Pembuangan

(Penerjemah : Hikari)


Setelah dipanggil, mereka diberikan perlakuan yang cukup baik karena merupakan teman Puteri Miko. Asahi, yang dinyatakan sebagai Puteri Miko, menjalani hidup mewah seperti yang Raja janjikan. Dia mendapat kamar yang sangat luas, seorang pelayan pribadi, dan begitu banyak gaun cantik dan permata; apapun yang dia inginkan, diberikan padanya. Ruri diperlakukan jauh berbeda, tapi karena Ruri disediakan makan setiap hari di kamarnya sendiri dan keperluan paling sederhananya, dia tidak pernah merasa iri dengan apa yang Asahi dapatkan.

Lagipula, perbedaan dalam hal kedua gadis ini diperlakukan belum benar-benar dimulai. Dalam peralihan peristiwa yang bisa diperkirakan, Asahi mulai mengumpulkan pengikut bahkan di tempat ini, di dunia lain.


Ini kemungkinan besar terdorong oleh dirinya yang dipuji-puji sebagai sang Puteri Miko—orang yang akan membawa kemakmuran bagi negeri ini. Ruri secara pribadi berpegang pada harapan kecil bahwa karena mereka ada di dunia lain, maka akan ada seseorang yang memiliki kekuatan mental yang tangguh untuk tidak terbawa oleh tipu muslihat Asahi, tapi harapan-harapan itu dengan cepat dan kejam hancur berkeping-keping.

Berhadapan dengan situasi ini, Ruri menyadari kalau dia harus secepatnya belajar tentang pengetahuan umum dan kebudayaan dunia ini kemudian keluar dari istana dan memulai kehidupannya sendiri. Untuk itu, dia menghabiskan waktunya setiap hari belajar tentang bahasa tertulis negara ini. Dia tadinya berharap karena bahasa lisan dunia ini sama dengan bahasanya makanya dia akan bisa membacanya juga, meski sayangnya tidak seberuntung itu; dunia ini terbukti sangat keras.

Selain itu, sayangnya, bahkan setelah datang ke dunia yang begitu berbeda dengan dunianya, Asahi masih menempel pada Ruri seperti lem. Kapanpun Ruri belajar, Asahi akan selalu datang mengganggunya,nyaris sepanjang waktu.

“Ya ampun, kau belajar lagi, Ruri-chan~ Kau tidak perlu buang-buang waktu belajar dengan kita di sini di dunia yang berbeda ini, lho. Ayolah, kita bersenang-senang.”

“Aku melakukannya karena aku butuh.”

(Aku belajar justru karena aku ada di dunia lain. Kau sendiri harusnya juga banyak membuka buku. Lagipula, tidak yakin apakah karena orang itu dipengaruhi olehmu, tapi untuk seorang “pangeran”, orang ini benar-benar tidak punya kesabaran sama sekali!)

Di belakang Asahi adalah sang Pangeran, memelototi Ruri dengan kebencian seperti yang dilakukan para pengikut Asahi di masa lalu, bersama dengan keempat teman sekelas yang dipanggil ke dunia ini bersama dengannya.

Kelihatannya Pangeran telah dicuci otak juga, dan dengan Asahi yang datang menemui Ruri terus-menerus, pria itu merasa keberadaan Ruri sangatlah memuakkan. Gadis itu telah membuat marah seorang pangeran yang memegang kekuasaan besar di negara ini. Meskipun Ruri dapat meringis menahan sedikit perlakuan kasar, dia diam-diam merasa takut hal ini akan menjadi sesuatu yang lebih besar. Walau begitu, dia tidak pernah membiarkan rasa takut itu muncul di wajahnya.

“Hahah, Puteri Miko dan Nona Ruri, hubungan kalian berdua benar-benar akrab.”

“Tentu saja, kami sudah bersahabat sejak kecil!”

(Sama sekali tidak, sialan.)

Ruri dalam hati meneriakkan penyangkalan yang sama untuk kesekian kalinya. Mau tidak mau melihat Pangeran yang menatapnya tajam setajam belati sementara Asahi yang sama sekali tidak sadar diri dengan semua itu membuat Ruri ingin melengos kesal, tapi dia menahan dorongan hati tersebut.

