cover jilid 2

Hari Esok yang Tak Kunjung Datang untuk Si Berandal
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Karena ia tahu kalau begadang akan sia-sia saja, Sakuta pergi tidur, dan keesokan harinya lantaran masih tidak percaya dengan yang ditontonnya semalam, ia melihat berita pagi di TV. Namun, pembawa berita di TV membicarakan tentang kekalahan Timnas bola Jepang semalam.

“Ini semua benar-benar salahku?”

Seakan mencoba kabur dari rasa bersalah, Sakuta meninggalkan rumahnya tiga puluh menit lebih awal dari biasanya.


Dengan berangkat setengah jam lebih awal membuat suasana di sekitarnya berbeda. Udara pagi yang tampak lebih segar, kumpulan orang yang berjalan menuju Stasiun Fujisawa juga sedikit berbeda. Rasanya, seperti lebih banyak pekerja kantoran yang lalu-lalang. Biasanya, ada lebih banyak siswa-siswi berseragam yang berkerumun.

Suasana seperti ini bahkan lebih terasa saat menaiki Enoden---penumpangnya jauh lebih sedikit dibandingkan dari yang biasanya.

Dan perjalanan dari Stasiun Shichirigahama menuju ke gerbang sekolah tampak sangat sepi. Hanya terdapat beberapa siswa-siswi lain selain Sakuta. Semakin mendekati jam masuk sekolah, jalan ini akan dipenuhi oleh kerumunan siswa-siswi SMA Minegahara.

Saat ini, ia merasa kalau sedang berada di dunia yang asing.


Sakuta mengganti sepatu dengan uwabakinya di pintu masuk sekolah yang sepi. Karena tidak ada siapa pun selain dirinya, suasananya terasa sangat berbeda. Sangat sepi dan bisa dibilang sangat hening.

Dengan sangat menyadari perbedaan ini, Sakuta langsung menaiki tangga dan berjalan menuju lab sains. 

“Futaba, kau di sini?” seru Sakuta sambil membuka pintu.

Orang yang sedang ia cari sedang berada di dekat papan tulis. Seorang siswi yang mengenakan jas lab putih di luar seragam yang dipakainya. Siswi ini adalah salah satu dari kedua teman Sakuta---namanya Rio Futaba.

Tanpa perlu melihat ke arah Sakuta, Futaba menghela napas panjang. 

Mengabaikan hal tersebut, Sakuta duduk berseberangan darinya.

Di antara mereka berdua terdapat sepotong roti panggang yang diletakkan di atas gelas kimia dan secangkir kopi hangat dengan uap yang bisa terlihat dengan jelas. Roti tersebut terpanggang dengan kecokelatan sempurna dan pastinya ini sarapan Futaba, pikir Sakuta.

Karena hanya Futaba sebagai anggota satu-satunya, Klub Sains bisa melakukan apa pun yang dia inginkan.

Futaba mengambil roti panggang tersebut dengan kedua tangannya dan menggigitnya, aroma dari roti panggang tersebut tercium lezat.

“Jadi.”

“Jangan.”

“Aku belum bilang apa-apa.”

“Jika kau ada di sini sepagi ini, pasti ada masalah yang terjadi.”

Sangat pintar. Tidak, siapa pun pasti dapat menebak hal itu dengan benar.

“Aku ingin melaporkan fenomena yang menarik.”

“Itu yang kumaksud dengan masalah.”

Futaba mencoba menolak laporan Sakuta.

Dengan tidak membiarkan Sakuta menjelaskan hal yang terjadi.

“Pergilah!”

Futaba yang marah kembali menggigit roti yang dipegangnya.

Futaba biasanya cukup pendiam, tetapi hari ini dia sedikit berbeda. Dia jadi mudah tersinggung dan marah kali ini.

“Kalau begitu, kau kenapa hari ini?” tanya Sakuta.

“Kenapa?” Futaba akhirnya menatap ke arah Sakuta. Dari balik kacamatanya, Sakuta bisa tahu kalau dia sedang waspada.

“Suasana hatimu sedang buruk.”

