Dunia Tanpa Kehadiran Dirimu
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Dirinya berguncang.

Seseorang sedang mengguncang dirinya.

“…un.”

Sebuah suara yang samar terdengar.

“…ngun.”

Suaranya semakin terdengar jelas.

“…Bangun!”

Sakuta kenal dengan suara itu.

“Sudah pagi!”

Sebuah cahaya menembus ke kegelapan.

“……Mm?”

Saat dirinya terbangun, mata Sakuta terbuka.

Karena Sakuta baru terbangun dari tidurnya, ia dapat samar-samar melihat wajah Kaede. Dia sedang membungkuk ke arah tempat tidur sambil menatap wajah Sakuta. Sinar matahari yang menembus celah tirai kamarnya menyilaukan matanya.

“Sekarang hari terakhir UTS, kan? Onii-chan bisa telat nanti!”

Kaede mengguncang tubuh Sakuta lagi.

“Oh, yeah, benar juga…uji---”

Ia menahan kantuknya dan duduk di pinggir tempat tidur.

Seluruh tubuhnya terasa berat. Mungkin ia terkena masuk angin atau demam. Tetapi Sakuta tidak merasa sakit, hanya saja…benar-benar lelah. Kata tersebut sepertinya lebih cocok menggambarkan kondisi tubuhnya saat ini.

Dengan melawan godaan untuk kembali tertidur, ia memaksakan tubuh lelahnya berdiri. Hal buruk akan terjadi jika dirinya tidak hadir atau terlambat selama masa ujian. Ia harus mengikuti ujian susulan yang seperti mimpi buruk baginya.

Jam digital menunjukkan pukul 7:45 pagi. Sakuta harus berjalan selama sepuluh menit untuk ke Stasiun Fujisawa dan menaiki kereta selama lima belas menit. Mungkin juga, ia butuh waktu lima menit untuk berjalan dari Stasiun Shichirigahama ke kelasnya. Perjalanan tersebut menghabiskan waktu sekitar setengah jam jika dari apartemennya.

Ia harus meninggalkan gedung apartemen paling lambat pukul delapan tepat. Sakuta tidak punya banyak waktu sebelum akhirnya pergi ke sekolah.

“Terima kasih sudah membangunkanku, Kaede. Kau benar-benar menyelamatkanku.”

“Membangunkanmu itu sudah menjadi tugas utama Kaede!”

Senyumannya memang imut tetapi tidak mendorong Sakuta untuk terus memuji Kaede.

“Kau harus mencari tujuan lain dalam hidupmu itu.”

“Seperti membasuh punggung onii-chan saat mandi?”

“Yang tak ada hubungannya denganku.”

“Tidak, terima kasih.”

Kaede langsung menolaknya.

“Aku khawatir dengan masa depanmu,” ucap Sakuta sambil membuka lemari bajunya untuk berganti pakaian.

Ia mengambil seragam sekolah dari gantungan lemari, namun terlepas dari genggamannya dan terjatuh ke tote bag di bawah.

“Apa ini?” tanya Sakuta sambil melihat isi tas tersebut saat mengambil seragamnya yang terjatuh.

Kaede mendekat untuk melihatnya juga.

Mereka berdua melihat isi tas tersebut.

“……”

“……”

Suasananya menjadi hening sesaat.

“Ap-apa ini?!” tanya Kaede dengan gemetaran sambil menunjuk isi tas tersebut.

Sakuta juga mau menanyakan hal yang sama.

Sebuah leotard hitam dengan ekor putih berbentuk bola bulu di belakangnya. Stocking hitam dan sepatu hak tinggi. Sebuah dasi kupu-kupu. Manset putih dan bando kuping kelinci, yang menyatukan seluruh kostum tersebut.

Isi tas ini jelas-jelas sebuah kostum bunny girl.

“Apa Aku berencana membuatmu memakai kostum ini?” Hanya kemungkinan itu yang satu-satunya terpikirkan oleh Sakuta sekarang ini.

“Huh?” Kaede terdiam karena kaget.

Sakuta memakaikan kuping kelincinya ke kepala Kaede.

“Bagus juga.”

“K-kaede tak mau memakai ini! Kaede belum siap untuk memakai kostum yang begitu seksi ini!”

Merasakan bahaya mendekat, Kaede segera keluar dari kamar Sakuta.