Pada akhirnya, sesuatu memang terjadi; ketakutan terbesar Ruri menjadi kenyataan.

Saat bangun di pagi hari, dia mengenakan gaun berlengan panjang dan sepatu botnya yang sudah dia pakai sejak datang ke dunia ini.

Orang-orang istana ini telah menyiapkan baju untuk mereka pakai, tapi pola hiasan dan desain bajunya yang amburadul di sini sangatlah berlebihan bagi Ruri, dan dia tidak ingin memakainya. Walau begitu, Asahi dan teman sekelasnya yang wanita dengan senang hati mengenakan pakaian itu.

Tepat saat dia selesai merapikan diri dan memutuskan turun ke ruang makan untuk sarapan, tanpa peringatan, pintunya menjeblak terbuka dan segerombolan prajurit menghambur masuk ke kamarnya.

“Ada apa ini?!”

Ruri membeku karena begitu kaget, tapi para prajurit sama sekali tidak mempedulikannya saat mereka memiting lengannya ke belakang dan mengikat tangannya dengan tali, menyeret dia ke ruang tahta Raja. Dia mencoba menggeliat saat melawan ikatannya yang luar biasa kencang, tapi mereka mendadak mendorong keras kepalanya dan membuatnya berlutut, menyebabkan rasa sakit menyerang tangannya yang terikat.

“Ow...”

Di ruangan itu ada Raja, Pangeran, mantan teman-teman sekelasnya, dan begitu banyak prajurit, tapi Asahi sama sekali tidak terlihat.

Tidak hanya para prajurit yang memelototi Ruri seakan gadis itu telah membunuh orang tua mereka, tapi senyum jahat Pangeran, juga ekspresi di wajah mantan-mantan teman sekelasnya, membuat dia merasakan firasat yang benar-benar buruk.

“Kami menyediakan tempat berteduh dan memenuhi kebutuhanmu hanya karena itu adalah permintaan Puteri Miko, akan tetapi kau berusaha membunuh dia? Berani-beraninya kau, bajingan!”

“Huh?! Aku tidak pernah berpikir seperti i—ugh.” Ruri langsung berusaha menyangkal begitu mendengar tuduhan liar yang Pangeran lemparkan padanya, tapi prajurit yang berdiri di belakang menendang dia, yang secara efektif menyelanya.

(Aduh! Apa-apaan sih yang dia bicarakan? Aku? Mencoba membunuh Asahi?! Aku tidak akan pernah melakukan hal seperti itu!)

“Kami ada saksinya,” dia menyatakan. Saat dia berucap demikian, mantan teman sekelas perempuannya melangkah maju.

“Tidak diragukan lagi. Dia cemburu pada Asahi-san yang diperlakukan lebih baik daripadanya dan mengatakan, ‘Aku akan membunuhnya.’ Dia memintaku untuk membantunya melakukan hal itu!” Gadis itu melihat Ruri sekilas dan menyunggingkan senyuman licik, hanya itu yang Ruri butuhkan untuk memahami semua ini.

(Aah, sekarang aku paham. Jadi dia bekerja sama dengan Pangeran untuk menyingkirkan hal yang dia anggap gangguan—dengan kata lain, aku.) Ruri benar-benar berkepala jernih meski dalam situasi berbahaya seperti itu.

“Kejahatan sebesar ini, berencana untuk membunuh Puteri Miko, memerlukan hukuman yang sama besarnya. Kusarankan untuk membuangnya ke Hutan Terlarang. Bagaimana menurut Anda, Paduka Raja?”

“Lakukan.”

Begitu kata Hutan Terlarang meluncur dari mulut Pangeran, gumaman serentak muncul dari para prajurit, menguatkan statusnya sebagai tempat yang berbahaya. Pemikiran itu langsung memenuhi Ruri dengan kecemasan.

Ruri mulai bicara, bukan karena dia berpikir bahwa perdebatannya akan berhasil tapi karena mereka akhirnya membiarkan dia melakukannya.

