Harga yang Harus Dibayar untuk Meminta Maaf
(Bagian 1)

(Penerjemah : Nana)


Sayangnya, hari setelah Sakuta membuat Mai kesal tiba dan berlalu tanpa Sakuta bisa meminta maaf pada Mai.

Sakuta berharap kalau ia akan bertemu dengan Mai di gerbong kereta yang sama pagi itu, namun hal itu sia-sia saja. Tanpa pikir panjang, sesaat setelah jam pelajaran pertama selesai, Sakuta langsung mengunjungi ruang kelas 3-1 (kelasnya Mai) namun tidak melihat Mai sama sekali.

Ia mencoba bertanya dengan seorang siswi di dekat pintu masuk kelas, tetapi siswi tersebut terlihat jengkel. “Sakurajima? Entah, dia hari ini hadir?” ucap siswi itu sebelum akhirnya melanjutkan obrolan dengan temannya.”Jadi kemarin itu…”

“……”

Sakuta mengamati ruang kelas 3-1 tersebut meskipun Mai sedang tidak berada di dalamnya. Para siswa laki-laki sedang tertawa seperti orang bodoh, sementara para gadis sedang menjerit kegirangan karena saling mendengarkan cerita satu sama lain---suasana kelas tersebut sangat gaduh. Ruang kelas saat jam pelajaran berakhir akan selalu seperti ini selama dipenuhi oleh siswa-siswi. Ia merasa sedih ketika membayangkan Mai yang sedang duduk sendirian dengan dikelilingi oleh kegaduhan teman-teman kelasnya. 

“Sakurajima-senpai duduk di mana?”

“Huh? Oh, di sebelah sana.”

Siswi tersebut menunjuk ke arah meja di bagian paling belakang di baris kedua dari jendela. Setelah memastikan kalau tas sekolah Mai sedang menggantung di tempat duduknya, Sakuta kembali ke kelasnya sendiri.

Sakuta mengunjungi kelas Mai setiap kali istirahat tiba, tetapi Mai selalu menghilang. Meski ia bisa melihat tas dan buku pelajaran yang siap digunakan untuk pelajaran berikutnya di meja Mai, mengartikan kalau dia berada di sekolah ini---tapi usahanya untuk menemukan Mai hanya sia-sia belaka.

Kesempatan terakhirnya adalah saat pulang sekolah. Sakuta langsung berlari ke pintu gerbang sekolah setelah sekolah usai. Ia terus mengamati siswa-siswi yang lewat sambil mencari keberadaan Mai. Ia menunggu seperti itu selama dua puluh menit.

Ketika Sakuta menyadari kalau ia tidak menemukan sosok Mai, ia meninggalkan gerbang sekolah dan terus memeriksa keberadaannya di sepanjang jalan menuju stasiun. Masih tidak ada tanda-tanda dari keberadaan Mai dan dia juga tidak sedang menunggu kereta tiba di peron Stasiun Shichirigahama seperti kemarin.

Tidak hanya ia tidak bisa berbaikan dengan Mai, ia bahkan tidak melihat sosoknya seharian ini.

Ketika hal ini terus berlanjut selama tiga hari ke depan, bahkan orang bodoh pun tahu kalau Mai memang sengaja menghindari Sakuta.

Dan sayangnya, Mai tidak berniat untuk menghentikan aksinya.

Dua minggu berlalu tanpa ia bisa melihat Mai sedikit pun. Mai masih menghindar dari kejaran Sakuta.

Kemarin, Sakuta menunggu di stasiun selama satu jam dan berharap agar bisa mencegatnya tetapi hal itu juga tidak berhasil. Mai pasti memilih untuk menaiki kereta dari stasiun berikutnya.

Dirinya sangat keras kepala. 

Mungkin Mai sudah terbiasa menghindar dari kejaran paparazzi karena dia seperti bisa merubah dirinya menjadi tidak terlihat.

“Provokasi yang kuucapkan sebelumnya ternyata lebih buruk dari yang kukira.”

