Pemanggilan

(Penerjemah : Hikari)


Ini semua dimulai sekitar dua tahun yang lalu.

Morikawa Ruri adalah seorang gadis dengan seorang ibu ekspatriat yang bekerja sebagai model dan seorang ayah yang merupakan diplomat. Dengan rambut pirang platinanya, yang sama dengan ibunya, sepasang mata berwarna lapis lazuli yang menjadi dasar untuk namanya dalam huruf kanji, dan wajah Jepang, gadis ini lahir dalam sebuah keluarga dengan fitur fisik yang membuat siapapun mengangkat tangan memberi selamat dengan para pemenang lain dalam lotere genetik ini. Akan tetapi, ini sepertinya seakan-akan dia telah menggunakan sebagian besar keberuntungannya. Ruri tidak pernah bisa dapat hidup dengan tenang. Sebaliknya, kemalangan menghantuinya di setiap sudut.

Awal dari semua kemalangan ini, menurut Ruri, tidak diragukan lagi dipicu oleh gadis tetangga sebelah rumah—Shinomiya Asahi. Sejak kecil, Ruri telah menahan semua jenis luka akibat Asahi yang mengumpulkan pengikut secara besar-besaran.

Tak terbayangkan seberapa sering Ruri membayangkan bagaimana hidupnya akan berbeda jika dia dan Asahi tidak tumbuh bersama. Walaupun Asahi dan Ruri seumuran, belum lagi keduanya memikat sejak usia muda, orang-orang di sekitar mereka selalu memanjakan Asahi dan menganak-emaskannya. Ruri sama sekali bukanlah anak yang berperangai buruk, tapi semua orang lebih menyukai Asahi untuk alasan apapun—bukan hanya guru-guru mereka, tapi juga teman-teman sekelas dan orang tua mereka. Orang-orang yang memanjakan Asahi sampai tingkat yang konyol juga akan membenci Ruri untuk alasan yang sama konyolnya.

Sebagai contoh : suatu kali, Ruri terlibat dalam pertengkaran bodoh mengenai mainan dengan Asahi, dan Ruri menjadi satu-satunya orang yang dimarahi. Orang-orang biasanya akan berasumsi bahwa karena ini adalah pertengkaran antara anak kecil, keduanya akan sama-sama dihukum.

Lebih parahnya lagi, tidak hanya Asahi berhasil mengamankan mainannya sendiri, dia juga ingin mainan milik Ruri. Walaupun dia memprotes, dia tidak hanya dimarahi tapi juga disuruh untuk memberikan mainan miliknya itu pada Asahi. Walaupun Ruri masih anak-anak, dia bisa merasakan betapa tidak masuk akalnya semua ini.

Dengan air mata masih berlinang, Ruri kecil menyerahkan mainannya, yang membuat semua orang memandangnya seakan-akan dia akhirnya telah melakukan sesuatu yang benar.

Dia tidak tahu kenapa mereka selalu mendahulukan keinginan Asahi daripada Ruri. Pada saat itu, dia masih sangat kecil, tidak begitu marah atas situasi ini dan lebih curiga kenapa dianak-emaskan sejak awal.

Ada peristiwa lainnya, ketika di SD,saat Asahi iri dengan rambut pirang Ruri yang indah dan memutuskan untuk mewarnai rambutnya sendiri dengan warna yang sama. Mengingat bahwa SD telah melarang pengecatan rambut karena dapat membahayakan tubuh anak-anak, para guru akhirnya berbicara pada orang tua Asahi untuk menjelaskan masalah ini. 

