Kencan Pertama Selalu Bermasalah
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta berlari menuju gerbang tiket Enoden, di Stasiun Fujisawa. Tempat yang sama di mana tiap harinya ia pergi ke sekolah melalui stasiun ini. Ia berhenti di depan gerbang tiket.

Mai berjanji akan bertemu dengannya di tempat ini.

Sambil mencoba mengatur napasnya, Sakuta melihat ke sekelilingnya. Seluruh gerbang tiket yang berjejer panjangnya hanya lima atau enam meter. Tidak butuh waktu lama untuk mencari seseorang yang ingin ditemuinya.

“……”

Sayangnya, tidak ada tanda-tanda keberadaan Mai.

“Y-yah, tentu saja…”

Mai Sakurajima tidak akan pernah mau menunggu selama satu setengah jam.

“Yiiikes…Aku benar-benar mengacaukannya.”

Sakuta merasa menyesal karena telah mengingkari janjinya. Tetapi tidak mungkin ia bisa mengabaikan seorang gadis kecil yang terpisah dari ibunya atau memprediksi kekacauan yang membuatnya terlibat dengan seorang gadis SMA. Ia tetap berpegang teguh dengan pilihan yang diambilnya.

Tetapi di saat-saat ini juga, Sakuta menyesal karena tidak memiliki sebuah ponsel. Ia setidaknya bisa bilang ke Mai tentang hal yang terjadi. Bahkan jika Sakuta melakukannya, Mai pasti hanya akan bilang, “Jadi hal itu lebih penting jika dibandingkan kencan denganku?” dan membatalkan kencan mereka, jadi yah…

Ia hanya harus mencari cara agar Mai mau memaafkannya. Begitu dia menyadari kalau Sakuta tidak akan datang, amarahnya memuncak dan dia memilih untuk kembali pulang atau pergi ke suatu tempat sendiri. Tidak mudah untuk membuatnya tenang kembali.

Saat Sakuta duduk termenung dan menyesali perbuatannya, ia mendengar suara langkah kaki di belakangnya. Ia merasa kenal dengan suara langkah tersebut. Namun, suara langkah kaki tersebut muncul dari seseorang yang sedang kesal.

“Kau sangat berani membuatku menunggu selama sembilan puluh delapan menit.”

“……”

Sakuta berbalik karena ia tidak memercayai dengan apa yang didengarnya. Mai sedang berdiri di belakangnya dengan mengenakan pakaian kasual.

“Kenapa wajahmu seperti orang yang baru saja melihat hantu?”

“Mai-san yang kukenal tak akan mau menunggu dengan sabarnya selama satu setengah jam! Kau pasti seorang peniru!

Tatapan mata Mai menyipit. Sakuta yakin kalau suhu udara di sekitarnya menjadi lebih dingin dibandingkan dengan sebelumnya.

“Sekarang Aku tahu betul kau menganggapku seperti apa.”

Sakuta selalu menganggap kalau Mai itu seksi. Apa dia tahu?!

“Uh, Kau menganggap itu sebagai hinaan?”

Sayangku, memangnya ada yang lain?”

Mai sepertinya bermaksud menghinanya, tetapi bagi Sakuta kata-kata tersebut seperti sebuah hadiah baginya. Tetapi jika ia mengatakan hal ini padanya, Mai mungkin tidak akan pernah mengatakannya lagi, jadi Sakuta tetap menutup mulutnya.

“Kenapa kau tersenyum seperti itu?”

“Tak apa-apa.”

Sakuta memaksa dirinya untuk terlihat serius dan akhirnya ia menyadari dengan pakaian yang dikenakan Mai. Sebuah blus lengan panjang dengan rompi rajut berkerudung yang menyelimutinya. Rok sepanjang lutut, dengan sedikit melebar di ujungnya memberinya kesan dewasa. Sementara, sepatu bot yang dikenakan tingginya hampir menyentuh lututnya. Satu set pakaian tersebut terlihat berkelas dan elegan, tidak terlalu mewah---tapi kesannya sempurna. Sangat cocok dengan Mai yang terkesan dewasa.

“……”

Tetapi Sakuta tidak bisa melihat kulit mulus Mai dengan pakaiannya seperti itu. Mungkin hanya terlihat sedikit di sekitar lututnya.

Sakuta terlihat mengeluh karenanya.

