sebelum terjadi. Jika Sakuta yang melatih Koga, piring-piring tersebut pasti sudah pecah ke lantai.

Tetapi jam-jam sibuk tersebut mulai berakhir, dan jumlah pelanggan mulai menurun. Meja-meja mulai kosong, di luar mulai gelap, dan jarum jam berada di angka delapan lewat.

Sakuta sedang membawa piring kotor ke belakang dan ia bisa melihat Kunimi dan Koga di meja dapur. Kunimi sedang menunjukkan cara untuk memoles garpu dan pisau. Saling mengobrol sambil melakukan pekerjaan mereka.

“Antara ponsel dan pakaian, Aku hanya perlu sedikit uang lebih. Kalau senpai?”

“Kurang lebih sama.”

Bahkan saat mereka berdua saling berbicara, tangan mereka terus bergerak. Mereka mencelupkan ujung garpu dan pisau ke dalam air panas untuk menghangatkannya, lalu memolesnya dengan kain lembut. Hal ini membuat garpu dan pisau tersebut menjadi berkilau. Koga tampak terkejut dengan tampilan garpu dan pisau yang begitu mengkilap.

Saat Sakuta melihat hal itu dari kejauhan, bel pintu berbunyi---menandakan kedatangan pelanggan baru. Ia bergegas kembali melayani pelanggan yang tiba.

Tiga gadis muda bisa terlihat sedang menunggu. Mereka melihat ke Sakuta dan berteriak kaget.

Sakuta tentu mengenali seragam mereka. Gadis-gadis tersebut mengenakan seragam musim panas dari sekolahnya, SMA Minegahara. Ketiga kancing di kerah mereka dengan sengaja dibuka---mereka adalah teman sekelas Koga. Sakuta pernah melihat mereka bersama dengan Koga sebulan yang lalu.

Gadis yang memimpin rombongan tersebut memiliki rambut panjang dan tatapan yang menunjukkan kalau dirinya berkemauan keras. Yang mengikuti di belakangnya adalah gadis bertubuh pendek dengan mengenakan kacamata yang terlihat palsu dengan bingkai bulat besar.

“Tomoe bilang kalau dia bekerja di sini!” ucap gadis berkacamata tersebut. Dia sedang memberi tahu gadis rambut pendek yang bertubuh tinggi di belakang barisan.

“Benar sekali,” ucap gadis yang berada di paling depan.

“Meja untuk tiga orang?”

“Ya.”

Gadis yang berada paling depan jelas-jelas bersikap sebagai pemimpin dari kelompok itu. Dari hal ini saja, Sakuta bisa menebak kalau gadis tersebut adalah Rena. Tingkah lakunya sama seperti seorang gadis di kelasnya---seperti pacar Kunimi, Saki Kamisato. Sikap unik dari gadis-gadis yang sangat percaya diri kalau diri mereka itu adalah yang paling imut di kelasnya.

Roknya yang dibuat pendek dan kerah bajunya yang terbuka serta ikatan dasi yang dibuat bergaya. Kedua temannya juga mengikuti tampilannya itu.

Imut itu adil. Tidak keren atau tidak kekinian adalah kejahatan. Peraturan yang tercipta di kelas adalah seperti itu, dan Rena adalah seorang ratu di kelasnya.

“Apa ini cukup?” tanya Sakuta sambil memandu mereka ke meja yang diperuntukkan untuk empat orang.

“Tentu,” ucap Rena sebagai pemimpin dari kelompok itu. Saat Sakuta melihat mereka duduk, ia mengingat kenapa Koga melarikan diri dari kejaran Maesawa.

Mengingat betapa percaya dirinya Rena itu, perkataan Koga mungkin benar adanya. Orang-orang sering sekali terusir dari lingkaran pertemanan mereka. Sakuta mengingat hal serupa yang terjadi di kelasnya.

Kedua temannya duduk berseberangan setelah Rena. Mereka tampak tidak ragu sedikit pun, lebih seperti beginilah cara mereka ketika duduk. Mereka pasti mempunyai urutan tempat duduk yang tetap, dan Koga juga termasuk, yang berarti tempat duduk Koga berada di samping Rena.

“Saat kalian siap untuk memesan, cukup tekan tombol ini.”

“Oh, tunggu.”

“Anda sudah siap memesan?” Sakuta mengeluarkan tablet digitalnya.

“Apa senpai serius dengan Tomoe?”

