Kenangan Kita Berdua
(Bagian 5)

(Penerjemah : Nana)


UTS berlangsung selama tiga hari, dan hari pertama sudah kacau balau.

Tidak hanya sekadar masalah dirinya yang tidak belajar sama sekali di malam sebelumnya, ini adalah hari kedua Sakuta begadang semalaman, dan dirinya tidak bisa fokus sama sekali. Semakin ia mencoba untuk berpikir, otaknya akan berhenti melakukan tugasnya saat di tengah jalan. Pikirannya benar-benar kosong hingga menyebabkan dirinya hanya duduk manis menatap lembar jawaban ujian. Ia hanya bisa menatapnya sepanjang waktu ujian.

Setelah ujian pertama berakhir, Sakuta mengintip ruang kelas sebelah untuk menemui Rio Futaba. Futaba bahkan mengenakan jas lab putih ke kelas, jadi dirinya mudah dicari.

Dia melihat Sakuta sedang berdiri di depan pintu kelas, merapikan alat tulisnya, dan bergabung dengan Sakuta di lorong.

“Apa kau ingat?” tanya Sakuta dengan gugup.

“Huh? Ingat apa?” ucap Futaba yang terlihat kebingungan.

“Kalau begitu lupakan saja.”

“Yah, Aku akan ada di lab jika kau butuh sesuatu.”

“Baiklah.”

Ia melambaikan tangannya, dan Futaba berjalan pergi dengan jas lab yang terayun. Sakuta berharap kalau dia akan berbalik dan mengakui kalau dia sedang bercanda, tetapi hal itu tidak terjadi. Diri futaba tidak lagi terlihat saat dia menaiki tangga.

“Teorimu itu benar,” ucap Sakuta.

Dengan melupakan Mai, Futaba telah membuktikannya.

Sekarang tinggal Sakuta yang tersisa.

Hanya tinggal Sakuta yang mengingat Mai. Hanya ia yang masih bisa mendengar suara dan melihat dirinya.

“Sekarang, Aku jadi makin bersemangat!” ucapnya yang berusaha mati-matian untuk mengubah rasa takutnya menjadi motivasi untuknya.


Hari berikutnya adalah tanggal 28 Mei. Di hari kedua ujian tengah semester, Sakuta kembali mengacaukan ujiannya. Tetapi, Sakuta sudah tidak terlalu peduli dengan itu.

Ia mengantuk. Sangat mengantuk.

Setiap kali ia berkedip, Sakuta selalu tergoda untuk memejamkan matanya.

Ia belum tidur sejak kencan mereka di Hari Minggu dan sekarang sudah Hari Rabu, hari keempatnya dengan tidak tidur sama sekali.

Sakuta sudah lama melewati batas dirinya.

Ia terus-menerus merasa mual dan sudah muntah sebanyak dua kali. Sejak saat itu, ia merasa kalau ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokannya.

Tubuhnya sudah hampir mencapai batasnya. Denyut jantungnya meningkat dan angkanya tidak menentu. Kondisi kulit di wajahnya terlihat menyeramkan. Kunimi sampai khawatir saat melihatnya di kereta pagi ini. “Kau terlihat seperti zombie,” ucapnya.

Satu-satunya yang mengurangi bebannya adalah ia sudah menyelesaikan shift kerja paruh waktunya sebelum UTS ini berlangsung. Akan sangat tidak mungkin jika ia harus bekerja paruh waktu dengan kondisinya saat ini.

Kelopak matanya terasa berat seperti menolak untuk tetap terbuka. Cahaya dari matahari hanya memperburuk keadaannya dan tidak peduli seberapa keras Sakuta mencubit pahanya, ia tetap mengantuk. Terlebih lagi, menusuk dirinya dengan pensil yang tajam juga sama saja.

“Kau tampak lelah,” ucap Mai dalam perjalanan pulang.

