cover jilid 2

Hari Esok yang Tak Kunjung Datang untuk Si Berandal
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta Azusagawa terbangun di tanggal 27 Juni untuk kedua kalinya.


“Dan kemenangan besar untuk Timnas bola Jepang!” ucap pembawa berita tersebut dengan gembira.

“Selamat pagi. Hari ini adalah Hari Jum’at, tanggal 27 Juni. Berita utama kami kali ini adalah hasil pertandingan Timnas bola Jepang malam tadi.”

TV yang ada di ruang tamu sedang menayangkan siaran utama dari pertandingan Piala Dunia, yang saat ini sedang diadakan di belahan barat bumi. Menampilkan sebuah cuplikan dari pertandingan kedua untuk babak penyisihan grup yang dilaksanakan saat tengah malam dalam waktu standar Jepang.

Timnas bola Jepang tertinggal satu skor untuk sementara di pertengahan babak pertama. Saat babak pertama hampir berakhir, salah seorang pemain Jepang (nomor punggung sepuluh) sedang menggiring bola saat seorang pemain lawan di barisan pertahanan melakukan sliding tackle yang agresif untuk merebut bola dan membuat pemain Jepang tersebut terjatuh. Suara peluit dapat terdengar ke seluruh tribun di stadion itu. Yang akhirnya, membuat Timnas bola Jepang mendapatkan kesempatan untuk melakukan tendangan bebas tepat di luar kotak penalti.

Pemain dengan nomor punggung empat mempersiapkan tendangan tersebut dan mundur dua langkah untuk mengambil ancang-ancang.

Suasana tegangnya dapat terlihat dengan jelas.

Sakuta Azusagawa menyaksikan hal ini dengan rasa was-was.

“Aku pernah melihat ini sebelumnya…,” gumamnya.

Bukan saat tayang langsung di tengah malam. Sakuta melihat siaran berita yang sangat persis dengan sekarang ini…kemarin pagi. Ia tahu kalau pemain jepang yang bernomor punggung empat akan melakukan tendangan bebas tersebut, kiper lawan akan salah mengira arah dari bola tersebut, dan bolanya akan melambung ke kanan gawang.

Sakuta yang menyaksikan itu menelan ludahnya. Pemain dengan nomor punggung empat itu berhasil mencetak gol persis seperti yang ia ingat.

Wajah-wajah di tim lawan terlihat murung saat mereka menggigit bibir mereka karena kesal dengan tim lawan yang berhasil menyamakan kedudukan. Di lain hal, pemain dengan nomor punggung empat sedang merayakan tendangan bebasnya yang berhasil mencetak gol. Seluruh rekan setimnya mengerubungi dirinya dan menyuarakan keberhasilannya bersama-sama.

Timnas bola Jepang menggunakan momentum tersebut untuk mencetak satu gol lagi di tengah-tengah babak kedua. Mereka berhasil mempertahankan keunggulan tersebut dan memenangkan pertandingan itu.

Sakuta menyaksikan hasil yang sama tersebut dengan ekspresi wajah muram dan berjalan ke kamarnya, mencoba melupakan pertanyaan-pertanyaan yang membanjiri pikirannya. Ia melihat jam digital di samping tempat tidurnya dan layar jam tersebut menunjukkan sebuah tanggal.

27 Juni.

Tanggal yang sama yang diumumkan oleh pembawa berita di TV.

“Kenapa bisa…?”

Sakuta sangat yakin kalau hari ini seharusnya tanggal 28 Juni. Kemarin, baik di TV maupun jam digitalnya jelas-jelas menunjukkan tanggal 27 Juni. Hal ini berarti kalau hari ini adalah kemarin dan kemarin adalah hari ini.

“…Ahhh, Aku mengerti. Pasti ini cuma mimpi.”

Sakuta kembali menjatuhkan dirinya ke kasur, menarik selimutnya, dan kembali tidur.

