Kencan Pertama Selalu Bermasalah
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Hari itu adalah hari yang cerah. Hari Minggu akhirnya tiba dan ramalan cuaca menunjukkan kalau cuaca hari ini cocok untuk berkencan.

Sakuta menyelesaikan kerja paruh waktunya tepat pukul dua siang, yang artinya memberinya cukup waktu untuk kembali ke rumahnya.

Dengan bersepeda selama tiga menit.

Kaede sudah bersiap untuk menyambutnya, dan Sakuta mengelus kepalanya sebelum berjalan menuju kamar mandi.

Sakuta berkeringat deras sepulang bersepeda dari tempat kerja, jadi ia membilas tubuhnya secepat mungkin dan mengganti celana dalamnya untuk berjaga-jaga. Lalu ia menyadari Kaede yang sedang menatapnya dengan wajah penuh kebingungan.

“Seorang pria harus bersiap untuk apa pun,” ucapnya. “Aku pergi dulu, Kaede!”

“Uh, oke. Selamat jalan.”

Kaede melihat Sakuta pergi sambil memegangi Nasuno. Sekarang pukul 2:20 dan Sakuta memutuskan untuk pergi ke Stasiun Fujisawa dengan berjalan kaki.

Langkah kakinya terasa ringan. Sakuta berjalan seperti biasanya, namun dalam hatinya, hatinya berbunga-bunga. Di kedua kakinya seolah tumbuh sepasang sayap.

Jalan yang biasanya ia lalui terasa seperti baru. Matanya berbinar-binar seraya melihat bunga yang bermekaran di sisi jalan. Ia dapat mendengar suara kicauan burung pipit yang bertengger di atas kabel telepon.

Dan ia memandang semua itu dengan perasaan gembira. Saat ini dirinya merasa sangat gembira.

Saat ia beriang gembira, terdengar isak tangis anak kecil. Posisinya saat itu mungkin setelah berjalan tiga atau empat menit dari gedung apartemennya.

Ia dapat melihat pintu masuk sebuah taman di depannya. Seorang gadis kecil sedang berdiri tepat di depan pintu masuk dan menangis sekencang-kencangnya.

“Ada apa?” ucap Sakuta mendekati anak kecil tersebut.

Gadis kecil tersebut berhenti menangis dan melihat ke arah Sakuta. Namun sesaat kemudian, dia melanjutkan tangisannya, “Kau bukan Mama!”

“Apa kau terpisah dari ibumu?”

“Mama kemana.”

“Anak hilang ya.”

“Mama hilang.”

“Pemahaman yang bagus.”

Gadis ini tampaknya memiliki masa depan yang cerah.

“Sudah, sudah, jangan menangis,” ucap Sakuta sambil berlutut dan mengusap kepalanya. “Aku akan membantu menemukan Mamamu.”

“Sungguh?”

“Tentu saja.” Sakuta mengangguk dengan tersenyum. Ia berharap kalau hal ini akan membuat gadis itu tersenyum balik, tetapi dia terlihat kebingungan. “Mari kita cari sama-sama.”

Sakuta mengulurkan tangannya, tetapi sebelum ia dapat berdiri…

“Mati sana, dasar pedofil [1] mesum!” seseorang berteriak dari belakangnya.

Apa? Sakuta mencoba berbalik dan melihat sumber suara itu, tetapi sebelum ia bisa melihat wajah orang yang meneriakkan kata-kata tersebut, sebuah rasa nyeri muncul dari bokongnya.

Rasanya seperti ujung dari sepatu bot mendarat tepat di tulang ekornya. Yang mana kejadian itu memang benar terjadi…

“Aughhh! Sakuta berteriak kesakitan sambil berguling-guling di jalanan. Setelah mengintipnya sekilas, Sakuta melihat seorang gadis seumurannya. Seorang gadis SMA.

Dengan model rambut bob pendek. Rok pendek yang menunjukkan kaki mulusnya. Riasan yang natural---dari fashion terkini.

“Cepat! Lari!” desaknya sambil terlihat serius.

Gadis kecil itu hanya menatap diam. “Huh? Kenapa?” tanyanya dengan sangat kebingungan.

“Sudah jelas kan! Ayo!”

