Kencan Pertama Selalu Bermasalah
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


Di luar stasiun, Sakuta dan Mai harus menunggu lama untuk dapat menyeberangi Jalan Raya Rute 134. Di sisi lain stasiun, terdapat dua puluh anak tangga yang menuju ke pantai Shichirigahama.

Dengan Pulau Enoshima di belakangnya, mereka berjalan ke tepi pantai dari bagian kota Kamakura.

Pasir pantai tersebut membuat mereka sulit berjalan normal.

“Kau tahu, meski namanya Shichirigahama, tapi panjang pantai ini bahkan tidak sampai tujuh ri?” [1]

 “Satu ri itu sekitar empat kilometer, tapi pantai ini bahkan tak sampai tiga kilometer panjangnya.”

Hal ini sangat jauh dari namanya sama sekali.

“Membosankan,” ucap Mai. Mungkin, dia yang ingin memberitahunya tentang hal itu.

“Pantai Kujuukuri di Chiba panjangnya juga tak sampai sembilan puluh sembilan ri.

“Kau tahu banyak hal tidak berguna seperti itu ya,” ucap Mai sambil menunjukkan wajah bosannya.

“Kau yang mulai membicarakannya!”

“Jadi, seperti apa dia?”

“Hmm?” Sakuta berpura-pura tidak mengerti perkataan Mai.

“Gadis gila yang percaya dengan omong kosongmu.”

“Kau cemburu?”

“Siapa namanya?”

“Kau cemburu.”

“Sudah katakan saja!”

Menggodanya lebih lanjut hanya akan membuatnya marah, jadi…

“Namanya Shoko Makinohara,” ucap Sakuta sambil mendengarkan suara deburan ombak. “Tingginya sekitar 158 cm, sedikit lebih pendek dibandingkan dirimu. Untuk beratnya, Aku tak tahu seberapa berat badannya.”

“Jika kau sampai tahu hal itu, Aku harus patut curiga.”

“Dia mendengarkan keluhanku, mendengarkannya dengan saksama, dan tingkahnya tak pernah berubah atau tak pernah menganggap kalau Aku ini pantas dikasihani.”

“Hmm.”

Mai sebelumya bertanya tentang Makinohara, tetapi sepertinya sekarang dia tidak terlalu peduli.

“Satu-satunya yang membedakan dia dengan gadis lain adalah seragam SMA Minegahara-nya.”

“……”

Baru kemudian, Mai melihat ke arah Sakuta.

“Apa kau masuk ke Minegahara untuk bertemu lagi dengannya?”

“Dengan segala hal yang sudah terjadi menyangkut Kaede, sulit untuk tetap tinggal di tempat sebelumnya---awalnya keputusannya seperti itu. Aku berdiskusi dengan ayahku agar pindah ke tempat yang jauh, tapi informasi seperti itu dapat tersebar dengan mudah di internet sejauh apa pun kau pergi, jadi kami memutuskan kalau jarak bukanlah hal yang penting. Tapi, yah…alasanku memilih bersekolah di Minegahara itu seperti yang kau bilang.”

Sakuta lebih memilih untuk mengakuinya. Setelah semua hal ini terungkap, tidak ada artinya untuk menyembunyikan hal seperti itu.

“Tapi dia menolakmu,” ucap Mai dengan ekspresi wajah yang tampak menikmati kesialan Sakuta.

“Pada akhirnya hasilnya akan sama saja, tapi…Aku tak pernah memintanya untuk menjadi pacarku.”

“Meskipun kau berada di sekolah yang sama dengannya?”

Tatapan Mai seolah menuduhnya dengan kata-kata seperti, “Jadi, apa gunanya bersekolah di SMA Minegahara kalau begitu?”

“Dia tak ada di Minegahara.”

Sakuta mengambil sebuah batu dari pantai dan melemparnya ke laut. Ia merasa kalau tempat ini adalah tempat yang sama di mana ia melempar ponselnya ke laut.

“Dia lulus dari sekolah kita?”

“Saat itu, Aku sedang duduk di kelas tiga SMP ketika kita berdua bertemu. Dia berkata kalau dia baru saja naik ke kelas dua SMA, jadi Aku ragu kalau hal itu terjadi.”