Jika hari ini adalah kemarin, ia bisa saja tidur untuk menunggu hari esok tiba.

Tetapi tidak lama setelah menutup matanya, pintu kamar tidurnya terbuka.

“Kukira onii-chan sudah bangun!” ucap Kaede, sang adik perempuan.

Langkah kakinya kian mendekat.

Onii-chan tak boleh kembali tidur! Bangun!”

Kaede mulai mengguncang badan Sakuta.

“Aku mau tidur sampai besok.”

Onii-chan tak sekolah?”

“Tidak.”

“Kalau begitu Kaede mau tidur bareng!”

Kaede meraih selimut dan mencoba untuk tidur di sampingnya.

“Yah, lebih baik Aku bangun,” ucap Sakuta sambil duduk.

“Huh? Sudah selesai?”

Sakuta terbangun dari kasurnya saat piama panda Kaede memasuki selimutnya. Mencoba melarikan diri dari kenyataan juga tidak akan berhasil baginya. Sakuta kembali berjalan ke ruang tamu.

Berita pagi yang ada di TV masih membicarakan tentang sepak bola.

Setelahnya, Kaede juga mengikutinya.

“Hei, Kaede…”

“Ya?”

“Mungkin pertanyaanku ini terdengar aneh.”

“Um…seperti hal mesum?”

“Bukan.”

Onii-chan, jangan hanya memikirkan hal-hal mesum!” ucap Kaede. Dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan, menggeliat dan menolak untuk mendengarnya.

“Kita melihat berita yang sama seperti ini kemarin, kan?”

“…Berita bola ini?” tanya Kaede sambil mengintip dari celah-celah jarinya.

“Ya.”

“Um…kurasa tidak.”

Dia sepertinya tidak tahu apa yang dimaksud oleh Sakuta. Alis Kaede mengerut karena penasaran.

“Itu yang kutakutkan…Kalau begitu, kau tak perlu mengkhawatirkannya.”

Sakuta merasakan sebuah firasat buruk. Sebuah firasat di mana kau tahu kalau kau sedang dalam masalah.


Dengan mengetahui kalau ada sesuatu yang salah, ia menyantap sarapannya dengan Kaede. Tanpa ada sebuah penjelasan yang dapat memecahkan kekhawatirannya, Sakuta memutuskan untuk pergi bersekolah.

Mungkin ia akan mengetahuinya jika meninggalkan rumahnya.

“Hati-hati di jalan!” ucap Kaede dengan tersenyum.

Ia turun dari lift di lantai pertama, mengambil napas dalam-dalam, dan mulai berjalan ke arah stasiun kereta.

Sakuta menaruh perhatian lebih ke sekelilingnya hari ini. Ia berjalan melewati pemukiman warga yang dipenuhi oleh gedung-gedung apartemen dan perumahan. Ia melewati taman, menyeberangi jembatan, dan sampai di sisi jalan raya. Saat berjalan mendekati stasiun kereta, gedung-gedung tinggi mulai bermunculan; hotel bisnis, toko elektronik, dan lain-lain.

Tidak ada yang aneh pikirnya. Terdapat gerombolan orang yang mengarah ke arah stasiun kereta yang sama dengannya dan para ibu rumah tangga yang sedang membuang sampah. Serta, seorang pria yang bekerja di toko bunga sedang menyapu depan tokonya.

Setelah sepuluh menit berjalan kaki, ia sampai di Stasiun Kereta Fujisawa yang ada di jantung kota Fujisawa di Prefektur Kanagawa. Kerumunan pekerja kantoran dan siswa-siswi yang melakukan perjalanan hariannya dapat terlihat. Para karyawan yang harus transit ke Jalur Tokaido, siswa-siswi yang bergegas melewati gerbang tiket Odakyu. Kerumunan kecil orang yang sama seperti Sakuta, berjalan melewati jalan penghubung ke Stasiun Kereta Api Listrik Enoshima (Enoden).