Dia tetap pergi ke sekolah meski hanya Sakuta yang bisa melihatnya. “Tidak ada yang bisa kukerjakan di rumah,” ucapnya juga. Tetapi Sakuta tahu kalau Mai pasti ketakutan. Terlalu takut untuk berdiam diri di rumah sepanjang waktu. Sebagian dari dirinya pasti berharap jika dia tetap pergi bersekolah, situasinya pasti akan menjadi normal kembali.

“Aku selalu seperti ini selama masa ujian. Belajar semalam suntuk.”

“Itulah yang terjadi jika kau tidak sering belajar.”

“Kau terdengar seperti seorang guru.”

“Yah, jika kau benar-benar memaksa…”

“Mm?”

“Aku bisa membantumu belajar.”

“Jika kita berada di kamar yang sama, pikiranku hanya akan dipenuhi tentang seks, jadi sebaiknya tidak.”

“……”

Mai menatapnya dengan kaget. Dia benar-benar tidak mengira kalau Sakuta akan menolaknya.

“A-ah. Kalau begitu, selamat berjuang,” ucap Mai.

“Sampai bertemu besok.”

Mereka berpisah di luar apartemen.

Sakuta masuk ke lift dan menghela napas lega. Ia tidak memberi tahu Mai kalau ia masih belum tidur. Jika Sakuta memberitahunya, dia pasti akan bersikeras menyuruhnya untuk tidur.

Ia tidak ingin membuat Mai khawatir, dan Sakuta memutuskan akan terus melanjutkannya---ia tidak ingin kalau Mai merasa bertanggung jawab akan hal ini.


Saat di rumah, Sakuta duduk di sofa di ruang tamu dengan buku paket fisika yang terbuka di depannya. Buku yang ia pinjam dari Futaba setelah mereka kembali dari Ogaki. Ia berharap kalau buku itu dapat memberi petunjuk untuk menyelesaikan masalah ini.

Sebuah buku pemula tentang Teori Kuantum. Tetapi meski begitu, tingkat kesulitannya sangat tinggi sampai ia tidak dapat memahami satu kata pun. Sakuta menghabiskan waktunya sepanjang hari untuk membaca buku tersebut daripada belajar untuk ujian. Tetapi, tetap saja ia tidak dapat memahami isi buku tersebut.

Serangan gabungan antara mata yang mengantuk dan sebuah buku fisika sangat mematikan. Hampir seperti obat tidur yang ampuh. Sakuta menjaga kesadaran dirinya hanya dengan kemauan kerasnya, memaksa matanya untuk membaca kata-kata yang ada di buku.

Ia ingin membantu Mai. Hanya hal itu yang terus mendorongnya untuk tetap menjaganya terbangun.

Selama satu jam, ia terus seperti itu. Kaede juga sedang membaca buku di dekatnya, dan perutnya mulai berbunyi. Tanpa sepatah kata pun, Sakuta berdiri dan mulai membuat makan malam. Setelahnya, mereka makan bersama.

Sakuta melihat ke seberang meja dan menyadari kalau Kaede sedang mengatakan sesuatu. Ia melihatnya, namun lupa untuk menjawabnya.

“……”

“Halo?”

“Oh, huh?”

Sakuta terlalu mengantuk untuk membalas pertanyaan Kaede.

“Apa kau baik-baik saja onii-chan?”

“Ujian,” ucapnya beralasan.

“Jangan terlalu memaksakan dirimu ya, onii-chan.”

“Ya, Aku tahu.”

Tidak peduli seberat apa pun itu, Sakuta tidak bisa tertidur sekarang.

Jika ia tertidur, ia akan melupakan Mai.

Mungkin ada kemungkinan kalau ia tidak akan melupakannya, tetapi peluangnya sangat kecil.

Karenanya, Sakuta tidak bisa membiarkan dirinya tertidur.

