Berbicara dengan Pastor Kepala dan Kembali ke Rumah

(Penerjemah : Hikari)


Menerima omelan dari Pastor Kepala dan akhirnya pulang ke rumah lagi seakan mengalami neraka dan surga secara bersamaan. Di satu sisi, aku tidak bisa menunggu lebih lama hari di mana Ayah dan Tuuli akan menjemputku, tapi di sisi lain, hanya memikirkan tentang omelan Pastor Kepala membuat perutku perih

“Ikuti aku, Myne.”

“Baik…”

Saat aku sampai di ruangan Pastor Kepala dengan Fran dan Damuel, Pastor Kepala segera membawaku ke ruangan rahasia—yang juga merupakan ruang omelan saat ini—seperti yang dia katakan dalam suratnya.

Aku duduk di bangkuku yang biasanya. Pastor Kepala mengambil sebuah pena dan papan kayu yang ada di atas meja, menaruh sebotol tinta, dan kemudian menatapku dengan menyilangkan kaki dengan posisi yang jelas menginterogasi.

“Aku tidak memanggilmu ke sini untuk menguliahimu. Aku yakin sudah mengatakan ada hal-hal yang ingin kutanyakan padamu. Pertama, aku ingin tahu rincian mengenai alat mesin cetak-tekan yang sedang kau coba buat.”

Dia sepertinya membuat sebuah daftar pertanyaan hal-hal yang tidak bisa dia tanyakan ketika melakukan tur di Lokakarya Myne, dan sekarang begitu kami berdua begini, dia mengajukan pertanyaan demi pertanyaan tentang berapa banyak buku yang mesin cetak-tekan bisa buat dan seberapa cepat alat itu dapat lakukan. Akan tetapi, aku tidak punya jawaban jelas untuk semua pertanyaannya ini.

“Aku belum menyelesaikan mesin cetak-tekan itu, dan aku akan akan memerlukan lebih banyak mata huruf  logam sebelum aku bisa mencetak buku-buku yang hanya berisikan teks. Belum lagi kami tidak bisa mencetak apapun tanpa membuat terlebih dulu tinta dan kertas di lokakarya kami sendiri. Mustahil untuk mengetahui seberapa cepat  dan banyak yang bisa kami cetak setelah baru menyelesaikan satu buah mesin cetak-tekan.”

“Aku mengerti,” balas Pastor Kepala sebelum menunduk pada papan di tangannya. “Kalau begitu, aku ingin mendiskusikan dampaknya terhadap sejarah. Saat percetakan dimulai, apa yang akan terjadi pada mereka yang menyalin buku dengan tangan? Di duniamu, apa yang terjadi pada mereka yang mencari penghasilan dari menyalin buku-buku?”

“Beberapa orang melanjutkannya sebagai hobi, tapi dalam hal pekerjaan, gelombang otomatisasi semakin menghancurkan mereka. Memang, itu adalah proses yang lambat, dan mereka pun menghilang sepenuhnya dalam rentang waktu sekitar dua abad. Sudah pasti, itu tidak akan terjadi hanya dalam satu atau dua dekade.”

Pastor Kepala mengerutkan wajah sambil menggaruk papannya. “Kau pernah mengatakan bahwa di duniamu semua warga negara di negerimu mengikuti sekolah, dan adalah hal yang lumrah bagi semua orang untuk tahu bagaimana caranya membaca, tapi aku membayangkan itu selalu seperti itu. Apa yang berubah dalam lingkungan masyarakatmu sebagai hasil dari menjamurnya buku dan kenaikan tingkat literasi?”

“Segalanya berubah. Tapi itu tergantung dari negara dan budayanya. Kurasa rinciannya tidak akan banyak berarti pada dunia yang sama sekali berbeda.”

“Apa yang berubah, sebagai contoh?” tanya Pastor Kepala, dan aku memikirkan sejarah yang kuingat dari hari-hariku sebagai Urano. Banyak hal yang terpikirkan, tapi aku tidak yakin apakah Pastor Kepala akan mengerti karena dia tidak memiliki latar pengetahuan yang kupunya.