“Aku tak…,” ucapnya, lalu memutuskan untuk tidak melanjutkan ucapannya dan memilih untuk menghela napas panjang. Futaba menoleh ke luar jendela sambil melihat pemandangan di luar dan seolah seperti sedang berbicara dengan dirinya sendiri, dia berkata, “Yah, daripada kupendam sendiri, lebih baik Aku memberitahumu dan menertawakannya kemudian.”

“Yeah?” ucap Sakuta. Ia tidak tahu apakah ini bisa dibilang hal yang bagus atau tidak.

“Aku menaiki kereta yang sama dengan Kunimi pagi ini. Ia sedang bersiap untuk latihan pagi.”

“Kunimi mencoba menggodamu?”

Mata Sakuta langsung tertuju ke belahan dada Futaba.

“Kunimi tak akan pernah melakukan hal seperti itu.”

“Tatapanmu itu menunjukkan kalau Aku pernah melakukannya! Aku sangat terkejut.”

“Kalau begitu jangan menatapnya.”

Futaba berbalik seakan sedang menutupi dadanya. Dia jelas-jelas tidak terlalu suka dengan sikap Sakuta, jadi ia berusaha agar tidak melihat ke arah belahan dadanya lagi.

“Jadi? Apa yang terjadi dengannya?”

“Tak terjadi apa-apa,” ucap Futaba dengan senyum yang seolah seperti merendahkan dirinya sendiri. “Aku hanya membenci diriku karena senang bisa berbicara dengan Kunimi meskipun Aku tahu kalau ia sudah punya pacar.”

“Kekhawatiran yang pas untuk cewek remaja.”

“Jika kau yang berbicara denganku di kereta, Aku akan merasa ngeri.”

“Kau sangat perlu mengatakannya?”

Sakuta yakin kalau bukan itu maksudnya. Tetapi jika menghina dirinya bisa membuat perasaan Futaba membaik, maka silahkan saja pikirnya.

“Aku semakin membenci diriku setiap kali itu terjadi,” ucapnya. Futaba menghabiskan potongan roti terakhir, meminum kopi, dan kembali menghela napas panjang.

“Mungkin, kau hanya harus mengatakannya langsung ke Kunimi?”

“Mengatakan apa?”

Futaba tahu betul apa yang Sakuta maksud.

“Kalau kau mencintainya?”

“…Mencintai siapa?”

Futaba benar-benar ragu untuk sesaat, takut kalau Sakuta akan menyebutkan namanya dengan lantang jika dia terus menyangkalnya.

“Tentu saja, Kunimi.”

“Dengar ya, Azusagawa…”

“Katakan saja bagaimana perasaanmu padanya.”

Sakuta menatapnya langsung ke matanya agar dia tidak bisa menyangkal lagi.

“……”

Tatapannya saling bertemu dan dengan mengerutkan bibirnya. Futaba duduk di kursinya, menaikkan kedua lututnya, dan menghadap ke samping.

“Aku tak ingin nasihat yang baik hari ini,” ucapnya cemberut.

“Maaf.”

“Sudah seharusnya.”

“Tapi, kau akan terus-menerus seperti ini? Jika kau tersiksa karenanya, mungkin akan lebih baik jika kau mengatakannya ke Kunimi.”

Sakuta tahu kalau satu-satunya alasan kenapa Futaba melakukan aktivitas Klub Sains sepagi ini adalah karena dia mungkin saja bisa bertemu dengan Kunimi di jalan. Tetapi ketika dia benar-benar bertemu dengannya, hal ini terjadi.

“Sudah kubilang, Aku tak ingin nasihat baik,” keluh Futaba lagi. Seperti sedang mengeluarkan udara dari sebuah balon. Dirinya saat ini melambangkan kata-kata suram.

“Jika Aku mengatakannya hal itu akan membuat Kunimi cemas.”

“Setiap pria tampan perlu merasa cemas sekali atau dua kali.”

“Jika saja Aku dapat terus terang seperti dirimu.”

“Jangan memujiku seperti itu! Aku jadi malu.”

“Kau langsung membuktikannya.”

“Para pria sangat suka jika diperebutkan oleh wanita.”

“Hal itu hanya berlaku untuk berandalan seperti dirimu, Azusagawa.”

“Pacar Kunimi sendiri juga suka dengan perlakuan seperti itu.”