Tekad Mai membuat hal tersebut semakin jelas dipahami oleh Sakuta dari hari ke hari.

Mendorongnya untuk kembali berakting hanya akan membuatnya marah, tetapi Sakuta yakin kalau penyebabnya berhubungan dengan manajernya.

Apa manajernya itu menjadi alasan Mai untuk hiatus dan kenapa dirinya enggan untuk kembali berakting meski dia memiliki keinginan yang kuat untuk kembali melakukannya?

Sakuta menggunakan komputer sekolah untuk mencari alasan dibalik mengapa Mai Sakurajima berhenti sementara dari dunia akting, tetapi informasi yang ia temukan hanyalah beberapa spekulasi dan rumor tidak berdasar. Kerja Berlebihan, Masalah dengan Manajer, Masalah dengan Pria. Semua informasi tersebut tidak layak dibaca.

Satu-satunya jalan adalah menanyakan langsung ke Mai, tetapi ia tidak mungkin bisa selama Mai terus-terusan menghindarinya seperti ini. Sakuta mengalami kebuntuan.

Ia yakin kalau terus-terusan mengejar Mai tidak akan menghasilkan apa-apa, Sakuta akhirnya memutuskan untuk mengubah pendekatannya. Ia sedang ada tugas piket tetapi setelah menyelesaikan tugasnya, ia mengunjungi lab sains.

Mengunjungi temannya yang satu lagi.

Ia mengetuk pintu lab tersebut dan membukanya tanpa menunggu jawaban dari temannya yang ada di dalam.

“Kuharap Aku tak mengganggu.” ucap Sakuta, sambil menutup pintu lab.

“Kau menggangguku. Pergilah.” Jawabnya singkat.

Hanya terlihat satu siswi yang berada di lab sains yang cukup besar ini. Dia berdiri di balik meja yang biasa digunakan oleh guru ketika kelas berlangsung. Di atas meja tersebut terdapat sebuah alat pembakar alkohol dan sebuah gelas kimia. Dia bahkan tidak repot-repot melihat ke arah Sakuta.

Tingginya sekitar 155 cm, cukup pendek untuk remaja seumurannya, dan mengenakan kacamata. Dengan jas lab putih yang menutupi seragam sekolahnya, hal tersebut sangat menarik perhatian. Postur tubuhnya terlihat sempurna, yang mana menambah kesan “keren” yang ditunjukkannya.

Namanya adalah Rio Futaba. Siswi kelas dua di SMA Minegahara. Dia berada di kelas yang sama dengan Sakuta dan Kunimi saat dirinya di kelas satu. Satu-satunya anggota Klub Sains dengan reputasi sebagai siswi aneh karena pernah menyebabkan aliran listrik sekolah terputus dan kebakaran kecil dalam beberapa percobaan yang dilakukannya. Jas labnya yang khas hanya membuat reputasi dirinya kian memburuk.

Sakuta mengambil bangku kosong di dekatnya, duduk berseberangan dari meja yang digunakan Futaba.

“Bagaimana kabarmu?”

“Seperti biasa, tak ada hal menarik yang perlu kau ketahui.”

“Ceritakan hal yang lucu!”

“Kau terdengar seperti cowok SMA yang sedang bosan. Jangan buang waktuku dengan omong kosongmu itu.”

Futaba menatap tajam ke arah Sakuta cukup lama. Mungkin ia memang mengganggunya.

“Aku memang cowok SMA yang sedang bosan, jadi dugaanmu itu tepat sekali.”

Futaba mengabaikan lelucon Sakuta dan menyalakan sebuah korek api untuk memanaskan pembakar alkohol tersebut. Lalu, dia mengisi gelas kimia tersebut dengan air dan menaruhnya di atas api dari pembakar tadi. Dia sedang bersiap untuk melakukan sebuah percobaan?


“Apa yang merasukimu, Azusagawa?”

“Aku baik-baik saja.”

“Bohong. Kau sedang terobsesi dengan mantan artis cilik.”