“Ada banyak contoh dari para rakyat jelata kelas pekerja yang menggulingkan kelas pemerintah dan memulai pemerintahan yang dipimpin oleh orang-orang lewat berbagi informasi dan mengajari satu sama lain. Di sisi lain, ada juga percetakan yang dimanipulasi dan pendistribusian informasi yang telah dipilih lebih dulu untuk mempengaruhi rakyat dengan banyak cara. Aku tahu bahwa rakyat biasa yang belajar membaca secara signifikan mengubah cara bagaimana informasi dibagikan, tapi aku tidak tahu siapa yang mengeksploitasinya dan bagaimana caranya.”

“Jadi dampaknya akan luar biasa besar sehingga mustahil untuk memperkirakan apa yang akan terjadi, sebagian karena pengaruh dari luar. Memang sangat meresahkan…” gumam Pastor Kepala sambil terus menulis-nulis di atas papannya.

“Tidak seperti duniaku, dunia ini tidak bisa bertahan tanpa pengguna mana, bukan begitu? Sulit untuk mengatakan apakah rakyat akan mengambil tindakan yang sama bahkan setelah tingkat literasi naik dan buku menyebar. Kenyataannya, kau bisa menggunakan buku untuk menyebarkan pengetahuan tentang seberapa banyak yang para bangsawan lakukan untuk rakyat biasa. Walaupun itu akan berefek sebaliknya jika para bangsawan dan biarawan tidak melakukan pekerjaan mereka dengan serius.”

“Apa maksudmu?” tanya Pastor Kepala dengan raut wajah bingung.

Aku mengangkat bahu. “Orang-orang di kota bawah tidak benar-benar mengetahui apa yang bangsawan lakukan. Hanya mereka yang ada di kota-kota pertanian di mana Doa Musim Semi dilaksanakan yang melihat para bangsawan dan biarawan biru secara langsung menyokong mata pencaharian mereka dengang mengisi cawan-cawan dengan mana. Karena itulah keyakinan mereka begitu kuat, dan mengapa mereka begitu bersedia untuk berdoa kepada para dewa daripada mereka yang ada di kota bawah. Aku juga akan berpikir demikian.”

“Aku tidak pernah mempertimbangkan keyakinan para penduduk kota bawah, maupun menginformasikan kepada mereka apa yang kami para bangsawan lakukan. Kurasa sudut pandangmu itu menarik; kau melihat banyak hal dari sudut-sudut yang tidak pernah kami lakukan.”

Aku tidak hanya lahir sebagai orang biasa di sini, aku masih mengingat dengan jelas saat-saat aku hidup sebagai Urano di Bumi. Pastor Kepala terlihat tertarik dengan sudut pandang dunia lain yang kuberikan, baik secara harfiah maupun kiasan.

“Hm. Jika begitu… Aku akan membuat keputusanku berdasarkan hal yang kutahu dengan pasti saat ini. Myne, jangan mulai mencetak dulu.”

“Eh? Kenapa?”

“Adalah hal yang mungkin untuk tetap mengendalikan rakyat tidak peduli bagaimana mereka merespon, lewat kekuatan mana. Tapi tidak diragukan lagi ada bangsawan yang menunjukkan penolakan mereka terhadap percetakan.”

Menurut Pastor Kepala, mereka yang menyalin buku dengan tangan mendapatkan penghasilan yang besar dan stabil. Untuk alasan itu, sebagian besar dari mereka yang menyalin buku dengan tangan adalah para biarawan, biarawati, dan murid-murid Akademi Kerajaan yang berasal dari keluarga miskin. Dia berkata bahwa jika aku mulai membanjiri pasar dengan buku-buku yang hanya mencetak teks, aku akan mendapatkan amarah dari hampir setiap bangsawan kelas bawah di wilayah ini.

“...Jadi maksudmu adalah kepentingan pribadi dari para bangsawan?” Itu berada di level yang sama sekali berbeda dengan konflik kepentingan pribadi yang kami temui sebelumnya, dan jujur saja, itu menakutkan.