Pacarnya pernah memberitahu Sakuta kalau ia itu orang yang dikucilkan di kelas jadi dia merasa kasihan ke Kunimi setiap kali dia melihat Sakuta bersama dengan Kunimi. Mengingat hinaan yang diucapkan oleh pacar Kunimi kepadanya, Sakuta merasa kalau dirinya jauh lebih pantas dikasihani daripada Kunimi. Nama pacarnya Kunimi adalah Saki Kamisato. Dia berada di kelas yang sama dengan Sakuta, 2-1. Dia bukan tipe Sakuta, tetapi dia cukup populer di kalangan siswa laki-laki di kelasnya; semuanya setuju kalau dia itu imut. Kamisato adalah figur utama dari kelompok yang paling menarik perhatian di kelasnya.

Sangat berbeda 180 derajat dari Futaba yang menyendiri di lab sains sambil melakukan percobaan.

“Azusagawa.”

“Ya?”

“Menyinggung tentang pacarnya sangat tak berperasaan bahkan dengan dirimu yang seperti itu.”

“Kupikir kau perlu tindakan yang sama persis. Jika kau tak menyukainya, tolak saja.”

“Aku benci ketika kau benar.”

Futaba sangat sadar kalau cuma itu satu-satunya cara untuk menerima situasinya. Dia tahu hal itu tetapi tidak bisa melakukannya. Karena jika dilakukan, rasa sukanya pada Kunimi akan berakhir.

“Hanya Aku satu-satunya orang yang berani mengatakan kenyataan pahit itu.”

“Dan mengakui hal itu menjadi bukti kalau kau ini orang yang jahat.”

Futaba tertawa. Sepertinya suasana hatinya sudah membaik.

“Jadi, apa masalahmu?” tanyanya.

“Hari esok tak kunjung tiba,” ucap Sakuta, langsung ke intinya.

“Memangnya kenapa? Masa depanmu juga tak terlalu cerah,” balasannya sangat jahat.

“Ini masalah besar! Masa depan yang cerah menungguku esok pagi!”

Sakuta mulai berpacaran dengan Mai saat jam makan siang hari ini. Jadi, menyebut masa depan cerah memang bukan hal yang berlebihan.

“Masalahnya, hari ini itu kemarin, dan kemarin adalah hari ini.”

“Ulangi lagi agar manusia sepertiku bisa mengerti.”

“Aku juga manusia!”

“Kukira kau ini berandalan?”

“Dengar baik…Argh, lupakan saja. Baiklah. Um…”

Dengan berhati-hati menjelaskan masalahnya, Sakuta melaporkan hal-hal aneh yang terjadi padanya ke Futaba.


Lima menit kemudian setelah mendengar penjelasan Sakuta, Futaba hanya menguap sambil menahan kantuknya.

“Jadi? Bagaimana menurutmu, Futaba?”

Sakuta menatapnya dengan ekspresi muram.

“Azusagawa… kau masih belum sembuh dari chuunibyou?[1]

“Aku sudah 17 tahun.”

“Kalau begitu, kau itu kounibyou.” [2]

“Jadi, kau menyerah?”

Futaba tampaknya tidak terlalu peduli. Karena dia membuat secangkir kopi lagi dan duduk di tempat biasanya sambil meminum kopi tersebut.

“Satu-satunya penjelasan lain dari ceritamu adalah Sindrom Pubertas yang sangat kau sukai itu.”

Dia juga tidak terlalu peduli dengan hal itu.

“Aku benar-benar tak menyukainya,” gerutu Sakuta.

Sindrom Pubertas.

Istilah kolektif untuk fenomena aneh yang menjadi bahan perbincangan hangat di internet. “Aku bisa membaca pikiran orang” atau “Aku bisa mengetahui ingatan sebuah benda,” dan hal-hal lainnya. Kumpulan cerita yang sangat diragukan tentang peristiwa supranatural.

Tidak ada satu pun orang yang benar-benar memercayai cerita semacam itu. 

Tetapi Sakuta pernah mengalami beberapa fenomena aneh tersebut sebelumnya. Sepertinya, sekarang ini juga hal yang sama. Ia tidak bisa memikirkan hal lain yang dapat menjelaskan peristiwa yang dialaminya.