Tidak perlu memikirkan dengan serius tentang siapa yang Futaba maksud. Mantan aktris cilik itu adalah Mai.

“Dia sudah bukan artis cilik lagi karena dia sudah menjadi seorang aktris dewasa sekarang ini.”

Tetapi karena Mai sedang hiatus, mungkin sebutan tersebut juga kurang tepat.

“Ngomong-ngomong siapa yang memberitahumu hal tersebut?”

“Siapa lagi kalau bukan Kunimi.”

“Oh iia, sudah pasti Kunimi.”

Kunimi adalah satu-satunya orang yang mengetahui tentang hal yang dilakukan Azusagawa dan cuma Kunimi dan Sakuta seorang yang mau berbincang dengan seorang siswi yang mengenakan jas lab putih dari seluruh siswa-siswi di sekolah ini. Titik.

“Ia mengkhawatirkanmu. Kau membuat dirimu terlibat masalah lagi.”

“Hei, apa maksudnya lagi?”

“Aku bahkan tak bisa membayangkan kenapa Kunimi masih bisa mengkhawatirkan orang seperti dirimu. Kunimi terlalu polos untuk dunia yang gelap ini.”

“Jika kau mengetahui bagaimana ia melakukannya, kau harus memberitahuku.”

Ungkapan orang baik khusus diciptakan untuk orang-orang seperti Kunimi. Sakuta memercayai hal tersebut dengan sepenuh hati.

Tahun lalu, ketika rumor tentang insiden rumah sakit menjadi bahan perbincangan satu sekolah, hanya Kunimi seorang yang tetap memperlakukan Sakuta seperti sebelumnya. Ia tidak hanya ragu dengan rumor tersebut namun ketika mereka berpasangan saat di kelas olahraga, Kunimi menanyakan rumor tersebut secara langsung.

“Tentu saja tidak.”

“Sudah kuduga.” Kunimi tersenyum.

“…Kau memercayai kata-kataku?”

Sakuta sangat terkejut. Padahal sebagian besar siswa-siswi di kelasnya langsung memercayai rumor tersebut, menjauhkan diri mereka tanpa perlu bertanya lebih jauh.

“Maksudku, memang tak benar kan?”

“Tidak, tapi…”

“Aku lebih memercayai perkataanmu dibandingkan rumor yang berasal dari sumber internet yang tak jelas.”

“Kau yang terburuk, Kunimi.” 

“Huh? Kenapa begitu?”

“Baik wajah maupun sifat, kau merupakan musuh semua pria.”

“Haaaaaah.”

Hal itu terjadi sekitar setahun yang lalu. Ia dan Kunimi masih berteman baik sampai saat ini.

Saat Sakuta menatap ke arah api yang menyala, ia masih memikirkan kejadian tersebut…

“Dunia ini tak adil,” ucap Futaba yang merasa kasihan pada Sakuta. “Karena sifat dari dua orang bisa sangat bertentangan.”

“Aku tak ingin dibandingkan dengan Kunimi.”

“Oh, Aku melakukannya karena kesal. Tak usah terlalu dipikirkan.”

“Gimana tak kupikirkan? Tapi, yah, orang seperti Kunimi biasanya memiliki fetish aneh yang mereka rahasiakan. Begitulah cara dunia ini mempertahankan keseimbangan ketika membagi-bagikan sifat orang baik.”

“Sikapmu sangat buruk hari ini, Azusagawa,” ungkap Futaba.

“Kenapa begitu?”

“Kau mempunyai seorang teman yang sedang mengkhawatirkanmu tapi kau berbicara hal buruk di belakangnya.”

Sakuta tidak bisa membantah hal tersebut.

“…Perbedaan antara diriku dan Kunimi terkadang mendesakku melakukan hal tersebut.”

“Itu juga, dan…” Futaba menghentikkan ucapannya untuk memberikan sebuah jeda.

“Apa?”

Air yang ada di gelas kimia tersebut mulai mendidih.

“Kau akhirnya move on dari Makinohara.”

