Harga yang Harus Dibayar untuk Meminta Maaf
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


“Azusagawa!” panggil manajernya. “Istirahat dulu sebelum jam sibuk nanti malam.”

“Baik.”

Sakuta berjalan menuju ruang istirahat yang juga berfungsi sebagai ruang ganti pria yang berada di belakang restoran ini. Di sana, ia bertemu dengan Kunimi yang muncul dari balik pintu loker setelah selesai mengganti bajunya. Kunimi yang langsung datang setelah berlatih di klub basket sama sekali tidak terlihat lelah.

“Yo,” ucap Kunimi yang menyadari keberadaan Sakuta. Ia sedang berusaha mengikat celemeknya.

“Mm,” balas Sakuta yang tampak cemberut melihat senyum akrab Kunimi.

“Sedang istirahat?”

“Kalau tidak Aku tak akan ada di sini.”

“Masuk akal…Oke, Aku sudah siap.”

Ia mengikat tali celemeknya dengan erat dan mengecek dirinya lewat cermin.

“Oh, ngomong-ngomong Sakuta,” ucap Kunimi seakan ia mengingat suatu hal.

“Mm?”

Kunimi duduk berseberangan dan menuangkan teh dari teko untuk dirinya sendiri. Kemudian, ia langsung meneguknya sekaligus.

“Kau menyembunyikan sesuatu dariku.”

“Jaga perkataanmu itu. Memangnya kau ini pacarku?” cela Sakuta mencoba menyembunyikan rasa terkejutnya. Futaba yang sedang patah hati adalah hal pertama yang muncul di pikirannya, tetapi ucapan Kunimi selanjutnya menunjukkan kalau ia sedang berbicara tentang hal lain yang tidak ada hubungannya sama sekali.

“Aku tak sedang bercanda. Maksudku, tentang kau dan Kamisato.”

“Ohhh…”

Sakuta merasa lega tetapi ia tetap membuang mukanya dari Kunimi. Ia tidak ingin membicarakan hal itu juga. Tetapi Kunimi sudah mengetahui dengan jelas kalau Saki Kamisato memanggilnya ke atap dua minggu yang lalu.

“Pacarmu sangat mencintaimu, Kunimi.”

“Benar, kan? Dia benar-benar mencintaiku.”

“Dia bilang padaku agar tak berbicara denganmu lagi.”

“Dia ingin memonopoli diriku untuk dirinya seorang! Rasa cintanya sungguh sangat luar biasa.”

“Dia juga bilang kalau reputasimu akan menurun jika kau berbicara denganku. Memangnya seberapa populer dirimu?”

“Yah, kalau itu…maaf!” Kunimi meminta maaf dengan menepuk kedua telapak tangannya satu sama lain dan membungkukkan kepalanya.

“Kau sangat luar biasa.”

“Kenapa begitu?”

“Semua ucapanku barusan, tapi tetap saja kau tak mengeluh tentang dirinya sama sekali.”

“Yah, karena Aku menyukainya. Terkadang dia bisa terbawa suasana namun dia selalu mengekspresikan emosinya dengan jujur! Dia gadis yang hebat.”

Sakuta kira Kamisato dapat sedikit menunjukkan kebohongannya…

“Kau terdengar seperti seorang istri yang terjatuh dalam hubungan yang toxic,” ucap Sakuta.

“Maksudmu seperti seorang istri yang selalu berkata, ‘Aku yakin kalau terkadang dirinya baik?’ Jangan bercanda deh.”

“Yah, kau tak perlu mengkhawatirkanku. Apa pun yang Kamisato katakan tak akan kumasukkan dalam hati.”

“Kau bisa mencoba untuk sedikit lebih peduli,” tawa Kunimi.

“Dan kurasa Aku juga harus meminta maaf.”

“Untuk apa?”

“Tak ada seorang pun yang suka jika mendengar orang lain sedang menghina pacar mereka.”

“Kau tak perlu khawatir dengan hal itu.”

“Kamisato akan membencimu kalau dia mendengar hal itu.”

“Hahaha sudah pasti.” Kunimi tersenyum lagi. “Tapi yah biar saja. Sakuta, jangan mulai memikirkan hal yang aneh-aneh. Jika kau mulai menjauhiku karena ‘peduli padaku’ atau hal yang lainnya, Aku akan benar-benar marah.”

“Jangan menyalahkanku jika nantinya terjadi pertumpahan darah antara kalian berdua.”

“Kami berdua akan mengatasinya saat hal itu tiba. Tapi Aku yakin kalau semua amarahnya akan ditujukan kepadamu.”