“Jadi, kau bisa membantuku?”

“Kau harus menyelesaikan ini sendiri.”

“Kenapa?”

“Berdasarkan ceritamu, baik itu diriku, atau siswa-siswi lain, ataupun tujuh miliar orang yang hidup di Bumi ini tak menyadari kalau tanggal 27 Juni sudah ketiga kalinya terulang.”

Futaba sedang menyaksikan tim bisbol berlari mengelilingi halaman sekolah. Tidak ada satu pun yang akan berusaha begitu keras untuk berolahraga jika mereka sadar kalau hal tersebut terus berlanjut selama tiga hari berturut-turut. Sebagian orang punya urusan yang lebih penting dibandingkan harus mengikuti latihan pagi.

“Mereka akan panik jika menyadari hal tersebut,” ucap Futaba. Sambil mencari sesuatu dengan ponsel pintarnya, dia menunjukkan sebuah hasil pencarian ke Sakuta. Pencariannya tertulis “27 Juni,” “Tiga kali,” dan “berulang-ulang” dan hasilnya tidak ada satu pun yang dapat menjelaskan. “Yang berarti kalau kau yang menyebabkan Sindrom Pubertas ini,” ucap Futaba.

Sebuah pemikiran yang mengerikan.

“Aku sedang tak mengidap ketidakstabilan emosi yang terkait dengan Sindrom Pubertas ataupun sedang dalam stres berat.”

Spekulasi dari orang-orang yang saling beradu argumen di internet menyalahkan kemunculan fenomena aneh tersebut sebagai Sindrom Pubertas. Teori yang paling populer menyatakan kalau Sindrom ini terjadi karena khayalan yang disebabkan oleh tekanan hidup yang tidak sesuai keinginan orang-orang tersebut. Sindrom itu digunakan sebagai sarana untuk melarikan diri dari kenyataan.

“Yah, kau mungkin tak menyadarinya.” Futaba tampaknya yakin kalau Sakuta yang menyebabkan hal ini. “Tapi siapa pun penyebabnya, Aku bisa menjelaskan interpretasi berbeda dari peristiwa yang kau alami.”

“Berbeda bagaimana?”

“Azusagawa, dari ceritamu itu kau percaya kalau kau terjebak dalam time loop (lingkaran waktu).”

“Rasanya seperti itu.”

Hal semacam ini sangat sering terjadi dalam novel fiksi ilmiah (Sci-fi).

“Kurasa jangan terlalu terpaku dengan ide dari time loop itu.”

“Kenapa tidak?”

“Kembali ke masa lalu sangat sulit untuk dilakukan.”

Futaba tidak bilang mustahil, jadi pasti ada teori yang mendukungnya.

“27 Juni yang sudah kau alami mungkin saja merupakan penglihatan masa depan yang kau lihat dari keadaanmu sebelum tanggal tersebut tiba.”

Hal itu terdengar seperti omong kosong belaka.

Sakuta ragu ia bisa memercayai omongan Futaba karena sebelumnya dia juga bilang kalau perjalanan waktu ke masa lalu sangat sulit dilakukan.

“Kau membuatnya terdengar seperti melihat ke masa depan itu hal yang mudah.”

“Hal itu lebih mungkin untuk dilakukan dibandingkan dengan perjalanan waktu ke masa lalu.”

“Sungguh?”

“Namun, saat ini kita membicarakan tentang fisika klasik yang jauh ada sebelum pengenalan mekanika kuantum.”

“Hoo boy.”

“Kau pernah mendengar tentang Iblis Laplace?”

“Aku tak pernah bertemu dengan Iblis apa pun.”

“Kalau begitu, tak bisa kujelaskan. Semua bentuk materi yang ada di alam semesta ini nilainya seimbang di bawah hukum ilmiah yang sama. Mengerti hal itu?”

“Tentu saja. Fisika dasar, kan?”

“Ya. Jika kita merubah hukum tersebut menjadi formula dan memeriksa fakta dan angka yang ada, hal tersebut akan menunjukkan ramalan masa depan ke kita.”

Hal ini terdengar sangat sederhana. Sakuta memiringkan kepalanya karena tidak mengetahui apa yang dimaksudkan Futaba.

“Maksudmu?”