“…Kunimi juga mengatakan hal yang sama. Kenapa kau juga melakukannya?”

“Kau harusnya tahu jawaban itu dibandingkan Aku dan Kunimi.”

Futaba mematikan api yang menyala di pembakar dan menuangkan air panas tersebut ke dalam cangkir. Lalu, dia memasukkan kopi bubuk. Ternyata, dia tidak sedang melakukan sebuah percobaan.

“Ada cangkir lain?”

“Aku cuma punya cangkir ini. Kau bisa menggunakan silinder pencampur ini?”

Tabung kaca sepanjang 30 cm. Futaba pikir hal ini bisa menjadi pengganti cangkir.

“Jika Aku mencoba meminum kopi dari tabung itu, kopinya akan langsung tumpah sekaligus dan mengenaiku.”

“Kita harus melakukan percobaan tersebut dan melihat apakah dugaanmu itu tepat. Lagi pula, cuma ada tabung ini sebagai pengganti cangkir.”

“Ada apa dengan gelas kimia yang kau gunakan untuk merebus air?”

“Ah, itu, Aku bosan kalau pakai itu” omelnya. Tetapi Futaba tetap menambahkan kopi bubuk ke dalam gelas kimia tersebut.

“Bisa tambahkan gula?”

“Aku tak memasukkan itu biasanya.”

Futaba mengeluarkan sebuah botol plastik dari laci dan meletakannya di meja. Label di botol tersebut bertuliskan MANGANESE DIOXIDE.

“Kau yakin ini aman?”

“Isinya mungkin gula. Karena warnanya putih.”

“Ada banyak bubuk putih yang lain, bahkan Aku tahu hal itu.”

Tetapi Sakuta juga tahu kalau bubuk mangan dioksida berwarna hitam.

“Coba saja sedikit demi sedikit biar kau yakin,” saran Futaba.

Sakuta lebih memilih tidak menambahkan apa-apa ke kopinya.

Futaba tampak kecewa, dan dia menyalakan api lagi di pembakar alkohol tersebut. Sakuta penasaran apakah kali ini Futaba akan melakukan sebuah percobaan namun kali ini dia menaruh sebuah pemanggang di atasnya dan mulai memanggang sebuah cumi kering. Kaki-kaki cumi tersebut meringkuk karena panas.

“Boleh minta sedikit?”

Sakuta tidak yakin kalau cumi kering itu camilan yang cocok dengan kopi, tetapi aroma cumi yang harum membuatnya lapar.

Futaba memotong salah satu kaki cumi itu dan memberikannya ke Sakuta.

Sambil mengunyah kaki cumi tersebut, Sakuta mulai membicarakan hal yang menjadi perhatiannya.

“Futaba…apa mungkin jika kita tak dapat melihat seseorang lagi?”

“Jika kau khawatir kalau penglihatanmu memburuk, segera pergi ke dokter mata.”

“Bukan itu maksudku… Lebih seperti, jika seseorang itu memang ada tapi orang lain tak dapat melihatnya. Jadi orang itu seperti menjadi manusia tak kasatmata.”

Dalam kasus Mai, tidak hanya orang lain tidak melihatnya tetapi mereka juga tidak dapat mendengar suara Mai juga. Jadi tak kasatmata mungkin bukan kata yang tepat…tapi yah setidaknya mendekati.

“Apa ini berkaitan denganmu yang ingin menyelinap ke toilet wanita?”

“Aku tak tertarik dengan scat play [1], setidaknya ganti ke ruang loker ketika kau mengatakan hal itu.”

“Kau adalah cowok berandalan dan akan selalu begitu.”

Futaba merogoh tasnya dan mengeluarkan ponselnya.

“Siapa yang kau panggil?”

“Polisi.”

“Mereka tak akan bertindak sebelum kejahatannya terjadi.”

“Masuk akal.”

Futaba meletakkan ponselnya.

“Tapi yah untuk jawaban dari pertanyaanmu itu, proses tentang bagaimana kita melihat suatu objek ada di buku paket sains. Baca tentang bagian cahaya dan lensa.”