“...Apa Asahi tahu tentang ini? Dia tidak pernah akan percaya kalau aku akan mengancam nyawanya, dan bahkan sekalipun itu benar, dia mungkin akan memintamu untuk mengampuniku,” katanya, rasa sakit dari tangan yang terikat dan tempat di mana si prajurit menendangnya beberapa saat yang lalu mulai terlihat jelas lewat tubuhnya. Semua teman sekelasnya  meringis tidak nyaman, tapi tetap bungkam.

Sikap itu pada dasarnya membuktikan bahwa mereka setuju dengan apa yang Ruri katakan.

Pangeran menjawab Ruri sebagai gantinya. “Kami tidak tega menodai telinga Puteri Miko yang bersih dengan berita tentang seorang teman yang berusaha untuk membunuhnya. Kami akan memberitahu dia bahwa kau tidak tahan berada di istana lebih lama lagi dan kemudian melarikan diri.”

“Baguslah kalau dia bisa percaya itu, tapi…”

Gadis itu pasti tidak akan percaya cerita tersebut.

Pria ini kemungkinan besar tidak ingin Asahi mengganggu jadi dia bisa memastikan Ruri disingkirkan, tapi dari sudut pandang Ruri, dia sedang mencoba memberitahu pria ini bahwa dia sama sekali tidak tahu tentang cara berpikir Asahi. Keterikatan Asahi padanya sama gigih dan lengketnya dengan perangkap burung. Tidaklah aneh mengatakan kalau Ruri melarikan diri, maka Asahi akan segera menyusulnya.

(Di sinilah aku, berada dalam kekacauan lainnya karena Asahi. Ya ampun, tolong kendalikan para pengikutmu ini!)

Meskipun selalu mengakibatkan kekacauan bagi Ruri, Asahi tidak pernah menyadari—atau tepatnya tidak pernah mau menyadari—betapa menderitanya Ruri karena dia. Sementara Ruri menerima begitu banyak keluhan, dia tidak akan melawan lebih jauh. Tidak peduli bagaimana kerasnya dia menegaskan bahwa dirinya tidak bersalah, lawannya  kali ini adalah Pangeran negeri ini. Dia bisa mengarang sebuah kejahatan atau membunuh siapapun yang dia inginkan, jadi tidak gunanya mencoba berdebat dengannya. Dipikir lagi, Ruri tidak tahu tempat seperti “Hutan Terlarang” ini, tapi itu memberinya lebih banyak harapan daripada dibunuh di sini saat ini juga.

Begitu mereka mengikat kakinya sebagai tambahan tangannya, mereka melemparkan Ruri ke belakang sebuah kereta seperti sebuah barang saja. Sementara Ruri meminta dengan sangat mendesak tas yang dia bawa saat datang ke dunia ini, permohonannya itu sama sekali diabaikan, membuatnya mendecakkan lidah dengan jijik—dalam hati.

Jendela bagian belakang kereta ditutup rapat untuk mencegah kabur. Ruri dulu memimpikan tentang pergi dari istana dan menjauh dari Asahi, tapi dia tidak pernah berpikir bahwa seperti inilah cara dia melakukannya.

Dia tertidur sesekali di lantai kayu kereta itu, jadi dia sama sekali tidak tahu sudah berapa lama mereka melakukan perjalanan, tapi suara berderak dan guncangan kereta ini semakin lama semakin parah.

Tidak lama kemudian kereta itu pun mendadak berhenti dan dia diturunkan begitu saja.

“Hei, kau menyakitiku!”

“Diam kau, gadis sialan. Kalau kau mau menyalahkan orang gara-gara rasa sakitmu ini, salahkan kebodohanmu sendiri.”

“Ayolah, kita harus bergerak cepat.”

“Yeah, kalau kita segera keluar dari sini, semuanya tidak akan baik-baik saja untuk kita juga.”

Para prajurit langsung menghilang dalam sekejap mata, meninggalkan kata-kata yang meresahkan saat pergi.

“Paling tidak lepaskan tali-tali ini!” tuntut Ruri, kaki tangannya masih terikat.