Ia dan Kaede menyelesaikan makan malam mereka. Setelahnya, ia pergi ke luar dan berjalan menuju minimaket lagi.

Hanya duduk diam setelah makan terlalu berbahaya. Bahkan ketika sedang diam saat berdiri, ia bisa saja tertidur. Sebelum ini, ia hampir tertidur saat berdiri di Kereta Api Listrik Enoshima saat tangannya memegang salah satu gantungan kereta. Kakinya harus tertekuk, dan ia bisa kembali sadar karena lututnya menyentuh kaki seorang pekerja kantoran di kursi di depannya. Hal itu hampir saja membuatnya tertidur.

Saat di minimarket, ia kembali membeli minuman berenergi. Mulai dari yang berharga seperti semangkuk beef bowl besar. Ia terlalu banyak meminum minuman seperti ini dan efeknya kian berkurang. Parahnya lagi, efek sampingnya sangat luar biasa. Dua atau tiga jam kemudian, ia akan lebih mengantuk lagi. Tetapi menurutnya itu lebih baik daripada tidak sama sekali.

Ia keluar dari minimarket sambil memasukkan kembali dompetnya ke saku belakang celana.

Ketika angin malam bertiup ke pipinya. Sakuta menghentikan langkahnya.

Seseorang sedang menunggunya.

Ia mulai merasa panik seakan sedang tertangkap basah seperti sedang menjahili seseorang.

Keringat dingin mulai muncul.

“Apa yang kau beli?” tanya Mai dengan mengenakan baju santai, kedua kaki terbuka, dan melipat kedua tangannya di dada.

Sakuta mencoba mencari-cari alasan dari pikirannya yang gugup, tetapi tidak dapat menemukan satu alasan pun. Kurang tidur sudah membuat dirinya menjadi bodoh.

“Uh…Yah…”

Mai mendekat dan mengambil kantung belanjanya. Diintipnya isi belanjaan tersebut. “Sudah kuduga, kau tidak tidur,” tegurnya.

“……”

Ia mengira kalau dirinya bisa lolos dari pengamatan Mai, tapi sepertinya tidak. Sakuta tahu kalau dirinya terlihat sangat tidak sehat. Kunimi dan Kaede sudah mengatakannya. Akan sangat aneh jika Mai masih belum menyadarinya.

“Kau kira kau bisa menyembunyikan hal ini?”

“Aku tak ingin membuatmu khawatir.”

“Dasar bodoh! Kau tidak bisa terus terjaga selamanya.”

“Aku tak bisa memikirkan jalan keluar lain.”

Sakuta terdengar seperti seorang anak yang sedang mengamuk.

Ia tahu kalau semua ini tidak bisa berlangsung lama. Manusia harus tertidur untuk tetap melanjutkan hidup mereka dan begadang seperti ini tidak akan menyelesaikan masalahnya. Tetapi meski ia tahu kalau ini cuma mengulur waktu…hanya ini satu-satunya cara yang bisa dilakukan oleh Sakuta.

Fenomena bodoh yang menyiksa Mai ini. Mereka masih belum menemukan cara untuk menghentikannya dan mereka juga tidak tahu apakah ada cara untuk menghentikannya.

Tetapi mereka harus tetap mencarinya. Sakuta belum boleh tertidur sampai ia mengetahui cara untuk menghentikan fenomena ini.

Bahkan jika ia tidak bisa menemukan solusinya, Sakuta tidak akan menyerah begitu saja dan memilih untuk tidur.

Sakuta ingin mengingat diri Mai semampu yang ia bisa. Setiap menitnya itu penting baginya dan setiap detik ia terjaga, sedetik pula berlalu di mana Mai merasa kalau dia sudah benar-benar sendirian. Setelah terjaga setiap malam, pikirannya tidak dapat memikirkan apa pun, kecuali Mai.

“Lihat betapa pucatnya wajahmu itu! Dasar bodoh.”