Sementara aku gemetar ketakutan, Pastor Kepala mengangguk. “Sampai saat ini kau hanya mencetak buku-buku bergambar untuk anak-anak, dan aku yakin kau mengatakan bahwa kau terbatasi oleh kebutuhanmu untuk mencetak dengan bentuk kertas. Untuk alasan itu, kurasa dampak terhadap para bangsawan dan biarawan akan cukup terbatas sehingga tidak ada alasan untuk menghambat usahamu. Akan tetapi, apa yang akan terjadi begitu mesin cetak-tekan rampung?”

Aku sudah memutuskan untuk membeli mata huruf logam untuk menghindari susah payah dan rasa bosan dari memotong tiap huruf stensil dengan tangan. Semakin mudah mencetak buku yang disusun sepenuhnya dari teks, semakin baik. Dan pemikiran seperti itulah yang menyebabkan pekerjaan orang-orang yang menyalin buku dengan tangan jadi terampas saat di Bumi. 

“Berapa lama kau ingin aku menahan percetakan…?” tanyaku, ingin tahu berapa lama aku harus menahan rasa sakit karena memiliki mesin percetakan tapi tidak dapat menggunakannya.

Mata keemasan terangnya perlahan fokus padaku. “Sampai kau diadopsi oleh Karstedt.”

“Bwuh?”

“Seorang rakyat jelata mengganggu urusan bangsawan akan dihancurkan dalam sekejap mata. Tapi jika kau adalah puteri dari seorang bangsawan kelas atas, melakukan bisnis yang diakui oleh archduke, tidak akan mudah bagi mereka untuk menghancurkanmu dan operasi percetakanmu.”

Seorang gadis jelata yang sendirian saja mungkin akan seperti seekor semut bagi mereka, mudah untuk diinjak. Tapi aku akan memiliki status untuk diriku sendiri sebagai seorang puteri angkat seorang bangsawan kelas atas, dan dengan kuasa dari archduke, percetakanku akan menjadi bisnis pemerintah. Para bangsawan kelas bawah yang nantinya akan mendapat penghasilan tambahan tidak akan berada dalam posisi untuk bertindak melawanku. Dengan kata lain, menurut Pastor Kepala, aku akan ingin melibatkan bangsawan kelas bawah dalam bisnis percetakan; tidak akan ada orang yang bisa menghentikan jika kami memulai percetakan di seluruh duchy sekaligus. Skala diskusi ini menjadi begitu besar sehingga aku mau tidak mau menelan ludah karena gugup.

...Tapi bisakah aku tahan menunggu dua tahun lagi untuk mulai mencetak, mengingat kami sekarang sudah memiliki mesin cetak-tekan yang siap dipakai? Baru dua tahun setengah sejak aku mulai hidup sebagai Myne. Bisakah aku bertahan menghabiskan waktu panjang tanpa melakukan apapun selain mencetak buku-buku bergambar untuk anak-anak?

Seakan membaca pikiran yang berkecamuk di dalam kepalaku, Pastor Kepala langsung menatap mataku, bibirnya melengkung membentuk cengiran. “Baiklah kalau begitu, Myne. Bagaimana jika kau sekarang menjadi puteri angkat Karstedt? Kau bisa mulai membuat buku-bukumu dengan segera.”

Dia sedang mencoba untuk membujukku, dan untuk sesaat hatiku goyah. Tapi itu benar-benar hanya sesaat, dan detik berikutnya aku menggelengkan kepala.

“Tidak. Aku pada akhirnya bisa pulang… Aku tidak akan berpaling dari mereka sekarang.”

“Apa kau sebenci itu dengan ide menjadi puteri angkat Karstedt?”

“Tidak juga. Kurasa Lord Karstedt adalah orang yang luar biasa. Dia gagah dan sangat bisa diandalkan, belum lagi memiliki status yang tinggi. Aku tidak bisa membayangkan ayah angkat yang lebih baik lagi.”