“Kalau begitu, dia pindah sekolah?”

“Akan lebih baik jika hal tersebut memang terjadi.”

“Kalau begitu ada alasan lainnya?”

“Aku mencarinya ke seluruh kelas tiga dan bertanya ke semua siswa-siswi.”

“Dan?”

Sakuta menggelengkan kepalanya.

“Tak ada satu pun yang pernah mendengar tentang seorang siswi yang bernama Shoko Makinohara.”

“……”

Mai terlihat tidak yakin dalam menanggapi hal tersebut.

“Aku memeriksa daftar nama siswi di seluruh kelas sambil bertanya-tanya apa dia tak naik kelas…bahkan Aku juga memeriksa daftar nama siswi dalam tiga tahun terakhir.”

Tetapi Sakuta tidak menemukan tanda-tanda keberadaannya.

Tidak ada catatan yang menyebutkan kalau Shoko Makinohara pernah bersekolah di SMA Minegahara.

“Aku juga tak tahu apa maksudnya. Yang Aku tahu hanyalah Aku pernah bertemu dengan seseorang yang bernama Shoko Makinohara, dan dia membantuku disaat Aku membutuhkan pertolongan.”

“Mm.”

“Mungkin karena Aku tak bisa membalas kebaikannya…Aku mencoba untuk menolongmu sebagai gantinya.”

Jika kita hadapi sendiri, kegelisahan yang dirasakan tidak akan pernah hilang dengan sendirinya. Hanya dengan ditemani oleh seseorang sudah cukup untuk mengalahkan rasa gelisah itu sendiri. Pengalaman itulah yang dirasakan oleh Sakuta dua tahun yang lalu.

“Dan juga, Aku penasaran.”

“Tentang?”

“Kenapa Sindrom Pubertas ini terjadi? Jika Aku bisa memecahkan masalah…” Tangannya memegang dadanya.

“Bekas luka itu mengganggumu?”

“Sedikit.”

Musim panas akan segera tiba, dan kelas berenang akan terasa menjengkelkan. Jika ada suatu cara untuk menghilangkan bekas luka ini, ia sangat ingin tahu caranya.

“Dan jika Aku bisa memecahkannya, mungkin Aku bisa menggunakannya untuk membantu Kaede.”

“Benar juga.”

Akan menjadi sebuah tragedi jika Kaede tidak akan mau untuk meninggalkan rumahnya. Akan menjadi sangat sia-sia jika seumur hidupnya hanya dihabiskan untuk membaca buku dan bermain dengan Nasuno.

Sakuta ingin mengajak Kaede untuk jalan-jalan ke pantai ini suatu saat nanti. Tetapi untuk melakukan itu, ia harus mencari tahu lebih banyak tentang Sindrom Pubertas dan mencari cara untuk menerapkan hal tersebut untuk kasus Kaede. Itulah yang menjadi alasan utamanya tertarik dengan Mai…

Sakuta tidak perlu mengucapkannya langsung. Dengan sebuah senyuman di wajah Mai menunjukkan kalau dirinya mengerti alasan Sakuta.

Sakuta mengambil sebuah batu lain dan melemparnya ke laut. Lemparannya melengkung seperti anak panah yang ditembakkan ke udara dan batu tersebut tenggelam dengan suara *plop*.

“Hei.”

“……”

Sakuta menunggu dalam diam untuk pertanyaan Mai berikutnya.

“Apa kau masih menyukainya?”

“……”

Sakuta tidak bisa setuju atau menyangkalnya. Yang bisa ia lakukan hanyalah menutupinya dengan senyuman.

“Apa kau masih menyukai Shoko Makinohara?” tanya Mai.

Sekali lagi, ia mencoba menyembunyikannya.

Apa Sakuta masih menyukainya?

Mungkin ia selalu menghindar ketika pertanyaan itu muncul selama ini.

Apa ia menyukai Shoko Makinohara?