Tidak ada satu pun orang yang terlihat kebingungan ataupun panik. Semua orang saling bertingkah seperti biasanya. Tidak ada satu pun yang berdiri di luar garis pengaman. Hanya Sakuta yang melihat ke sekelilingnya, melihat kerumunan tersebut.

“Apa cuma Aku saja…?”

Ketika ia melewati gerbang tiket Stasiun Enoshima, kemungkinan tersebut semakin menjadi kenyataan.

Sebuah kereta tiba beberapa menit kemudian. Dengan empat gerbong pendek yang bergaya retro. Bel keberangkatan berbunyi, pintu gerbong menutup, dan kereta tersebut mulai melaju di jalurnya.


Setelah kereta tersebut melaju selama 15 menit, Sakuta tiba di Stasiun Shichirigahama yang tepat berada di tepi pantai. Ia hanya perlu berjalan beberapa menit dari stasiun itu untuk tiba di sekolahnya, SMA Minegahara.

Kumpulan siswa-siswi dengan seragam yang sama mulai membanjiri stasiun tersebut. Ketika mereka keluar dari gerbong kereta, mereka dapat mencium aroma laut. Musim panas hampir tiba, dan dalam waktu sepuluh hari dari hari ini, pantai akan terbuka untuk para pengunjung. Pantai tersebut akan dipenuhi oleh wisatawan lokal yang berkunjung.

Sakuta melirik ke arah laut dan melihat kumpulan peselancar angin sedang memanfaatkan hari yang cerah di musim hujan ini.

Semuanya sama seperti sebelumnya. Tidak ada hal aneh yang terjadi.

Perjalanan singkat dari stasiun dipenuhi oleh suara siswa-siswi yang saling berbincang. Beberapa siswa kelas satu yang saling bercanda. Siswi kelas tiga yang sedang sibuk membaca buku pelajarannya. Sekelompok gadis yang berbincang dengan riangnya membicarakan tentang karaoke yang mereka lakukan kemarin.

Semuanya sama persis seperti yang ia alami sebelumnya.

Tidak ada satu pun orang yang mengucapkan, “Bukannya kita sudah melewati hari ini?” “Ah, benarkan! Aku kan bilang begitu tadi” “Serius? Aku jadi takut.” Kenapa mereka tidak mengucapkan hal seperti itu?

Hanya Sakuta sendiri yang merasa terjebak di dalam sebuah mimpi, merasa kebingungan karena hari ini tanggal 27 Juni untuk kali kedua baginya.


Ia melewati gerbang sekolah dan saat ia menuju ke pintu masuk, salah satu dari dua temannya, Yuuma Kunimi, memanggilnya.

“Yo, Sakuta. Rambut bangun tidurmu itu sangat memukau seperti biasa.”

Kunimi menghampirinya setelah selesai latihan pagi untuk klub basket, dengan mengenakan celana olahraga pendek selutut dan sebuah kaus oblong. Banyak siswa yang menjalani kelas mereka dengan pakaian seperti itu, dengan tidak mengganti pakaian mereka dengan seragam biasanya sampai sekolah usai. Kunimi adalah salah satunya.

“Gaya rambutku ini sangat populer akhir-akhir ini.”

“Gayamu sangat kekinian sekali.”

Kunimi tertawa seperti biasanya---tapi Sakuta mengingat betul percakapan ini. Mereka membicarakan hal yang sama persis seperti kemarin di dalam ingatan Sakuta.

“……”

“Ada yang aneh, Sakuta?”

“……Tidak.”

“Kau yakin?”

“Wajah tampanmu itu sangat menggangguku.”

“Huh? Ini lagi?”

Masih tidak menerima kalau ia mengulangi tanggal 27 Juni untuk kedua kalinya, Sakuta menyindir Kunimi dan berjalan ke kelasnya.