Biasanya, akan tepat untuk memperingatkan orang tua tentang membiarkan anak mereka yang mewarnai rambut setelah menjelaskan peraturan sekolah, tapi yang mendapatkan peringatan adalah orang yang seharusnya tidak disalahkan—Ruri. Dia diberitahu bahwa semua orang ingin mengecat rambut karena rambut Ruri—klaim yang sepenuhnya bohong

Mereka menuntut Ruri untuk membuat rambutnya jadi hitam, menjelaskan bahwa mewarnai rambut adalah hal yang dilarang di sekolah, yang membuat mulutnya menganga lebar. Bahkan sekalipun dia berusaha membujuk, mengatakan pada mereka bahwa rambut pirangnya itu asli, para guru tersebut tidak mendengarkan.

Pada akhirnya, dia memutuskan untuk mengenakan wig hitam sebagai gantinya, tapi begitu Asahi melihat, dia bertanya dengan acuh tak acuh, "Ruri-chan, rambutmu jadi lebih gelap, atau cuma perasaanku saja?"

(Memangnya menurutmu gara-gara siapa aku jadi seperti ini?!) pikir Ruri dengan kesal.

Ada lagi kejadian di mana mereka semua sedang karyawisata dan Ruri berhasil meloloskan diri dari Asahi, yang biasanya selalu mencoba menempel padanya entah untuk alasan apa, dan menikmati kebebasannya. Begitu tiba waktunya untuk semua orang berkumpul dan jelas terlihat bahwa Asahi telah tersesat, para murid dan guru sama-sama mulai menyalahkan Ruri, menegur kenapa dia tidak menjaga Asahi.

Ruri adalah teman sejak kecil Asahi, bukan pengurusnya. Jadi seharusnya adalah tugas guru untuk mengawasi para murid, jadi tidak ada alasan kenapa mereka harus menyalahkan Ruri, yang sejak awal berada di rombongan berbeda dalam perjalanan ini.

Antara Ruri yang terlihat seperti orang asing dan Asahi yang manis menawan, dengan ciri fisik yang sangat orang Jepang, Asahi mungkin kelihatan lebih bisa didekati. Itulah yang Ruri yakinkan pada dirinya sendiri sejak kecil, tapi karena dia adalah korban dari sikap pilih kasih yang terang-terangan dan tanpa henti itu, tidak terelakkan lagi kepribadiannya jadi sedikit berubah sebagai hasilnya. Faktanya, dia seharusnya dipuji karena tidak sampai jatuh ke jalan yang salah.

Dan begitulah, seiring tahun-tahun berlalu dan Ruri tumbuh menjadi seorang mahasiswi universitas berusia sembilan belas tahun, hari yang amat penting yang akan benar-benar mengubah jalan hidupnya pun mendatanginya.

"Bagus, semuanya aman," kata Ruri, memastikan bahwa Asahi tidak terlihat di mana pun sebelum cepat-cepat menyelinap keluar, mengunci pintu depan dan bergegas pergi dengan ketakutan.

Ruri dan Asahi selalu masuk ke sekolah yang sama karena mereka tinggal bersebelahan. Saat yang paling dia sesali ketika dia tidak masuk ke sekolah swasta muncul ketika upacara masuk SMA. Dia ingat dirinya terkejut saat mendengar banyak mantan teman-teman sekelasnya yang malah pergi ke sekolah swasta. Mereka bahkan berhasil diterima di sekolah khusus perempuan mahal dengan SPP yang luar biasa tinggi—sekolah yang sama sekali mustahil bagi keluarga Asahi biayai mengingat situasi keuangan mereka. Dengan pemikiran itu, Ruri pun mendaftar ke sebuah SMA yang biayanya mahal, tapi entah bagaimana, Asahi juga di situ…

Saat Ruri menanyakan alasannya, dia mendapatkan jawaban yang menyedihkan, "Karena, akan jauh lebih baik kalau aku satu sekolah denganmu, Ruri-chan." Ruri pun menegurnya, mengatakan padanya untuk memikirkan kondisi keuangan orang tuanya, tapi dia hanya mendapatkan seulas senyum dan, "Oh, jangan kuatir. Tidak masalah."