Sakuta tidak terlalu menyadarinya, tetapi gadis remaja itu meraih tangan gadis kecil tersebut dan mencoba melarikan diri dari tempat ini.

“Sebelum pedofil mesum ini bangun!”

“Aku bukan pedofil mesum!” ucap Sakuta sambil mencoba berdiri dan memegangi bokongnya. Bokongnya sakit sekali, dan ia kesulitan untuk berdiri. Kedua kakinya gemetaran seperti seekor anak rusa yang baru lahir.

“Tapi ia membantuku mencari Mama.”

“Huh?” gadis remaja itu terkejut dengan ucapan gadis kecil tersebut dan melihat ke arah Sakuta. “Jadi kau benar-benar bukan pedofil?”

“Aku suka wanita yang lebih tua dariku.”

“Jadi kau tetap orang mesum?!”

Pernyataan gadis remaja tersebut jelas-jelas membuatnya kebingungan sendiri. Tetapi setelah Sakuta melihat diri gadis remaja itu dengan jelas, dia cukup imut pikirnya. Dengan wajah yang sedikit terlihat seperti baby face, dengan bentuk mata yang bulat dan besar. Riasan ringan yang dia kenakan membuatnya terkesan natural. Sakuta melihat banyak siswi di sekolahnya yang mengenakan riasan tebal, namun gadis ini mengenakan riasannya dengan tepat kiranya.

“Aku melihat gadis kecil ini menangis dan mencoba membantu mencari ibunya yang hilang.”

“Tak mungkin. Jadi dia anak hilang.”

“Mama hilang,” gadis kecil itu berkata demikian.

Setelah mengatakan hal tersebut, gadis kecil itu menjauh dari gadis remaja yang tiba-tiba datang dan mendekat ke Sakuta. Kemudian, dia memegang lengan baju Sakuta. Sepertinya, situasinya sudah berbalik.

Di saat ini juga, gadis remaja itu harus mengakui kalau dia salah menilai situasinya. Dia tersenyum dengan canggung.

“Ugh, bokongku sakit!”

“M-maaf. Ah-ha-ha.”

“Kurasa kau membuat bokongku terbelah dua!”

“Apa? Kedengarannya buru---T-tunggu sebentar, bukannya memang seperti itu!”

“Ow, oww, owwww.”

“B-baiklah! Aku mengerti!” teriak gadis itu…lalu dirinya berbalik dan memegang tiang telepon sekuat-kuatnya. “Silahkan!”

Dan setelah mengatakan hal itu, dia menunjukkan bokong yang dibalut dengan rok pendek ke arah Sakuta.

“Silahkan apa?”

Dia ingin agar Sakuta menendang bokongnya juga, tetapi menendang seorang gadis remaja di siang bolong bukan gayanya.

“Cepatlah, lakukan saja! Aku harus bertemu dengan temanku!”


Sakuta juga harus bertemu dengan seseorang. Sebuah kencan yang sangat penting dan semakin lama ia menghabiskan waktu di tempat ini, semakin mepet waktunya untuk bertemu dengan Mai. Ditambah, ia masih harus membantu gadis kecil ini---ia sudah yakin kalau dirinya akan terlambat saat ini juga. Ia tidak bisa membuang waktu lebih lama lagi.

Mungkin akan lebih cepat selesai jika harus menendang bokong gadis remaja itu dan segera pergi.

“Oke, baiklah.”

Ia menendangnya dengan pelan. Pikirnya hal itu sudah cukup.

“Lebih kencang lagi!” teriak gadis itu sambil menatap Sakuta.

“Kau yakin?”

Sakuta menendangnya sedikit lebih kencang dibandingkan sebelumnya hingga terdengar suara keras.

“Lagi!”

Sepertinya masih belum cukup, pikirnya.

“Baiklah, jangan salahkan Aku nanti!”

Gadis remaja itu mendesak Sakuta.

Seorang pria yang baik berkewajiban untuk memenuhi permintaan dari seorang wanita.

Sakuta menurunkan titik pusat gravitasi badannya dan menarik kakinya ke belakang, menyiapkan dirinya. Lalu, pandangannya terpaku pada bokong sasarannya, ia berhati-hati membidik, dan melepaskan tendangan sekuat yang ia bisa.

Suara benturan keduanya terdengar sangat keras.