Kedengarannya malah jauh lebih buruk.

“Nah, jangan begitu. Itu tak benar!”

“Kau yang bilang kalau tak akan dimasukkan ke hati, kan?” Kunimi tersenyum seperti orang yang habis memenangkan sesuatu. “Kau hanya menunjukkan dirimu sebagai orang yang dingin karena berhasil menanyakan tentang ‘datang bulan’ kepada seorang wanita. Kau yakin hatimu itu tak terbuat dari besi?”

Kunimi tertawa keras lalu, ia melihat ke arah jam tangannya.

“Aw sial, sudah waktunya,” ucapnya sambil mengisi absen dengan kartu hadirnya.

Ia segera langsung menuju ke tempat kerjanya dan memastikan kalau manajer melihat dirinya.

Tetapi untuk suatu alasan, ia kembali ke ruang istirahat kurang dari semenit kemudian. Apa ia melupakan sesuatu? Atau mungkin ada barang yang tertinggal?

Namun, alasan Kunimi kembali ke ruang istirahat adalah karena Sakuta dan ia terlihat seperti ingin memberi tahu sesuatu.

“Ada apa?”

“Reporter itu datang lagi.”

Meski nada bicara dan ekspresi wajah Kunimi datar, Sakuta dapat mengetahui maksud dari hal yang disembunyikan Kunimi tersebut. Ia tahu betul kalau Sakuta tidak akan menyukai berita yang dibawakannya.


Dengan mengorbankan waktu istirahatnya, Sakuta kembali bekerja dan langsung menuju ke meja reporter tersebut. Ia dapat melihat seorang wanita muda berusia 20-an sedang duduk sendiri di tempat yang diperuntukkan untuk empat orang. Wanita itu mengenakan blus lengan pendek dengan warna biru cerah, dipadupadankan dengan rok pendek yang panjangnya melewati lututnya. Riasan wajahnya terlihat natural dan tidak terlalu menarik perhatian. Namun, hasilnya membuatnya terlihat seperti orang berpendidikan, tampak seperti pembawa berita di TV. Yang mana memang pekerjaannya…

“Bisa saya catat pesanan anda?” tanya Sakuta dengan sopan.

“Lama tidak bertemu.”

“Apa kita pernah bertemu?”

“Jadi begitu cara mainmu? Kalau begitu biar ku perkenalkan diriku. Ini kartu namaku.”

Dengan santainya, wanita itu menunjukkan sebuah kartu nama.

Sebuah logo dari salah satu stasiun TV. Jurnalis. Dengan nama Fumika Nanjou terpampang di tengah kartu nama tersebut.

Sakuta tentu tahu siapa wanita ini. Ia pertama kali bertemu Fumika saat adiknya sedang mengalami perundungan. Saat itu Fumika sedang menyelidiki tentang kasus perundungan di SMP. Hingga saat ini, dia sering mengunjungi Sakuta dalam beberapa kesempatan.

“Ada apa kemari?”

“Aku tadinya sedang menyelidiki suatu berita kecil di sekitar sini, tapi baru saja selesai dan kemari untuk melihat wajah tampanmu.”

Nada bicaranya yang ceria seperti dipaksakan, namun Sakuta tidak lengah. Fumika hanya ingin satu hal. Dia mengetahui tentang Sindrom Pubertas saat menyelidiki berita perundungan sebelumnya, yang mana hal itu memicu rasa ingin tahunya secara pribadi. Wajarnya, dia tidak akan memercayai legenda urban semata, namun dia menggali lebih dalam tentang hal itu hingga sifat skeptisnya hilang. Dan jika legenda urban itu benar adanya, hal itu akan menjadi berita besar dan dia tidak mau melewatkannya. Dia pernah mengakui hal itu kepada Sakuta.

“Mungkin kau bisa berkencan dengan seorang pemain bisbol.”

“Hmm tawaran yang bagus, tapi di saat-saat seperti ini para pemain terbaik selalu bermain.”

Waktu menunjukkan pukul enam sore yang berarti pertandingan bisbol sedang berlangsung.

“Dan juga Aku bisa berkencan dengan seorang anak muda di sini,” ucapnya sambil menunjukkan tatapan menggoda ke Sakuta.

“Aku tidak tertarik dengan wanita yang lebih tua, maaf.”

“Kau seperti anak kecil! Tidak memahami pesonaku sebagai wanita dewasa.”

Ia menangkupkan satu tangannya, lalu menempelkan ke dagu sambil melihat ke arah Sakuta.

“Aku bisa tahu kalau beratmu bertambah dalam beberapa bulan belakangan ini. Kau mungkin ingin membakar lemak di bagian lengan atasmu.”