Tapi tetap saja, aku ingin bersama keluargaku. Aku hanya punya waktu dua tahun lagi yang tersisa dengan mereka, dan aku tidak ingin memperpendek waktu itu lebih dari yang seharusnya.

“Kurasa kau akan merindukan keluargamu setelah terpisah dari mereka begitu lama. Hm… Pikirkanlah lagi ini setelah kembali ke rumah dan menikmati kehangatan dan rasa sayang yang kau inginkan. Mungkin kau akan berubah pikiran,” kata Pastor Kepala dengan cengiran kemenangan tipis. Itu adalah sebuah cengiran yang menjelaskan bahwa dia mengharapkan rasa cintaku pada buku akan menguasaiku, sampai aku akhirnya setuju untuk diadopsi sebelum berumur sepuluh tahun.

Aku mengepalkan tangan menjadi tinju di atas pangkuanku dan menatap balik matanya. “Jawabanku tidak akan berubah. Aku akan tinggal bersama keluargaku selama yang kubisa. Kaulah orang yang menunjukkan padaku betapa parahnya aku sebagai seorang puteri saat aku memprioritaskan buku di atas segalanya, dan betapa aku harus menghargai keluarga baru yang telah diberikan padaku.”

Alat sihirnya yang mendorong masa lalu ke hadapanku dengan cara yang begitu realistis, mengukirkan dalam hatiku bahwa, begitu hilang, keluarga seseorang tidak akan pernah kembali. Aku bukanlah orang yang sama dengan aku yang mengorbankan semuanya demi buku-bukuku.

Balasanku membuat ekspresi Pastor Kepala berubah menjadi seperti agak sedih. “Tekad sekuat itu tidak akan cepat patah, kurasa. Baiklah kalau begitu. Nikmatilah dua tahunmu mencetak begitu sedikit buku untuk anak-anak.”

“...Akan kucoba.”


“Myne, kami di sini menjemputmu,” Ayah mengumumkan. 

“Apa kau sudah selesai bicara dengan Pastor Kepala?” tanya Tuuli.

Begitu meninggalkan ruangan Pastor Kepala dan kembali ke kamarku, aku menemukan Ayah dan Tuuli sedang berdiri di aula lantai pertama, sudah menungguku.

“Ayah, Tuuli!”

Begitu aku melihat mereka, rasa tegang di perut yang membebani sejak pembicaraanku dengan Pastor Kepala pun terurai dan langsung sirna. Aku berlari ke Ayah dan melompat ke pelukannya, meninggalkan Fran dan Damuel yang berdiri di ambang pintu.

“Nah, ayo!” Ayah sudah memperkirakan itu dan menangkapku, mengangkatku tinggi ke udara. Setelah satu putaran, dia menurunkanku dan mengacak-acak rambutku dengan tangannya yang besar, terus melakukannya sampai benar-benar berantakan seperti biasanya.

“Duh, Myne. Rambutmu jadi berantakan sekali sekarang,” kata Tuuli sambil tersenyum, menyaksikan semuanya. Dia mencabut tusuk rambutku dengan menyisiriku dengan jari-jarinya. Aku menggenggam tusuk rambut itu erat-erat dan menikmati perasaan saat Tuuli menata rambutku.

“Tunggu sebentar, aku akan turun setelah berganti baju,” kataku dengan nada senang setelah buru-buru naik ke lantai dua di mana Delia mulai membantuku berpakaian. Aku melepaskan jubah biruku, kemejaku dengan lengan menggembung yang sebagian besar gadis muda kaya kenakan, dan mendorong lenganku melewati lengan baju seragam Firma Gilberta-ku untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Rasanya lebih ketat untukku daripada saat terakhir kali aku memakainya, meskipun mungkin itu hanya imajinasiku.

Dulu saat aku berlindung ketika musim dingin, rasanya cukup dingin sampai aku harus mengenakan mantel tebal hanya untuk bertahan hidup di luar, tapi sekarang saat aku akan pulang, rasanya cukup hangat sampai-sampai aku sama sekali tidak memerlukan mantel.