Sesaat kemudian…

“O-owieeee!” teriaknya. “Unh…” ditambah dengan logat Hakata.

Dia jatuh terguling sambil merintih. Kedua tangannya memegang bokongnya. Rasa sakit yang dirasakan begitu hebat sampai dia tidak bisa berkata apa-apa. Bibirnya bergerak seperti mulut ikan emas.

“Bokongku terbelah dua…,” jawabnya kemudian.

“Jangan khawatir! Memang sudah seharusnya seperti itu.”

“Uh, kalian sedang apa?”

Mereka berdua membalikkan badan mereka. Seorang pria berseragam polisi sedang menatap mereka dengan bingung.

“Sayangnya, kalian tidak boleh melakukan perilaku menyimpang seperti itu di siang bolong seperti ini.”

“Gadis ini yang menyimpang!” ucap Sakuta sambil menunjuk gadis remaja itu.

“T-tidak! Aku tak begitu! Aku punya alasan yang bagus untuk ini!” dia terdengar seperti orang putus asa.

“Kalian bisa menjelaskan alasannya di kantor polisi nanti.”

Polisi itu memegang satu tangan Sakuta dan gadis remaja tersebut. Mereka tidak bisa kabur dari situasi itu. Para polisi tahu bagaimana cara menahan seseorang. Polisi yang ini mungkin terlihat seperti sudah berumur, tetapi tenaganya masih cukup kuat. Dengan begitu, keamanan di lingkungan sekitar sudah terjamin.

“Aku punya hal penting yang harus dilakukan! Tolong lepaskan!”

Jika dirinya harus diinterogasi pasti akan menyusahkan. Bahkan, jika suatu keajaiban muncul dan hal itu hanya berlangsung lima sampai sepuluh menit. Mai tidak akan menunggu selama itu. Lagi pula, dia itu Mai Sakurajima.

“Tentu, tentu. Jangan mencoba melawan. Lewat sini. Kau juga adik kecil. Mamamu sudah menunggu di kantor.”

“Benarkah? Yay!”

Saat petugas polisi itu menyeret mereka ke kantor, Sakuta merasa lega karena setidaknya masalah anak hilang tersebut terselesaikan.

Namun, perasaan lega tersebut dengan cepat hilang saat petugas polisi itu bergumam, “Kenapa anak-anak zaman sekarang suka sekali menyakiti diri mereka?”


Petugas polisi tersebut akhirnya melepaskan mereka setelah satu setengah jam berada di kantor polisi. Sakuta melihat ke arah jam dinding saat mereka meninggalkan tempat itu dan sangat terkejut ketika jarum pendek menunjuk angka empat. Dalam hatinya, “Apa ada yang bisa menciptakan mesin waktu?”

“Ugh, menyebalkan,” gerutu gadis remaja itu. Dia tampak kelelahan.

“Seharusnya Aku yang mengucapkan itu, bodoh.”

“Siapa yang kau panggil bodoh? Dirimu yang bertindak seperti orang mencurigakan adalah awal dari semua masalah ini!”

“Dan kau salah menduganya, jadi sebagian salahmu juga.”

“Alasannya tak keren.”

“Bukan alasan. Tapi memang itu faktanya dan semua ini salahmu karena ceramahnya jadi selama itu, Koga.”

Koga bereaksi tanpa sadar.

“…Bagaimana kau tahu namaku?!”

“Tomoe Koga. Nama yang imut!”

“Kau bahkan tahu nama lengkapku?!”

Apa dia lupa kalau sebelumnya dia memberitahunya saat diceramahi oleh polisi tadi? Sakuta bahkan tahu di mana dia bersekolah. Koga sebenarnya seorang siswi di SMA Minegahara, sama seperti Sakuta. Setahun dibawahnya. Jadi sebenarnya, ia itu senpainya.

“Aku tahu semuanya tentangmu.”

“Tak mungkin.”

“Kau dari Fukuoka, kan?”

“Kenapa kau bisa tahu?!” logat Hakatanya muncul lagi.

“……”

“Ack!” Tomoe Koga menampar mulutnya sendiri dengan kedua tangannya.

“Logatmu itu juga muncul sebelumnya.”

“T-tidak!”

Koga memalingkan diri dari Sakuta. Tampaknya dia ingin merahasiakan hal ini untuk suatu alasan. Meski sedikit terlambat untuk menyembunyikannya sekarang ini.