“Khususnya, untuk setiap atom yang ada di alam semesta jika kita tahu posisi dan momentumnya dengan tepat---dan hasilnya dikalikan dengan massa dan kecepatan---maka persamaan dari fisika klasik tersebut akan memungkinkan kita untuk dapat mengetahui secara akurat ramalan masa depan. Hal ini masih termasuk ke dalam mata pelajaran yang diajarkan di SMA.”

Sungguh sangat menyedihkan meski dirinya seorang siswa SMA, Sakuta sama sekali tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh Futaba. Ia punya banyak pertanyaan untuk ditanyakan.

“Semua atom itu jumlahnya banyak.

“Intinya tak terbatas, kan?”

“Ya.”

“Apa mungkin kita bisa menentukan posisi dan momentum dari semua itu?”

Bahkan, mengetahui seberapa banyak butir nasi yang ada di dalam sebuah onigiri saja sudah cukup susah.

“Setidaknya, para fisikawan pada saat itu---yang ada di abad ke-19 tak bisa melakukannya. Bahkan, jika mereka bisa mengetahui posisi dan momentum dari setiap atom, menghitung persamaan dengan jumlah data sebanyak itu akan membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika waktu yang dibutuhkan untuk memeriksa semua angka yang ada di dunia ini lebih dari satu detik, maka melihat satu detik ramalan masa depan hanyalah sebuah angan belaka.”

“Aku mengerti.”

Bahkan, komputer modern tidak dapat melakukan hal yang mustahil seperti itu.

“Jadi, seorang fisikawan yang bernama Laplace memikirkan sebuah makhluk khayalan yang dapat melakukan hal mustahil ini.”

“Dan makhluk itu disebut Iblis Laplace?”

Futaba mengangguk dengan pelan.

“Iblis ini memiliki kemampuan untuk mengetahui posisi dan momentum secara instan dari setiap atom yang ada di alam semesta dan dapat menggunakan angka tersebut untuk meramal masa depan secara seketika. Dengan kata lain, Iblis Laplace dapat mengetahui segala hal yang akan terjadi.”

“Hmm.”

“Sepertinya kau tak terlalu percaya dengan omonganku.”

“Yah, bahkan jika Iblis Laplace bisa meramal masa depan, kehendak bebas (free will) kita juga tak diperhitungkan, kan? Kalau begitu apa masih bisa disebut mengetahui masa depan?”

“Ah, itu pendapat basi.”

“Tak mungkin kan kalau Iblis Laplace juga bisa meramal emosi seseorang.”

“Dia bisa,” ucap Futaba tegas.

“Huh?” Sakuta berkedip tidak percaya ke Futaba.

“Tubuh manusia terdiri dari kumpulan atom. Jika Iblis Laplace bisa mengetahui posisi dan momentum dari atom-atom tersebut, dia bisa meramal pilihan yang akan ditentukan oleh otak dan emosi yang dihasilkan.”

“Aku mengerti…tapi kuharap Aku tak pernah mendengar tentang itu.”

“Kau akan berpikir sebaliknya ketika selesai mendengar penjelasanku.”

“Sungguh? Maksudku, dari yang baru saja kau katakan, emosi juga merupakan bagian dari atom, maka jika Iblis Laplace mengetahui posisi dan momentum dari semua atom tersebut dalam seketika di saat-saat tertentu, maka dia bisa meramal segala hal yang berkaitan dengan masa depan untuk selama-lamanya.”

“Tepat sekali.”

“Kalau begitu bukannya hanya ada satu masa depan yang pasti?”

Jika seseorang memiliki data dari posisi dan momentum atom pada awalnya, maka orang itu hanya harus mengubah variabel ketika waktu berlalu, dan angka lain juga akan menghasilkan nilai yang sama. Tidak peduli di saat seperti apa seseorang itu berada, takdirnya sudah ditentukan dengan pasti, berdasarkan ramalan dari sains.

“Kau yang harus mencari tahu itu, Azusagawa? Bukannya kau itu pintar,” ucap Futaba seperti sedang memuji seorang anak kecil. “Ucapanmu itu sudah benar…berdasarkan dari apa yang sudah kita diskusikan sejauh ini.”