Kelas pagi diisi oleh Matematika, Fisika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Jepang Modern. Semua mata pelajaran tersebut mencakup isi pelajaran yang sama seperti yang Sakuta pelajari kemarin. Ucapan guru Matematika tentang, “Anak-anak, yang ini akan muncul di ujian nanti,” guyonan dari guru Fisika, ucapan guru Bahasa Inggris, “Azusagawa, dengarkan bapak!” dan noda lipstik di kerah guru Bahasa Jepang Modern sangat sama persis dengan yang Sakuta ingat kemarin.

Seiring berjalannya waktu, kecurigaan Sakuta mulai menjadi nyata.

Aku sangat yakin kalau sudah mengalami ini kemarin…tapi hanya Aku yang mengingatnya.

Itu saja sudah membuat hari-hari biasa sekolah menjadi mimpi buruk.

Apa dunia ini sudah gila? Atau hanya Sakuta?

“Nah…sudah pasti dunia ini yang berubah.”

Kelima indranya berfungsi dengan baik dan semuanya terasa nyata. Ia hanya tidak bisa menemukan bukti yang menunjukkan kalau ini semua cuma mimpi.

Lalu, jam makan siang tiba.

“Jika sekarang itu kemarin, lalu…”

Sakuta berjanji akan bertemu dengan seseorang dan ia pikir hal ini patut dicari tahu. Kemudian, ia bangkit dari tempat duduknya.


Sepuluh menit kemudian, Sakuta duduk di ruang kelas kosong di lantai tiga. Jendela ruang kelas tersebut menawarkan pemandangan lautan luas. Yang duduk berseberangan dari tempat duduknya adalah Mai Sakurajima, seorang siswi kelas tiga.

Dengan wajah rupawan nan cantik jelita bak selebriti---karena memang itu pekerjaan Mai. Dia sudah bekerja sebagai aktris sejak masa kanak-kanaknya dan terkenal di seluruh penjuru negeri. Dalam dua tahun terakhir, dia sedang menjalani masa hiatus dan belum lama ini dia mulai menerima tawaran pekerjaan lagi sebagai aktris.

Dan inilah dia, sedang duduk berseberangan dari Sakuta sambil menaruh bekal makanan yang dibuatnya sendiri di meja. Bekal makanan yang sama yang dimakan oleh Sakuta sehari sebelumnya.

Ayam karaage, tamagoyaki, salad hijiki dengan tambahan keledai, salad kentang dan tomat ceri.

Ia mencicipi masing-masing makanan tersebut dengan sumpitnya. Bumbunya tidak terlalu kuat, tetapi rasanya yang lembut menambah cita rasanya. Bentuk dan rasanya sama persis seperti yang Sakuta ingat.

“……”

Sebenarnya apa yang terjadi? Ia benar-benar tidak mengerti.

“Kurang enak?”

“Mm?”

Sakuta melihat ke arah Mai dengan wajah yang terbilang kesal. Mai bahkan tidak menyembunyikan ekspresi kekesalan di wajahnya itu.

Ia begitu memikirkan tentang apa yang sedang terjadi hingga melupakan pujian untuk bekal makan siang Mai. Sakuta sudah pernah memakannya sebelumnya, jadi ia melupakannya kali ini.

“Ini sangat enak!”

“Wajahmu berkata lain.”

“Sumpah! Aku sampai ingin memakannya setiap hari.”

“Lamaran pernikahan dari zaman Showa seperti itu tetap tidak akan menyelamatkanmu. Kau sedang memikirkan hal lain saat sedang memakan bekal yang kubuat, kan?”

Mai sangat peka dengan hal-hal seperti ini.

“Aku sedang memikirkan betapa bahagianya diriku ini bisa memakan bekal buatanmu, Mai-san.”

Sakuta merasa kalau belum saatnya untuk menceritakan hal ini kepadanya. Sakuta sendiri masih tidak begitu yakin dengan apa yang sedang terjadi. Menjelaskan hal itu ke Mai meski dirinya sendiri masih belum begitu yakin hanya akan memberinya alasan untuk khawatir.