“Aku sangat setuju dengan ucapanmu itu.”

“Ayo pulang.”

Mai mengembalikan kantong belanjaan tersebut dan berjalan menuju gedung apartemen mereka. Karena tidak bisa berpikir jernih, Sakuta hanya bisa mengikutinya.


Waktu menunjukkan pukul delapan lewat saat Sakuta pulang ke rumah.

Kaede pasti sedang mandi. Ia bisa mendengar suara nyanyiannya yang riang dari ruang tamu. Irama tersebut adalah jingle iklan untuk toko elektronik. Iramanya tidak panjang, jadi dia mengulanginya lagi sesaat kemudian.

Sakuta berjalan ke arah kamar tidurnya tetapi terhenti di pintu masuk.

Mai sedang duduk di atas alas duduk di ruang tamu, dengan meja lipat di sebelahnya yang dia siapkan sebelumnya.

“Kukira jika kau berkunjung ke rumah seorang cowok di jam seperti ini, berarti kau memberi tahu cowok tersebut kalau ia bisa melakukan apa pun yang ia mau.”

“Jam 8 masih tidak apa-apa.”

“Baiklah. Tapi kenapa kau ke sini?”

“Untuk menemanimu.”

“Secara romantis?”

“Tidak. Coba tebak! Aku tidak akan membiarkanmu tertidur malam ini.”

“Kedengarannya menarik.”

“Jika kau mulai mengantuk, Aku akan menamparmu hingga bangun.”

“Wow, kau langsung mau menyiksaku.”

Mai sepertinya kelihatan senang. Berapa banyak tamparan yang direncanakannya? Sakuta berharap kalau hal ini tidak menjadi fetish baru buatnya.

“Ayo, duduk!” desak Mai sambil menepuk-nepuk karpet lantai.

Sakuta melakukan apa yang diperintahkan.

“Di mana buku paketmu? Catatan?”

“Untuk apa semua itu?”

“Masih ada satu hari sebelum UTS berakhir. Aku akan membantumu belajar.”

“Engh…Tak usah repot-repot.”

Sakuta tidak akan mengingat apa pun yang ia pelajari dalam kondisi seperti ini. Hal itu hanya akan membuatnya semakin mengantuk.

“Kau ini seorang kutu buku?” tanya Sakuta.

“Aku terlalu sibuk bekerja saat semester satu, namun sejak semester kedua dimulai, nilaiku tidak pernah menyentuh angka di bawah delapan.”

Penilaian di SMA Minegahara memakai skala sepuluh poin. Angka satu sebagai yang terendah dan angka sepuluh sebagai yang tertinggi. Jadi jika semua nilainya berada di angka delapan atau selebihnya berarti Mai cukup pintar.

“Aku sangat tak menduganya.”

“Aku hanya belajar ketika ada waktu luang.”

“Kebanyakan orang akan membuang waktu mereka untuk bermain-main setiap ada kesempatan.”

“Pusatkan saja perhatianmu untuk belajar! Aku tidaklah terlalu penting untukmu.”

“Tapi kau yang terpenting untukku sekarang.”

Jika tidak, Sakuta tidak akan pernah melakukan sesuatu seperti begadang selama tiga hari berturut-turut.

“Bahkan jika kau menyelesaikan masalahku, nilaimu tetap akan hancur.”

“Mendengar hal yang begitu jelas seperti itu hanya membuatku makin mengantuk.”

“Kau harus tetap belajar.”

“Aku tidaaaak mau.”

“Meski Aku yang mengajarimu sebagai guru privat?”

“Jika kau mengenakan kostum bunny girl, mungkin Aku akan belajar.”

“Apa kau selalu seperti ini ke semua orang, Sakuta?”

“Aku hanya bersikap seperti ini ke dirimu seorang, Mai-san.”

“Aku tidak yakin kalau itu sebuah pujian.”

Sakuta menguap. Air mata di sudut matanya mulai terasa menyengat.