“Kalau begitu, tunggu dulu… Antara Aku belajar sebelum ujian atau tidak itu bukan masalah sama sekali, karena hasil dari ujian akhir minggu depan sudah ditentukan dengan pasti?”

“Bukan seperti itu juga. Nilaimu memang sudah ditentukan dengan pasti. Tapi asumsimu tentang bagian di mana kau memilih untuk belajar atau tak belajar itu belum ditentukan. Sebenarnya, pilihan yang kau buat juga sudah ditentukan dengan pasti.”

“Mm. Oh. Benar juga.”

Itulah arti dari seluruh masa depan yang sudah ditentukan.

“Setelah mendengar penjelasanku, kau berpikir kalau, ‘jika masa depan sudah ditentukan, maka tak ada gunanya untuk bekerja keras,’ kan?”

“Jadi, maksudmu Iblis Laplace sudah tahu bagaimana tanggapanku mengenai penjelasanmu itu?”

“Tepat sekali.”

Ini sangat rumit, tetapi Sakuta kira ia bisa mengerti.

Tetapi kalau begitu berarti…

“Takdir kita sudah ditentukan.”

Sangat suram.

“Apa kau lupa dengan apa yang baru saja kukatakan?”

“Kau sangat senang ketika Kunimi berbicara denganmu pagi ini?”

“Mati saja kau.”

“Uh…bagian di mana kalau Iblis ini muncul sebelum pengenalan mekanika kuantum?”

“Jika kau mengingatnya, jangan jadi menyebalkan.”

Futaba menatapnya dengan cemberut. Dia biasanya begitu pendiam, jadi rasanya aneh melihat sikapnya yang kekanak-kanakan.

“Aku sudah menjelaskan tentang Kucing Schrödinger sebelumnya, kan?”

“Dimana kita tak tahu jika kucing tersebut hidup atau mati sebelum kotaknya di buka?”

Ini terjadi ketika Sakuta berbicara dengan Futaba sekitar sebulan yang lalu, ketika ia mencari tahu cara untuk menangani gejala Sindrom Pubertas yang dialami oleh Mai.

“Aku terkesan kau mengingatnya sampai sebanyak itu.”

“Jangan ragu untuk sering-sering memujiku.”

Futaba mengabaikannya.

“Dalam dunia mekanika kuantum, posisi dari partikel seperti atom hanya sebuah kemungkinan belaka. Aku menjelaskan hal itu padamu, kau ingat?”

“Kedengaran tak asing. Satu-satunya cara untuk memastikan posisi pastinya adalah dengan melihatnya langsung, kan?”

“Ya. Karena observasi adalah kuncinya, kau harus menyinarkan cahaya ke partikel-partikel atom tersebut agar bisa dilihat.”

Futaba mengeluarkan sebuah senter dari laci dan mengarahkannya ke bola bisbol yang ditaruh di atas meja.

“Sekarang kita tahu di mana posisi partikel atom tersebut?”

“Ya. Tapi, partikel-partikel atom itu sangat sangat kecil, jadi jika kau mengarahkan cahaya dengan ukuran yang sama dengan mereka, hal itu akan merubah kecepatan dan arah partikel tersebut.”

Futaba menggelindingkan bola itu. Dengan terjatuh dari meja, memantul dua kali, menabrak kaki kursi, dan kemudian berhenti.

“Dengan kata lain, menentukan posisi partikel atom akan mengubah kecepatannya. Agar dapat menentukan momentum sebuah partikel dengan tepat---yang mana termasuk dari kecepatannya itu sendiri---posisinya juga akan berubah berdasarkan kisaran jarak dari momentum. Tak mungkin bisa mengetahuinya secara bersamaan.”

“Terdengar merepotkan.”

“Untungnya, mekanika kuantum dapat membantah Iblis Laplace dan membuktikan kalau masa depan tak mungkin sudah ditentukan secara pasti. Lega mendengarnya?”

Jujur saja, tidak juga. Sakuta masih tidak terlalu mengerti tentang hal-hal yang berbau kuantum dan jika ia tidak memahaminya. Akan sangat sulit untuk merasa lega.

“Tapi mekanika kuantum itu dari sudut pandang manusia, kan?”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu…”

Futaba langsung memotong ucapannya.