“Yah, intinya ini semua salahmu, Koga.”

“Beritahu Aku namamu! Tak adil kalau hanya kau yang tahu namaku.”

“Ichiro Sato.”

Sakuta tidak punya alasan untuk mengatakan nama aslinya, jadi ia memilih untuk membohonginya karena ia tidak yakin orang lain akan tahu kalau nama tersebut palsu.

“Baiklah, Sato. Kenapa ini jadi salahku?” desak Koga setelah memercayai Sakuta semata-mata.

Jelas saja, Koga orangnya tidak terlalu curiga. Sepertinya, dia mungkin orang yang ramah. Mengakui kalau nama yang digunakannya adalah palsu tampaknya hanya akan memperpanjang masalah, jadi Sakuta memutuskan untuk tetap diam.

“Jika kau tak tahu, Aku akan dengan senang hati menjelaskannya. Dalam waktu tiga puluh menit, kita berhasil meyakinkan polisi itu kalau ini semua cuma kesalahpahaman. Ceramahnya berlanjut karena kau terlalu sibuk memainkan ponselmu dan jelas-jelas tidak mendengar perkataan polisi itu sama sekali.”

Ceramah selama satu jam penuh berisi tentang tidak memainkan ponselmu saat orang lain sedang berbicara denganmu. Sakuta bahkan tidak memiliki ponsel, jadi ia merasakan kalau hal seperti ini tidak adil buatnya.

“Benar juga…tapi kau tak harus blak-blakan seperti itu!” cibirnya.

“Apa kau tak menyesalinya?”

“Tapi, Aku selalu mendapatkan pesan singkat! Jadi, Aku tak punya pilihan lain.”

“Lalu? Abaikan saja dulu.”

“Jika Aku tak segera membalasnya, Aku akan kehilangan semua temanku,” Koga mengaku dan menundukkan kepalanya karena merasa malu.

“Jadi karena itu kau terus-menerus membalas pesan mereka?”

“Jika tak, Aku juga akan membiarkannya ketika seseorang berteriak padaku.”

Dia menyombongkan diri dan menatap Sakuta.

“Ah-ha.”

“Kenapa dengan sikapmu itu? Kau merasa kasihan, kan?”

“Tak juga.”

“’Jika kau kehilangan mereka dengan begitu mudahnya, maka mereka bukan temanmu sama sekali’ pasti itu yang ada di pikiranmu, kan?”

Apa seseorang pernah bilang seperti itu padanya? Dia terdengar seperti sedang meniru ucapan seseorang.

“Kau benar-benar menganggapnya seperti itu?” ucap Sakuta.

“Di-diam!”

Sakuta menaruh tangannya di kepala Koga, dan mengacak-ngacak rambutnya.

“Augh! Dasar bodoh! Aku menghabiskan banyak waktu untuk menatanya!”

Koga menjauhkan tangan Sakuta dari kepalanya dan tergesa-gesa memperbaikinya lagi.

“Semoga beruntung, gadis muda.”

“Apa kau sedang mengejekku?”

“Kau sedang berusaha untuk bertahan dari aturan pertemanan yang bodoh itu, kan? Jadi jawabanku itu tidak, Aku tak sedang mengejekmu. Aku hanya berpikir kalau aturan yang kau ikuti itu bodoh.”

Baik itu e-mail atau pesan singkat, Sakuta tidak tahu siapa yang menginginkan peraturan seperti itu awalnya atau siapa yang diuntungkan ketika membuat peraturan tersebut. Mungkin awalnya mereka dibuat untuk menjaga ketertiban, dan sebelum ada yang menyadarinya, aturan tersebut berubah menjadi sebuah aturan yang membatasi orang-orang yang mengikutinya dan membuat mereka semua menanggung sebuah beban.

Namun begitu semua orang memutuskan untuk mengikuti aturan tersebut mereka akan terjebak karenanya. Tidak mengikuti aturan berarti akan dikeluarkan dari suatu grup. Kau dapat dengan mudah kehilangan temanmu dan saat kau keluar dari grup tersebut, kau tidak bisa kembali masuk. Sakuta tahu betul mengenai hal ini. Ia mengetahui semua ini setelah Kaede menderita karena aturan itu.

