cover jilid 2

Hari Esok yang Tak Kunjung Datang untuk Si Berandal
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Temukan Iblis Laplace yang asli.

Futaba telah memberinya sebuah tujuan, tapi harus dimulai dari mana? pikir Sakuta.

Ia tidak tahu siapa yang menjadi Iblis itu, dan tidak ada jaminan kalau dia orang yang dekat dengannya. Skenario terburuknya adalah mungkin saja seseorang yang menjadi Iblis itu berada di belahan dunia yang lain.

“Dan jika hal itu benar terjadi, tamat riwayatku.”

Seorang siswa SMA tidak memiliki biaya yang cukup untuk bepergian sejauh itu. Sakuta bahkan tidak mempunyai paspor. Peluangnya sangat kecil. Tidak---ia bahkan tidak punya peluang sedikit pun.

Semakin Sakuta memikirkannya, semakin stres dirinya.

Namun pada saat jam makan siang, ia meninggalkan ruang kelasnya dan berjalan menuju ruang kelas di lantai tiga. Sakuta berjanji untuk makan bersama dengan Mai di ruang kelas kosong.

Hubungannya dengan Mai adalah satu-satunya hal yang ia pedulikan sekarang ini. Tetapi, semua itu akan terulang kembali keesokan harinya. Sekali lagi, ia akan memakan bekal makan siang buatan Mai dan mengajaknya untuk berpacaran. Satu-satunya yang membuatnya bertahan dari semua pengulangan ini adalah karena Sakuta sangat menikmati waktu berduaan dengan Mai.

Sambil menantikan hal itu, Sakuta membuka pintu ruang kelas kosong tersebut.

Atau…tidak begitu kosong sama sekali. Ia bisa mendengar sebuah suara dari depan kelas. Dengan menoleh sedikit, ia bisa melihat sebuah bokong yang dibalut oleh rok sedang mencuat dari balik podium kelas. Siapa pun yang sedang bersembunyi di situ, tampaknya berpikir kalau bisa menyembunyikan dirinya di tempat itu.

“……”

Jelas-jelas ada suatu hal aneh yang terjadi di sini.

Setelah diingat-ingat lagi, hal seperti ini tidak terjadi saat pengulangan 27 Juni yang pertama atau kedua kalinya. Sakuta langsung berjalan memasuki kelas ini begitu jam makan siang dimulai dan menunggu Mai datang, lalu mereka berdua menghabiskan waktunya dengan saling menggoda satu sama lain. Cuma itu saja sejauh ini. Tidak ada seorang pun yang mengganggu mereka dan Sakuta tidak bertemu dengan orang lain di ruang kelas ini selain Mai.

Yang berarti ini suatu hal yang baru terjadi. Situasi yang tidak terjadi di pengulangan pertama dan kedua kalinya. Sebuah pertemuan dengan seseorang yang berbeda tingkah lakunya di pengulangan sebelumnya.

Sakuta teringat akan hal yang Futaba ucapkan pagi ini.

“Sama seperti dirimu, Iblis itu akan mengingat kalau dia juga mengulang tanggal 27 Juni ini dan jika Iblis itu memang mengingatnya ada kemungkinan besar kalau tingkahnya akan berbeda dibandingkan 27 Juni sebelumnya, kurasa.”

Dan apa yang ia lihat saat ini tampaknya sangat cocok dengan yang Futaba ucapkan.

“Ah, ketemu!” ucap Sakuta.

Siswi yang bersembunyi di belakang podium tersebut perlahan-lahan muncul dari baliknya, persis seperti tikus yang muncul dari sarangnya.

Sakuta kenal dengan siswi tersebut.

Dengan model rambut bob pendek. Bentuk mata yang bulat dan besar. Riasan ringan dan imut. Dengan tampilan seperti gadis remaja pada umumnya, semua hal itu melambangkan tampilan ‘Siswi SMA’ kekinian.

Salah satu tangannya sedang memegang ponsel pintar dengan dilapisi cover yang berwarna merah seperti telur ikan pollock. “Oh,” ucap siswi itu.

Dia adalah siswi kelas satu, Tomoe Koga.

