Dunia Tanpa Kehadiran Dirimu
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta mempercepat jalan yang biasanya ia habiskan sepuluh menit untuk tiba di Stasiun.

Ia berjalan melewati daerah pemukiman warga, menyeberangi jembatan, dan tiba di jalan raya. Ia harus menunggu beberapa lampu merah namun segera sampai di area perbelanjaan di dekat stasiun. Setelah melewati tempat pachinko dan toko elektronik, ia melihat stasiun Fujisawa di depannya.

Stasiun Fujisawa selalu seramai ini di pagi hari seperti ini. Keramaian penumpang yang berangkat kerja atau sekolah memenuhi stasiun ini. Orang dewasa yang mengenakan jas keluar berhamburan setelah sampai di stasiun ini dan berjalan menuju ke kantor mereka di dekat sini. Orang-orang yang harus melakukan transit berjalan menuju peron yang dituju. Sakuta berjalan melintasi lorong penghubung sambil berdesak-desakan dengan penumpang lain yang ingin menaiki Enoden di Stasiun Fujisawa.

Saat ia memasuki gerbang stasiun, kereta yang ditumpanginya masih menunggu penumpang masuk. Sambil berlari, ia menaiki kereta tersebut.

Ia memilih berdiri di dekat pintu kereta di gerbong belakang dan seseorang juga mengikutinya.

“Yo,” sapa Kunimi sambil mengangkat tangannya.

“Yo.”

Kereta tersebut mulai melaju dan Kunimi meraih gantungan kereta dengan kedua tangannya sambil melihat diri Sakuta.

“Kau tampak jauh lebih baik hari ini,” Kunimi mengamatinya.

“Hmm?”

“Kemarin, wajahmu terlihat seperti zombie. Apa kau ini tipe yang belajar mati-matian sebelum ujian?”

“Tak, Aku ini tipe yang langsung menyerah dan tidur.”

“Sudah kuduga.”

Sakuta pergi tidur lebih awal kemarin malam. Setidaknya, ia tidak bisa mengingat apa pun setelah jam 9 atau 10 malam. Lebih awal dari biasanya meski sedang ujian.

Sakuta mengamati sekelilingnya dan melihat beberapa siswa-siswi mengenakan seragam SMA Minegahara. Banyak dari mereka yang mengeluarkan buku paketnya, dan mencoba mempelajari hal yang mereka bisa ingat untuk mendapatkan nilai setinggi mungkin.

Kunimi juga mengeluarkan buku paket dari tasnya, mencoba mengulas daftar rumus matematika.

Sambil Sakuta sesekali mengganggu Kunimi dari belajarnya, kereta tersebut melaju melewati Stasiun Koshigoe, dan pemandangan lautan yang luas dapat terlihat di luar.

Sakuta merasa kalau ada yang sedang memandang dirinya.

“……”

Ia mencoba melihat ke sekeliling, mencari sumber tatapan tersebut.

“Ada apa?” tanya Kunimi. Mungkin ia sangat jelas seperti terganggu.

“Aku merasa kalau ada yang sedang memandangiku,” selagi Sakuta berbicara, tatapan matanya bertemu dengan seorang gadis yang berdiri di pintu keluar kereta yang satunya. Tomoe Koga. Seragam sekolahnya terlihat masih baru.

“Mm? Dia? Anak kelas satu?”

Koga terlihat jelas memalingkan muka, bahkan Kunimi juga menyadarinya.

“Kau kenal dengannya?”

“Dia dan temannya itu terkadang datang dan melihat latihan klub basket.”

Sakuta juga mengenali gadis yang bersama dengan Koga.

“Teman satu klub ku berpikir kalau mereka berdua cukup imut.”

“Oh, jadi dia sedang memandangimu.”

Sakuta merasa seperti orang bodoh sekarang.

“Kurasa tidak,” ucap Kunimi sambil mengalihkan perhatiannya lagi ke buku paket.

“Kenapa tidak?”

“Ketika sedang menonton latihan, dia biasanya melihat latihan salah satu senpai kelas tiga.”

“Huh.”

“Mengingat kalau kau bahkan tak mengetahui nama teman sekelasmu, Aku terkejut kalau kau kenal dengan siswi itu. Ada cerita antara kalian berdua?”

“Yah, seperti itulah.”

“Ooh. Ceritakan padaku.”

Yuuma menaruh buku paketnya, dan memanggul bahu Sakuta dengan senyuman.

“Yah intinya, kami saling menendang bokong satu sama lain. Bukan masalah besar.”