“Jika Aku memakai kostum bunny girl itu, kau hanya akan memikirkan tentang seks. Kalau begitu, kau tidak belajar sama sekali.”

“Aku tak sedang memikirkan hal itu.”

Sakuta benar-benar tidak memikirkannya sama sekali. Ia hanya mengatakan hal yang pertama kali muncul di kepalanya.

“Bagaimana kalau begini?” ucap Mai. “Jika kau berhasil mendapat nilai sempurna dalam ujian besok, Aku akan memberimu hadiah.”

Sebuah tawaran yang sangat menarik. Tanpa sadar ia mendekat ke Mai.

“Apa hadiahnya itu ‘Aku bisa meminta apa saja yang ku mau?”

“Tentu, silahkan saja. ‘Apa pun,’” ucap Mai dengan mengisyaratkan kalau hal itu tidak mungkin terjadi.

“Ujian besok itu Matematika II dan Bahasa Jepang Modern,” ucap Sakuta sambil memeriksa jadwal ujian. Ia mulai merasa sedikit lebih bersemangat. “Aku mungkin bisa mendapat nilai sempurna di Matematika II.”

“Apa? Apa kau, ini…pintar di Matematika?” tanya Mai yang terlihat ketakutan.

“Yah, Aku lebih bisa mengerjakan soal Matematika.”

Yang berarti ia harus mengabaikan Bahasa Jepang dan fokus pada Matematika II. Dengan ujian Bahasa Jepang, ada banyak kemungkinan dalam suatu soal jadi menurutnya susah untuk mendapatkan nilai sempurna. Tetapi jika dalam Matematika II, jawabannya sudah pasti dan selama Sakuta menunjukkan hasil kerjanya. Ia yakin tidak akan membuat kesalahan yang aneh dan tampaknya akan sangat mungkin untuk mendapat nilai sempurna.

Sakuta langsung membuka buku paket Matematika II-nya.

Namun, Mai segera mengambilnya.

“Hei, kau yang mau Aku belajar! Kenapa kau menghentikanku?”

“Aku mungkin bilang ‘Apa pun,’ tapi Aku tidak akan benar-benar melakukan apa pun,” ucap Mai yang cemberut.

“Aku tak akan meminta hal yang aneh.”

“Benarkah?”

“Aku cukup puas dengan ‘mandi bersama.’”

“Itu sudah kelewat batas.”

“Aww.”

“Su-sudah jelas kan!”

“Bahkan jika kita memakai pakaian renang?”

“Pakaian renang di bak mandi? Kenapa kau bisa memikirkan sesuatu yang begitu mencurigakan?!”

Tatapan sinisnya seperti sebuah pisau yang menusuk. Hal itu sedikit membuatnya terjaga.

“Bagaimana kalau tidur di pangkuanmu sementara kau mengenakan kostum bunny girl?”

“Kenapa kau berpikir kalau saran itu lebih masuk akal?”

Sakuta mengira begitu, tetapi Mai tampaknya tidak setuju dengannya.

“Bagaimana kalau melanjutkan kencan di Kamakura yang tak sempat kita lakukan?”

Permintaan tersebut begitu ‘biasa’ jika dibandingkan dengan yang sebelumnya sampai membuat Mai terkejut.

“Baiklah, tapi…kau yakin hanya itu keinginanmu?”

“Kau ingin sesuatu yang lebih mesum?”

“Aku tidak bilang begitu!”

Dia mendekat ke Sakuta dan mencubit pipinya dengan keras.

“Ow! Aku sudah bangun!”

“Kau benar-benar kurang ajar untuk pria seusiamu.”

Selama dua jam ke depan, Mai menemani dan membantunya belajar.

Tetapi semua yang mereka pelajari adalah Bahasa Jepang Modern. Dia melarang Sakuta untuk belajar Matematika II sama sekali.