Dirinya terbilang mungil jika dibandingkan dengan gadis seusianya. Semua aspek dirinya bisa terbilang mungil. Hampir tidak terlalu mengancam untuk disebut sebagai Iblis. Mungkin versi kecil dari Iblis atau bisa disebut sebagai Iblis kecil.

Tiupan angin laut muncul dari celah jendela dan mengibaskan rambut dan ujung rok Koga. Dia juga yang pertama kali membuka mulutnya.

“Ichiro Sato.”

“Itu nama samaran yang kugunakan untuk menipu orang-orang biasa.”

Sakuta terkejut karena Koga masih mengingat nama palsu yang ia sebutkan saat pertama kali mereka bertemu. Ia tidak terlalu bisa mengingat nama seseorang, tetapi tampaknya Koga punya ingatan yang kuat.

“Azusagawa-senpai, kan?” tanyanya dengan ragu.

“Sakuta Azusagawa. Kelas dua.”

“Tomoe Koga. Kelas satu…”

Dia ragu-ragu, lalu memperkenalkan dirinya secara formal. Sifatnya jadi sangat berbeda ketika dia melakukan itu.

“Tak perlu kaku seperti itu,” ucap Sakuta. “Lagi pula, kita sudah menendang bokong masing-masing.”

“Lupakan itu!” teriaknya. Sepertinya itu kesan pertama Sakuta terhadapnya.

Dia memegang bokongnya dengan kedua tangan, seakan mengingat rasa sakit yang dideritanya. Hal ini membuat Sakuta seperti orang jahat yang memulai hal tersebut.

“Koga, kau tak perlu basa-basi lagi.”

“Apa?”

“Sudah berapa kali kau mengulangi hari ini?”

“?!” Matanya langsung terbuka lebar-lebar. Lalu, rasa syok memunculkan kecemasan dan membuat diri mereka gemetar.

“Ini yang ketiga kalinya buatku,” ucap Sakuta.

Koga mengangguk, lalu berkata, “Aku juga.” Dia mengangkat ketiga jarinya.

Tetapi kemudian wajahnya terbilang seperti seorang yang akan menangis.

Sebelum Sakuta terkejut akan hal itu, Koga berkata, “Ternyata bukan Aku saja!”

Air mata mengalir di pipinya dan dirinya terjatuh ke lantai seperti merasa lega.

“Ada apa sebenarnya ini?!” desak Koga.”

“Tak tahu.”

“Kenapa kita mengulang hari ini?!”

“Entahlah.”

“Kenapa senpai tak tahu?!”

“Aku tak bisa tahu apa yang tak kutahu.”

Dirinya yang merasa lega kembali menjadi cemas.

“Kukira bisa keluar dari ini! Kembalikan air mataku yang mengalir!”

“Minum saja air keran, dengan begitu kau bisa mengembalikan cairan yang hilang.”

“Jadi, sekarang kita harus apa?”

Itu yang Sakuta ingin tahu.

“Jadi, harus aaapwa?” ucap Koga lagi dengan logat aslinya yang tidak sengaja muncul.

Tampaknya dia benar-benar tidak tahu kalau dirinya sendiri yang menyebabkan situasi ini.

“Kenapa senpai begitu tenang?!” teriak Koga sambil menggenggam kemeja Sakuta dan mengguncangnya.

“Jika kita panik, memangnya akan membantu?”

“Tidak, tapi biasanya seperti itu!”

“Ah-ha.”

“Argh, Aku tahu kalau senpai ini orang yang gila! Senpai ini orang sinting yang mengajak Sakurajima-senpai untuk berpacaran sementara semua orang di sekolah menonton senpai!”

“Kurasa memanggil sinting di depan orangnya langsung bisa dibilang gila juga.”

“Diam.”

“Kalau begitu, sekarang giliranku bertanya…kau tahu alasan hal ini terjadi?”

“Tidak pisan.” [1]

“Tidak apa?”

“T-tak sama sekali.”

“Kau tak membantu.”

Senpai juga sama!”

“Ada hal buruk yang terjadi? Tak ada yang membuatmu kesal?”

“Kenapa Aku perlu memberitahu senpai hal itu? Oh, ada pesan.”

Perhatian Koga beralih ke layar ponselnya.

