Kenangan Kita Berdua
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta akhirnya tidak pernah tertidur. Ia menghabiskan waktu berjam-jam menunggu matahari terbit dengan mendengar suara napas Mai yang tertidur di sampingnya.

Ia merasa terangsang selama beberapa kali. Tetapi selama apa pun ia menatap wajahnya, Mai tidak bangun-bangun juga. Dirinya yang terangsang sendirian membuatnya tampak seperti bocah bodoh. Ditambah, kesannya suram ketika dirinya memikirkan kalau hanya ia seorang diri yang bersemangat.

Jika dirinya bisa tertidur hal itu akan jauh lebih baik, namun di antara Mai yang sedang tertidur di sisinya dan rasa lelah yang melanda setelah perjalanan jauh, otot-otot di tubuhnya menegang, karenanya ia tidak merasa ingin tertidur sedikit pun. Ada hawa panas yang dirasakan oleh dirinya setelah memikirkan banyak hal sepanjang waktu.

Setelah beberapa jam berlalu, matahari di luar mulai memancarkan cahayanya.

Mai bangun sekitar pukul setengah tujuh pagi, lalu mereka berdua saling menyapa selamat pagi. Kemudian, mereka bersiap untuk check-out dari hotel tetapi karena mereka tidak membawa barang bawaan apa pun, Sakuta bersiap untuk pergi.

Lain halnya dengan Mai, dia meminta untuk mandi pagi dulu.

Hal ini menghabiskan waktu sekitar tiga puluh menit.

Ketika Mai selesai mandi, dia berkata kalau dirinya masih harus bersiap-siap, jadi Sakuta dipaksa untuk keluar dari kamar. Benar-benar curang, pikirnya.

Untuk menghabiskan waktu luangnya, ia kembali ke minimarket membeli sesuatu untuk sarapan. Ia tidak perlu terburu-buru, pikirnya lagi…

Ketika ia kembali ke kamar, mereka berdua memakan roti krim dan akhirnya bersiap untuk check-out. Setelah check-out dari hotel, waktu menunjukkan pukul delapan lewat.

Mereka berjalan ke Stasiun Ogaki dan menaiki kereta untuk kembali pulang. Kali ini mereka hanya perlu duduk manis sejauh beberapa ratus kilometer. Karena mereka menaiki Kereta Shinkansen dari Nagoya yang membuat mereka bisa tiba di Stasiun Fujisawa lebih cepat dibandingkan kemarin.

Sakuta kembali ke rumah sebelum tengah hari. Kereta Shinkansen memang sangat cepat, Hooray~ pikirnya.

Mereka kembali di rumah masing-masing dan bertemu kembali tiga puluh menit kemudian.

Mai sedang menunggu Sakuta di depan gedung apartemennya menggunakan seragam sekolah ketika Sakuta tiba sambil menahan kantuknya.

“Kau terlihat seperti orang kebingungan,” ucap Mai.

“Kau juga terlihat sangat cantik seperti biasa!”

“Dasimu miring. Tunggu sebentar.”

Mai menyerahkan tas sekolahnya ke Sakuta dan meraih kerah baju Sakuta untuk memperbaiki seragamnya.

“Aku tak pernah membayangkan kalau kita bisa bertingkah seperti pasangan pengantin baru secepat ini. Terima kasih.”

“Wajahmu sudah seperti orang bodoh. Tidak perlu menjadi orang bodoh juga.”

Mai kembali mengambil tasnya dan berjalan pergi.

“Ah! Tunggu!”

Sakuta mengejarnya dan mereka saling berjalan berdampingan.

Jalan yang ia lalui setiap harinya terasa seperti seorang teman lama. Jika tidak terlalu dipikirkan, ia yakin kalau dirinya sudah pergi selama seminggu lebih.

Meskipun mereka baru pergi selama satu hari.

Bahkan tidak sampai satu hari, karena ia benar-benar sangat terlambat untuk kencan mereka. Kenangan tersebut bahkan sudah menjadi kenangan yang lalu.

Saat ia memikirkan hal tersebut, ia kembali menahan rasa kantuknya. Efek begadang semalaman sudah mulai muncul. Ia merasa bisa tertidur kapan saja.

“Huh? Kau tidak tidur?” tanya Mai yang menatap mata Sakuta. Matanya pasti memerah karena kurang tidur.

“Menurutmu, salah siapa ini?”