“’Tidak ada satu pun yang bisa menjamin masa depanmu.’ ‘Masa depanmu tidak menjamin.’ Kedua kata ini dilafalkan dengan kata hosho tapi kanjinya berbeda.”

Sensei, Aku merasa ada yang aneh dari permasalahan ini.”

“Sudah, tulis saja!” desak Mai, sambil menunjuk ke buku catatan yang ada di depan Sakuta.

Sakuta menuliskan kedua aksara kanji, aksara Tionghoa yang digunakan dalam Bahasa Jepang.

“Jadi, kanji apa yang digunakan untuk kalimat ’Tak ada satu pun yang bisa menjamin masa depanmu’?”

“Yah…”

Sakuta sebenarnya tidak tahu perbedaan dari keduanya, jadi menggunakan jarinya untuk menunjuk ke salah satu kanji sambil memperhatikan reaksi Mai dengan berharap ia bisa menjawabnya dengan benar jika melihat ekspresi wajah Mai.

Tetapi Mai mengetahui niatnya.

Dia menatap langsung ke mata Sakuta sambil tersenyum manis. Bahkan, matanya seakan tersenyum yang mana terlihat lebih menakutkan.

“Kau juga bisa menunjukkan kalau ‘Keselamatan Sakuta tidak akan terjamin jika ia mencoba untuk curang lagi.’”

“Maaf. Aku butuh petunjuk.”

“Yang pertama bisa berarti tanggung jawab, sementara yang satunya lagi itu kepastian

“Kalau begitu ‘Aku harus bertanggung jawab kalau Mai akan memiliki masa depan yang cerah,’ adalah kata kerja, sementara ‘Jaminan pernikahan kalau kita berdua akan hidup bahagia selamanya,’ itu kata benda.”

“Jangan merubah kalimatnya!” Dia menggulung buku paket itu dan menggunakannya untuk memukul kepala Sakuta. “Bukannya lebih imut seperti itu.”

Sepertinya jawabannya benar, setidaknya. Jika Sakuta melihat pertanyaan yang sama di ujian, ia pasti bisa menjawabnya dengan benar lagi. Baik jawaban dan ekspresi wajah Mai sudah tertanam ke dalam ingatannya.

Mai terus memberinya berbagai soal, dan Sakuta terus mempelajari kanjinya seperti sedang memainkan sebuah permainan.

Tetapi ia tidak bisa terus-menerus untuk fokus seperti itu.

Saat mereka selesai mempelajari homonim, Sakuta berdiri.

“Aku akan mengambil minum untuk kita berdua,” ucapnya. “Kau juga mau kopi? Meski hanya kopi instan.”

“Mm.”

Mai membolak-balik buku soal kanji, mencari soal lain untuk Sakuta.

Sakuta meninggalkan kamarnya, berjalan menuju dapur, dan mulai merebus air.

Selagi ia menunggu airnya mendidih, ia melirik ke arah kamar Kaede. Lampunya sudah dimatikan, yang berarti dia sudah tertidur nyenyak.

Sakuta kembali ke kamarnya dengan memegang dua gelas kopi instan.

Ia meletakkan salah satunya di depan Mai.

“Susu dan gula?” tanya Mai.

Tujuan Sakuta adalah agar tetap terjaga, jadi ia memutuskan untuk meminum kopi hitam dan tidak menanyakannya dulu.

“Aku akan mengambilnya.”

Ia kembali dengan membawa satu sachet gula, satu karton susu, dan sebuah sendok.

Mai masih membolak-balik buku soal kanji.

“Ini, Mai-san.”

“Makasih.”

Dia mengambil se-sachet gula dan karton susu tersebut dan menuangkannya ke dalam gelasnya. Mai mulai mengaduknya perlahan.

