Kenangan Kita Berdua
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta dan Mai menaiki kereta Jalur Tokaido dari Stasiun Fujisawa yang melaju sejauh lima puluh kilometer ke arah barat selama sekitar satu jam. Dengan gerbong kereta yang berwarna perak bercorak garis hijau-oren, membawa mereka dari Prefektur Kanagawa hingga ke Kota Atami di Prefektur Shizuoka yang merupakan kota yang terkenal akan pemandian air panasnya.

Sekarang ini pukul tujuh malam.

Mereka harus mencari tahu.

Apa yang sebenarnya terjadi dengan diri Mai?

Siapa yang masih bisa melihat dan mengingatnya?

Awalnya, mereka menganggap kalau gejala Sindrom Pubertas-nya terpusat pada diri Mai sendiri. Yang menjadi pertanyaannya adalah seberapa besar skala dari fenomena yang membuat Mai menderita saat ini?

Dalam perjalanannya ke Kota Atami, mereka turun di Stasiun Chigasaki dan Odawara, namun tidak ada yang dapat melihat Mai.

Sakuta juga menanyakan ke beberapa orang tentang Mai. Jawaban dari orang-orang tersebut hanya, “Huh?” “Siapa?” “Tak pernah mendengarnya.” “Aku tak tahu aktris itu.” tanpa ada respons positif. Ketika mereka sampai di Stasiun Atami, ia mencobanya lagi namun tetap tidak membuahkan hasil.

Sepertinya semua orang benar-benar telah melupakan tentang Mai Sakurajima. Semua orang menganggapnya tidak pernah mendengar tentangnya.

Mai melihat dan mendengar semua jawaban tersebut dengan wajah datar. Ekspresi wajahnya tidak menunjukkan rasa terkejut, sedih, atau ketakutan sekalipun dalam sikap tenangnya.


Saat di peron Stasiun Atami, Sakuta menatap ke papan penanda yang menampilkan jadwal kereta api.

Mereka harus berganti kereta untuk pergi lebih jauh lagi meskipun masih berada di Jalur Tokaido. Kereta yang membawa mereka kemari bertujuan akhir di Stasiun Atami.

Sakuta tahu kalau ada satu kereta yang menuju Shimada berangkat pukul 7:11 malam. Ia tidak tahu nama daerah itu atau di mana prefektur daerah tersebut berada. Namun, dari peta yang ia baca, daerah tersebut berada jauh ke barat dibandingkan dengan Shizuoka. Hal itu sudah cukup baginya.

Masih ada waktu enam menit sebelum keretanya berangkat. Mereka masih memiliki sedikit waktu untuk dihabiskan.

“Aku akan menelepon adikku dulu,” ucap Sakuta.

Sakuta berlari menuju telepon umum di dekat kios stasiun. Ia memasukkan koin dan mengangkat gagang teleponnya. Setelah memasukkan nomor telepon rumahnya, ia mendengarkan deringnya.

Semenit kemudian, panggilannya masuk ke mesin penjawab.

“Kaede, ini Aku.”

Kaede tidak pernah menjawab panggilan dari siapa pun, kecuali Sakuta, jadi ia harus selalu memanggilnya dari mesin penjawab terlebih dahulu.

“Halo! Ini Kaede.”

“Bagus, kau masih bangun.”

“Sekarang masih jam 7!”, Bahkan tanpa melihatnya, Sakuta bisa tahu kalau Kaede menggembungkan pipinya. “Ada apa onii-chan?

“Maaf. Aku tak bisa pulang malam ini.”

“Huh?”

“Harus pergi ke suatu tempat yang jauh karena suatu urusan.”

Urusan apa?”

“Yah…” Sakuta ragu-ragu tetapi ia memutuskan untuk menanyakannya. “Kaede, kau ingat cewek yang datang kemarin? Mai Sakurajima?”

“Tidak. Kaede tak mengingatnya.”

Jawaban Kaede seperti bukan berarti apa-apa.

“……”

Kata-kata yang ingin diucapkannya tidak mau keluar. Sakuta menggigit bibirnya, menunggu untuk meredakan emosinya.

“Memangnya, siapa dia?” tanya Kaede dengan nada cemburu.

Sakuta hampir tidak mendengar pertanyaan Kaede tersebut. Dengan mengetahui kalau orang terdekatnya memaksa Sakuta untuk menghadapi kenyataan terkesan menyakitkan untuknya. Sama kasusnya dengan Fumika Nanjou. Hal ini jauh lebih buruk dibandingkan dengan orang asing yang berkata kalau mereka tidak pernah mendengar tentang Mai.

Kenangan yang dilalui oleh dua orang tersebut benar-benar menghilang. Hal itu yang membuatnya personal dan menjadi jauh lebih nyata baginya.

“Yah, jika kau tak ingat, tidak apa-apa,” paksanya. “Makan saja mi instan di lemari dapur untuk makan malam. Kau boleh pilih rasa yang kau suka. Jangan lupa untuk memberi makan Nasuno dan menyikat gigimu sebelum tidur. Nanti ku telepon lagi. Selamat malam.”

“Uh, apa? Tunggu---!”

Koin 10-yen yang Sakuta gunakan untuk menelepon memutus teriakkan Kaede, dan panggilan itu akhirnya terputus.

Ditambah, keretanya sudah hampir berangkat.

“Ayo, Mai-san.”

“Ya.”

Sakuta dan Mai menaiki kereta yang sedang bersiap jalan di peron jalur 2 menuju Shimada.