Kencan Pertama Selalu Bermasalah
(Bagian 5)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta dan Mai berjalan di sepanjang pantai hingga menuju stasiun kereta yang biasanya mereka datangi saat bersekolah. Keduanya tidak membicarakan hal tersebut; mereka tanpa sadar berjalan ke arah jalan pulang mereka biasanya.

Selama berjalan tersebut, Sakuta berbicara ke salah satu turis paruh baya, anak kecil yang sedang bermain, dan sepasang kakek-nenek, dan bertanya tentang Mai Sakurajima. Ia selalu menanyakan hal yang sama kepada setiap orang yang mereka lewati, dan jawaban mereka selalu sama setiap kalinya.

“Aku tidak pernah mendengarnya.”

Tidak ada satu orang pun yang mengenal ataupun dapat melihat Mai.

Sebagian dari diri Sakuta berharap kalau hal itu tidak benar-benar terjadi. Ia dengan yakin percaya bahwa orang-orang yang mereka temui adalah sebagian orang yang memang tidak mengetahui apa-apa tentang Mai. Namun, harapan itu segera sirna.


Ketika mereka sampai di Stasiun Fujisawa, Sakuta menggunakan telepon umum untuk menelepon Fumika Nanjou. Ia lega karena ia menyimpan kartu namanya di dompetnya.

“Ya?” jawabnya dengan nada bicara sopan.

“Ini Sakuta Azusagawa.”

“Oh!” Nada bicaranya terdengar senang. “Kau merindukanku? Sepertinya ini hari keberuntunganku.”

“Aku tidak merindukanmu.”

“Tidak tertarik menjalin cinta dengan wanita yang lebih tua? Aku sangat ingin menjalani sesuatu yang berani seperti itu.”

“Kau sedikit lebih tua bagiku.”

“Jadi, kau butuh apa hari ini?”

Dia sangat cerdik dalam mengabaikan sesuatu yang tidak disukainya.

“Aku menelepon tentang Mai Sakurajima.”

“Kenapa tiba-tiba membicarakannya?”

Oh, harapan Sakuta sedikit cerah.

Nada bicaranya terdengar menjanjikan.

Namun, kata-kata yang diucapkan oleh Fumika berikutnya memupuskan harapan tersebut.

“Dan siapa dia itu?”

“……”

“Halo?”

“Kau tidak pernah mendengar tentang Mai Sakurajima?” tanya Sakuta sekali lagi.

“Belum pernah! Siapa dia?”

“Kalau begitu…uh, fotonya…?”

Sebuah foto bekas luka di dada Sakuta yang menjadi kesepakatan mereka berdua. Fumika masih memegangnya dan dia berjanji dengan Mai agar foto tersebut tidak tersebar ke publik sebagai ganti wawancara eksklusif tentang kenapa Mai kembali berakting.

“Aku berjanji untuk tidak memberitakannya, kan? Aku mengingatnya dan akan menepati janjiku.”

“Dengan siapa kau menjanjikannya?”

“Tentu saja denganmu. Ada apa? Kau baik-baik saja?”

Fumika terdengar khawatir dan juga penasaran. Sakuta memutuskan untuk tidak membicarakannya lebih jauh. Ia tidak mau agar Fumika mengetahuinya.

“Aku baik-baik saja. Maaf karena tiba-tiba membicarakan tentang foto itu… Kurasa, Aku berbicara hal yang aneh.”

“Percayaaalah!”

“Maaf jika Aku mengganggu waktu kerjamu. Terima kasih.”

Sakuta menutup teleponnya selagi ia masih terdengar baik-baik saja.

Setelah menaruh gagang teleponnya kembali di tempatnya, ia berdiam diri memegang gagang tersebut untuk beberapa saat.

Lalu, ia perlahan berbalik dan menatap ke arah Mai sambil menggelengkan kepalanya.

Di lain hal, Mai seperti orang yang sudah kehilangan harapan. Dia hanya mengangguk tanpa menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya.

“Terima kasih untuk hari ini,” ucapnya sambil berbalik untuk pulang.

Tidak ragu dan bimbang sedikit pun. Dia terus berjalan ke arah tempat tinggalnya.

Gaya berjalannya seperti dirinya yang biasanya.

Ketika Sakuta melihat hal itu, dadanya terasa sesak.

Seketika ia merasakan serangan panik. Ia takut kalau ia tidak akan pernah melihat Mai lagi.

Tubuhnya bergerak tanpa ia sadari.

“Mai-san, tunggu.”

Sakuta berlari mengejarnya dan menggengam pergelangan tangannya.

Mai berhenti namun tidak berbalik. Tatapannya kosong ke arah lantai di depannya.”

“Mari pergi.”

“……” Dia sedikit mengangkat kepalanya. “Kemana?”

“Mungkin masih ada orang di luar sana yang masih mengingatmu.”

“Perkataanmu terdengar seperti orang selain dirimu sudah melupakanku,” ucap Mai dengan memaksakan tawanya.

“……”

Sakuta tidak menyangkalnya. Ia tidak bisa. Cuma itu satu-satunya penjelasan yang mungkin dan Mai juga memikirkan hal yang sama. Jika tidak, dia tidak akan pernah mengucapkan kata-kata tersebut.

Tetapi Sakuta ingin percaya, percaya jika mereka pergi cukup jauh maka orang lain akan mengenal, melihat, menunjuk dirinya dan berkata,” Hei, bukankah itu Mai Sakurajima?” ia ingin percaya kalau masih ada kesempatan itu.”

“Mari kita pastikan.”

“Apa gunanya? Bagaimana jika akhirnya hanya kau satu-satunya orang yang masih mengingatku? Apa gunanya itu?”

“Kalau begitu, setidaknya Aku akan tetap menemanimu.”

“?!”

Tidak mungkin Mai tidak takut. Sangat tidak mungkin. Ketakutan itu mungkin sangat menghantuinya. Dia hampir tidak mengerti apa yang terjadi dengan dirinya dan dia juga tidak mengetahui kenapa hal itu terjadi. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi besok, jika dia pulang ke rumah sendiri tanpa ada siapa pun yang menantinya esok atau kemudian hari---hal itu pasti akan sangat menakutkan.

Bahunya yang gemetar sudah menjadi bukti yang cukup untuk Sakuta.

“…Dasar sombong,” ucap Mai.

“Dan kencan ini bisa terus berlanjut.”

“Aku terpaut satu tahun darimu, kau tahu.”

“Maaf.”

“Lenganku sakit. Lepaskan.”

Sakuta menyadari kalau ia menggenggam tangan Mai cukup keras. Lalu, ia melepaskan genggamannya.

“Maaf.”

“Kata maaf tidak akan cukup.”

“Maaf.”

Setelah mengatakan itu, mereka berdua terdiam.

Semenit berlalu tanpa keduanya mengucapkan sepatah kata pun.

“…Baiklah,” Mai akhirnya berbicara.

“Mm?”

“Jika kau masih tidak ingin melepasku, Aku tidak keberatan untuk melanjutkan kencan ini.”

Mai akhirnya menatap ke arah Sakuta dan dengan senyum nakalnya dia mencubit hidung Sakuta.

Sesaat kemudian, tangannya berhenti gemetar.