Hari Minggu kemarin, ia mencoba menolong anak hilang dan seseorang malah salah paham dan situasinya menjadi aneh.

“Ketika bokong saling tertendang, pasti ada masalah yang muncul.”

“Terkadang hal itu memang terjadi ya.”

“Tidak bagiku, yang seperti itu tak pernah terjadi. Kenapa kau menceritakan hal seperti ini?”

“Untuk membuang waktu.”

“Baaaiklah…”

Sakuta menatap ke luar jendela, menandakan kalau percakapan mereka telah berakhir.

Ada sesuatu yang sangat mengganggunya.

Bukan karena pertemuannya dengan Tomoe Koga. Melainkan, ia tidak bisa mengingat kenapa ia pergi ke taman itu awalnya.


Ketika kereta tersebut tiba di Stasiun Shichirigahama, semua siswa-siswi Minegahara yang menaiki kereta tersebut berhamburan keluar di peron kecil tersebut.

Sakuta juga tidak terkecuali.

Sambil menikmati aroma air laut, ia dan Kunimi berjalan ke gerbang sekolah.

Di sekitar mereka, para siswa-siswi saling berbincang mengenai, “Masih ada ujian? tamat sudah riwayatku!” “Aku tak belajar sama sekali.” “Aku juga!” “Orang yang selalu mengatakan itu pasti sudah belajar.”

UTS adalah masalah bersama yang dihadapi oleh seluruh siswa-siswi, tetapi selain itu, pagi itu seperti biasanya.

Rutinitas harian siswa-siswi SMA seperti itu.

Hal yang sama selalu mereka lakukan saat berangkat ke sekolah.

Tidak ada yang menyenangkan maupun membosankan.

Semuanya hanya menjalaninya seperti biasa.

Semua orang selain Sakuta adalah orang normal.

Kedua siswi kelas satu tadi berlari melewati Sakuta dan Kunimi. Tomoe Koga dan temannya satu lagi. Sambil berbincang-bincang tentang rencana mereka setelah ujian berakhir, seperti pergi ke tempat karaoke dan yang lainnya.

“Kau punya rencana setelah ujian selesai, Sakuta?”

“Kerja. Kau?”

“Hanya latihan. Ada lomba nantinya.”

“Oh. Yah, baguslah.”

“Mm? Kenapa begitu?”

“Jika kau berencana untuk berkencan, Aku akan kesal.”

“Kalau yang itu, kusimpan untuk akhir pekan.”

“Terkadang Aku membencimu, Kunimi.”

“Kau akan mengatakannya langsung di depanku?”

“Lebih baik daripada Aku menyembunyikannya.”

Saat saling menyindir satu sama lain, keduanya sampai di gerbang masuk sekolah.


Sakuta mengeluarkan uwabakinya dari dalam loker dan mengganti sepatunya, lalu ia menaiki tangga menuju ruang kelasnya.

Kunimi berada di kelas yang berbeda, jadi mereka berpisah di lorong dan Sakuta pergi ke ruang kelas 2-1 sendirian.

Tempat duduknya berada di paling depan di samping jendela.

Ujian pertama hari ini adalah Matematika II dan yang kedua adalah Bahasa Jepang Modern.

Beberapa siswa sedang panik dan menghafalkan sesuatu, yang lainnya dengan santai mengulas catatan mereka bersiap untuk mengerjakan ujian. Sementara, beberapa ada yang sedang tertidur di meja mereka, seperti sudah menyerah. Saki Kamisato juga sedang duduk di mejanya (berada di samping sekitar 45 derajat di belakang Sakuta) sambil mengunyah Pocky. Sakuta pikir sekarang masih terlalu dini untuk memakan camilan. Mungkin Saki sedang bertaruh kalau gula akan memperlancar kinerja otaknya.

Sakuta juga mengeluarkan buku paketnya. Namun, ia merasa hidungnya terasa gatal sekali.

“Aku harap Aku tak demam…”

Ia mengusap hidungnya menggunakan tisu dan mulai mempelajari soal persamaan diferensial tingkat tinggi.

Sakuta merasa ada dorongan yang aneh untuk mendapat nilai bagus.

Setelah ia mengulas soal itu sekali lagi, sebuah bayangan menutupi bukunya. Seseorang sedang berdiri di hadapannya.

Sakuta bisa tahu tanpa harus melihat orang di depannya. Bahkan dengan mata yang tertuju ke buku, ia bisa melihat ujung jas lab putih yang menjuntai panjang hingga melewati ujung roknya.

“Tumben sekali kau menemuiku, Futaba.”

“Ini.”