“Kau menyalahkanku?”

“Kau membuatku tak bisa tertidur.”

“Karena kau terangsang?”

“Sebenarnya karena Aku gugup,” Sakuta mengaku sambil menahan rasa kantuknya, lagi.

“Terkadang tingkahmu itu imut juga,” ucap Mai.

“Kau sendiri tak gugup atau apa! Tidurmu terlihat sangat nyenyak sekali sepertinya.”

“Aku sudah terbiasa ikut syuting di mana-mana. Jadi, biasanya Aku tertidur di ruang istirahat ketika sedang jeda dan…”

Seketika, Mai berhenti berbicara dan terlihat seperti anak kecil yang sedang memikirkan suatu lelucon.

“Tertidur di sebelahmu bukan masalah besar.”

“Senang mendengarnya! Lain kali, Aku akan mencoba menjahilimu.”

“Kau tidak punya nyali untuk melakukannya.”


Ketika mereka sampai di sekolah, waktu makan siang sedang berlangsung.

Sebagian besar siswa-siswi sudah menyelesaikan makan siang mereka dan sedang bersantai-santai. Beberapa siswa sedang bermain bola basket di lapangan, dan teriakan mereka dapat terdengar dari halaman sekolah.

Suasana sekolah selalu seperti ini, tetapi rasanya sudah sejak lama mereka berdua tidak berada di sekolah---rasanya seperti hari pertama kembali ke sekolah setelah liburan musim semi atau dingin.

Saat mereka mengganti sepatu mereka dengan uwabaki di pintu masuk, Mai berkata, “Aku akan coba ke kelasku dulu.”

“Aku akan bertemu dengan Futaba. Oh, Futaba itu salah satu temanku yang masih mengingat tentangmu…”

“Futaba itu nama perempuan? Aku sangat kagum denganmu,” ucap Mai sambil menghentikan langkahnya.

“Itu marga keluarganya.”

Meski begitu, Futaba masih seorang gadis…

“Baiklah. Nanti kita bertemu lagi.”

Mai berjalan menyusuri lorong sekolah dan Sakuta mencoba mengamatinya. Dia berjalan melewati sekelompok gadis yang sedang membawa buku catatan, seorang guru geometri paruh baya yang sedang membawa slide proyektor, dan sekelompok gadis yang sedang bergosip dengan cerianya tentang siswa tampan di klub basket.

Tidak ada satu pun dari mereka yang memperhatikan keberadaan Mai. Mereka bahkan tidak menatap ke arahnya.

Namun, hal itu tidak terkesan aneh bagi Sakuta.

Dari dulu memang sudah seperti ini.

Seperti itulah diri Mai di sekolah ini.

Reaksi alami manusia ketika melihat sebuah masalah yang tidak ada satu pun orang mau menghadapinya. Semua orang berpura-pura tidak melihatnya dan menganggap kalau Mai adalah bagian dari arus/suasana di sekolah ini.

Ketika semua orang di sekolah mengabaikannya, hasilnya adalah orang lain tidak dapat melihat dirinya sama sekali. Siswa-siswi Minegahara memperlakukannya seperti itu jauh sebelum hal itu terjadi di tempat lain. Bahkan, jauh sebelum Sakuta mulai bersekolah di SMA ini.

Mai berjalan melewati kerumunan tersebut. 

Sama ketika dia berjalan melewati kerumunan orang yang terpengaruh oleh Sindrom Pubertasnya.

“……”

Sepertinya potongan-potongan petunjuk yang selama ini tersebar mulai menyatu dengan sendirinya.

Sakuta seperti dapat melihat bentuk dari akar masalahnya.

Anggapan Futaba kalau akar masalahnya berada di sekolah mulai dirasa benar.

“Azusagawa.”

Sakuta berbalik ke arah suara tersebut dan melihat Futaba sedang berdiri di belakangnya dengan kedua tangannya dimasukkan ke dalam kantung jas lab putihnya.

Ketika Futaba melihat Sakuta, dia menguap untuk menahan rasa kantuknya. Hal ini membuat Sakuta juga melakukan hal yang sama.

“Ada kabar buruk,” ucapnya.

Sakuta menguatkan dirinya.

“Semua orang selain diriku mungkin sudah melupakan Sakurajima-senpai.”

“……?!”

Alis Sakuta berkerut. Memang sebuah kabar buruk.