Hal tersebut mungkin menjadi sebuah kesulitan besar mencoba mengumpulkan uang, mengingat ayahnya adalah seorang karyawan biasa dan ibunya adalah seorang ibu rumah tangga, jadi Asahi seharusnya lebih memikirkan orang tuanya. Akan tetapi orang tuanya bukanlah pengecualian terhadap aturan pilih kasih ini; mereka mungkin bekerja mati-matian karena benar-benar memanjakan Asahi. Karena itulah, di sinilah dia, dan kehidupan SMA Ruri berakhir menjadi sebuah neraka hidup. Ruri pun memohon, dalam hati, agar orang tua Asahi belajar untuk mendisiplinkan anak mereka.

Untuk taktik berikutnya, Ruri belajar seperti orang kesurupan agar bisa mendaftar masuk di kampus terkemuka untuk para elit akademis. Saat Asahi gagal pada ujian masuk, Ruri pun bersorak penuh kemenangan.

Dia bahkan pindah ke kompleks apartemen yang dekat dengan universitasnya agar bisa sejauh mungkin dari Asahi, tapi, untuk alasan yang aneh, di situlah Asahi, pindah ke komplek yang sama.

Saat ditanya, dia menjelaskan, “Aku berhasil masuk ke universitas D2 yang dekat dengan universitasmu, dan aku juga mungkin aku juga sebaiknya hidup di komplek yang sama sekalian. Sayang sekali aku tidak bisa mendapatkan apartemen di sebelahmu.” Itulah penjelasannya, tapi….

(Aku padahal berpikir akhirnya aku bisa menjauh darinya! Baiklah, siapa sih orangnya?! Siapa yang memberitahu dia komplek tempat aku tinggal?!)

Setelah itu, universitas menjadi tempatnya menenangkan diri, karena itu adalah tempat yang tidak bisa dimasuki Asahi. Dia bahkan sampai pergi ke sana saat tidak ada kelas, tapi ada kemungkinan besar dia akan disambar Asahi di perjalanan dan dengan baik-baik  (setidaknya menurut Asahi) diantar ke kampus.

Untuk menghindari hal itu, dia mencoba berangkat lebih lambat daripada biasanya, tapi dia akan entah bagaimana tertangkap, walau begitu. Misalnya seperti sekarang ini...

“Ruri-chan, tunggu~!”

(Aku yakin gadis ini punya indera penciuman dan pendengaran yang sebanding dengan kebanyakan hewan liar.) Meskipun dipanggil-panggil wanita iblis ini, langkah Ruri tidak melambat.

Setelah menyusul kecepatan jalan Ruri, Asahi memandangnya dengan pipi menggembung, merajuk. “Uuuh, kau janji kita akan berangkat sama-sama kapan pun kita ada kelas.”

(Aku benar-benar yakin tidak menjanjikan apapun. Aku sudah bilang itu tidak perlu, tapi kau mengabaikan apa yang kukatakan dan mengambil keputusan seenaknya!) pikir Ruri, merutuk dalam hati dan mencoba untuk fokus berjalan saja.

Ini adalah langkah penanggulangan yang Ruri pikirkan untuk menghadapi Asahi dan ketidakmampuan gadis itu untuk mendengarkan apa yang Ruri katakan, tidak peduli sudah berapa kali dia mengulanginya.

(Dia cuma udara, hanya udara…)

Sembari memikirkan itu, Asahi terus mengoceh tanpa memedulikan Ruri yang bungkam. Ketidakmampuannya untuk membaca hal-hal yang tersirat, dan, sebagai contoh, terus berceloteh riang pada orang yang sama sekali mengabaikannya, begitu tidak biasa sampai-sampai seharusnya masuk dalam daftar spesies yang terancam punah. Dan Ruri tidak akan pernah berbicara begitu lama dengannya selama dia tidak punya alasan untuk melakukannya.. 