“Hmph.”

Mai sepertinya masih belum terlalu percaya dan memastikan kalau Sakuta mengetahui hal itu.

“Mai-san, boleh Aku bertanya suatu hal yang aneh?”

“Berhubungan dengan hal mesum?”

Kaede juga memberikan jawaban yang sama. Apa yang telah Sakuta lakukan hingga ia mendapatkan reputasi seperti ini?

“Aku tidak akan memberitahumu warna celana dalamku,” tambahnya

“Aku lebih suka membayangkannya, jadi tak apa.”

“Wow. Dasar mesum.”

Sakuta sedang bercanda, tetapi Mai sepertinya bener-benar merasa jijik.

“Jadi, hal aneh apa yang mau kau tanyakan?”

“Aku ini seperti apa di matamu?”

“Hanya kohai yang licik,” balasnya langsung. Mai juga memastikan kalau dia menekankan kata hanya jadi Sakuta bisa menyadarinya.

“…Oh. Kalau begitu, kau ini seperti apa di mataku?”

“Orang yang ditaksir secara sepihak. Wanita cantik yang ramah---seorang senpai yang dikagumi oleh semua orang.”

“Benar sekali,” ucap Sakuta sambil memakan sepotong tamagoyaki yang ia kunyah untuk sementara waktu.

Keadaannya benar-benar buruk karena hubungannya dengan Mai benar-benar kembali seperti sediakala. Meskipun Mai setuju untuk berpacaran dengan Sakuta kemarin.

Mereka seharusnya sepasang kekasih sekarang ini! Stasusnya yang hanya sebagai kohai licik membuat Sakuta muram.

Tetapi jika fenomena aneh ini akan merusak hubungannya, ia hanya harus melawannya. Buat Mai agar setuju untuk berpacaran dengannya lagi.

Ia tidak bisa membiarkan fenomena aneh ini membuat murung dirinya. Menyerah bukanlah suatu pilihan.

“Jadi, kenapa menanyakan itu?” tanya Mai yang cemberut.

“Aku ingin memastikan hubungan kita saat ini sebelum menjelaskannya lebih lanjut.”

Sakuta mencoba mengelak dan ia rasa hal itu terdengar meyakinkan. Karena ia tidak berbohong, dirinya benar-benar sedang mencari informasi tambahan dari situasinya saat ini.

“Terdengar mencurigakan.”

Mata Mai menyipit, dan dia menatap Sakuta dengan curiga.

“Selain itu, Mai-san…

“Jangan ubah topiknya.”

Sakuta tetap melanjutkan ucapannya seolah-olah ia tidak mendengarkan ucapan Mai barusan. “Aku mencintaimu. Apa kau mau berkencan denganku?”

Sakuta menatap langsung ke mata Mai.

“Kubilang, jangan ubah topiknya.”

“Aku lebih suka jika kau tak mengabaikan pertanyaan penting tadi.”

“Aku sudah mendengarnya sebelum ini,” keluhnya dengan bosan.

“Oh…Aku ditolak? Kalau begitu, Aku perlu mencari orang lain.”

“Ap…?”

“Terima kasih untuk semuanya.”

Sakuta menundukkan kepalanya dan mengeluhkan patah hatinya.

“A—aku tidak bilang kalau menolakmu! Kenapa kau menyerah begitu?” tanya Mai sambil menatapnya dengan sinis.

“Kalau begitu, kau menerimanya?”

“Urgh…Kau sangat lancang.”

“Jadi?”

Sakuta terus mendesaknya dan hanya perlu sekali lagi.

“……Mm,” ucapnya sambil mengangguk dengan nada bicara yang terbilang kecil seperti sedang berbisik. “Aku mau.”

Seakan seperti sedang menutupi rasa malunya, Mai cepat-cepat memakan sepotong tamagoyaki. Tingkahnya sangat imut, pikir Sakuta. Sebuah perasaan tiba-tiba muncul dari dalam diri Sakuta.