Futaba mengeluarkan buku yang dimaksud dan mengopernya ke Sakuta.

“Aku bertanya padamu karena membaca itu semua terbilang merepotkan.”

Sakuta mengoper buku itu kembali ke Futaba.

Futaba menggigit sepasang kaki cumi kering tersebut, tampak tidak peduli.

“Intinya ada pada cahaya. Cahaya menyinari suatu objek dan cahaya yang sama memantulkannya ke mata kita. Memungkinkan kita untuk melihat warna dan bentuk. Ketika tak ada cahaya di dalam kegelapan, kita tak bisa melihat apa-apa.”

“Pantulan…”

“Jika hal tersebut tidak terlalu dimengerti, coba bayangkan suara sebagai gantinya. Seperti bagaimana lumba-lumba berkomunikasi dengan sesamanya menggunakan gelombang suara.”

“Maksudmu…bagaimana mereka mengukur jarak dengan melihat bagaimana gelombang suara tersebut terpantul dari suatu objek?”

“Ya. Mereka bahkan dapat mengetahui bentuk dari objek tersebut. Sama seperti sonar sebuah kapal. Sulit membayangkan hal tersebut jika kita membicarakan tentang cahaya karena kita baru menyadari cahaya itu ada ketika terangnya cahaya diarahkan ke mata kita langsung.”

“Huh.”

“Tapi cahaya dapat menembus kaca dan tak memantulkannya, jadi sulit untuk dilihat.”

“Ohhh, iia. Benar sekali.”

Berarti sorotan cahaya tidak sampai ke diri Mai untuk suatu alasan? Bagi seorang bintang film yang sedang hiatus, perkataan tersebut terdengar ironis.

Sakuta penasaran apakah ide yang dikemukakan Futaba itu benar? Sama seperti kaca bening yang tidak berwarna, diri Mai tidak memantulkan cahaya. Sayangnya jika hal tersebut benar terjadi masih ada banyak hal yang tidak terjelaskan.

Seperti orang lain yang tidak dapat mendengar suaranya atau sebagian orang dapat melihatnya dan sebagian lainnya tidak. Situasi dirinya tampaknya jauh lebih rumit.

“Yah, kurasa perkataanmu itu membantu.”

“Benarkah?” tanya Futaba dengan muka curiga.

“Futaba, kau pikir Aku bodoh, kan?”

“Tidak.”

“Kalau begitu, kau pikir Aku ini sangat bodoh?”

“Kau tahu apa yang mau kukatakan tapi kau membuang waktumu untuk menanyakan hal itu. Kau sangat menjengkelkan.”

“Kasaaarnya.”

“Kurasa kau sadar akan hal itu, tapi kau sangat menjengkelkan sampai-sampai kau berpura-pura untuk tak menyadarinya.”

“Oke, maafkan Aku! Tolong, jangan hina Aku lagi!”

“Caramu untuk lolos dari hal itu bahkan lebih buruk lagi.”

Futaba yang tanpa ekspresi mulai meminum kopinya.

Sakuta memutuskan untuk kembali ke topik awal.

“Uh, Aku mau bertanya tentang yang lebih spesifik lagi. Misalnya Aku duduk tepat di depanmu. Apa mungkin kalau kau tak dapat melihatku?”

“Jika Aku menutup mataku.”

“Jika matamu terbuka dan menatap langsung ke arahku?”

“Mungkin saja.”

Sebuah jawaban yang tidak diduga Sakuta. Terlebih lagi, Futaba tidak ragu dengan jawabannya itu.

“Aku hanya harus memusatkan perhatianku pada hal lain dan benar-benar melakukanya. Sehingga, Aku tak menyadari kalau kau ada di depanku.”

“Tidak, bukan itu maksudk…”

“Dengar baik-baik. Mari kita hentikan melihat hal ini dari sudut pandang sebuah cahaya. Penglihatan manusia itu berhubungan dengan cara kerja otak yang mana sangat berpengaruh dibandingkan fisika itu sendiri.”