Dulu, dadanya selalu diselimuti oleh rasa sakit yang menusuk setiap kali ia memikirkan tentang Shoko Makinohara. Jika ia terus-terusan memikirkannya, rasa sesak di dadanya akan sangat hebat hingga ia tidak bisa tidur sama sekali.

Tetapi setelah setahun berlalu, hal seperti itu tidak terjadi lagi. Tidak lagi.

Mungkin Sakuta sudah sejak lama mengetahui jawaban dari perasaannya dan sampai saat ini ia selalu menghindar untuk mengungkapkannya dalam kata-kata. Mungkin, sekarang saat yang tepat untuk mengatakannya.

“Dulu, Aku memang menyukainya.”

Sakuta mengucapkan kata-kata itu sembari menghadap ke laut. Dengan begitu, ia merasa lega seperti beban berat yang dipikulnya itu hilang.

Tanpa dipicu oleh suatu hal yang khusus, jalannya waktu mengubah perasaan tersebut menjadi kenangan. Tetapi patah hati tersebut menyisakan bekas luka, dan sebelum ia menyadarinya, hal tersebut juga hilang dimakan oleh waktu. Dengan cara seperti itu, manusia seperti dirinya dapat terus melanjutkan hidup mereka.

“Jika kau ingin mengatakannya, ucapkan dengan suara lantang.”

“Kurasa kau akan terus menyuruhku untuk melakukannya.”

“Aku bisa merekamnya untukmu,” Mai menawarkan sambil bersiap memegang ponselnya. “Ayo! Katakan sekali lagi!”

Sakuta merasa kalau ia mendengar rasa jengkel dari nada bicara Mai.

“Apa kau, ini,benar-benar marah?”

“Huh? Kenapa Aku harus marah?”

Mai jelas-jelas marah karena rasa jengkelnya terlihat jelas di wajahnya. Tatapan matanya tajam, dan Sakuta bisa merasakan kalau hal itu tertuju ke dirinya.

“Karena itu Aku tanya…”

“Siapa juga yang akan senang jika kencannya diganggu oleh pernyataan cinta ke gadis lain?”

“Itu dulu! Ingat kata-kata yang kugunakan!”

“Hmph.”

Mai sepertinya tidak mau mendengarkannya. Mungkin butuh beberapa saat agar dia tenang lagi. Namun, di saat Sakuta memikirkan cara untuk…

“Lihat, itu lautan!” Suara riang tersebut menarik perhatian keduanya.

Mereka melihat ke mana suara itu muncul dan melihat sepasang kekasih sedang berdiri di tangga yang menghadap ke pantai.

Si pria berambut keriting dan mengenakan headphone besar yang tergantung di lehernya.

Sedangkan si wanita bertubuh lebih kecil dan mengenakan kacamata. Ketika si pria berlari dengan riang gembira menuju laut, si wanita mengikuti dengan wajah cemberut. Sepatu hak tingginya kesulitan bergerak di pasir dan membuatnya susah berjalan.

Mereka terlihat sedikit lebih tua dibandingkan Mai dan Sakuta. Sepertinya sepasang mahasiswa dan mahasiswi.

Melihat pacar wanitanya yang kesusahan berjalan, si pria kembali berlari menuju pacarnya.

“T-tidak, jangan!” teriak si wanita tersebut.

Namun, si pria mengangkat si wanita dari pasir pantai, dan menggendongnya sampai ke tepi pantai.

“Turunkan Aku!” keluh si wanita. Si pria menurunkannya dan wajah si wanita memerah. Dia pasti menyadari sedang dilihat oleh orang lain. “Beraninya kau!”

Sementara si wanita mengomel, si pria berdiri tepat di bibir pantai dan meneriakkan, “Whoa! Ombaknya!” dan tidak mendengarkan perkataan pacarnya sama sekali. Seorang pasangan yang aneh.

“Udaranya dingin! Aku pergi,” ucap si wanita dan berbalik. Namun, si pria segera memeluknya dari belakang.

Sakuta tanpa sadar mengucapkan “Wow” karena terkesima.

Sayangnya, pasangan tersebut sibuk menggoda satu sama lain dan tidak mendengar perkataan Sakuta.

“Tubuhmu sangat hangat!”