Dirinya yang sedang mengaduk terkesan sangat feminin, dan Sakuta menikmati pemandangan tersebut sambil meneguk gelas kopinya. Cairan hitam yang terasa pahit mengisi perutnya. Panas yang dihasilkan dari cairan tersebut membuatnya merasa lega.

“Adikmu?”

“Sudah tidur.”

Kaede muncul satu jam sebelumnya, melihat Sakuta yang sedang belajar, dan mendoakan ujiannya agar berjalan lancar.

“Kau anak tunggal di keluargamu?” tanya Sakuta dengan menebaknya.

“Tidak,” ucap Mai sambil memegang gelas tersebut dengan kedua tangannya.

“Oh?”

“Setelah ayahku cerai dengan ibuku, ia menikah lagi dan punya anak dengan istri barunya, jadi…Aku punya adik tiri.”

“Dia imut?”

“Tidak seimut Aku,” ucap Mai seperti sudah jelas.

“Wow, percaya diri sekali.”

Pikiran Sakuta mulai terasa kabur.

Kepalanya pusing dan kelopak matanya terasa berat.

“Apa kau lebih suka dengan gadis yang tahu dirinya lebih imut tapi tetap bersikeras kalau gadis lain juga imut?”

“Kedengarannya gadis yang mengerikan.”

“Yang terburuk.”

“Tapi…dia adikmu sen---?”

Sakuta mendadak linglung. Kata-katanya tidak terucap.

Ia merasakan kantuk yang amat hebat.

Sial, pikirnya. Tetapi ia tidak bisa menghentikannya.

Tangannya meraih tepi meja untuk menopang dirinya.

Matanya sudah setengah tertutup.

“Baguslah, obatnya bekerja.”

Ia mencoba membuka matanya dan melihat wajah Mai. Dia sedang melihat Sakuta sambil tersenyum, tetapi terlihat sedikit rasa takut dibalik senyumnya itu dan ujung matanya mengeluarkan air mata.

“Mai-san…apa yang…?”

Jari-jarinya yang lentik memegang sesuatu.

Sebuah botol kecil yang bertuliskan OBAT TIDUR.

“Kenapa…?” Suaranya bahkan tidak dapat terdengar lagi.

“Terima kasih untuk usahamu, Sakuta.”

“Aku masih…bisa…”

Sakuta bahkan tidak bisa duduk dengan tegak.

“Kau sudah banyak membantuku.”

“…Tidak, Aku…”

“Sudah cukup.”

Mai mengulurkan tangannya dan mengusap pipi Sakuta. Rasanya hangat, menenangkan, dan terasa geli sedikit. Tetapi, perasaan itu bahkan dengan cepat berlalu.

“Tidak…Aku masih belum…”

Ia tidak yakin kalau kata-katanya bisa terdengar.

“Aku sendiri yang memulai ini semua. Bahkan, jika kau melupakanku, Aku akan baik-baik saja.”

Diri Mai sendiri terkesan kabur baginya. Jari-jemarinya masih mengusap pipi Sakuta sampai ke telinganya.

“Tapi, terima kasih untuk semuanya.”

Sakuta merasa kalau ia tidak melakukan tindakan yang layak dihargai oleh Mai.

“Dan…Aku minta maaf.”

Mai tidak melakukan apa pun yang perlu dimintai maaf.

“Kau bisa tidur nyenyak sekarang.”

Suara Mai memandu tubuhnya agar tertidur. Mata Sakuta menutup dan kesadarannya mulai menurun dan meninggalkan tubuhnya.

“Selamat tidur, Sakuta.”

Tidur yang nyenyak, dan mimpi indah…

Jangan khawatir.

Saat ini, kau mungkin merasa sedih dan kesal…

Tapi saat kau terbangun di pagi hari, kau tidak akan mengingatku ataupun menaruh perasaan padaku.

Jadi santai saja dan tidurlah yang nyenyak.

Aku sangat menikmati menghabiskan waktu berdua denganmu.

Selamat tinggal, Sakuta.