“Setidaknya, Kunimi juga tak mengingatnya.”

“Benarkah?”

Futaba tidak suka membual hal seperti ini. Karena ini bukan bahan tertawaan, dan Sakuta tahu kalau Futaba itu bukan tipe orang yang suka bercanda hal-hal semacam ini.

Tetapi ia tidak bisa menahan dirinya untuk menanyakan sesuatu. Sakuta sangat menginginkan kalau hal itu tidak benar-benar terjadi.

“Ketika Aku menyebut namanya, Kunimi seperti orang kebingungan. dan membalas dengan, ‘Siapa itu?’. Aku belum bertanya ke orang lain selain Kunimi, tapi…”

Sakuta melihat ke sekitar, mencari-cari seseorang untuk ditanyakan. Namun, niatnya segera diurungkan.

Mai sedang berlari kembali ke tempat Sakuta. Dengan napas tersengal, wajah yang bingung---pucat karena ketakutan.

Ketika dia mengatur napasnya, Mai menatap langsung mata Sakuta.

“Kau masih bisa melihatku?” tanya Mai.

“Ya. Dengan sangat jelas,” balas Sakuta sambil mengangguk.

Wajah pucatnya kembali seperti sediakala.

“Syukurlah…”

Mai menghela napas lega.

Tapi kenapa?

Kenapa hanya Sakuta dan Futaba yang dapat melihatnya tapi yang lain tidak? Kenapa mereka bisa melupakan Mai?

Setidaknya, kemarin bukan hanya mereka berdua saja. Kunimi, Tomoe Koga, dan teman-temannya dapat melihat Mai.

“Oh iia, Tomoe Koga!”

Sakuta berlari menuju ruang kelas siswa-siswi kelas satu.


Sakuta memeriksa setiap ruang kelas di lantai pertama dan akhirnya berhasil menemukan Koga di ruang kelas keempat yang ia periksa. Kelas 1-4. Koga sedang makan siang bersama teman-temannya di dekat jendela dengan menyatukan meja mereka.

Sakuta langsung menuju ke arahnya.

Salah satu temannya melihat Sakuta dan memperingatkan yang lain. Akhirnya, semua siswi tersebut menatap Sakuta.

“Sial, itu si…,” ucap Koga, lalu segera menutup mulutnya.

Sakuta berdiri di dekat meja mereka dan bertanya, “Apa kalian kenal Mai Sakurajima-senpai?

Tomoe Koga dan teman-temannya saling pandang dan mulai saling berbisik.

“Ada apa ini, Tomoe?”

“A---Aku tak tahu!”

“Sakura…siapa?”

“Siapa dia…?”

“Kalian melihatnya kemarin saat di gerbang tiket Enoden di Stasiun Fujisawa,” ucap Sakuta.

Mereka saling melihat satu sama lain, lalu menggelengkan kepala mereka.

“Bagaimana mungkin kalian tak mengenalnya? Dia itu artis terkenal!” Sakuta mendekat ke meja mereka. “Coba pikirkan lagi! Siswi kelas tiga yang sangat cantik… Kalian bertemu dengannya!”

Ketika Sakuta kembali mendekat, Koga terlihat ketakutan.

“Kau harus mengingatnya!” desak Sakuta sambil menaruh kedua tangannya di bahu Koga.

“A---Aku tak mengenalnya!” teriak Koga sambil berlinang air mata.

“Tolong, kau harus mengingatnya!”

“Ow!”

Sakuta menyadari kalau ia sudah meremas bahu Koga.

“Sakuta, hentikan.” Ia mendengar suara Mai, dan melihat tangan Mai sedang memegang pergelangan tangannya.

Sakuta perlahan melepaskan remasannya.

“Maaf,” ucapnya. “Aku sudah berlebihan.”

“O---oke…”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku permisi dulu.”

Setelah kembali meminta maaf, Sakuta berjalan menuju pintu masuk kelas dengan langkah berat.

“Azusagawa,” ucap Futaba. Dia mengikuti di belakang mereka berdua dan memberi isyarat dari lorong.

“Apa?”

Ketika Futaba tidak menghampirinya, Sakuta meninggalkan Mai dan mendekat ke Futaba.

“Aku punya sebuah teori,” ucap Futaba dengan pelan seperti ditujukan untuk Sakuta seorang.