“Mai-san!”

“Ap-apa?”

“Aku boleh memelukmu?”

“Kenapa?”

Mai menatapnya dengan curiga.

“Kau sangat imut barusan.”

“Kalau begitu tidak. Tidak akan.”

“Aww.”

“Kurasa kau tidak hanya ingin memelukku. Tidak ada orang waras yang akan mau menuruti permintaanmu itu!

Sisa waktu mereka berdua dihabiskan dengan omelan Mai.


Ketika bel sekolah berbunyi, kencan makan siang mereka berakhir dan keduanya kembali ke kelas mereka masing-masing.

Dalam perjalanan kembali ke kelasnya, Sakuta melihat sosok gadis yang dikenalnya di tangga sekolah. Gadis tersebut memiliki rambut bob pendek yang sangat kekinian. Riasan natural di pipinya, dengan memakainya sedikit---sudah cukup untuk menonjolkan ekspresi wajahnya.

Tomoe Koga.

Dia setahun di bawah Sakuta---seorang kohai---dan sebulan lalu dia salah mengira Sakuta sebagai penculik. Memang pertemuan pertama yang tidak terlupakan, jadi Sakuta mengingat namanya. Saat Sakuta sedang mencoba membantu gadis kecil yang terpisah dari ibunya. Sebuah iktikad baik dari Koga malah berakhir dengan tendangan ke tulang ekornya sambil meneriakkan, “Mati sana, dasar pedofil mesum!”

Namun, orang yang sama sekarang ini dengan patuhnya menundukkan kepalanya. Saat Sakuta lihat lebih dekat, ia melihat kalau Koga sedang bersama dengan seseorang. Seorang siswa laki-laki yang bertubuh tinggi. Tubuhnya terbilang kekar---kemungkinan besar ia seorang atlet. Dengan rambut berwarna cokelat, uwabaki yang tidak dikenakan dengan sebagaimana mestinya. Dari kemeja yang dipakainya, kemungkinan ia siswa kelas tiga dan wajahnya juga cukup tampan.

“Maesawa-senpai…Ad-ada perlu apa?” tanya Koga dengan tampak gugup.

Maesawa pasti nama siswa itu.

“Jadi, uh…apa kau ingin berkencan denganku?”

“Huh?!”

“Kau tak mau?”

“Y-yah…er, um…boleh kupikir-pikir dulu?” Koga terdengar putus asa.

“Baiklah. Santai saja!” Maesawa mengatakannya dengan entengnya. Ia berjalan menaiki tangga.

“Aku tahu kalau dia populer…karena dia memang sangat imut.”

Biasanya, Sakuta akan mengejeknya tetapi hari ini ia merasa ingin merayakan keberuntungan semua orang. Lagi pula, ia akhirnya menjadi sepasang kekasih dengan Mai.

“Sekarang…Aku hanya perlu memastikan kalau esok akan tiba.”

Ini yang menjadi perhatian terbesar Sakuta.

Karena ia tidak tahan membayangkan jika harus mengulang hari ini lagi, Sakuta mengetes firasatnya…

…dan begadang semalaman.

Karena ia terbangun dan menyadari kalau harinya terulang, jadi, apa yang akan terjadi jika ia tidak tidur? Ia tidak akan tidur sampai hari esok tiba.


Sesaat setelah pukul 2 pagi, Sakuta mencoba menahan kantuknya dan menyalakan TV untuk menghabiskan waktu. Pertandingan sepak bola sedang disiarkan di layar TV tersebut. Dengan seragam berwarna biru tua dan lambang Samurai. Timnas bola Jepang sedang bermain di babak penyisihan Grup A.

“Serius? Dua hari berturut-turut?”

Bahkan jika jadwal Piala Dunia itu padat, setidaknya mereka dapat istirahat selama 3 hari selama perhelatan tersebut berlangsung.