Batasan-batasan seperti itu sangat mengganggu. Tetapi orang-orang tidak akan merasa dirinya aman sebelum mereka membuat, menetapkan, menjalani, dan menciptakan suatu tempat di mana sebuah aturan berada. Setiap e-mail atau pesan singkat yang terkirim adalah suatu cara untuk memeriksa keadaan masing-masing orang. Kata-kata seperti “Gimana keadaanmu?” dan “Aku baik-baik saja” adalah sebuah cara bagi banyak orang untuk memeriksa keadaan diri mereka sendiri karena banyak orang tidak mampu bertanya seperti itu pada diri mereka sendiri, jadi mereka membutuhkan orang lain untuk melakukannya. Kemudian, hubungan saling menerima dan memberi ini disebar dan dilakukan secara bersamaan. Cara seperti itulah yang dilakukan oleh banyak orang untuk membuat tempat aman bagi diri mereka sendiri.

Baik SMP maupun SMA, sekolah tetaplah bagian dari masyarakat dan tempat itu mempunyai aturan mereka sendiri hingga membuat semua orang di dalamnya berusaha untuk saling menyesuaikan diri mereka sendiri.

Sakuta baru mulai menyadari bagaimana dunia ini bekerja ketika ia memasuki SMA dan bekerja paruh waktu di mana ia lebih banyak bergaul dengan anak kuliahan dan rekan kerja yang sudah dewasa. Ia mulai memahami seperti apa sekolah itu dari sudut pandang orang luar. Baru saat itulah ia mulai menyadari kalau semua orang hanya ingin suatu tempat dimana keberadaan mereka diakui. 

“Jadi kau memang mengejekku.”

“Koga, kau ini orang baik jadi Aku tak akan mengungkitnya lagi.”

“Baik?”

“Butuh sebuah keberanian yang besar untuk ikut campur dan mencoba menyelamatkan anak kecil dari orang yang mungkin akan berbuat mesum. Aku sangat menghargai hal itu. Mungkin lain kali, kau hanya perlu memanggil bantuan dari orang lain atau polisi di sekitar? Jika lawanmu itu orang mesum betulan, kau mungkin akan dalam masalah besar. Karena dirimu itu cukup imut.”

“J-jangan panggil Aku imut!”

Wajah Koga memerah. Apa mungkin seseorang tidak pernah menyebut dirinya dengan sebutan imut?

“Pertahankan sifat keadilanmu itu! Teruslah berjuang!”

“Uh, tentu. Makasih.”

Sakuta tidak mengira kalau dia setuju akan hal itu dan benar-benar mengucapkan terima kasih. Mungkin Koga benar-benar orang baik atau dirinya sangat polos.

Sebuah bunyi ponsel berdering. Sakuta tidak mempunyai ponsel, jadi sudah pasti ponsel Koga yang berdering.

“Oh sial! Aku berjanji akan segera datang! Selamat tinggal!”

Koga berlari meninggalkan dirinya. Dengan larinya yang begitu cepat serta menggunakan rok sependek itu, Sakuta dapat melihat warna celana dalamnya. Tetapi, kalau dia memberi tahu Koga hal itu akan segera menarik perhatian orang sekitar, jadi ia hanya melihatnya dalam diam.

“Putih, ya?” komentarnya.

Saat Koga menghilang dari pandangannya, Sakuta berbalik dan berniat untuk pulang ke rumah. 

Setelah tiga langkah, ia menghentikan jalannya.

Sakuta merasa kalau ia melupakan sesuatu yang penting.

“……Ah!”

Wajah Mai terbayang di benaknya. Tentu saja, bayangan itu bukan tentang Mai yang tersenyum ramah atau bahkan sedang cemberut. Wajah yang Sakuta bayangkan adalah ketika ia membuat Mai benar-benar marah padanya.

“Siaaaal…”

Setelah hampir tersandung, Sakuta langsung berlari sekuat tenaga menuju tempat pertemuan yang mereka janjikan.



[1] [Nananotes: pedophile atau lolicon adalah seseorang yang memiliki ketertarikan khusus dengan anak laki-laki ataupun perempuan yang dibawah umur (Di bawah 18 Tahun menurut UU yang berlaku di Indonesia) Eww!]