“Aku tahu apa yang kau pikirkan, Azusagawa. Jika Iblis Laplace merupakan makhluk yang berada di luar nalar manusia, maka mungkin saja dia bisa mengetahui baik posisi dan momentum secara bersamaan.”

Futaba melirik ke arah Sakuta untuk melihat apakah ucapannya benar.

“Yeah, itu yang mau Aku katakan.”

“Yah, ini semua bergantung padamu tentang seberapa kuat Iblis ini,” ucap Futaba seakan hal itu merupakan inti dari pembicaraan ini.

Jadi Futaba mau bilang kalau Sakuta sendiri yang menjadi Iblis Laplace.

“Maaf saja, tapi Aku bukan Iblis seperti yang kau katakan.”

“Berhati-hatilah agar tak ada seorang pun yang membedahmu.”

“Aku akan baik-baik saja selama kau tak melaporkanku ke ilmuwan gila.”

“Kita mungkin tak akan bertemu lagi.” Futaba menatap ke arah ponselnya. “Jika kau sangat yakin kalau bukan dirimu yang menyebabkannya, maka kau hanya harus mencari Iblis Laplace yang asli.”

“Di mana Aku bisa menemukannya?”

Pelajaran fisika di kelas masih belum membahas cara menemukan iblis tersebut.

“Sama seperti dirimu, Iblis itu akan mengingat kalau dia juga mengulang tanggal 27 Juni ini dan jika Iblis itu memang mengingatnya ada kemungkinan besar kalau tingkahnya akan berbeda dibandingkan 27 Juni sebelumnya, kurasa.”

“Ohhh…Aku mengerti.”

Ucapan Futaba ada benarnya. Siapa pun yang menyadari kalau hal aneh sedang terjadi akan mencoba untuk melakukan sesuatu dengan hal ini. Orang itu kemungkinan akan bertingkah untuk mengubah kemungkinan yang ingin dihindari atau setidaknya sedang kebingungan dengan situasinya saat ini.

Tetapi saat ini Sakuta tidak punya petunjuk apa pun. Dari mana ia akan mulai mencari?

Sebelum ia bisa bertanya, bel sekolah berbunyi. Bimbingan pagi akan dimulai dalam lima menit. Akan sangat menjengkelkan jika ia terlambat setelah tiba di sekolah sepagi ini.

Sakuta menggantungkan tasnya di bahu dan berdiri. Ia mencoba membantu Futaba untuk beres-beres, tetapi dia menyuruhnya pergi, “Duluan saja.”

“Baiklah. Kalau begitu…makasih!”

Saat Sakuta hendak meninggalkan lab sains, sebuah ide muncul di benaknya. Ia berhenti di pintu masuk lab.

“Oh, iia…Futaba.”

“Apa?”

“Jika Aku mengulang hari ini lagi, haruskah Aku mencegahmu bertemu dengan Kunimi pagi ini?”

Jika Sakuta melakukannya, mungkin Futaba tidak akan memulai hari dengan terlihat murung.

“……”

Futaba berpikir sejenak. Lalu…

“Urus saja urusanmu sendiri,” ucapnya sambil tersenyum. “Untuk saat ini, Aku ingin mengurus ini dengan usahaku sendiri.”

“Jika kau butuh bantuan, bilang saja padaku.”

“Yeah. Kau berutang banyak padaku, jadi kupastikan agar kau membayar semua utang itu.”

“Akan kubayar dengan bunga-bunganya.”

Dengan melihat senyum sinisnya sekali lagi, Sakuta meninggalkan lab.




[1] [Nananotes: Chuunibyou merupakan perilaku siswa-siswi SMP tahun kedua (kelas 8 atau kelas 2 SMP) yang mengkhayal atau berdelusi memiliki suatu kekuatan supranatural seperti di Anime atau Manga dalam diri anak tersebut. Kata chuunibyou berasal dari kata Chuugakkou ni-nen yang berarti 'kelas 2 SMP' dan Byou yang berarti 'penyakit']
[2] [Nananotes: Kounibyou penyakit delusional atau khayalan yang muncul di 'kelas SMA', dari kata Koukou untuk 'SMA' dan ni-nen untuk 'kelas 2'.]