“……”

Sepertinya si wanita merasa jengkel. Tetapi tetap saja, dia tidak mencoba melepaskan dirinya dari pelukan si pria. Si wanita yang membenamkan wajahnya di pelukan si pria terkesan romantis.

Sakuta menatap Mai.

“Aku tidak kedinginan,” ucapnya seperti menolak melakukan hal yang sama.

“Wow, Aku saaaangat kedinginan,” ucap Sakuta sambil melihat ke laut. Mai hanya menatapnya balik.

Pasangan anak kuliahan tersebut berjalan menyusuri bibir pantai sambil berpegang tangan satu sama lain.

Pemandangan tersebut terlihat seperti di dalam film.

“Kelihatannya menyenangkan,” ucap Sakuta.

“Yeah.”

“Mm?”

“L-lupakan saja.”

Apa tanpa sadar dia menginginkannya? Mai sepertinya buru-buru mengelak.

“Aku bisa memegang tanganmu.”

“Kenapa jadi terdengar seperti Aku yang ingin memegang tanganmu?” tanya Mai.

Tetapi ketika Sakuta mengulurkan tanganya, Mai menerimanya. Bukan berarti mereka bisa saling berpegangan tangan.

Ketika Mai menjauhkan tangannya, ponselnya berada di telapak tangan Sakuta. Sebuah ponsel pintar dengan pelindung yang berbentuk telinga kelinci berwarna merah muda.

“Ini buatku?”

“Bukan.”

“Kalau begitu…”

Kemudian, pandangan Sakuta tertuju ke layar ponsel.

Mai membukanya untuk menunjukkan sebuah pesan singkat.

Ia menatap ke arah Mai apakah ia boleh membacanya dan Mai mengangguk dengan ekspresi wajah tegang.

Datanglah ke Pantai Shichirigahama pukul 5 sore, tanggal 25 Mei (Minggu).

Tanggalnya hari ini dan waktu bertemunya lima menit dari sekarang.

Ia tidak yakin kenapa Mai menunjukkan pesan singkat ini.

Sampai Sakuta melihat nama penerimanya.

Manajernya.

Mai menulis pesan singkat ini untuk ibunya dan di layar tersebut menunjukkan kalau dia telah mengirimkannya. Dikirimkan di hari mereka merencanakan kencan ini. Hari di mana Mai mengumumkan kalau dia akan kembali berakting. Tepat setelah mereka berpisah di depan apartemen Mai.

Waktu menunjukkan hampir pukul lima sore.

“Kau benar-benar akan bertemu dengannya?” tanya Sakuta sambil mengembalikan ponselnya.

“Aku tidak ingin.”

“Kalau begitu tak usah.”

Sakuta tahu kalau Mai tidak pernah berbicara lagi dengan ibunya semenjak mereka bertengkar tentang photobook yang dikeluarkannya saat kelas tiganya di SMP. Dia sudah memutuskan untuk bekerja di bawah manajemen baru, jadi sepertinya dia sudah tidak perlu lagi untuk bertemu dengan ibunya secara langsung.

“Oh, apa masih ada kontrak kerja yang harus diselesaikan?”

“Aku mengakhiri kontrak kerjaku dengan manajemennya selama Aku hiatus. Jangan khawatir.”

Itu berarti pasti ada hubungannya dengan alasan pribadinya. Mungkin sebuah cara baginya untuk menyelesaikan sesuatu.

Mai menatap ke arah bibir pantai, dengan wajah sedih. Dia sudah memutuskan untuk melakukan ini tetapi dirinya enggan untuk melakukannya.

“Aku sangat percaya dengan kata-kata ‘jangan melakukan sesuatu yang tak kau inginkan,” ucap Sakuta seperti mengeluarkan isi pikirannya.

“Apa ada yang lain?”

“Ini sama seperti ‘jika kau harus melakukannya, maka lakukan secepatnya.’”

Sakuta mengulurkan tangannya ke arah laut.

Beberapa hal sebaiknya dihindari.

Dan hal lainnya tidak bisa dihindari.

Semua hal dapat ditentukan dari salah satu kemungkinan tersebut.