Sementara kampus Asahi semakin dekat, sekumpulan orang yang terdiri dari tiga laki-laki dan seorang gadis datang mendekati mereka, menyapa Asahi dengan senyum di wajahnya. Mereka adalah sekelompok teman sekelas yang Ruri kenal sejak SMP. Begitu mereka melihat Ruri berdiri di sebelah Asahi, ekspresi mereka berubah masam dengan sangat jelas.

“Hei, kau melakukannya lagi?”

“Asahi-chan, aku tahu kau tidak bisa membiarkannya sendirian saja karena kau terlalu baik, tapi kau sebaiknya tidak berhubungan dengan gadis seperti dia.”

“Teman-teman, berhenti berkata seperti itu. Ruri-chan adalah sahabatku.”

(Tunggu, tunggu. Siapa sahabatnya siapa? Kau seenaknya saja bicara.)

Ruri sama sekali tidak ingin berurusan dengannya dan mencoba menjauhkan diri, tapi, untuk alasan aneh entah apa itu, Asahi tidak akan berkumpul bersama dengan orang-orang yang mengejarnya dan malah menempel pada Ruri meskipun kenyataannya dia nyaris tidak bersikap ramah padanya.

Asahi selalu dikerumuni orang—kerumunan yang, tentu saja, terdiri dari orang-orang yang memuja Asahi seakan-akan mereka adalah semacam organisasi religius. Dari sudut pandang mereka, Ruri, yang Asahi perlakukan seperti sahabatnya, tidak lebih dari sepotong duri bagi mereka dan sebuah ancaman.

Inilah yang terjadi: siapapun yang tidak menghabiskan waktu dengan Asahi melihat betapa aneh semuanya dan akan memandang Ruri dengan rasa simpati karena dia kelihatannya sedang dirundung oleh Asahi setiap hari. Tapi begitu mereka mulai berkeliaran di sekeliling Asahi, mereka akan berakhir bersikap bermusuhan terhadap Ruri. Tidak ada banyak hal yang bisa dilakukannya tentang ini

Gara-gara hal itu, dia tidak bisa mendapat satu pun teman yang sesungguhnya. Dan sekalipun dia melakukannya, mustahil bagi mereka untuk entah bagaimana menemukan diri mereka dengan Asahi, karena dia selalu berada di sisi Ruri setiap kali terjaga. Begitu mereka bertemu Asahi, mereka berubah dari “teman” menjadi “pengikut” saat itu juga.

Merupakan sebuah siksaan saat orang-orang membenci dia karena Asahi, tapi tidak peduli seberapa keras dia memutar otak, semua usahanya untuk menjauh dari Asahi, semuanya itu, berakhir dengan kegagalan.

Dia mencoba berdoa dengan sejumlah besar uang di kotak donasi kuil setiap tahun dan bahkan mencoba beberapa vas keberuntungan mencurigakan, tapi tidak ada satu pun yang menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.

(Sial, mungkin aku seharusnya mencoba sihir hitam nantinya…)

Sementara dia mengabaikan keributan menyebalkan di sekitarnya dan masuk ke dalam kondisi meditasi, sesuatu yang berkerlap-kerlip melayang melewati sudut penglihatannya.

Dia menoleh dan melihat beberapa partikel berkilauan di tengah udara. Dia mengulurkan tangan, tapi tangannya itu menembusnya begitu saja. Di saat yang sama, suara logam tiiing, seperti denting bel, memenuhi telinganya.

Saat dia melihat sekitar mencari-cari sumber suara itu, partikel-partikel berkilauan tersebut menjadi semakin bertambah banyak. Dan tidak hanya berkembang dalam hal jumlah—mereka sepertinya juga semakin besar dalam ukuran.

Partikel-partikel ini berkumpul teratur di sekitar Ruri dan yang lainnya. Melihat ke bawah, kelihatannya seakan-akan partikel-partikel memancar dari tanah di bawah mereka.

“Apa?”