Tali-tali yang mengikatnya erat tidak akan longgar hanya dengan sembarang menggerakkan tangannya. Dia bahkan mencoba memutar pergelangan tangan agar lepas, tapi tali rami itu hanya menggesek tangannya dengan menyakitkan dan tanpa hasil. Dia melihat ke sekitar untuk mencari sesuatu yang mungkin bisa memotong ikatannya. Dia berpikir bahwa sebuah batu tajam mungkin bisa melakukannya, tapi tidak ada sama sekali dalam jangkauannya.

Tepat saat dia berpikir harus memaksakan diri dengan perutnya untuk mencari, dia menyadari bahwa tidak ada lagi cengkeraman erat di pergelangan tangan dan kakinya. Ketika dia melihat pergelangan kakinya yang tadi dililit kencang, talinya langsung terlepas. Dia mengecek ikatan di pergelangan tangan dan menemukan bahwa talinya pun sudah terurai.

Simpulnya tidak terbuka. Ruri memperhatikan di bagian yang bersinggungan, di mana tali tersebut telah dipotong oleh sesuatu yang tajam, dan itu membingungkan. Suara samar denting nyaring bel terdengar, tapi Ruri tidak menyadarinya.

“Yah, aku tidak yakin bagaimana ini terjadi, walau begitu aku senang,” katanya, bangkit berdiri dan melihat sekeliling sambil mengusap pergelangan tangannya yang kini bebas.

Dia berada di dalam sebuah hutan lebat, dikepung dari segala arah oleh pepohonan tinggi. Ruri belum cukup belajar tentang dunia ini, jadi dia sama sekali tidak tahu di mana saat ini dia berada. Tanpa air dan makanan, situasinya cukup gawat. Tidak akan aneh kalau dia mati kapan saja. Akan tetapi...dia punya satu tujuan yang jelas dalam pikirannya.

“Ingat kata-kataku ini, aku akan keluar dari sini dan membalas dendam pada mereka semua. Memangnya kesalahan apa yang sudah kulakukan? Asahi berteman denganku sama sekali tidak pernah menjadi sumber kebahagiaan dalam hidupku, sama sekali tidak pernah, jadi kenapa aku harus terus-terusan menderita karena ini?”

Kenyataannya, dia begitu senang bisa menjauh darinya, dan kalau memang mereka menginginkan julukan “sahabat” Asahi, maka dia pasti menghiasnya dengan pita dan memberikannya di atas sebuah piring perak pada mereka. (TL : Simpelnya, “Memberikan julukan itu dengan sangat senang hati”)

Meski demikian, walaupun dia bertekad untuk membalas dendam, dia sama sekali tidak punya rencana untuk dilakukan. Meloloskan diri dari hutan ini hidup-hidup adalah prioritas utamanya. Ruri mengingat peta dunia yang telah dia pelajari begitu datang ke dunia ini, meski hanya samar-samar.

“Seharusnya ada sebuah negeri besar yang bertetangga dengan Nadasha, kalau aku tidak salah ingat…” gumamnya pelan, mengingat bahwa ada negeri yang jauh lebih besar daripada Nadasha di sebelah timur-laut.

Menurut apa yang dikatakan padanya, negeri itu tidak hanya dipenuhi oleh makhluk-makhluk yang disebut “demi-human”, tapi Kerajaan Nadasha memiliki ketidaksukaan yang mendarah-daging terhadap demi-human tersebut dan negara yang mereka huni.

“Kalau itu adalah negara di mana orang-orangnya tidak disukai, mungkin tempat itu adalah tempat yang layak, itu patut dipertimbangkan.”

Akan tetapi, dia tidak akan pernah bisa tahu ke arah mana dia harus pergi kecuali dia bisa menentukan di mana lokasinya saat ini, dan sekarang hari akan gelap tidak lama lagi.

Untuk sementara waktu, dia harus mengamankan dua hal untuk bertahan hidup—air dan tempat berlindung. Dia menajamkan telinganya dan berkonsentrasi, mencari suara sungai, tapi yang dia dengar hanya suara gemerisik dedaunan. Sementara dia berdiri di situ, memikirkan apa yang dia lakukan berikutnya, telinganya menangkap suara dentingan bel dari suatu tempat entah di mana.