Jika suatu hal dapat dihindari, maka tidak perlu untuk melakukan hal tersebut. Namun jika hal tersebut tidak terhindarkan maka tidak ada artinya jika terus-menerus diabaikan.

Dan dalam kasus ini, Mai sepertinya berpikir kalau kembali berbicara dengan ibunya adalah kemungkinan yang kedua.

“Apa kau baik-baik saja?” tanya Sakuta yang memutuskan untuk terus terang kepadanya.

“Aku memutuskan ini sendiri, dan…dia sudah disini.”

Sosok wanita muda terlihat mendekat dari arah Enoshima ke ujung pantai.

“Dia selalu tepat waktu.”

Sosok wanita tersebut terlihat masih sangat jauh, Sakuta tidak bisa mengenalinya. Tetapi Mai yakin---karena mereka adalah keluarga.

“Pergilah,” desak Mai sambil melambaikan tangannya seperti sedang mengusir seekor anjing liar.

“Aku akan memperkenalkan diriku!”

“……”

Sakuta segera mengangkat tangannya dan menyerah sebelum tatapan sinis Mai muncul.

“Akan kita lanjutkan kencan ini begitu selesai. Jaga jarak sampai urusanku selesai.”

“Baiklah.”

Sakuta menjauh dari bibir pantai dan duduk di sebatang kayu apung.

Sosok wanita di kejauhan itu kian mendekat dan Sakuta bisa melihat jelas dirinya.

Sama seperti Mai, dirinya sangat menawan. Faktanya, paras Mai yang menawan berasal dari ibunya…

Ramping, tinggi, tampak masih muda---setidaknya, tidak terlihat tua karena telah melahirkan Mai 17 tahun yang lalu. Melihat sosok tersebut mengingatkan Sakuta akan gosip yang ia dengar dari teman sekelasnya, ia mendengar kalau ibunya baru berusia 20-an ketika dia mengandung Mai.

Jika gosip itu benar, berarti dia masih berusia 30-an. Tetapi hal itu masih terbilang tua untuk Sakuta, namun kesan yang ditunjukkan tidak seperti seorang ibu. Jas berwarna terang yang dikenakannya hanya memperkuat kesan tersebut.

Mai berdiam diri, melihat ibunya yang mendekat. Mungkin hanya terpisah sepuluh langkah saat ini.

Sakuta melihat kalau Mai mengatakan sesuatu. Mungkin sebuah salam dan Sakuta tidak terlalu mendengarnya karena terganggu oleh suara angin dan ombak. Dari kejauhan seperti ini, ia tidak dapat mengetahui sepatah kata pun.

Jalannya sedikit melambat tetapi dia tidak berhenti. Dia bahkan tidak menanggapi perkataan Mai.

Mai kembali mengucapkan sesuatu, kali ini menghalangi jalan ibunya dan terlihat putus asa.

“……”

Baru saat itulah Sakuta menyadari sesuatu yang tidak beres terjadi.

Tatapan ibunya seperti orang kebingungan. Melihat ke kiri dan kanan seperti sedang mencari seseorang yang akan ditemuinya di tempat ini.

Mai sedang berdiri di depannya, namun tidak sekalipun ibunya menatap ke arahnya.

“……Oh sial,” ucap Sakuta dengan rasa sesak di dadanya. Tolong, jangan jadi seperti ini,  ia berteriak di dalam hatinya.

Lalu, ibunya berjalan melewatinya.

Dia seperti tidak bisa melihat Mai sama sekali.

Dia seperti tidak bisa mendengar suara putrinya sendiri.

Dia hanya berjalan melewatinya.

Sakuta mengetahui apa yang terjadi. Ia merinding membayangkan apa yang terjadi.

Ia melihat hal itu dengan perasaan ngeri dan ketakutan menyelimuti dirinya.

Mai kembali mengucapkan sesuatu di depan ibunya sambil melambaikan tangannya dan memohon, “Apa kau bisa melihatku?”

Sangat keras hingga Sakuta dapat mendengarnya.

Tetapi ibunya berjalan melewatinya lagi. Di belakangnya, lengan Mai terkulai lemas.