"...Ngomong-ngomong, Suster Myne. Apakah keluarga benar-benar sebagus itu?" Delia menelengkan kepalanya dengan bingung sambil mengancingkan blusku. "Tidak peduli betapa sungguh-sungguhnya kami melayanimu, Suster Myne, kau selalu pergi. Apakah keluargamu jauh lebih baik daripada kami?"

"Aku tidak membenci waktuku di sini selama musim dingin. Kalian semua melayaniku dengan baik, dan aku menikmatinya. Tapi aku merindukan keluargaku, dan aku ingin bersama mereka jika bisa." Aku tahu Delia dan yang lainnya melayaniku dengan yang terbaik yang bisa mereka lakukan, tapi aku tetap ingin bersama keluargaku. Aku tetap ingin pulang. "Maaf, Delia."

"Kau tidak perlu minta maaf atau apapun itu, Suster Myne. Hanya saja...aku sama sekali tidak memahaminya. Lagipula, apa itu keluarga?" tanya Delia, mengerjapkan mata birunya lebih karena penasaran atas pilihanku dan bukannya mencelaku karena meninggalkan mereka. Dia dibesarkan di panti asuhan, yang bahkan tidak yakin seperti apa orang tuanya, dan karena dia bahkan dijauhi oleh yatim-piatu yang dibesarkan bersamanya, dia sama sekali tidak punya apapun yang mirip dengan keluarga.

"Mmm. Kurasa itu berbeda tergantung dari orangnya, tapi menurutku keluarga adalah rumah untukku?"

“Rumahmu?”

"Ya. Tempat di mana aku paling bisa bersantai dibanding manapun," jawabku, dan saat mendengarnya, Delia melemparkan pandangan iri ke tangga.

“...Itu benar-benar terdengar menyenangkan.”

Begitu aku selesai berganti baju, aku mulai menyambar semua barang yang kubawa pulang. Rosina, melihat hal itu, memperingatkan bahwa aku kurang sopan dan perlu lebih menjaga gerak-gerikku secara anggun.

“Bakat Anda sebagai pemain harspiel telah berkembang banyak selama musim dingin, dan Anda membawa diri dengan lebih anggun daripada sebelumnya. Tapi Anda mudah digoyahkan oleh sekeliling Anda, jadi tolong ingatlah apa yang sudah Anda pelajari, bahkan setelah pulang ke rumah.”

Rosina, bersikap mirip seperti Pastor Kepala mulai memberiku banyak peringatan tegas untuk kuingat bahkan setelah pulang ke rumah. Ada begitu banyak peringatan yang kalau bisa aku ingin dia tuliskan; aku tidak yakin bisa mengingat meski setengahnya saja, apalagi semuanya. Dia benar-benar terlalu berlebihan. Kami bukannya tidak akan pernah bertemu lagi.

“Rosina, ingat bahwa aku akan kembali besok. Apakah ini tidak bisa menunggu sampai saat itu?”

“Ah, ya… Anda akan kembali besok.” Rosina menaruh sebelah tangannya menutupi mulut, seakan dia benar-benar lupa soal itu, dan kemudian memberikan seulas senyum tipis melankolis. “Rasanya seolah-olah Anda tidak akan pernah kembali ke sini lagi. Mungkin karena saya tidak pernah melihat Suster Christine lagi setelah dia pulang ke rumahnya.” jelasnya, memperlihat ekspresi yang begitu tragis, yang jika dia adalah sebuah patung, dia bisa ditempatkan tepat di tengah-tengah kapel. Luka yang ditinggalkan oleh majikannya yang lama ternyata lebih dalam daripada yang kukira.

“Rosina, aku akan kembali ke biara secepatnya.”

“Benar. Saya akan menunggu.”

Tidak ada banyak yang perlu kubawa pulang. Aku tidak butuh pakaian atau sepatu mewah, dan keluargaku mempunyai kebutuhan hariannya sendiri. Yang benar-benar harus kubawa pulang adalah keranjang anyam yang dulu kubawa bersamaku.