Suara itu mulai memudar ke kejauhan, tapi Ruri sudah berlari ke arah asal suara itu, berharap bahwa seseorang akan berada di sana ketika dia sampai. Dia berlari begitu jauh sampai-sampai dia tidak menyadari berlalunya waktu saat mati-matian mengejar suara tidak jelas itu. Akhirnya, terengah-engah dan tidak bisa menggerakkan dirinya lebih jauh, dia merosot jatuh ke tanah.

Saat sekeliling Ruri digerogoti kegelapan dan hanya bisa sedikit terlihat berkat bulan besar yang ada di atas sana, penyesalan karena terburu-buru membuat keputusan mulai menghinggapinya.

Akan tetapi, saat itulah dia mendengar suara aliran air di dekat situ. Begitu dia mengumpulkan semua energi yang bisa dia dapatkan ke sumber suara tersebut, dia menemukan sebuah aliran kecil air, pemandangan yang memenuhinya dengan rasa bahagia dan lega.

“...Kira-kira apa ini aman untuk diminum. Unghh, ya sudahlah, itu lebih baik daripada berdiri saja mengering di sini.”

Tidak dapat menahan rasa dahaganya, dia mencedok air itu, sangat siap untuk sakit perut, dan meneguknya.

Dalam keputusasaannya, Ruri mengabaikan fakta bahwa dentingan bel itu telah berhenti. Dengan rasa haus yang terpuaskan dan dirinya sudah sedikit tenang, masalah Ruri berikutnya adalah mengamankan tempat untuk tidur. Dia mengumpulkan daun-daun kering yang berguguran dan menyebarkannya di tanah untuk membuat tempat tidur darurat. Akan tetapi, melihat betapa gelapnya saat ini, rasa takut yang tak diperlukan mulai muncul begitu saja.

Karena ini adalah sebuah hutan, pastinya ada hewan-hewan liar. Walaupun dia mungkin punya kesempatan dengan hewan-hewan yang lebih kecil, dia tidak punya cara untuk mempertahankan diri dari serangan makhluk buas yang lebih besar. Dan sekalipun dia ingin menyalakan api, dia tidak punya alat untuk melakukannya.

“Di saat-saat seperti ini aku berharap bisa menggunakan sihir.” katanya, mengingat sihir yang si Pendeta tunjukkan untuk meyakinkan mereka tentang pemanggilan mereka ke dunia ini. Apa yang Ruri paling butuhkan saat ini adalah sihir untuk membuat api dan air yang orang itu tunjukkan pada mereka. Ruri menutup matanya, membayangkan api di dalam pikirannya, dan menggeram seperti yang dilakukan si Pendeta.

“...Yah, yang benar saja.”

Tidak mungkin dia mampu melakukan hal itu. Mereka bilang kau membutuhkan pelatihan khusus dan kualifikasi untuk bisa mempelajari sihir, dan karena itulah para Pendeta yang menggunakan sihir di Nadasha memiliki status yang tinggi. Kalau dia bisa dengan mudah melakukannya sendiri, maka Bumi sudah dipenuhi dengan para penyihir.

Ruri merasa malu karena menghibur dirinya sendiri bahwa mungkin saja dia bisa melakukannya. Dengan pikiran berat di benaknya, dia membuka mata hanya untuk menemukan—sebuah api merah panas yang menggelora di atas tanah di hadapannya.

“Huh?”

Ruri tidak bisa mempercayai matanya. Sementara dia berdiri diam tidak yakini, api itu segera mulai padam, jadi dia buru-buru mengumpulkan daun-daun kering untuk menjaga api itu tetap menyala. Dia menghela napas lega karena sekarang dia sudah mendapatkan api, tapi dia penasaran tentang misteri dari api ini.

“...Ah, tidak mungkin,” katanya pada dirinya sendiri, yakin bahwa dia tidak mampu menggunakan sihir. Akan tetapi, saat dia memegang sebatang dahan pohon di tangannya dan membayangkan api sekali lagi, sebuah lidah api kecil menyala di ujung dahan itu.