Seiring berlanjutnya suara dentingan tersebut, Ruri melihat ke sekitarnya, tapi dia menemukan bahwa Asahi maupun keempat mantan teman sekelasnya tidak memperhatikan itu. Tepat ketika dia menyimpulkan bahwa hanya dia yang bisa melihat atau mendengar semua ini, tanah di bawah mereka mendadak bersinar terang benderang.

"Huh? Apa? Ada apa ini?!"

Ruri mendengar pertanyaan Asahi yang panik tidak mengerti saat memejamkan melindungi dirinya sendiri dari cahaya intens tersebut. Begitu dia melakukannya, dia diliputi dengan perasaan tanpa berat dan rasa tegang di perut, hampir seperti menukik saat menaiki roller coaster. Itu membuatnya berlutut.

Begitu perasaan tanpa berat itu mereda dan dia membuka mata, bangunan-bangunan kota dan jalanan dengan mobil yang berlalu-lalang yang akrab dengannya itu menghilang, dan dia menemukan dirinya duduk di tempat yang terlihat seperti sebuah kuil berlantai batu dingin.

Saat ini adalah musim semi dan segalanya sudah cukup hangat, tapi mereka masih berada di bagian musim di mana mereka memerlukan baju berlengan panjang untuk menghalau hawa dingin. Meski demikian, tempat mereka berada sekarang, mungkin karena semua batu ini, jauh lebih dingin dari tempat mereka berada beberapa detik sebelumnya.

Tapi itu membuat Ruri bertanya-tanya apakah benar hawa dingin ini yang membuatnya menggigil...

"Ooh! Ini sukses!"

"Nona Miko telah datang pada kita!"

Tidak jelas apa yang telah terjadi atau bahkan ada di manakah ini, tapi berdiri di depan Ruri, yang membeku bertanya-tanya, adalah seorang pria tua berpakaian jubah seperti pastor dan sekelompok pria renta. Mereka melakukan perayaan antar mereka saja, mengabaikan Ruri dan yang lain sama sekali.

"...Apa maksudnya?" Pikiran Ruri akhirnya mulai berfungsi lagi, tapi dengan cepat masuk dalam kebingungan.

Dia memandang sekeliling dan melihat Asahi serta keempat mantan teman sekelasnya, grup yang sama yang bersama dengannya sampai beberapa detik yang lalu, dengn mulut menganga. Sama seperti Ruri, tidak satu pun dari mereka yang kelihatan mengerti situasi saat ini.

Dari kerumunan orang aneh itu, seorang pria muda berpakaian khas mirip pangeran dalam film pun bicara. "Selamat datang dan salam, Puteri Miko yang sudah lama kami tunggu…?"

Pria muda itu berkata dengan senyum di wajahnya sampai dia melihat Asahi, yang terdekat dengannya, dan kemudian pada wajah Ruri dan teman-teman sekelas lainnya, lalu matanya pun membelalak kaget.

"Pendeta, apa maksudnya ini?! Ada tiga gadis di sini, bukan begitu?!" seru pria tersebut pada kerumunan orang berpakaian jubah pastor di sekelilingnya, mendesak si pria tua dengan jubah yang paling mewah untuk melangkah maju.

Pria tua itu memandangi Ruri dan lainnya, yang masih terperangah, menganggukkan kepal, menaruh tangannya di dagu, dan berkata, "Kelihatannya kita tak sengaja memanggil tambahan orang, selain Puteri Miko."

"Jadi yang manakah dari mereka yang merupakan Puteri Miko?"

"Puteri Miko dikatakan memiliki warna rambut yang tidak biasa dan kemampuan memikat siapapun padanya, Yang Mulia."

Pria muda dalam pakaian pangeran itu yang dipanggil "Yang Mulia" memandang wajah Asahi, Ruri dan teman perempuan sekelas mereka satu per satu… dan akhirnya tersenyum pada Asahi. "Kalau begitu pastilah kau. Kau adalah orang yang paling memikat di sini."