Aku menuruni tangga dengan keranjangku, dan Delia serta Rosina mengikuti di belakang. Mereka mengantar kepergianku di pintu.

“Ayah, Tuuli, aku siap.”

Semua pelayanku berkumpul di lantai pertama. Gil kelihatannya seperti buru-buru dari bengkel setelah diinformasikan, dan Fran berpakaian seperti dia akan mengantarku pulang.

“Baiklah, waktunya pergi. Semuanya, terima kasih telah menjaga Myne selama musim dingin. Itu sangat berarti,” kata Ayah.

“Tidak perlu berterima kasih pada kami, tuan. Kami ini adalah pelayan-pelayannya, kok. Itulah yang kami lakukan,” Gil membalas sambil menyengir. Aku tersenyum sedikit dengan gaya bicaranya, yang merupakan campuran sopan-santun dan santai, sambil memandangi semua orang.

“Baiklah kalau begitu. Kupercayakan kamarku pada kalian selagi aku tidak ada.”

Para pelayanku berlutut dan menyilangkan lengan di depan dada mereka. “Kami menanti kembalinya Anda dengan selamat.”

Sebagai pengawalku, Damuel harus menemaniku di perjalanan pulang, dan Fran akan bergabung dengan kami untuk mengajari Damuel jalan ke sana, karena ini adalah kali pertamanya. Kami bertemu Lutz di depan bengkel dan pulang bersama.

Saat melewati gerbang biara, aku melihat jalan berlapis batu, yang kini bebas dari salju, dan berjalan di atasnya dengan rasa nostalgia yang kental. Sudah lama sekali sejak aku berjalan melintasi kota dengan kedua kakiku sendiri, dan hari ini aku berjalan sambil berpegangan tangan dengan Lutz dan Tuuli. Aku tidak boleh berpegangan seperti ini selama berada di dalam biara. Tangan mereka terasa hangat dan menyemangatiku. Ayah mengikuti di belakang kami, bercakap-cakap dengan Damuel dan Fran tentang keamanan kota dan bahaya-bahaya yang kuhadapi.

“Sudah lama sekali sejak aku harus berjalan secepat kau, Myne,” kata Lutz.

“Um, Myne. Apa kau, um, jalannya jadi makin lambat selama musim dingin?” tanya Tuuli.

“Tunggu, apa?! Apa aku makin lambat?!”

Baik Fran maupun Damuel tidak pernah menyuruhku cepat-cepat selama kami di biara, dan ketika waktu dirasa mendesak, salah satu dari mereka langsung saja membopongku. Mungkin karena tidak ada yang menyuruhku cepat-cepat membuatku jadi melambat ke kecepatan langkah yang paling nyaman untukku.

“Dulu aku jalan secepat apa? Secepat ini?” Aku memberikan usaha terbaikku untuk melangkahkan kaki lebih cepat, tapi Lutz hanya tertawa dan menggelengkan kepala.

“Menyerahlah, Myne. Kau tidak perlu memaksakan diri begitu sekarang. Santai saja dan nikmati perjalan pulang, ya?”

Aku melihat sekeliling sambil berjalan perlahan dengan susah payah, dan tidak lama kemudian aku melihat Firma Gilberta. Mendadak aku teringat bahwa Pastor Kepala telah menyuruhku untuk menunda percetakan untuk sementara waktu.

“Kurasa kita harus pergi berbicara dengan Benno besok…”

“Apa terjadi sesuatu?”

“Pastor Kepala menyuruhku untuk menunda percetakan saat ini. Kurasa aku sebaiknya memberi tahu dia soal itu,” kataku sambil mengangkat bahu.

Tuuli melihatku, mata birunya melebar kaget. “Awww, apa? Tapi kenapa? Bukannya kau sangat, sangat ingin mulai mencetak?”

“Ada kaitannya dengan para bangsawan.”

“...Oh. Sayang sekali.” Tuuli menggunakan tangannya yang bebas untuk mengusap kepalaku; aku memejamkan mata dan tersenyum sambil menikmatinya.”