“……!”

Alisnya terangkat. Sakuta pasti membuatnya kesal. Kemudian, Fumika bersandar di tempat duduknya.

“Tingkahmu tidak imut sedikit pun,” ucapnya.

“Aku lebih suka kalau dipanggil keren. Jadi, kau mau pesan apa?”

“Aku mau Sakuta untuk dibawa pulang.”

“Sepertinya kau sudah kehilangan akalmu,” jawabnya tanpa pikir panjang. “Kau mau kupesankan ambulans sekalian?”

“Tolong, satu cheesecake dan satu kopi panas,” jawabnya langsung tanpa melihat ke menu. Fumika selalu memesan hal yang sama setiap kali dirinya datang ke sini. Sakuta menganggap hal tersebut sebagai kebiasaan dari seorang pria.

“Ada tambahan lain?”

“Kau masih tidak ingin membicarakannya?” Dia mengeluarkan ponselnya dari sakunya, memeriksa pesan masuk. “Aku sudah cukup puas dengan memotret bekas luka di dadamu itu.”

“Tidak akan.”

“Yakin?” Dia mengetik sesuatu dan men-scroll sesuatu di layar ponselnya.

“Apa kau akan mengizinkanku mengambil fotomu yang sedang telanjang sebagai gantinya?”

“Tentu, kenapa tidak?”

“Kau ternyata sangat bersemangat/terangsang ya.”

“Untuk dirimu saja, oke? Jika sampai tersebar ke internet, Aku akan kehilangan pekerjaanku.”

Sakuta memutuskan untuk menyudahi percakapannya dengan Fumika dan berjalan pergi.

Namun, setelah berjalan beberapa langkah, ia memikirkan suatu hal.

“Um,” ia mulai berbalik menghadap Fumika.

“Mm?” Dia masih asyik menatap layar ponselnya.

“Nanjou-san…” Ia agak ragu, lalu bertanya, “Apa kau tahu Mai Sakurajima?”

“Siapa yang tidak?”

Dia masih terpaku ke layar ponsel.

“Apa kau tahu kenapa dia memutuskan untuk hiatus?”

Ia tahu kalau Fumika terkadang meliput gosip tentang selebriti juga.

“……”

Dia akhirnya melihat ke arah Sakuta, tampak terkejut---karena pertanyaannya barusan. Tetapi hal ini membuat rasa ingin tahunya muncul. Saat ini dia ingin tahu kenapa Sakuta menanyakan hal tersebut.

Sakuta bisa tahu dari wajah Fumika kalau dia tertarik, namun dia tidak bertanya balik.

“Setidaknya, Aku tahu tentang hal-hal yang tidak tersebar ke publik.”

“Kalau begitu…”

“Jadi, ini permintaan dari seorang anak kecil? Atau pertukaran setara antara dua orang dewasa?”

“Jangan memperlakukanku seperti anak kecil.”

“Baiklah. Kalau begitu Aku tidak akan memberitahumu secara gratis.”

“Jika satu foto diriku bisa membayarnya…”

“Heh-heh. Kalau begitu kita sepakat.”

Situasi tersebut membuat dirinya berubah seketika. Fumika menaruh ponselnya kembali di tas dan menatap ke tempat duduk di seberangnya. Sakuta menerima ajakannya. Dua orang dewasa yang saling duduk bersebrangan.


Sakuta bekerja paruh waktu sampai pukul sembilan, lalu berhenti sebentar di minimarket dalam perjalanan pulang. Ia berjalan melewati pemukiman yang sepi sebelum akhirnya sampai ke gedung apartemennya setelah sepuluh menit berjalan kaki.

Ia menaiki lift menuju lantai lima, di sana ia bertemu dengan seseorang yang sedang menunggu di luar pintu rumahnya.

Mai sedang duduk bersandar di dinding dengan mengenakan seragam sekolahnya. Lengan yang merangkul lututnya. Lutut dan pahanya saling menempel dengan erat, hanya menyisakan kaki bagian bawah yang terbuka lebar. Dia pasti mengikuti seseorang untuk melewati pintu otomatis di bawah.

Ketika Sakuta mendekat, Mai menatapnya dengan malu.

“Kau akhirnya pulang juga.”

“Aku tadi sedang bekerja.”

“Di mana?”

“Restoran keluarga di dekat stasiun.”

“Ohhh…”

“Mai-san.”

“Apa?”