(Wow, tidak sopan sekali! Dia memutuskan itu adalah Asahi tanpa berpikir panjang soal itu.) Batin Ruri getir.

Pria itu berlutut di hadapan Asahi dan mengulurkan tangan seperti seorang Kesatria Arthur yang menyatakan cintanya. Asahi melihat hal ini dengan pipi bersemu merah sebelum dengan malu-malu menempatkan tangan di atasnya. Dia menatap tergila-gila pria yang berpenampilan menarik tersebut.

Melihat pemandangn ini, sebuah ide muncul di pikiran Ruri. Jika Asahi mendapat pria idamannya, mungkin Ruri akhirnya bisa menjauh darinya?! Mungkin terhibur pemikiran bodoh ini membantunya karena pikirannya yang semula campur aduk kini mulai tenang.

(Kami tadi ada di kota sampai beberapa saat yang lalu, jadi tidak mungkin ada cara yang masuk akal kami pergi dan pindah ke suatu tempat lain. Mungkin mereka menculik dan membawa kami setelah membuat kami pingsan? Tapi tetap saja, apa maksudnya dengan "Puteri Miko"? Jangan bilang kalau pengikut Asahi merencanakan sesuatu yang aneh lagi.)

"Pengikut Asahi akan melakukan hal semacam ini" adalah sebuah pemikiran yang membuat mual yang Ruri pernah begitu sering pikirkan lebih dari yang bisa dia ingat.

“Um, permisi, tapi di mana kami? Kalau Asahi adalah orang kalian inginkan, aku akan sangat menghargai kalau kalian membiarkanku pulang ke rumah." Ruri berbicara pada salah satu pendeta terdekatnya, tapi orang itu malah bertanya pada pria yang mengulurkan tangannya pada Asahi untuk meminta instruksi dengan sikap kebingungan.

"Bagaimana kita menangani orang-orang lainnya ini, Yang Mulia?"

"Benar. Untuk saat ini, melapor pada Paduka adalah hal yang terutama. Kita akan menanyai Paduka Raja apa yang harus kita lakukan pada yang lainnya."

Meskipun pada dasarnya dia mengatakan ingin secepatnya pulang ke rumah, dia malah secara paksa dibawa pergi ke tempat lain.

Mereka dibawa dan didorong untuk berlutut di hadapan seorang pria paruh baya berpakaian semarak, yang duduk mantap di atas sebuah takhta mewah berlebihan dan memancarkan aura yang praktis meneriakkan bahwa dia adalh raja tempat ini.

Asahi, meski demikian, hanya satu-satunya orang yang diperbolehkan untuk tetap berdiri.

"Kau sangat baik datang kemari, Puteri Miko. Aku adalah Raja dari Negeri Nadasha. Kami telah menanti-nantikan kunjunganmu agar memberkati negeri kami dengan kemakmuran."

Pernyataan pria paruh baya itu tidak masuk akal, tapi Asahi membalas, dengan kebingungan, meski demikian.

"Um, terima kasih...banyak… Tapi, um, di mana ini sebenarnya? Aku tadi berada di kota beberapa waktu yang lalu…"

"Ini adalah Negeri Nadasha. Kau telah dipanggil ke sini."

(Apa dia sungguh-sungguh mengatakan hal fantasi begitu dengan wajah serius?!)

"Ada alasan mengapa kami memanggil kalian semua. Saat ini, bangsa kami sedang berada di tengah-tengah dilema. Akan tetapi, negeri kami memiliki sebuah buku ramalan yang diberikan turun-temurun sejak zaman dulu, walaupun itu hanya dibaca oleh para raja dan pendeta. Di situ tertulis bahwa saat masa krisis menyerang negeri kami, seorang Puteri Miko yang dipanggil dari alam lain akan membawakan kemakmuran pada negeri kami. Dan begitulah, berdasarkan yang tertulis itu, orang yang dipanggil adalah kau, sayang." Dia kemudian dengan canggung menambahkan, "Yah, kau dan beberapa orang lainnya, nampaknya."