“Dia tidak bilang aku tidak akan pernah melakukannya. Aku hanya perlu menunggu dua tahun. Aku akan baik-baik saja.”

Dan aku membuat keputusan yang tepat. Sebuah mesin cetak-tekan tidak akan mengusap kepalaku atau mencoba menghiburku saat aku sedih seperti ini.


“Baiklah. Saya akan datang besok pada bel kedua untuk menjemput Anda ke biara. Pastikanlah untuk tidak pergi keluar sebelum itu,” kata Damuel dengan ekspresi tegas saat kami tiba di sumur alun-alun. Kelihatannya bahkan saat ada di rumah aku tidak akan diperbolehkan pergi ke luar rumah tanpa seorang pengawal.

“Baiklah, Tuan Damuel. Fran, aku yakin perjalanan pergi-pulangnya akan melelahkan, tapi terima kasih.”

“Ini bukan apa-apa. Silakan nikmati waktu Anda dengan keluarga malam ini. Saya akan menunggu kembalinya Anda esok hari,” kata Fran sambil menyilangkan lengan di depan dada.

“Terima kasih, Fran, Tuan Damuel. Sampai bertemu besok.”

Fran dan Damuel berbalik lalu meninggalkan alun-alun. Aku melambai pada Lutz, dan mulai menanjaki anak-anak tangga ke rumah kami di lantai lima; tapi sebelum aku menyadarinya, aku terengah-engah kehabisan napas.

“Kau bisa melakukannya, Myne. Tinggal sedikit lagi.”

Fakta bahwa aku bahkan tidak bisa berjalan pulang ke rumah tanpa disemangati Ayah dan Tuuli menunjukkan padaku seberapa banyak staminaku yang hilang selama musim dingin. Aku sejak awal sudah lemah, dan sebaiknya benar-benar tidak kehilangan sedikit kekuatanku yang telah berhasil kubangun.

“Aku pulang, Ibu.”

Aku membuka pintu ke rumahku untuk pertama kalinya setelah sekian lamanya, dan segera diserbu oleh aroma makanan yang dimasak. Ibu sudah menyiapkan meja, kemungkinan besar mendengar kami berbicara sambil menaiki tangga. Aku langsung tersenyum sumringah saat menghirup aroma masakan ibuku yang nostalgik.

“Selamat datang di rumah, Myne.” Ibu, memegangi perutnya yang besar, melihat ke arah kami setelah menaruh sebuah piring di meja. Senyumannya memenuhi hatiku dengan kebahagiaan dan rasa nostalgia yang begitu besar sampai mengubur semua rasa sedih yang telah menumpuk di dalam diriku.

“Sudah lama sekali sejak aku berjalan di luar rumah. Aku lapar sekali.”

“Taruh barang-barangmu dan bantu Ibu bersiap-siap kalau begitu.”

“Baiiiik.”

Aku menaruh keranjang anyamku dan mencuci tangan, lalu mulai menata meja dengan Tuuli. Rasanya cukup menyenangkan, karena sudah lama sekali sejak aku melakukan pekerjaan apapun sendiri.

“Jadi, Ibu. Apa sudah hampir waktunya?” tanyaku, memandangi perutnya yang sangat besar. Dia mengelusnya sambil tersenyum penuh rasa sayang.

“Itu bisa terjadi kapan saja. Mungkin si bayi sedang menunggumu pulang, Myne.”

Kalau memang seperti itu, tidak ada hal lain yang membuatku lebih senang. Aku mengelus perut Ibu dan berkata, “Kakakmu sudah pulang sekarang.” Aku merasakan sebuah tendangan, benar-benar seakan si bayi menjawabku. “Wow! Bayinya menendang. Rasanya seperti sedang bicara padaku!” kataku, membuat keluargaku tertawa.

Aku menyantap masakan Ibu, mandi dengan Tuuli sambil bermain-main, naik ke ranjang yang begitu sempit sampai-sampai aku bisa menabrak Tuuli kalau aku mencoba berguling, dan pergi tidur dengan keluargaku.

Saat pagi tiba, Ibu mengerang karena nyeri persalinan.