Sepertinya dia sedikit ragu-ragu untuk mengatakan sisanya.

“Beritahu Aku.”

“Azusagawa…apa kau tidur tadi malam?”

Pertanyaan itu adalah awal dari penjelasan Futaba.


Hari yang sama setelah pulang sekolah, Sakuta dan Mai pulang bersama sampai Stasiun Fujisawa dan berpisah di sana.

Bahkan dalam keadaan seperti ini, Sakuta masih memiliki shift kerja paruh waktu. Ia tidak bisa beralasan sakit. “Kau harus pergi,” ucap Mai.

Sakuta bekerja sampai pukul sembilan malam, dengan sesekali mengusap matanya karena kelelahan. Saat perjalanan pulang ke rumah, ia berhenti di sebuah minimarket.

Ia mencari-cari dengan memeriksa rak-rak yang tersedia.

Lalu, Sakuta menemukan minuman berenergi berada di rak dekat kasir, di bawah minuman gelatin.

Minuman tersebut harganya berkisar dari 200-yen hingga setara dengan semangkuk beef bowl besar. Ia bahkan menemukan minuman yang harganya melebihi 1000-yen. Ia tidak mengetahui apa perbedaannya atau apa saja yang terkandung di dalamnya.

Kemudian, ia mengambil tiga minuman secara acak ditambah dengan permen karet berkafein serta beberapa permen mint dan membawa semua itu ke kasir.

Total belanjaannya kurang dari 2000-yen. Sejak perjalanan ke Ogaki dan menyewa kamar hotel, dompetnya terasa sangat ringan. Hampir seperti tidak ada apa pun yang tersisa di dalamnya.

Tetapi, sekarang bukan waktunya untuk memikirkan hal tersebut.

Ia mengingat kata-kata Futaba.

-----“Azusagawa…apa kau tidur tadi malam?”

“Tak sedikit pun,” balasnya.

Sebuah jawaban yang Futaba harapkan. “Aku juga tidak,” ucapnya lagi.

“……”

Tidak yakin dengan apa yang dimaksud oleh Futaba, Sakuta menunggu penjelasannya lebih lanjut.

“Aku hanya mengetahuinya setelah melihat hasilnya, tapi kurasa itu juga yang menjadi alasannya. Aku tak bersama dengan Sakurajima-senpai sepertimu.”

“…Tidak.”

“Kau mengingat Teori Observasi yang pernah kuceritakan sebelumnya?”

“Tentang kucing Schrödinger?”

“Kupikir sangat konyol saat itu,” ucap Futaba. Dia menatap ke arah Mai yang sedang berdiri di lorong. Sepertinya dia tidak yakin bagaimana harus bersikap di dekat Mai atau apakah dia juga harus memberi tahu Mai tentang ini. Futaba benar-benar kebingungan dengan situasinya.

“Setelah melihatnya sendiri…hal itu menakutkan.”

“Sindrom Pubertas?”

“Bukan, bahkan sebelum fenomena itu terjadi…tentang bagaimana seluruh penghuni sekolah memperlakukan dia seperti siswi biasa/udara.

“Yah.”

“Dan bagaimana sikapku biasanya dalam membaca situasinya, dengan menerima fenomena itu sebagaimana mestinya. Aku bahkan tak akan menyangkalnya.”

“Fenomena itu terjadi karena awalnya tak ada seorang pun yang mempertanyakannya. Jika seseorang merasa kalau mereka sedang melakukan suatu hal yang salah, Aku bertaruh semuanya akan menjadi berantakan.”

Dapat mengetahui kalau perilaku mereka itu salah, dapat mengerti betapa buruknya itu, dapat menyadari seberapa menyedihkannya diri mereka itu, dapat memahami betapa buruknya perilaku mereka itu…banyak orang yang tidak mampu melakukan semua itu dan dengan bangganya mengatakan, “Kita sedang mengabaikan teman sekelas kami!” Siapa pun yang dapat melakukannya pasti orang bodoh.

Sama seperti ketua kelompok yang merundung Kaede. Dia pasti berpikir, “Kenapa memangnya?”

Dalam kasus Mai, akar masalahnya ada pada dirinya sendiri. Ada saat di mana dia memilih untuk berbaur dengan sekitarnya, dan orang-orang yang menyadari hal itu bereaksi dengan menerimanya.