Futaba pasti sudah kehabisan kopi yang diminumnya, karena dia mulai mengisi air ke gelas kimia yang lain dan menaruhnya di atas pembakar alkohol.

“Sebagai contoh, dalam penglihatanmu mungkin Aku terlihat kecil tapi untuk seorang anak kecil, Aku akan terlihat cukup besar.”

“Punyamu memang besar, Futaba. Kau mencoba menyembunyikannya di balik jas lab putih itu tapi meski begitu, Aku menyadarinya.”

Pandangan Sakuta terpaku pada dua gunung di tubuh Futaba.

“J-jangan membicarakan tentang dadaku!”

Dia melipat tangannya seakan melindungi dirinya sendiri. Pemandangan tersebut sangat feminin.

“Oh, maaf. Omongan tentang payudara itu sensitif buatmu?”

“Kau tak punya akal sehat atau rasa malu, ya?”

“Kurasa Aku menjatuhkannya di sekitar sini.”

Sakuta memeriksa sekeliling, mencoba mencari rasa malunya.

“Jika kau ingin bercanda, pergi saja. Pembicaraan kita selesai!” Futaba berdiri dari kursinya.

“Maaf, Aku berjanji tak akan bercanda dan melihat ke arah payudaramu.”

“Kalau begitu berhenti membicarakannya!”

Sejujurnya, ia sangat ingin memegang janjinya untuk tidak melihat tetapi ia tidak yakin tidak bisa menatap ke arah payudara Futaba. Pandangannya tanpa sadar tertuju ke dua buah gunung tersebut, dan jika dirinya bukan seorang wanita hal tersebut akan sulit dihindarinya.

Sakuta meneguk kopi di tangannya, lalu mengganti topik pembicaraannya.

“Jadi maksudmu itu…apa yang kita lihat itu tergantung dari diri kita sendiri (subjektif)?”

“Benar. Kita menghindari hal-hal yang tak ingin kita lihat. Otak manusia dapat dengan mudah menyaring hal-hal seperti itu.”

Orang-orang selalu membicarakan tentang berpura-pura tidak melihat sesuatu, seperti: Tidak kelihatan, tidak terpikirkan, tidak menyadarinya, Aku tidak terlalu memperhatikan. Banyak kata kiasan yang mirip seperti itu, jadi konsep semacam itu cukup dikenal.

Tetapi hal yang Futaba bicarakan seperti membantah langsung tentang dugaannya dari apa yang terjadi pada Mai.

Kasarnya, teori Sakuta tentang kenapa orang lain tidak bisa melihat Mai disebabkan karena dia mencoba menjadi seorang penyendiri. Sakuta kira masalahnya ada pada diri Mai sendiri.

Tetapi perkataan Futaba membuat permasalahan tersebut berakar pada orang lain selain Mai sendiri. Menurut pemikirannya, maksud atau kehendak dari Mai seorang tidak serta-merta menjadi permasalahannya.

“Ada sebuah teori yang disebut sebagai Teori Observasi,” ucap Futaba, mengatakan sebuah teori baru sebelum Sakuta bisa mengerti maksud dari teori yang diucapkan sebelumnya.

“Teori apa?” Sakuta tercengang dan berkedip menatap Futaba.

“Penjelasan sederhananya, segala sesuatu yang ada hanya akan muncul ketika seseorang melihat/mengamati hal tersebut. Terdengar aneh pada awalnya, kan?” tanya Futaba. Dia sendiri tampak tidak terlalu meyakini teori tersebut. “Kau tahu tentang teori kucing dalam kotak, kan? Kucing Schrödinger”

“Setidaknya Aku pernah mendengar namanya.”

Futaba mengambil sebuah kotak kardus dari bawah meja dan menempatkannya di depan Sakuta.

“Misalnya saja ada seekor kucing dalam kotak ini.”

Dia menemukan celengan berbentuk kucing maneki neko dan menaruhnya di dalam kotak. Guru fisika menggunakannya untuk menyimpan koin 500-yen dan terlihat ringan jika Sakuta lihat.