Sakuta akhirnya berdiri dan berjalan ke arah Mai---dan ibunya.

Ketika Sakuta berjarak sekitar sepuluh meter darinya, ibunya melihatnya.

Ketika Sakuta berjarak sekitar lima meter, ibunya terlihat yakin.

“Apa kau yang meminta bertemu? Tanyanya. Dia tampak kesal dan hal ini mengingatkan dirinya pada Mai dan membuat Sakuta lengah. “Kenapa kau memanggilku ke tempat ini? Siapa kau? Sepertinya kau anak SMA, tapi kurasa kita belum pernah bertemu.”

Ibunya terus menanyakan banyak hal ke Sakuta.

“Nama saya Sakuta Azusagawa dan ya, saya seorang anak SMA. Di sekolah yang itu.” Ia menunjuk ke arah SMA Minegahara yang berdiri di Jalan Raya Rute 134.

“Kalau begitu, ada urusan apa kau ingin bertemu denganku, Sakuta Azusagawa? Aku ini orang yang sibuk.”

“Bukan saya yang ingin bertemu dengan anda.”

Sakuta sekilas melihat tatapan Mai dari balik bahu ibunya.

Mai agak ragu untuk sesaat tetapi kemudian dia mengangguk perlahan. Sakuta merasa kalau dia tahu kalau hal ini akan terjadi dan mengajak Sakuta dengannya untuk mempersiapkan kejadian terburuk. Dengan menggunakan “kencan” ini sebagai umpan untuk Sakuta.

“Kalau begitu siapa?”

Pertanyaan aneh, Sakuta kira.

“Mai-san. Anda sudah tahu, kan?”

Ibunya bisa ada di sini karena dia membaca pesan singkat itu. Fakta tersebut tidak akan berubah meskipun dia tidak bisa melihat Mai.

“……”

Ibu Mai menatap seluruh tubuh Sakuta, seakan sedang memeriksa dirinya.

Siapa yang memanggilku kemari? Coba ulangi lagi.”

“Mai-san.”

“Kau yakin?”

“Ya.”

Angin pantai mengacak-acak rambutnya, dan dia kembali menatanya.

“Siapa itu?” tanyanya.

“?!” Mai sangat terkejut. Rasa terkejut dan ketakutan saling bertarung untuk menunjukkan diri mereka. Ibu macam apa yang berbicara seperti itu?

“Dia itu putrimu!” teriak Sakuta yang melampiaskan emosinya.

Mereka mungkin sedang bertengkar, tetapi bukan seperti ini sikap seorang ibu.

“Aku tidak punya seorang putri. Kau pikir ini lelucon?”

Lelucon ya?!

Semakin Sakuta marah, semakin dingin sikap ibunya Mai.

“Ada apa sebenarnya? Kau ingin Aku merawatmu atau apa?”

“Tentu saja tidak! Apa yang…?”

Matanya saling bertemu dan kata-katanya terhenti. Terlihat rasa iba di mata ibunya Mai dan akhirnya Sakuta menyadari kata-kata “Siapa dia?” sebelumnya karena ibunya benar-benar tidak mengetahui siapa Mai Sakurajima itu.

Tatapan dari wanita ini membuktikan kalau dia tidak sedang berbohong.

“Oh iia, pesan singkatnya! Ada pesan singkat dari Mai-san yang bilang untuk bertemu dengan ibu di sini, kan?”

“Jika kutunjukkan, apa kau akan mengakhiri lelucon ini?”

Dia mengeluarkan ponselnya dari tas, dan menunjukkan pesan itu ke Sakuta.

“…Kenapa?” tanya Mai sambil melihat layar ponsel ibunya.

Tentunya, ibunya tidak dapat mendengar ataupun melihat dirinya.

Isi dari pesan singkat itu masih sama dengan yang Mai tunjukkan ke Sakuta beberapa menit yang lalu.

Datanglah ke Pantai Shichirigahama pukul 5 sore, tanggal 25 Mei (Minggu).

Dan nama pengirimnya bertuliskan Mai. Sakuta tidak merasa ada yang aneh dengan pesan itu.