Keinginannya untuk menghilang membuat dirinya menjadi ‘udara’ sepenuhnya---tapi hanya terjadi setelah dia berbaur menjadi seorang siswi biasa.

“Tapi hal itu juga menjadikan sekolah sebagai petunjuk terbaik,”  ucap Futaba seakan membaca pikirannya. “Bagi Sakurajima-senpai, sekolah ini adalah kotaknya dan dirinya itu sebagai kucing di dalam kotak.”

“……”

Tidak ada satu pun yang menatap Mai. Tidak ada yang mencoba untuk menatapnya. Mai tidak diamati oleh siapa pun, jadi keberadaannya menjadi tidak pasti…dan dengan demikian, dia menghilang. Dirinya tidak menghilang---namun dia seperti menghilang. Jika tidak ada satu orang pun yang dapat melihatnya, maka sama saja kalau dia tidak ada.

Bulu kuduk Sakuta merinding.

Ia tahu apa maksud dari perkataan Futaba.

Penyebabnya berasal di sekolah ini, ada di kesadaran kolektif siswa-siswi. Ketidaktertarikan mereka akan Mai sudah tertanam jauh di alam bawah sadar mereka. Diri Mai bahkan tidak terpikirkan oleh mereka. Futaba berkata kalau semua perasaan ini---bahkan jika mereka memang disebut sebagai perasaan---adalah pemicu yang memunculkan Sindrom Pubertas Mai.

Bagaimana mungkin seseorang bisa merubah perasaan alam bawah sadar seseorang? Orang tersebut bahkan tidak sadar kalau masalah itu ada. Mereka tidak memikirkan kalau masalah tersebut benar-benar sebuah masalah dan ada hampir seribu siswa-siswi yang seperti itu di SMA Minegahara.

Bagaimana Sakuta mengubah ketidaktertarikan tersebut menjadi hal yang membuat mereka tertarik?

“……”

Sakuta seperti sedang menatap ke kegelapan dan hal itu hampir menelan dirinya utuh-utuh.

Ini adalah ketakutan terdalamnya. Penyebab utamanya. Wujud utama dari musuh yang harus Sakuta kalahkan. Sebuah ‘arus’ yang tidak bisa ia lihat namun ia tahu kalau itu ada. ‘Arus’ yang sama, yang tidak lama sebelum ini, Sakuta berkata sia-sia saja jika dilawan.

“Tapi kalau sekolah yang memulai semua itu, kenapa orang-orang yang tak ada hubungannya dengan sekolah juga tak dapat melihat Mai?”

“Mungkin Sakurajima-senpai sendiri yang membawa hal yang terjadi di sekolah ke dunia luar.”

Sakuta harus mengakui kalau kemungkinan itu ada, baik ketika ia pertama kali bertemu dengannya saat di Perpustakaan Shonandai atau saat Mai pergi sendirian ke Akuarium Enoshima. Mai membaur dengan ‘arus’ di sekitarnya dan Sakuta merasa kalau Mai sendiri yang menyebabkan semua ini.

Tapi itu tidak benar adanya saat ini.

Mai tidak ingin menghilang lagi. Sakuta sangat yakin akan hal itu. Dia sudah memutuskan akan kembali berakting, dan meski kata-katanya terdengar seperti sebuah lelucon…

Mai menanyakan:

---“Jika tubuhku mulai gemetaran dan dalam tangisku berkata kalau, ‘Aku tidak ingin menghilang!’ apa yang akan kau lakukan?”

Ucapnya kemudian:

---“Tidak ketika Aku baru mengenal seorang pria muda yang sangat lancang hingga membuatku ingin berangkat ke sekolah setiap harinya.”

Maksudnya sangat jelas setelah mengatakan kedua hal tersebut.

“Bahkan jika dia tak sengaja menyebarkan itu sendiri, perilaku seperti ini dapat menular,” ucap Futaba. “Semua orang diharapkan agar mematuhi peraturan tak tertulis, dan informasi dapat dengan mudah menyebar ke belahan dunia lain hanya dalam hitungan detik. Dunia yang kita tinggali ini dapat membuatnya terjadi.”

Jika Sakuta mencoba memperdebatkan pendapatnya, ia yakin kalau bisa menemukan sesuatu untuk membantahnya. Futaba sendiri juga tahu penjelasannya penuh dengan kekurangan. Tetapi sebagian dari dirinya mengerti tentang zaman di mana mereka hidup dan kelebihan tersebut…juga diisi dengan kekurangannya.