“Bersamaan dengan beberapa radioisotop yang mengeluarkan radiasi setiap satu jam sekali.”

Kemudian, dia memasukkan gelas kimia dengan air mendidih.

“Akhirnya, beberapa gas beracun yang mana katupnya akan terbuka jika mendeteksi adanya radiasi. Jika katupnya terbuka, maka kucing ini akan menghirup gas beracun. Kita asumsikan kalau hal ini fatal untuk kucing tersebut.”

Lalu, botol plastik bertuliskan MANGANESE DIOXIDE dia masukkan juga.

“Kemudian kita tutup kotak ini dan menunggu selama tiga puluh menit,” ucap Futaba sambil menutup kotak itu. “Dan ini adalah kotak yang sudah dipersiapkan tiga puluh menit sebelumnya.”

“Seperti di acara memasak?”

Futaba mengabaikan komentar Sakuta.

“Kalau begitu, apa yang menurutmu terjadi dengan kucing itu?”

“Uh…jadi kumpulan radioisotop itu dapat mengeluarkan radiasi kapan saja dalam waktu satu jam? Dan jika dalam satu jam tersebut radiasinya keluar, maka katup dari gas beracun akan terbuka.”

Futaba mengangguk.

“Jadi jika waktu hanya berlalu selama tiga puluh menit, berarti setengah dari waktunya, jadi…kemungkinannya sebesar 50 persen?”

“Aku terkejut! Kau bisa mengerti hal ini.”

“Jika Aku tak mengerti hal semacam ini, antara Aku benar-benar bodoh atau tak mendengarkan ucapanmu sejak awal.”

“Jadi, kucing itu masih hidup atau mati?”

“Yah, kemungkinannya 50-50, kan? Kita bisa mengguncang kotak tersebut dan mencari tahu.”

“Kotak ini terbuat dari besi dan terpaku di tempatnya berada jadi tidak bisa diguncang atau apa pun.”

Futaba menunjuk ke arah kotak itu yang jelas-jelas terbuat dari kardus.

“Kalau begitu, Aku percaya kalau kucing tersebut masih hidup!”

“Tak terlalu penting apa kucing ini masih hidup atau tidak.”

“Kalau begitu, kenapa menanyakannya?”

“Satu-satunya cara untuk mengetahui hal itu adalah dengan melihat keadaan kucing tersebut secara langsung.”

“Terdengar biasa saja.”

Futaba membuka kotak itu dan tentu saja, isinya masih celengan berbentuk kucing, sebuah gelas kimia, dan botol plastik bertuliskan MANGANESE DIOXIDE.

“Saat tutupnya dibuka, keadaan kucing tersebut ditentukan. Dengan kata lain, sampai kita membuka tutupnya, kucing tersebut bisa dibilang hidup dan mati. Jika berdasarkan mekanika kuantum.”

“Rasanya tak masuk akal. Bagaimana jika kucingnya mati sepuluh menit setelah kotak itu ditutup? Kita tak perlu menunggu dua puluh menit sebelum kita membuka kotaknya. Intinya kucing tersebut masih mati.”

Bagi kucing tersebut, setidaknya hidupnya telah berakhir. Meskipun, mereka harusnya punya sembilan…tapi jika seekor kucing sudah mati, maka hidupnya berakhir. 

“Makanya kubilang aneh pada awalnya, kan? Yah, bahkan jika kita mengabaikan keterangan dari kuantum mekanik, kurasa ide dari eksperimen tersebut ada benarnya juga.”

“Kebenaran seperti apa?” Sakuta pikir hal tersebut terdengar mencurigakan.

“Manusia hanya melihat dunia ini sesuai dengan keinginan mereka. Rumor tentang dirimu itu salah satu contoh nyatanya, Azusagawa. Orang-orang hanya mau memercayai rumor tapi tidak dengan kebenarannya. Jika kita ubah analogi tersebut ke dunia nyata---kau adalah seekor kucing di dalam kotak, dan siswa-siswi lainnya adalah manusia yang mengamati kucing schrödinger itu.”