“Aku cukup yakin kalau situasi ini disebabkan oleh Sindrom Pubertas,” ucap Sakuta. “Jika fenomena ini disebabkan oleh ketidakstabilan emosi dirimu, maka kita perlu mencari tahu penyebabnya dan menyingkirkan sumber ketidakstabilan tersebut.”

“Sindrom Pubertas? Senpai sudah gila ya?” sindirnya, tanpa menoleh sedikit pun dari layar ponselnya. Dia sedang sibuk membalas pesan di ponselnya. “Itu cuma gosip di internet. Tak ada yang memercayainya.”

Sakuta memercayai kalau Sindrom Pubertas itu nyata karena hal-hal aneh yang sudah dialaminya sebelum ini.

Adiknya, Kaede, menjadi korban pertama dari Sindrom Pubertas. Ia telah menyaksikan secara langsung bagaimana Kaede yang melihat pesan atau postingan kejam dari teman sekelasnya memberinya luka memar seperti ada yang sudah memukulnya dan luka sayatan seperti teriris pisau yang diayunkan ke dirinya.

Kemudian, di bulan lalu, orang-orang di sekitar Mai mulai mengabaikan dan melupakan dirinya.

Dan situasi semacam ini pasti disebabkan oleh hal yang sama.

“Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi setelah tiga kali mengulangi hari yang sama, kurasa hal seperti Sindrom Pubertas terdengar cukup masuk akal.”

“Urp…Ada benarnya juga…”

Ada sebuah batasan tentang seberapa yakin seseorang menganggap kalau ini semua hanyalah mimpi dan bertemu dengan orang lain yang sedang dalam situasi yang sama hanya akan membuat situasi ini menjadi lebih nyata. Futaba pernah berkata kalau ini hanyalah sebuah ramalan masa depan, tetapi menurutnya, hal ini terlalu nyata untuk bisa dibilang ramalan atau penglihatan masa depan.

“Berhenti bermain dengan ponselmu selagi kita berbicara” desak Sakuta sambil merebut ponsel tersebut dari tangan Koga.

Senpai! Kembalikan!”

Sakuta mengangkatnya tinggi-tinggi. Koga tidak bisa menjangkaunya karena terlalu pendek. Hingga akhirnya, dia melompat beberapa kali untuk mencoba mengambilnya tetapi masih belum berhasil juga.

“Baiklah, Aku tak akan melakukannya lagi.”

Karena merasa kalau Koga sudah menyesal. Sakuta mengembalikan ponselnya.

“Ini.”

Dia langsung mengambilnya seperti binatang buas mencengkram mangsanya dan langsung menulis sesuatu dari layar ponselnya.

“……”

“……”

“Jadi, kau memilih berhenti berbicara.”

“Diam, senpai menggangguku.”

“Cewek SMA sekarang ini memang tak sopan.”

Sakuta terpaksa harus menunggu selama dua puluh detik.

“Jadi, apa yang senpai bilang sebelumnya?” tanya Koga sambil menatap ke arah Sakuta.

“Ada hal buruk yang terjadi? Atau kau sedang mengkhawatirkan sesuatu? Aku sedang mencari petunjuk agar kita bisa terbebas dari tanggal 27 Juni ini.”

“……Um…” Koga berpikir sebisanya selama sekitar sepuluh detik.

“Beratku bertambah sedikit?” ucapnya sambil tersipu malu sedikit.

Dia terdengar seperti sedang bersungguh-sungguh.

“……”

Koga terbilang kurus dan mungil. Segala hal tentang dirinya bisa dibilang ramping.

“”Ke-kenapa dengan tatapan senpai itu?”

“Jangan khawatir, Koga. Kau benar-benar kurus. Tak ada masalah sama sekali dan mungkin saja dadamu yang rata itu akan berkembang dengan bertambahnya berat badanmu.”

“Beratku bertambah di bokong dan perutku.” Keluhnya.

Setelah dilihat-lihat lagi, pinggul dan punggungnya terkesan…kekar.

“Kudengar kau harus memijat payudaramu untuk memperbesar ukurannya.”

“Sudah pernah kucoba!” bentak Koga sambil meremas kedua dadanya meski dilihat oleh Sakuta.