Namun, ibunya Mai berkata kalau, “Nama pengirimnya kosong tapi Aku membuat jadwal di kalenderku dan mengingat mengosongkan jadwal untuk datang ke sini. Aku tidak mengingat kenapa Aku melakukan hal itu.”

Sakuta juga sama bingungnya karena jelas-jelas terpampang nama Mai, tetapi dari apa yang ia dengar ibunya seperti tidak bisa melihat nama itu.

Dari apa yang baru saja ibunya katakan, bahwa sudah jelas ketika dia menerima pesan singkat itu tiga hari sebelumnya, dia masih mengingat kalau pesan itu berasal dari putrinya. Karena itulah dia mengosongkan jadwal dan meluangkan waktunya untuk datang ke sini.

Namun, sehari sebelum hari pertemuannya tiba, dia benar-benar sudah melupakan tentang Mai. Bukan sekadar tidak bisa melihat atau mendengar Mai---bahkan dia tidak mengingat kalau dia mempunyai seorang putri sama sekali.

Hal ini sangat sulit dipercaya, namun perilakunya itu menunjukkan kalau hal itu memang benar-benar terjadi.

“Bagaimana mungkin?!” Mulut Sakuta tanpa sadar mengeluarkan kata-kata tersebut. Nada suaranya terdengar serak dan bahkan dirinya sendiri tidak suka mendengarnya. “Aku tidak akan mau menerimanya begitu saja!” Ia melontarkan rasa terkejutnya itu ke ibunya Mai.

“Memang sebuah cerita yang menarik untuk membuatmu terkenal, namun sedikit tidak masuk akal bagiku. Coba lagi setelah kau mengerti bagaimana cara dunia ini bekerja.”

Setelah mengatakan hal tersebut, dia berbalik dan berjalan kembali ke arah dia tiba.

“Kau itu ibunya!”

“……”

Dia bahkan tidak melihat balik, langkahnya tidak terhenti sekalipun.

“Bagaimana mungkin kau bisa melupakan putrimu sendiri?”

“…Sudah cukup,” ucap Mai dengan lirih.

“Tapi dia…!”

“Cukup.”

“Aku belum selesai berbicara!” teriak Sakuta yang tidak bisa menahan dirinya.

“…..Sudah. Jangan lagi,” pinta Mai yang terdengar seperti dirinya akan menangis.

Sakuta merasakan sebuah getaran dari dalam dirinya, ia menyadari kalau tindakannya itu hanya akan memperburuk keadaan Mai.

“Aku minta maaf,” ucap Sakuta.

“……”

“Maaf sekali.”

“……Tidak, tidak apa-apa.”

“……”

Sebenarnya apa yang terjadi dengan diri Mai?

Selama ini, Sakuta mengira kalau masalah Mai itu adalah orang lain tidak dapat mendengar dan melihatnya. Ia menganggapnya seperti itu dan Mai mungkin juga sama.

Tetapi sekarang ini sepertinya mereka berdua sudah sangat salah mengerti tentang situasinya.

Tidak satu pun dari mereka yang benar-benar memahami seluruh masalahnya.

Ibunya tidak hanya tidak melihat diri Mai maupun mendengar suaranya…dia bahkan sudah benar-benar lupa kalau Mai itu ada.

“……”

Semakin ia memikirkannya, ia semakin tidak tahu harus berbuat apa.

“Sakuta,” ucap Mai dengan mata yang sembap.

Sakuta tahu kalau Mai juga mengkhawatirkan hal yang sama.

Ibunya mungkin bukan satu-satunya orang yang tidak dapat mengingatnya. Semua orang mungkin juga sudah melupakannya.

Kapan hal ini dimulai? Mungkin ketika orang lain mulai tidak dapat melihatnya atau mungkin juga tidak.

Jika Mai benar-benar menghilang dari ingatan orang-orang…

Sayangnya, tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk memastikan kalau hal itu memang terjadi.



[1] [Nananotes: ri, satuan ukur (panjang) untuk orang Jepang yang mana satu ri itu sekitar empat kilometer di zaman modern sekarang ini.]