"Hahahah… Oh ya, aku pasti sedang bermimpi. Saat aku tidur dan bangun, aku akan kembali di tempat tidurku," Ruri bicara sendiri, membaringkan tubuh letihnya mencoba untuk kabur dari kenyataan. Dia langsung tertidur pulas tidak lama kemudian.

Malam berubah menjadi siang, dan sementara punggung serta bahunya terasa sangat nyeri, dia menemukan dirinya benar-benar terbangun. Kagum dengan keberaniannya sendiri yang dapat tidur pulas meski situasinya seperti ini, dia duduk dan menyadari bahwa dia berada di hutan yang sama seperti sebelumnya—sebuah fakta yang membuatnya putus asa saat dia menerima bahwa semuanya bukanlah sebuah mimpi.

◆ ◆ ◆ ◆

Sementara itu, kembali ke Nadasha, Pangeran dan mantan teman-teman sekelas Ruri semuanya merayakan keberhasilan membuang Ruri dari negeri itu.

"Aku berterimakasih atas semua kerja sama kalian."

"Dengan senang hati," balas si teman sekelas wanita, membungkuk dengan tangan di dada.

Meskipun awalnya dia adalah seorang mahasiswa di usia akhir masa remaja yang tidak tahu etiket kerajaan yang benar, dia sedikit memahami soal sopan santun dan tradisi dengan tinggal di dunia ini. Dia diberitahu bahwa jika dia tidak melakukannya maka dia akan menanggung konsekuensinya, tidak seperti Asahi yang merupakan pengecualian, sebagai seorang Puteri Miko, sehinga dia berhati-hati dalam membawa diri.

"Harus kukatakan, gadis itu benar-benar pengganggu, tidak peduli apakah dia teman sejak kecil atau bukan. Oh ya sudahlah, dia mungkin sedang beristirahat dengan nyaman dalam perut seekor binatang buas saat ini. Aku akan bergegas memberitahu Puteri Miko bahwa temannya sudah melarikan diri. Dan aku akan membantu dengan menghiburnya saat dibutuhkan," kata Pangeran, terkekeh dengan sangat senang dan licik, sambil melangkah pergi.

"Hei, ngomong-ngomong, apa kita benar-benar melakukan hal yang benar?" bisik salah satu teman sekelas laki-laki dengan nada gelisah.

"Ap yang kau takutkan? Kau jug bilang gadis itu mengganggu saja, ya 'kan?" kata satu-satunya perempuan di sini dengan marah—dia yang ikut memfitnah Ruri saat ditahan oleh para prajurit, terus mempertahankan penampilannya sebagai pihak yang tidak bersalah.

"Bukan itu maksudku. Aku hanya bilang kalau membunuh dia sepertinya agak berlebihan, ya 'kan?"

"Kita tidak membunuhnya. Kita hanya membuangnya ke hutan; cuma itu."

“Tapi bukannya itu sama saja dengan kita membunuhnya? Maksudku, kau dengar yang barusan Pangeran katakan, 'kan? Kalau dia ada di perut binatang buas atau semacamnya? Kita membantu hal itu terjadi, tahu bahwa dia akan pergi ke suatu tempat yang benar-benar berbahaya, jadi bukannya itu pada dasarnya sama saja…?"

Sebuah keheningan singkat menyelimuti mereka.

"Dan ngomong-ngomong kenapa kita bahkan begitu membencinya?"

Dihadapkan pada pertanyaan ini, mereka jadi terbungkam. Mereka mencoba untuk menemukan jawaban pasti dari pikiran mereka yang samar dan tidak jelas, tapi mereka tidak dapat menemukan apapun. Mereka menegaskan tindakan-tindakan mereka untuk menyingkirkan rasa kebingungan itu.

"Berhenti terus-terusan bersikap begitu! Dia berbeda dari kita, jadi kita harus menyingkirkan dia. Ini untuk kebaikan Asahi juga!"

"Ya… kau benar. Dia...berbeda dari kita."

“Be-benar.”

Keraguan mulai muncul di antara mereka berempat, tapi mereka tidak mengembangkannya lebih dari sekadar keraguan.