Sakuta menepuk tangannya, lalu mengangkat kedua jarinya. Kemudian, ia membuat lingkaran besar dengan tangan di atas kepalanya. Akhirnya, ia membuat gerakan seperti memakai kacamata dengan jempol dan jari telunjuknya. Ia mengisyaratkan kalau “Aku bisa melihat celana dalammu” dengan gerak-isyarat klasik.

“Kau sedang bersandiwara?” tanya Mai, membuat Sakuta seperti orang bodoh.

Rupanya, Mai tidak sadar kalau Sakuta dapat melihat celana dalamnya yang putih dari balik stocking hitamnya. Betapa lengahnya!

Ia menyerah dan mengatakannya langsung. “Aku bisa melihat celana dalammu.”

Mai terkejut dan menatap dirinya sendiri.

“A-aku tidak terlalu peduli jika seorang pria yang lebih muda dariku melihat celana dalamku!” ucapnya tergagap dan segera menutupi kedua kakinya dengan menarik roknya. Sakuta penasaran kenapa jika Mai mencoba menutupi celana dalamnya malah terlihat lebih seksi dibandingkan saat ia dengan jelas menatapnya.

“Wajahmu memerah.”

“I-ini karena Aku sangat kesal sekarang!”

“Wow, semua orang sangat bersemangat/terangsang hari ini.”

“Aku tidak sedang bersemangat/terangsang!”

Mai menatap tajam ke Sakuta dalam waktu yang lama.

“Berdiri akan menyelesaikan masalahmu.”

Sakuta mengulurkan tangan.

Mai mencoba meraihnya, namun sebelum tangannya menyentuh, dia menolak bantuannya. Dia baru ingat kalau dia masih marah padanya. Dia mengabaikannya, lalu berdiri tanpa bantuan Sakuta.


“Aku tidak mau menyentuh tangan seorang pria---Aku tidak mau membayangkan sudah menyentuh apa saja tanganmu itu.”

Mai tersenyum sombong. Dia tampaknya puas dengan kata-katanya itu. Tetapi situasi tersebut seketika berubah karena perutnya berbunyi keras.

“……”

“……”

“Hmmm, Aku saaangat lapar,” ucap Sakuta sekeras-kerasnya.

“Apa kau perlu menyinggungnya?”

“Kebiasaan buruk ku, maaf.”

Sakuta mengeluarkan roti krim dari tas belanjaannya.

Mai agak ragu awalnya, namun dia akhirnya mengambilnya. Sakuta merasa kalau ia sedang memberi makan seekor kucing liar.

Mai membuka bungkusan roti tersebut dan segera melahapnya.

“Jadi sejak kapan kau kelaparan seperti ini?”

“……”

Mai terus mengunyah roti di mulutnya.

Baru ketika dia menelan habis potongan roti tersebut, dia membentak Sakuta seperti sedang menyalahkan dirinya “Aku tidak bisa berbelanja.”

“Ohhh. Kalau begitu masuk akal…”

Jika tidak ada satu pun yang dapat melihatnya, kalau begitu Mai jelas-jelas tidak bisa membayar di kasir. Sakuta sudah melihat bagaimana pelayan di toko roti benar-benar mengabaikan usaha Mai untuk membeli roti krim. Ia sangat kasihan melihatnya.

“Dalam dua minggu belakangan ini, makin banyak orang dan tempat yang tidak dapat melihatku. Semua orang yang ada di sekitar Stasiun Fujisawa benar-benar mengabaikanku. Bahkan, jika Aku memesan barang secara online, mereka tidak bisa melihatku jadi Aku tidak bisa menerima paketnya.”

“Ingin masuk dulu?” tanya Sakuta, mengeluarkan kunci rumahnya dan menunjuk ke arah pintu masuk. “Aku bisa membantu.”

“Kata-katamu ambigu,” ungkap Mai sambil menatap tajam ke arahnya.

Wajah marahnya sama sekali tidak menakutkan, melainkan terlihat lucu.

“Kalau begitu Aku akan mentraktirmu.”

“Tidak. Jika Aku mengunjungi rumah seorang pria malam-malam begini, itu berarti seperti Aku mengizinkannya untuk melakukan apa pun yang ia mau.”

“Oh, Aku mengerti! Jadi begitu caramu memberi persetujuan. Senang mendengarnya.”

“Lupakan kalau Aku bilang begitu.”

Mai memukul kepala Sakuta dengan karate chop.

“Ow.”

“Berhenti bercanda dan bantu Aku berbelanja.”

“Tentu saja, tunggu sebentar. Aku harus memberi tahu adikku dulu.”

“Baiklah. Aku akan menunggu di bawah.”

Saat Sakuta memasukkan kunci di lubang pintu, Mai berbalik dan berjalan menuju lift.