“Maafkan kami, restoran ini tidak menyajikan menu semacam itu.”

“Aku tanya serius.”

Tata bahasa yang digunakan sopan, tetapi tidak terdengar sopan sama sekali dan perkataannya itu gagal menyindir Sakuta. Ia merasakan suatu suasana yang aneh dari mereka, seperti rasa ingin tahu yang bercampur dengan pengharapan.

Senpai baru saja ditolak oleh Sakurajima-senpai, jadi kurasa sulit untuk memercayai senpai.”

“Apa yang sedang kita bicarakan?” tanya Sakuta yang tidak mengerti percakapannya.

“Tomoe memang imut, tapi apalagi yang senpai suka dari Tomoe?” sela gadis berkacamata.

Dia juga sama saja.

“Kurasa ada sebuah kesalahpahaman yang terjadi di sini.”

“Jangan menyembunyikannya senpai! Kami semua sudah tahu,” si gadis berkacamata tertawa.

“Oh! Tomoe! Sini sini!” gadis yang paling tinggi memanggilnya.

Keempat orang tersebut menoleh ke arahnya. Koga pasti merasakan tatapan ini, karena dia berbalik dan mengetahui kalau teman-temannya menatap dirinya.

Dia agak kaget sedikit dan mencoba mengalihkan pandangannya dari mereka. Untuk sesaat, dia seperti ingin melarikan diri ke belakang lalu setelah memikirkannya lagi, dia berlari kemari.

“H-hi! Kalian benar-benar datang?”

“Kan kita sudah janji.”

“Seragamnya imut.”

“Sangat imut.”

Dalam sekejap, meja tersebut menjadi wilayah dari gadis SMA. Setelah kata imut terucap, masalah Sakuta tidak lagi penting. Masa muda, pesona, dan kebebasan untuk mengabaikan segalanya selain dunia kecil mereka---semua hal tersebut memperkuat keinginan Sakuta untuk cepat-cepat melarikan diri dari situasi ini.

Senpai, sebaiknya senpai tak bermain-main dengan Tomoe,” Rena memperingatkan sambil menarik lengan baju Koga. Dia benar-benar menatap ke arah Sakuta langsung. Tampaknya tatapan itu dimaksudkan untuk mengancamnya, tetapi susah bagi Sakuta untuk melihatnya sebagai ancaman. Setelah sekian lama ditatap oleh tatapan sinis Mai, hal seperti ini tidak ada apa-apanya.

“R-rena! Jangan!”

Koga terlihat seperti sedang kesusahan saat ini. Dia terus melirik ke arah Sakuta untuk meminta bantuannya.

Sekarang ini, Sakuta mengetahui sebagian besar situasinya. Rena tampaknya memiliki kesan yang sama seperti si Maesawa dan Koga juga tidak mencoba untuk menjelaskannya, dia bahkan tidak mau.

“Awal dari hubungan sangat penting! Kau harus memimpinnya!”

“B-benar juga.”

Koga melirik ke arah Sakuta lagi untuk meminta pertolongan. Ketika itu terjadi, pelanggan baru tiba. “Koga, kau bisa membantu mereka?” Sakuta menyarankan. Lalu, ia berbalik ke arah meja gadis-gadis SMA ini lagi. “Ketika kalian siap untuk memesan, cukup tekan tombol itu.”

Dengan profesionalitasnya itu, Sakuta mencatat pesanan pelanggan di meja lain.

Koga merekatkan kedua telapak tangannya sebagai permintaan maaf dan berlari ke arah pelanggan yang menunggu di pintu depan.

Sementara Sakuta sedang menerima pesanan dari pelanggan yang membawa keluarganya, ia bisa merasakan tiga pasang mata yang menatapnya dari belakang. Mencoba untuk melarikan diri dari mereka, ia bergegas menuju ruang istirahat. Koga muncul tidak lama kemudian.

“Uh, sebaiknya kujelaskan?”

“Kau selesai jam 9?”

“Huh?”

“Kita bisa membicarakannya setelah selesai bekerja.”

“Tap…Tapi jika tak kujelaskan…,” ucapnya ragu-ragu sambil meremas kedua tangannya.

“Aku tak akan bilang apa-apa ke temanmu sampai kau menjelaskannya.”

“B-baiklah.”

Kunimi memanggil Koga, dan dia kembali bekerja. Sakuta melihatnya pergi, dengan muram menyadari kalau situasinya berubah menjadi lebih buruk tanpa sepengetahuannya.