Dengan wajah kesal, Futaba mengulurkan amplop yang bergaya barat.

“Sebuah surat cinta?”

“Bukan.”

“Sudah kuduga.”

Sakuta tahu siapa yang disukai oleh Futaba.

Ia mengambilnya surat itu dari tangan Futaba dan mengintip ke dalam amplop tersebut. Tentu saja, di dalamnya berisi sebuah surat. Sakuta menatap ke Futaba apakah ia harus membaca surat tersebut.

“……”

Tanpa sepatah kata pun, Futaba mengangguk. Sakuta membuka amplop tersebut dan membaca surat di dalamnya.


Ini adalah sebuah kesimpulan konyol dari pseudosains yang didasarkan dari Teori Observasi, tapi mari kita asumsikan bahwa setiap materi yang ada di dunia ini hanya akan terbentuk ketika diamati oleh orang lain. Dalam hal ini, jika pemicu menghilangnya Mai Sakurajima berasal dari alam bawah sadar para siswa-siswi Minegahara yang mengabaikannya, maka jika Azusagawa memberikan sebuah alasan yang dapat menulis ulang keberadaan orang tersebut, ia mungkin bisa menyelamatkan Mai Sakurajima. Sederhananya, dengan menghilangkan penyebab dari sesuatu yang para siswa-siswi tidak ingin lihat akan mengembalikan panjang gelombang ke kemungkinan awal sebelum diri Mai Sakurajima terbentuk… Dengan kata lain, mengembalikannya ke keadaan sebelum keberadaan dirinya ditentukan, ketika Mai Sakurajima masih menjadi zat atom. Alam bawah sadar para siswa-siswi yang menolak keberadaannya dapat ditulis ulang oleh perasaan cinta Azusagawa.


Sebuah surat yang aneh, dengan kekosongan yang membuatnya curiga. Isi surat tersebut tidak masuk akal sama sekali. Tetapi jelas sekali kalau surat tersebut ditulis oleh Futaba untuknya.

“……”

Ia menatap Futaba seperti meminta penjelasan.

“Aku juga tak tahu. Aku menemukannya kemarin malam, terimpit oleh buku catatan Matematika II ku.”

“Apa-apaan itu?”

Futaba juga meletakkan satu lagi amplop yang sama di meja Sakuta.

“Ditemani dengan ini juga.”

Karena semakin bingung, Sakuta langsung membaca surat yang kedua.

Panjangnya hanya satu baris.

Jangan memikirkannya, cukup berikan ini ke Azusagawa.

Sebuah catatan yang Futaba tujukan ke dirinya sendiri.

Hal ini mengingatkan Sakuta akan isi buku khayalan yang ia temukan di kamarnya pagi ini.

Ada sesuatu yang mengganggu di pikirannya, tetapi ia tidak dapat mengingat apa itu. Hanya sebuah perasaan kalau Sakuta melupakan suatu hal yang penting.

“Jadi, sudah dulu,” ucap Futaba sambil berbalik pergi.

“Uh, tunggu,” Sakuta memanggilnya, tetapi bel sekolah berbunyi dan memaksanya untuk mengurungkan niatnya itu.

Guru mulai masuk kelas, dan ujian akan segera dimulai.

“Sekarang hari terakhir ujian, namun jangan terlalu terleha-leha dulu ketika sudah berakhir,” ucap guru tersebut.

Sakuta membaca isi surat Futaba lagi.


Ini adalah sebuah kesimpulan konyol dari pseudosains yang didasarkan dari Teori Observasi, tapi mari kita asumsikan bahwa setiap materi yang ada di dunia ini hanya akan terbentuk ketika diamati oleh orang lain. Dalam hal ini, jika pemicu menghilangnya Mai Sakurajima berasal dari alam bawah sadar para siswa-siswi Minegahara yang mengabaikannya, maka jika Azusagawa memberikan sebuah alasan yang dapat menulis ulang keberadaan orang tersebut, ia mungkin bisa menyelamatkan Mai Sakurajima. Sederhananya, dengan menghilangkan penyebab dari sesuatu yang para siswa-siswi tidak ingin lihat akan mengembalikan panjang gelombang ke kemungkinan awal sebelum diri Mai Sakurajima terbentuk… Dengan kata lain, mengembalikannya ke keadaan sebelum keberadaan dirinya ditentukan, ketika Mai Sakurajima masih menjadi zat atom. Alam bawah sadar para siswa-siswi yang menolak keberadaannya dapat ditulis ulang oleh perasaan cinta Azusagawa.


“Rasa sukaku, yah?”

Ia tidak tahu apa artinya itu.