Ini sudah cukup untuk membuat Asahi yang berkepala-kosong memberikan tatapan curiga pada sang Raja. Begitu pula dengan Ruri.

"Um, apa ini semacam lelucon? Oh, jangan bilang. Ini cuma bercanda, 'kan? Oke, aku mengerti. Semua tentang 'pemanggilan' dan sihir-sihiran ini tidak mungkin nyata, bagaimanapun juga…."

"Oh? Apa sihir tidak ada di duniamu, Puteri Miko? Baiklah kalau begitu, biarkan aku menunjukkan padamu betapa nyatanya hal itu," kata Raka, mengalihkan pandangannya pada si pak tua yang melayani sebagai Kepala Pendeta. Dia mengangguk sekali mengiyakan sebelum membuka telapak tangan menghadap ke atas dan mengulurkannya ke depan, seakan menunjukkannya pada Asahi.

Ruei dan mantan teman sekelasnya mengangkat kepala mereka yang tertunduk dan menatapinya, penasaran dengan apa yang akan terjadi. Kepala Pendeta mulai bergumam sendiri seakan sedang memfokuskan energi dan, dalam sekejap, sebuah lidah api menyala di tangannya yang berkeriput 

Napas Ruri tertahan takjub, dan dia memandang ke sebelah untuk melihat mantan teman-teman sekelasnya dengan ekspresi yang sama di wajah mereka.

“Huh? Sulap panggung?”

"Tidak, kurasa yang dia maksud adalah sihir yang sebenarnya…"

"Kau benar-benar percaya hal itu?"

Ruri berbagi pendapat dengan mereka. Pasti ada semacam trik untuk semua ini.

Kepala Pendeta, merasakan ketidakpercayaan Ruri dan yang lain, melanjutkan dengan menciptakan air di telapak tangannya. Asahi dengan takut-takut menjangkau bola cairan yang berubah bentuk dan melayang di tangan pria tua itu.

"Ini benar-benar air."

"Tunggu, kau serius?!"

Senang dengan reaksi kaget Ruri dan yang lainnya, si kepala pendeta berkata, "Dan aku bahkan bisa melakukan ini." Begitu dia selesai mengucapkan kalimatnya, tubuhnya mulai mengapung di udara, sekitar setinggi telapak tangan dari permukaan

Asahi memeriksa, tapi tidak ada apapun di bawah kaki Kepala Pendeta ataupun kawat yang menahannya. Pada awalnya mereka semua curiga, tapi dengan penampilan yang tidak dibuat-buat dilakukan di hadapan mereka, tidak ada pilihan kecuali mempercayainya.

Dengan meredanya kekaguman atas sihir, kemarahan atas fakta bahwa mereka telah ditarik ke dunia ini karena ramalan mencurigakan pun mulai meluap.

"Puteri Miko dikatakan memiliki warna ciri tubuh yang langka. Dan dengan rambutmu yang keemasan dan mata biru, kau tidak diragukan lagi adalah Puteri Miko yang disebutkan ramalan," kata si pria tua renta yang sepertinya akan bersuara parau kapan saja, yang nampaknya memiliki posisi tertinggi di antara para pendeta. Kata-katanya membuat ekspresi Ruri membeku.

Untungnya, dia menundukkan kepalanya sekali lagi, sehingga tidak ada seorang pun yang menyadari perubahan mendadak sikap Ruri, tapi dia sebenarnya benar-benar luar biasa terguncang.


Ruri sebenarnya berambut pirang platina, artinya dia benar-benar lebih pirang daripada ibunya yang berambut keperakan, tapi sejak peristiwa Asahi yang mengecat rambut untuk meniru Ruri, dia telah memakai wig untuk menyembunyikannya.