“Kalau begitu, menyerah saja. Para cowok tak akan jatuh hati pada perempuan hanya karena ukuran dadanya. Tapi, ada yang lain selain itu? Yang tak terlalu terkait dengan ‘masalah remaja’ umumnya.”

“Kelas renang akan segera tiba! Ini masalah yang serius! Jika dadaku juga tak membesar dan tak muat dengan baju renangnya, musim panas ini akan menyiksaku---”

Koga tiba-tiba berhenti, matanya melebar.

“Ah!”

Dia melihat ke lorong sekolah di balik Sakuta.

“S-sembunyi!” desak Koga sambil meraih lengan Sakuta dan menyeretnya ke belakang podium.

“Kenapa?”

“Sudah, lakukan saja!”

Koga menyeret sakuta ke belakang podium yang sempit, lalu ikut bersembunyi juga di tempat yang sama. Hal ini mengharuskan Sakuta untuk berbaring sementara Koga dengan duduk mengangkang.

Apa ini yang sering dilakukan oleh siswa-siswi kelas satu untuk menghibur diri mereka? Sakuta tidak mengerti pikiran siswa-siswi SMA zaman sekarang.

Karena kebingungan, Sakuta menoleh keluar sedikit dan melihat seorang siswa dari celah pintu masuk kelas tersebut. Siswa kelas  tiga yang mengajak Koga untuk berpacaran dengannya saat 27 Juni sebelum ini. Koga memanggilnya Maesawa-senpai.

“Tundukkan kepalamu!” Koga menarik wajah Sakuta ke dalam podium.

“Bukannya ia sedang mencarimu?”

“Kurasa, tapi…Aku mengiriminya pesan yang mengatakan kalau Aku mungkin sedang sibuk saat istirahat siang ini.”

“Sungguh? Kau tak terlihat sedang sibuk.”

“Kan ku bilang ‘mungkin’!”

Dengan kata lain, Koga berbohong ke Maesawa.

“Aku tak mengerti denganmu. Pacaran saja dengannya.”

“Kenapa senpai tahu tentang itu?”

“Aku melihatnya sebelum ini.”

Wajah Koga hanya berjarak beberapa senti dari wajah Sakuta. Dengan bibir merah muda yang mengkilap. Napasnya yang menggelitik pipi Sakuta. Ia mencoba untuk menyesuaikan posisinya, berhati-hati agar tidak menyentuh apa pun yang…

“Eek!”

Tetapi Koga terkejut akan sesuatu. Sakuta takut kalau ia menyentuh tubuhnya, tapi ternyata bukan itu penyebabnya. Ponsel yang dipegang di tangannya bergetar. Cahaya layar ponsel menerangi wajahnya, Koga langsung mengetik balasan pesan yang didapatnya.

“Ini semacam fetish baru?”

“……”

Koga terlalu terpaku dengan ponselnya untuk membalas perkataan Sakuta.

Sementara Sakuta menunggu Koga untuk menyelesaikan urusannya, ia kebetulan melihat ke bawah dan melihat roknya yang tersingkap. Sebuah kain putih dapat terlihat di mana kaki kanan Koga menekuk hingga menempel ke tubuhnya.

“Uh, Koga.”

“Nanti dulu.”

“Aku bisa melihat celana dalammu.”

“Aku lagi sibuk.”

Pengakuan Sakuta langsung ditolaknya.

“Aku tak mengerti dengan pikiran cewek SMA.”

Nampaknya, membalas pesan di ponselnya jauh lebih penting dibandingkan dengan celana dalam yang terlihat. Sakuta tidak punya pilihan lain. Ia membetulkan roknya dan sekarang yang bisa Sakuta lihat hanyalah paha dari Koga.

Sementara Sakuta sibuk membetulkan pakaiannya, Koga mengirim pesan balasannya.

“Jadi, kenapa harus sembunyi?” tanya Sakuta.

Dan kenapa ia harus bersembunyi dengan Koga?

“Yah…Rena menyukai Maesawa-senpai,” bisik Koga seakan menjelaskan situasi mereka saat ini.

“Huh?” seru Sakuta yang semakin kebingungan.

“Huh?” seru Koga yang terlihat lebih kebingungan dibandingkan Sakuta. “Apa yang senpai bingungkan?”

“Kau belum menjelaskan apa pun.”