“……”

Jadi Sakuta merasa kalau berdebat hanya akan membuang waktu. Sejujurnya, di saat-saat seperti ini Sakuta tidak terlalu peduli dengan penjelasan tentang bagaimana fenomena ini menyebar. Kenyataan yang ada di depan mereka adalah yang terpenting.

Ketika ia memilih untuk berdiam diri…

“Kembali ke penjelasan sebelumnya…” Futaba melanjutkan penjelasannya. “Jika anggapan dan pengamatan adalah kuncinya, maka akan masuk akal jika tidur---di mana kesadaran seseorang tak sedang bekerja---adalah pemicu dimana seseorang akan kehilangan ingatan mereka.”

Saat Sakuta tersadar, ia masih bisa memikirkan dan melihat Mai. Tetapi ketika ia tertidur, tidak mungkin ia bisa sadar ketika memikirkan tentangnya. Kemampuan untuk menyadari diri Mai langsung secara alami akan melemah. Jadi ketika kesadarannya tidak sedang bekerja, Sakuta juga akan tertular anomali ini.

“……”

Ia merinding ketika memikirkan tentang malam sebelumnya. Jika ia tertidur saat itu juga, ia mungkin sudah melupakan tentang Mai…


Sakuta pulang dari minimarket dengan mengunyah permen karet berkafein. Ia juga meminum minuman berenergi pertamanya. Sebuah rasa manis yang aneh, benar-benar berbeda dari minuman manis lainnya karena ada rasa seperti obat di akhir, pikirnya.

Sakuta tidak terlalu berharap banyak, namun ia langsung merasakan efeknya. Ia seperti terbangun dengan penuh energi dan pikiran jernih.

“Kau minum apa onii-chan?” tanya Kaede setelah melihatnya membuang botol minuman ke tempat sampah. Sekarang sudah jam sebelas. Kaede biasanya sudah tertidur sekarang ini, dan dia terlihat sangat mengantuk dengan mata setengah tertutup. Sakuta yakin kalau satu-satunya alasan kenapa Kaede masih terbangun adalah karena ia yang tidak pulang kemarin malam.

“Kaede tak akan tidur sampai menebus waktu yang hilang kemarin!” ucapnya.

Jadi, Sakuta menghabiskan waktunya berbicara dengan Kaede. Kebanyakan hanya tentang buku yang dibacanya.

Kaede awalnya bersikeras kalau dia akan begadang semalaman, tetapi pada akhirnya, dia dan Nasuno tertidur di sofa sebelum tengah malam tiba.

Sakuta menggendongnya dan membawanya ke kamar tidur Kaede. Kamar tersebut penuh dengan buku. Rak-raknya penuh, dan banyak buku yang menumpuk di lantai. Sakuta harus hati-hati berjalan agar tidak membuatnya lebih berantakan lagi.

Sakuta membaringkan Kaede ke kasur dan berkata, “Tidur yang nyenyak,” sambil menyelimutinya dan mematikan lampu. Kemudian, ia menutup pintu kamarnya dengan pelan.

Sakuta kembali ke kamarnya sambil memakan beberapa permen mint. Mulut dan hidungnya terasa dingin.

Ia harus melakukan sesuatu selagi pikirannya jernih.

Sesaat kemudian, Sakuta duduk di meja belajarnya dan membuka buku catatan. Ia tidak mencoba untuk belajar meski UTS dimulai besok, jadi seharusnya ia harus sedikit beristirahat. Tetapi, ujian tersebut bukanlah prioritasnya untuk saat ini.

Saat ini, ia harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.

Ia mengetuk ujung pensil mekaniknya sebanyak dua kali dan mulai menulis sesuatu.

Segala hal yang ia ingat dalam tiga minggu terakhir. Semua hal sejak pertama kali ia bertemu Mai.

Ia menulisnya sepanjang malam.


-----6 Mei

Aku tiba-tiba bertemu dengan seorang gadis yang mengenakan kostum bunny girl.

Dia adalah seorang senpai dari SMA Minegahara. Mai Sakurajima yang terkenal.

Ini adalah awal pertemuanku dengannya. Dari sini semuanya dimulai. Tidak mungkin Aku bisa melupakannya.

Bahkan, jika kau melupakannya—ingatlah. Kau harus mengingatnya, diriku di masa depan.