Dia sebenarnya diinstruksikan untuk mewarnainya, tapi karena dia tidak sampai hati merusak rambutnya yang indah, untuk alasan yang begitu bodoh, dia memakai wig yang diperbolehkan sekolah.

Saat ini, dengan wig berwarna coklat, kacamata yang menyamarkan penampilan, serta teknik make-up yang dia pelajari dari ibunya, pada dasarnya dia terlihat biasa-biasa saja, tidak jelek maupun cantik, gadis pada umumnya, yang akan sesuai dengan ciri-ciri karakter pendukung dalam   pemeran acara apapun—secara khusu "Gadis A".

Kebalikan dari Ruri, Asahi terus meniru ciri khusus Ruri sejak dia mulai berkuliah dengan rambut pirang, lensa kontak biru, dan make-up tanpa cacat.

Walaupun ada kemungkinan besar Ruri-lah yang benar-benar mereka cari, dia harus memperlihatkan penampilan aslinya untuk membuktikan, dan dia sama sekali tidak ada niatan melakukan itu.

Malahan, akan lebih bagus kalau mereka salah paham. Ditambah lagi, Asahi berbicara dengan "pangeran" yang mereka temui itu saat pertama kali tiba dalam cara yang jauh dari kata negatif—gadis itu terlihat senang.

(Baiklah, ayo dorong lebih lagi. Bagaimanapun, dia tidak kelihatan tidak senang dengan hal ini.)

Orang yang dia hadapi ini adalah Asahi, jadi ada kemungkinan dia bahkan lupa begitu saja soal Ruri yang ada di sini, tapi karena Asahi sendiri tidak kelihatan tertekan, Ruri mengambil kesimpulan bahwa dia akan baik-baik saja. Dengan tekad bulat, dia berbicara pada Raja.

"Permisi, um, hanya dia orang kau perlukan, sang Puteri Miko, benar 'kan? Kalau kau tidak memerlukanku, aku akan sangat menghargai kalau kau bisa mengembalikan aku ke duniaku…" katanya, menunggu sebuah tanggapan sambil berharap dalam hati yang terdalam bahwa orang itu tidak akan akan mengatakan bahwa tidak ada cara untuk mengirimnya pulang.

Yang lainnya, yang begitu hanyut dalam rasa takjub atas semua elemen fantasi mistis yang ditunjukkan pada mereka, sepertinya mulai menyadari realita situasi ini, wajah mereka mulai memucat.

"Tidak mungkin… Maksudmu aku tidak akan lagi bisa bertemu Mami dan Papi lagi…?" tanya Asahi, tersedak air matanya. Melihat hal ini, Raja dan para pendeta mulai panik.

"Ja-jangan menangis. Kau bisa memegang kata-kataku bahwa kau akan diperlakukan sebagai tamu kehormatan negara kami dan diberikan keramahan yang layak kau terima. Ah, ya. Aku bahkan akan mengatur supaya kau bisa bersama-sama dengan orang-orang yang dipanggil bersamamu, untuk menemanimu."

"Ruri-chan bisa bersamaku?" ulang Asahi, melihat Ruri dengan mata berlinang.

"Ya, tentu saja."

"Yah, kalau begitu…"

San begitulah bagaimana Ruri akhirnya tinggal di istana tanpa siapapun yang menanyakan pendapatnya tentang masalah ini satu kali pun.

(Yah, kurasa ini tidak masalah. Tidak ada gunanya juga aku berteriak padanya kalau penculikan adalah sebuah kejahatan… Dan dia pada dasarnya bilang bahwa mereka akan menyediakan kebutuhan-kebutuhan kami.)

Walaupun dia merasa sedikit tidak puas dengan betapa besar perbedaan bagaimana cara dia diperlakukan, dia meyakinkan diri bahwa menyuarakan keberatan apapun akan sama sekali tidak berguna.

---0---