“H-hei, kau sangat tidak sopan seperti itu!”

“Mai-san, apa kau yakin dengan hal ini?”

“Ap-apa?” tanya Mai.

“Pakaian kencan itu seharusnya rok mini tanpa mengenakan stocking!”

“Aku akan memukulmu,” ucap Mai sambil mengepalkan tangannya.

Haaa...”

“Jangan terlihat kecewa seperti itu!”

“Tapi, Aku sangat menantikannya.”

“Kau sangat berani mengatakan itu meski kau datang terlambat.”

“Kau selalu memakai stocking hitam itu ketika mengenakan seragam sekolah.”

“Y-yah, Aku sangat memperdulikan penampilanku…” gumamnya sambil mengedipkan matanya.

“Dan kau terlihat sangat menggemaskan!”

“……”

Mai mengalihkan pandangannya dari Sakuta, seakan menyuruh untuk terus memujinya.

“Mai-san, kau sangat imut!”

“Jauh lebih baik.”

“Jantungku berdebar begitu kencang, Aku jadi ingin membawa pulang dirimu dan menghias dindingku penuh dengan foto-foto dirimu!”

“Okee, sekarang kau malah terlihat seperti orang mesum. Hentikan.”

“Kalau begitu kita pergi.”

Sakuta menunjuk ke arah gerbang.

“Tunggu. Kita belum selesai bicara.”

“Apanya yang belum?”

Sakuta berharap kalau ia bisa lolos dari masalah ini, jadi sedari tadi ia berpura-pura bodoh.

“Hentikan aktingmu itu.”

“Aku tak akan pernah berani melakukan hal seperti itu dihadapanmu.”

“Aku mau dengar alasanmu. Setelahnya, kau harus minta maaf dengan tulus.”

Mai tampaknya menikmati hal ini. Ekspresi wajahnya berubah senang.

“Jika alasanmu tidak sebanding, Aku akan pulang.”

Apa Mai menunggunya selama sembilan puluh delapan menit hanya untuk menyiksanya? Teori tersebut mulai terkesan cukup meyakinkan.

“Dalam perjalananku kemari, Aku bertemu dengan seorang anak kecil yang hilang di taman.”

“Selamat tinggal.”

“Aku tahu kalau alasanku itu terdengar seperti kebohongan belaka, tapi hal itu benar terjadi!”

“Tidak ada taman sepanjang tempat kerjamu dengan stasiun ini” tunjuk Mai.

“Aku balik ke rumah dulu.”

“Kenapa?”

“Aku punya waktu lebih dan berpikir kalau sebaiknya Aku mandi dulu dan mengganti pakaian dalamku untuk berjaga-jaga.”

“……Menjijikan.”

Mai sepertinya benar-benar merasa jijik.

“Tapi Aku akan menganggap sepertinya akan sia-sia saja jika Aku memukul seorang pria menyedihkan yang lebih muda dariku…jadi, lanjutkan.”

“Terima kasih.”

“Tapi Aku tidak akan mengizinkanmu untuk mendekatiku kurang dari dua meter selama kencan kita berlangsung.”

Berarti hal itu tidak bisa disebut sebagai kencan. Semua orang pasti akan mengira kalau Sakuta sedang menguntitnya.

“Ayo, lanjutkan alasanmu itu.”

“Aku benar-benar membawa anak hilang ini ke kantor polisi.”

“Apa dia ini anak gadis?”

“Ya.”

“Kau sangat berani membuatku menunggu sementara kau menghabiskan waktu dengan gadis lain.”

“Kau juga cemburu dengan gadis yang berusia empat tahun?!”

“Tentu saja,” ucapnya dengan tegas.

Tampaknya akan sangat berisiko jika Sakuta menceritakan seluruh kejadiannya. Jika ia mengaku kalau ia bersama dengan gadis SMA imut seperti Tomoe Koga---dia memang imut---ia tidak bisa membayangkan makian seperti apa yang akan menimpanya.

“Tapi kantor polisi ada di sana.”

Mai menunjuk ke bangunan kecil tepat di luar Stasiun Fujisawa.

“Begitu Aku terlibat, Aku harus menunggu sampai polisi menemukan orang tuanya. Gadis kecil itu menangis sepanjang waktu!”