◆ ◆ ◆ ◆

Sudah lima hari sejak Ruri dibuang ke hutan ini, dan dia entah bagaimana berhasil bertahan hidup. Tidak hanya dia bisa menggunakan sihir api, kakek Ruri juga adalah seorang mantan tentara dan penggila bertahan hidup yang membawanya ke hutan dan gunung sejak kecil. Pria itu sangat tegas dalam menanamkan semua tekhnik bertahan hidup yang dibutuhkan untuk hidup di alam liar.

Ruri yakin hal itu membantunya membentuk  kekuatan mental yang lebih besar.

“Bencana bisa menyerang kapan saja, jadi jangan pernah lengah dan selalu bersiap supaya kau bisa bertahan hidup!” itulah yang kakeknya selalu katakan, tapi Ruri selalu mengkritiknya diam-diam, berpikir, “Kita hidup di Jepang negara yang paling damai; tidak mungkin hal seperti itu bisa terjadi, dasar penggila-survival, kakek tua!” Tapi sekarang, dia benar-benar ingin minta maaf karena sudah marah-marah. Ternyata, seseorang tidak pernah apa yang akan terjadi dalam hidupnya.

“...Yah, itu kalau aku bisa berhasil pulang ke rumah, tentunya.”

Walaupun dia begitu yakin ada cara untuk kembali ke dunianya, secercah harapan bahwa dia bisa pergi ke negara lain yang mungkin punya cara untuk membuat hal itu terjadi membuat Ruri tetap berjuang.

Tiba-tiba, dia mendengar suara denting sebuah bel lagi.

Itu adalah suara bel yang sama yang terus dia dengar sejak hari pertama. Kapan pun dia berjalan ke arah suara denting tersebut, dia akan selalu menemukan air dan makanan, seperti kacang-kacangan dan buah beri. Rasanya seakan ada orang yang pastinya sedang mengawasinya, yang mana tadinya pikiran itu terasa menyeramkan, tapi berkat si penolong misteriusnya ini dia jadi tidak mati kelaparan.

Walaupun mungkin mengharapkan terlalu banyak, Ruri juga berharap orang itu akan menyediakan dia baju ganti dan beberapa bumbu penyedap… Sangat menginginkannya.

Karena dia mendengar suara bel itu, dia melihat sekeliling untuk memeriksa apa ada makanan di sekitarnya, tapi ada yang aneh kali ini.

Suara itu terdengar intens.

Begitu intens dan rasanya sangat dekat malahan, sampai-sampai rasanya seakan itu berusaha mengatakan sesuatu padanya. Volume suaranya begitu keras sampai-sampai dia hampir siap berteriak “Diam!” kencang-kencang, tapi suara gemeresak rerumputan terdengar dari kejauhan di belakangnya.

Tanpa curiga, Ruri menoleh ke belakang dan menemukan seekor hewan misterius yang merupakan persilangan antara babi hutan, beruang, kalajengking, dan tingginya sekitar tiga meter. Bernapas keras lewat moncongnya, jelas terlihat gelisah, hewan itu mendaratkan pandangannya pada Ruri dan mengeluarkan suara jeritan aneh, “Boo-hyaaah!” dan langsung menyerbu Ruri..

Eeeeek! Tunggu, apa? Apa?!”

Makhluk buas yang belum pernah terlihat sebelumnya ini datang menyerbu ke arahnya, tapi Ruri membalikkan badan, menjerit dan lari dengan kecepatan tinggi.

Dia melesat melewati jalur setapak tanpa jejak di dalam kehijauan hutan yang amat sangat lebat.

“Ya Tuhan, aku bakalan mati. Aku pasti bakalan matiiii!”

Fokus berlari dan tidak mempedulikan ranting-ranting serta rerumputan tinggi yang mencambuk dan mencabik tubuhnya, Ruri akhirnya dengan takut-takut memeriksa ke belakang lewat pundaknya, dan yang membuatnya takut, dia melihat hewan misterius itu masih mengejarnya.

Dengan wajah tegang, Ruri sekali lagi menghadap ke depan dan mempercepat larinya dengan raut wajah mati-matian. Dia melewati dan berkelok-kelok di antara pohon untuk membuat jarak, tapi hewan buas itu menginjak-injak setiap penghalang yang berdiri di hadapannya, menyerbu dalam garis lurus hanya ke arah Ruri.