Sakuta tidak terlalu ingin mengejarnya sepagi ini, jadi ia memasukkan kostum bunny girl tersebut ke tote bag itu lagi dan mengembalikannya ke lemari bawah.

“Seberapa lelahnya diriku ini?” gumamnya.

Ia memakai kemeja sekolahnya dan mengancingkannya. Lalu, celana dan dasinya yang ternyata agak terlihat miring.

“……”

Biasanya, ia akan langsung pergi tanpa repot-repot memperbaikinya tetapi hari ini ia merasa kalau ia harus mencoba mengikat dasinya dengan benar. Sakuta mengendurkan ikatannya dan memperbaiki simpulnya. Hasilnya jadi tampak lurus kali ini.

Sebelum mengenakan blazer sekolahnya, ia memasukkan buku catatannya ke dalam tas. Selagi ia melakukannya, Sakuta melihat sebuah buku catatan di meja dan mengambilnya.

“Apa ini?”

Ia membolak-balik halaman bukunya. Isi buku catatan tersebut hampir penuh dengan tulisan.

Catatan untuk Bahasa Jepang Modern? Setelah melihatnya lebih teliti, ternyata bukan.

Tulisan di buku tersebut dimulai dengan sebuah peringatan dan sisanya terkesan seperti buku harian.


Apa yang tertulis di buku ini mungkin akan sulit dipercaya, tapi semua isinya adalah kenyataan. Pastikan kau membacanya sampai akhir! Kau harus membacanya sampai akhir!


-----6 Mei

Aku tiba-tiba bertemu dengan seorang gadis yang mengenakan kostum bunny girl.

Dia adalah seorang senpai dari SMA Minegahara. Mai Sakurajima yang terkenal.

Ini adalah awal pertemuanku dengannya. Dari sini semuanya dimulai. Tidak mungkin Aku bisa melupakannya.

Bahkan, jika kau melupakannya—ingatlah. Kau harus mengingatnya, diriku di masa depan


Sakuta tidak yakin bagaimana menanggapinya.

“Ini khayalanku ya?”

Mungkin juga sebuah perwujudan dari masa mudanya. Sebuah ide aneh yang berubah menjadi khayalan aneh. Ia tidak bisa mengingat kalau sudah menulis hal seperti ini, tetapi ini jelas-jelas tulisan tangannya. Ia langsung menyadarinya. Jadi, Sakuta pasti menulis cerita ini sendiri.

Tetapi semakin ia membaca isi ceritanya, semakin menyakitkan buatnya.

Isinya hanya bertuliskan tentang pacar khayalan Sakuta. Halaman demi halaman bercerita tentang seorang gadis dan cerita tersebut mengisi penuh buku catatan itu. Isinya, seperti apa yang mereka bicarakan selagi menunggu kereta tiba dan menaiki kereta Enoden. Bagaimana kencan mereka berubah menjadi suatu perjalanan yang membawa mereka sampai ke Ogaki.

Sakuta memang pergi ke Ogaki beberapa hari yang lalu, tetapi yang bisa ia ingat adalah bagaimana ia tiba-tiba ingin pergi ke suatu tempat yang jauh dari kota ini dan menaiki sebuah kereta yang membawanya ke Ogaki. Sayangnya, ia melakukan semua itu sendirian.

“……”

Ruang kosong di tengah-tengah cerita tersebut mengganggunya. Dari konteksnya, sebuah nama harusnya tertulis di sini tetapi nama tersebut hilang. Ada cukup ruang untuk menulis sebuah nama seseorang.

“Apa Aku harus mengisi ini begitu mendapatkan pacar?”

Kemungkinan itu bahkan lebih menyakitkan buatnya. Sudah jelas kalau tulisan ini adalah sebuah tulisan yang tidak bisa ia tunjukkan pada siapa pun. Sakuta yakin kalau ia harus menghancurkannya SECEPAT MUNGKIN.

Tulisan ini merupakan aib baginya.

Dia terus menemukan tulisan yang tertuju ke dirinya sendiri, yang mana memperburuk isi buku itu. Hal itu membuatnya merasa malu sendiri.

Alarm Jam digital berbunyi menunjukkan pukul delapan tepat, mengingatkan Sakuta kalau ia harus segera pergi.

Ia melempar buku catatan tersebut ke tempat sampah, mengenakan blazer sekolahnya, menggendong tasnya, dan berteriak “Aku pergi dulu!” ke Kaede.

Lalu, ia pergi berangkat ke sekolah.