“Mm?”

Ada sesuatu yang ganjal pikirnya.

Saat pertandingannya berjalan, Sakuta akhirnya menyadarinya.

“Aku pernah melihat ini sebelumnya…”

Pertandingan sudah memasuki akhir babak pertama. Pemain dengan nomor punggung sepuluh sedang berada di tengah lapangan, mendapat umpan dari rekan setimnya, dan menggiring bola dengan cepat ke wilayah lawan. Ia berhasil melewati dua pemain pertahanan dan terkena sliding tackle dari arah belakang. Peluit wasit bertiup dan Timnas bola Jepang mendapatkan tendangan bebas tepat di luar kotak penalti.

Hal yang sama yang ia lihat di siaran utama dari berita pagi ini. Tetapi kali ini, di ujung layar TV tertulis SIARAN LANGSUNG. Apa yang ia lihat saat ini adalah siaran satelit, yang mengartikan kalau pertandingan ini sedang terjadi saat ini juga di belahan bumi barat.

“…Haaaa, ha-ha, lelucon yang bagus.”

Ia berlari menuju kamarnya dan memeriksa jam digitalnya. Layarnya menunjukkan pukul 2:10 pagi dan di sampingnya tertulis…27 Juni.

“……”

Sakuta menganggap kalau sekarang ini sudah tanggal 28 Juni…tapi sepertinya ia terjebak di tanggal 27 Juni LAGI.

Saat ia kembali ke ruang tamu, ia melihat jalannya pertandingan. Peluit wasit dibunyikan, dan pemain bernomor punggung empat dipilih untuk menendang bola tersebut.

Bola itu memasuki gawang…atau, tidak, tendangan yang keras itu membentur mistar gawang. Seorang pemain yang bertubuh tinggi di tim lawan mengambil kesempatan itu dan Timnas bola Jepang gagal mencetak gol.

“Huh? Apa?”

Bukan ini hasil yang ia harapkan. Sakuta mengingat sebuah percakapan yang ia lakukan dengan temannya, Rio Futaba.


“Jadi, ini seperti ketika Timnas bola Jepang sedang bertanding dan yang kulihat hanya skor akhir di berita kalau mereka menang, tapi ketika Aku menonton langsung saat mereka bertanding, mereka akan selalu kalah?”

“Demi Timnas bola Jepang, kau sebaiknya jangan pernah menonton langsung pertandingan mereka Sakuta. Serius, jangan pernah.”


Ia sangat yakin kalau pernah membicarakan tentang bagaimana suatu pengamatan dapat menyebabkan hasil yang berbeda.

“Tak mungkin. Ini bohong, kan?”

Dengan Sakuta yang menyaksikan pertandingannya, tidak mungkin kalau dirinya yang menyebabkan Timnas bola Jepang mengalami kekalahan.

Sambil hampir berdoa, Sakuta menyemangati Timnas bola Jepang sampai pertandingan itu berakhir. Tetapi mereka tidak berhasil mencetak satu angka pun ke gawang lawan sampai babak pertama berakhir dan hasil akhirnya adalah skor 1-0, kemenangan untuk tim lawan.

Pembawa berita olahraga tersebut merangkum beberapa momen yang bisa membalikkan keadaan tetapi akhirnya menunjukkan kelemahan Timnas bola Jepang yang begitu jelas---mereka tidak mampu untuk memanfaatkan peluang tersebut di saat-saat terpenting.

Jika mereka ingin berhasil lolos dari babak penyisihan grup, Timnas bola Jepang benar-benar harus memenangkan pertandingan berikutnya. Komentator tersebut memperjelas betapa buruk situasinya.

“Besok…,” ucap Sakuta. “Ah tidak, hari ini…atau, kurasa, kemarin? Aku benar-benar harus membicarakan hal ini ke Futaba.”

Untuk saat ini, ia duduk sendirian di ruang tamu saat tengah malam sambil memegangi kepalanya.