“Hmm.” Mai menatapnya dengan curiga. “Aku benci orang yang berbohong.”

“Kebetulan sekali! Aku juga sama.”

“Jika kau berbohong, Aku akan menyuruhmu memakan Pocky lewat hidung.”

“Satu batang?”

“Satu kotak penuh.”

Siksaan seperti itu tampaknya hampir bisa dilakukan, dan gambaran yang Sakuta bayangkan sudah jelas sangat mengganggunya.

“Kupikir kita tak boleh bermain-main dengan makanan.”

“Kau akan memakannya, jadi tidak masalah.”

“……”

“……”

Mai mendekat dan mengamati ekspresi wajah Sakuta. Dia sedang mencoba untuk mendesak Sakuta agar menceritakan kejadian sebenarnya. Ia bisa merasakan napas Mai menyentuh pipinya dan aroma tubuhnya tercium harum.

“Kau sangat keras kepala.”

“……”

Sekarang Sakuta benar-benar tidak bisa mengatakan yang sebenarnya. Tidak tanpa dirinya harus memakan Pocky lewat hidungnya.

“Yah, baiklah. Kau masih belum lolos, jadi mari kita mulai saja kencan ini.”

Haruskah Sakuta senang? atau…

“Terima kasih,” jawabnya merasa lega kalau---

“Oh! Si Pedofil!

Ia merasa kenal dengan suara itu…

Sakuta melihat ke arah jalan penghubung antara Stasiun Odakyu dengan JR dan melihat sosok Tomoe Koga lagi. Ditemani dengan tiga gadis lain bersamanya, yang mana adalah teman-teman yang punya janji temu dengannya. Semua gadis di grup itu tampak imut dan cukup dekat satu sama lain. Sepertinya mereka adalah kumpulan gadis populer di kelasnya.

“Si Gadis Hakata!” balas Sakuta.

Koga segera berlari ke arah Sakuta, dan berpose seperti meminta sesuatu dengan menepukkan tangan di depan wajahnya.

“Jangan panggil Aku seperti itu!” pintanya.

“Gadis Hakata?” salah satu dari temannya menyuarakan hal tersebut seperti orang kebingungan.

“Uh, kau tahu kan, oleh-oleh terkenal dari Fukuoka! Kue Baumkuchen yang berisi pasta kacang merah. Di kotaknya terdapat gambar seorang wanita, tapi seharusnya gambar tersebut dipanggil dengan nama lain.”

“Oh, Aku pernah memakannya! Rasanya enak!”

“Whoa, Tomoe!” Temannya yang lain meraih lengannya, menjauhkan dirinya dari Sakuta.

“Ap-apa?”

“Cowok itu yang terlibat dengan insiden ‘rumah sakit’,” bisik salah satu temannya. Sakuta benar-benar bisa mendengar bisikan itu.

“Huh? Tapi ia ini Ichiro Sato?” ucap Koga sambil kebingungan.

“Apa? Dari mana kau kenal nama itu? Dan cewek di sebelahnya…kau tahu.”

Mereka berempat melirik ke arah Mai. Rupanya, mereka semua bisa melihatnya.

“Ayo! Kita pergi!”

Teman-temannya membawanya melewati gerbang tiket. Tidak lama setelah itu, mereka menghilang dari pandangan Sakuta.

Setelah melihat mereka pergi, Sakuta menyadari kalau ia membuat kesalahan besar. Ia seharusnya tidak menanggapi perkataan Koga sama sekali dan berpura-pura tidak mengenalnya. Akan jauh lebih baik jika ia bersikap seperti itu.

Ia melirik ke arah Mai. Wajahnya benar-benar tanpa ekspresi.

“Sakuta.”

“Tunggu, kau salah paham.”

“Namanya Tomoe?”

S-sepertinya.”

“Jangan khawatir, Aku tidak akan pulang.” Mai merangkul tangan Sakuta. “Mari kita beli Pocky!”

“Tak apa-apa kan kalau Aku hanya makan yang bentuknya tipis?”

“Tiiiidak.”

Sakuta tidak lagi bisa menikmati suara canda Mai ataupun dua gunung yang menyentuh tangannya.

“Aku mohon ampun?”

“Tidak bisa, dasar pedofil.”

Dan begitulah kencan pertama Sakuta dengan Mai dimulai dengan mengunjungi minimarket terdekat.