“Kalau begitu, uh… Jadi, Aku dan Rena sangat sering menonton klub bola basket saat latihan.”

“Siapa Rena?”

Tidak terdengar seperti aktris terkenal.

“Temanku dari kelas yang sama. Rena Kashiba. Dia selalu membicarakan betapa kerennya Maesawa-senpai itu…dan Aku cuma ikut-ikutan.”

Koga tampak tidak mau melanjutkan sisanya.

“Tapi si Maesawa ini malah tertarik denganmu?”

“…S-sepertinya.” Koga mengangguk.

“Dan kau juga suka si Maesawa?”

“Tidak…Aku tak terlalu suka tipe cowok sepertinya.”

“Kalau begitu tolak saja ketika ia mengajakmu.”

Kenapa repot-repot sembunyi? Tolak saja dengan sopan. Si Maesawa itu terlihat seperti pria yang membentuk sebuah band tepat sebelum festival budaya---memang tipe yang cocok untuk ditolak secara mentah-mentah.

“Jika Aku melakukan itu, Aku akan langsung dikucilkan! Ia itu cowok yang Rena---temanku---sukai!”

“Huh? Aku tak mengerti. Jika kau tak suka dengannya…”

“Karena pengakuan itulah masalahnya!”

“Aku tetap tak mengerti.”

“Aku berjanji ke Rena kalau Aku mendukungnya! Tapi jika Aku yang ditembak…maka Aku yang tak membaca situasinya!”

Suara Koga menjadi muram.

“Apa yang harus kulakukan…?”

Wajahnya menjadi pucat. Hal ini jelas menjadi masalah besar baginya. Setidaknya, itu yang dipercayai oleh Koga.

“Kau tak merayunya, kan?”

“Tentu saja tidak!”

“Shh, Si Maesawa akan mendengarmu.”

Koga menutupi mulutnya dengan kedua tangannya.

“O-omong-omong, begitulah masalahku. Mengerti?”

Sakuta setidaknya mengerti perkataannya. Sedangkan, untuk pertemanan antara Koga dan temannya, tidak sama sekali.

“Tak sedikit pun.”

“Argh, Aku butuh penerjemah kalau begini!”

Koga begitu kecewa hingga mencoba untuk berdiri, namun mereka sedang berada di balik podium, dan di atasnya…

“Ah! Tunggu!” seru Sakuta. Namun, sudah terlambat.

Koga membentur kepalanya dengan keras. Begitu keras sehingga podium tersebut terangkat…dan terjatuh.

Dia mencoba meraihnya, namun kedua tangannya tidak berhasil menangkapnya. Podium itu terjatuh ke lantai dan menimbulkan suara keras.

Dan diri Koga sendiri tersandung oleh tubuh Sakuta hingga kehilangan keseimbangannya.

“Eek!”

Dengan jeritan tersebut, Koga terjatuh ke arah Sakuta. Secara spontan, Sakuta menaruh kedua tangannya ke tubuh Koga mencoba untuk menangkapnya. Ternyata, dia benar-benar ringan dan tidak perlu mengkhawatirkan tentang beratnya yang bertambah.

“Geez…”

Sakuta mencoba untuk menenangkannya tetapi kesempatan itu lewat begitu saja. Tanpa sadar, sesosok figur membayanginya.

Seorang siswa sedang berdiri di pintu masuk sambil menatap ke arahnya. Siswa kelas tiga itu adalah---Maesawa yang merupakan anggota klub basket.

Maesawa tampaknya tidak tahu harus berbuat apa. Situasi seperti ini jelas membuat canggung. Jika dilihat dari sudut pandangnya, Sakuta dan Koga sedang berpelukan di lantai kelas.


“Jadi ini yang kau bilang sedang sibuk?” tanyanya, “Seleramu sangat payah.”

Jelas saja, si Maesawa salah menyimpulkan situasinya dan sikapnya sangat tidak sopan.

“Tidak, ini bukan…” Sakuta mencoba meluruskan situasinya, tetapi sebelum bisa melakukan itu, pintu masuk belakang kelas itu terbuka.

Jantung Sakuta seakan langsung melompat keluar dari dadanya.

Dengan kepanikan yang muncul tiba-tiba. Kelima pancaindranya menandakan bahaya. 