“Saat ini, aku yakin sekali bisa mencetak rekor dunia baru dalam trek lari! ...Hah, hah. Ya ampun, kau keras kepala sekali. Asal kau tahu, aku ini sama sekali tidak enak!”

Ruri berlari menyelamatkan diri, tapi dahan-dahan menyakiti dan menghambatnya, menyebabkan rasa letihnya menumpuk makin tinggi.

Dia benar-benar tamat...

Tepat saat pikiran itu melintas di benaknya, dia merasakan semacam kejanggalan, seakan-akan dia baru saja melewati sebuah lapisan selaput tipis, yang begitu membuatnya terkejut sampai-sampai dia jatuh ke tanah.

Dia buru-buru bangkit berdiri ketakutan dan berbalik untuk menghadapi kematiannya yang sudah pasti, tapi apa yang temukan adalah si hewan buas yang seharusnya sedang mengejar dia, berdiri tidak jauh darinya dan memeriksa sekitar dengan ekspresi sangat kebingungan di wajahnya.

Dan hampir seakan kegigihan pengejarannya itu tidak pernah terjadi, makhluk itu mengabaikan Ruri dan berjalan pergi ke arah lain.

“...Aku selamat… Tapi kenapa bisa begitu?” Ruri berkata pada dirinya sendiri, menarik napas lega dalam-dalam dan mengamati sekitar. Di saat itulah mata Ruri membelalak kaget.

“...Sebuah rumah? Kok bisa? Tadi tidak ada…”

Sebuah rumah besar muncul begitu saja di tengah-tengah hutan yang lebat ini.

Tidak peduli apakah karena dia berlari menyelamatkan nyawanya, tidak mungkin dia tidak menyadari rumah sebesar ini. Bingung, dia mendekati rumah itu dan melihat ada asap yang membumbung dari cerobong asapnya.

“Ada orang di dalam…” Dia akhirnya menemukan orang hidup sebenarnya sejak dibuang ke hutan ini. Ingatan saat dikejar hewan buas beberapa saat lalu pun memudar saat seulas senyum lega muncul begitu saja di wajahnya.

“Semoga orang ini adalah orang yang baik!” Pikiran Ruri dipenuhi dengan bayangan tentang mandi, baju ganti, dan makanan panas. Dia melipat kedua tangannya dan berdoa semoga orang ini akan memberinya semua hal ini sambil dia menyeret tubuhnya yang sangat kecapekan mendekat ke rumah.

“Hei, kau yang di situ, Nak. Kau datang dari mana?” kata sebuah suara entah dari mana, membuat bahu Ruri tersentak kaget. Dia berbalik ke sumber suara itu. Di sana berdiri seorang wanita tua dengan darah menetes-netes dari kepala hingga ke ujung kaki, seakan-akan dia bermandikan hal itu, sambil memegang sebuah pisau dapur di satu tangan.

“Gyaaaaah! Nenek-nenek pembunuh!”

“Siapa yang kau panggil nenek-nenek?!”

Lebih cepat daripada yang bisa dia debatkan bahwa usia bukanlah faktor yang mengkhawatirkan di sini, rasa lelah karena permainan kejar-kejaran dengan monster sebelumnya, ditambah dengan kekagetan karena menyaksikan pemandangan yang mengerikan, membuat pandangan Ruri memudar dan dia pun pingsan.


TL Note (tepatnya, Curhat) : Wew, nggak nyangka bakalan kangen sama versi FT yang bahasa Inggrisnya lebih sederhana dibanding versi LN ini. Ni LN bahasanya bener2 flowery, alias kebanyakan frase unik dan idiom, bahkan menurutku tingkat kesulitannya di atas Honzuki yg gaya bahasanya campuran bahasa sehari-hari dan bahasa sopan ala bangwasan. 😓 Yah, setidaknya tantangan kali ini masih masuk akal dan memperkaya ilmu bahasaku lagi meski harus agak maksa pas ngelokalin ke bahasa Indonesia 🤣