Sakuta tahu siapa yang membuka pintu tersebut bahkan tanpa melihat dirinya. Ia sangat sadar akan hal itu.

Dengan perlahan, pandangannya tertuju ke pintu masuk di belakang.

Yep. Yang muncul itu Mai.

Mai sedang memegang sebuah tote bag di lengan kanannya. Di dalamnya terdapat bekal makan siang yang dia buat untuknya. Sakuta bahkan bisa melafalkan makanan yang dipersiapkan oleh Mai dalam hati. Ayam karaage, tamagoyaki, salad hijiki dengan tambahan keledai, salad kentang dan tomat ceri.

Sakuta sangat mengerti dengan situasinya, tetapi sesaat mata mereka bertemu, Sakuta tahu kalau dirinya tidak akan memakan bekal yang dibuat Mai sedikit pun hari ini.

Mai berdiri diam di ambang pintu masuk, menatap sinis ke arahnya. Tangan Sakuta masih memeluk Koga, sebuah fakta yang akan sangat disalah artikan oleh Mai.

“Ini semua cuma salah paham,” ucap Sakuta dengan tenang menjelaskan situasinya. Sebuah krisis adalah ujian akhir dari sifat alami seorang manusia. Satu-satunya pilihan adalah untuk tetap tenang dan menjelaskan situasinya saat ini dengan perlahan.

“……”

Sakuta menatap langsung ke mata Mai, seperti bersumpah kalau ia tidak bersalah.

“……”

Tetapi Mai langsung berbalik tanpa mengatakan sepatah kata pun.

“Augh! Tunggu, Maiiii-san!”

Sakuta mendorong Koga dan langsung berdiri. Diri Koga berguling, kepalanya menabrak kaki meja, dan berteriak, “Ow!” tapi Sakuta mengabaikan hal ini.

“Biarkan Aku menjelaskannya dulu!”

“Jangan berbicara denganku. Aku bisa tertular virus pedofilmu itu.”

Setelah mengatakan itu, Mai pergi.

“Yiiikes…dia benar-benar marah.”

Kesan yang ditunjukkan seperti bukan ajakan untuk “makan siang bersama”. Bahkan jika Sakuta mencoba mengajaknya, ia rasa Mai tidak akan menerimanya untuk saat ini.

Haaaa…”

Ia hanya bisa menghela napas panjang.

Sakuta melihat ke arah pintu depan, dan si Maesawa juga sudah menghilang.

Koga masih terbaring di lantai, jadi ia membantunya berdiri.

“Ma-makasih…”

Sakuta meletakkan tangannya di kepala Koga dan mengacak-acak rambutnya sekeras yang ia bisa.

“Augh! Hentikan!”

Koga langsung menjauhkan diri. Dia membetulkan tatanan rambutnya dengan kedua tangan, lalu menatap ke arah Sakuta seperti sedang mengancam.

“Aku harus bangun jam 6 pagi untuk menata rambutku!”

Gadis sekolah yang modis ternyata sibuk ya.

Sakuta mengabaikannya.

Ia mengambil napas dalam-dalam.

Panik tidak akan menyelesaikan masalahnya. Apa yang sudah terjadi, tidak bisa ia ubah lagi.

Satu-satunya pilihan adalah dengan menerima situasi ini dan mencari solusi untuk permasalahannya.

“Baiklah. Kemungkinan besar hari ini akan terulang lagi.”

Koga benar-benar Iblis Laplace, tetapi ia masih tidak terlalu memahami situasinya dan solusi untuk fenomena ini bahkan tidak diketahuinya. Selain masalahnya dengan Mai, ia hanya harus berusaha lebih baik besok---di 27 Juni keempatnya. Yang harus ia lakukan hanyalah tidak memeluk Koga tanpa sengaja.

Solusi ini tampaknya sangat ideal untuknya.

Tetapi keesokan paginya, Sakuta akan sangat menyesali asumsinya saat ini…




[1] Nananotes: pisan dari bahasa sunda yang artinya banget/sangat. Karena Tomoe Koga suka pake Bahasa gaul/logat Fukuoka-nya, di sini dicoba diterjemahkan jadi Bahasa daerah Indo.