Kesan subjektif dari orang-orang yang mengamati kotak tersebut lebih penting dibandingkan isi dari kotak itu sendiri… Sepertinya, itu yang ingin Futaba sampaikan. Sudut pandang Sakuta tidak terlalu penting, yang penting hanya anggapan dari para siswa-siswi tersebut kepada Sakuta.

“Kata-katamu tak lucu…”

Tetapi hal ini juga tidak cocok dengan apa yang dialami oleh Mai. Sakuta bisa melihatnya, tetapi sebagian orang lain tidak dan ia tidak mengetahui apa yang menyebabkan Mai menjadi tidak terlihat oleh sebagian orang.

Semua hal ini sangat menarik baginya, tetapi masih ada bagian-bagian yang menurutnya masih belum cocok.

Masih menjadi sebuah pertanyaan apakah ilmu fisika nyata dapat menjelaskan fenomena ambigu seperti Sindrom Pubertas. Ada beberapa informasi yang ia dengar barusan mendiskusikan hal ini lebih jauh dengan Futaba, masalahnya menjadi semakin lebih rumit.

Mungkin masalah yang terjadi pada Mai tidak bisa diselesaikan dengan hanya membuatnya kembali dari hiatus. Sakuta merasa takut dengan hal buruk yang ia kira akan terjadi. Segala hal yang Futaba bicarakan hanya berdasarkan dari sudut pandang orang lain selain Mai, jadi…mungkin sebuah perubahan dari diri Mai sendiri masih belum cukup untuk meringankan/menghilangkan Sindrom Pubertasnya.

“Selain itu, teori observasi ini telah terbukti kalau hasilnya dapat berubah di situasi tertentu,” ucap Futaba.

“Benarkah?”

“Hal ini disebut sebagai percobaan celah ganda. Jika disimpulkan dengan singkat…dalam kasus di mana hanya hasil dari suatu percobaan yang diamati, hasil dari percobaan tersebut akan berbeda ketika pengamatan juga dilakukan saat di tengah-tengah percobaan berlangsung.”

“Jadi, ini seperti ketika Timnas bola Jepang sedang bertanding dan yang kulihat hanya skor akhir di berita kalau mereka menang, tapi ketika Aku menonton langsung saat mereka bertanding, mereka akan selalu kalah?”

“Aku hanya berbicara tentang partikel-partikel di tingkat mikro. Posisi dari partikel tersebut terwujud hanya sebagai sebuah kemungkinan---tak terbentuk seperti materi, melainkan hanya dalam bentuk gelombang. Ketika hal tersebut diamati akan menghalangi mereka untuk mendapatkan bentuk nyata/materi.”

“Tapi jika partikel mikro ini bersatu, hal itu akan membentuk orang-orang dan benda-benda lainnya, kan?”

Berbagai molekul, atom, elektron…bahkan Sakuta tahu kalau orang-orang dan benda-benda lainnya terbentuk dari materi tersebut.

“Jika hal yang kujelaskan dapat terjadi dalam skala nyata, anggapanmu itu bisa saja terjadi. Selain itu juga, demi Timnas bola Jepang, kau sebaiknya jangan pernah menonton langsung pertandingan mereka Sakuta. Serius, jangan pernah.”

Saran yang masuk akal. Saat Sakuta menganggukan kepalanya karena setuju, terdengar sebuah panggilan dari pengeras suara.

Yuuma Kunimi dari Kelas 2-2. Tolong segera bertemu dengan Sano-sensei di ruang guru.

“…Ia terkena masalah apa?”

“Kunimi bukan seperti dirimu, Azusagawa. Sepertinya ia hanya harus rapat untuk jadwal latihan klub basket.”

Futaba terdengar tidak tertarik, tetapi yang pasti dia membela Kunimi.

Sakuta melihat ke arah pengeras suara, yang berarti ia juga melihat ke arah jam dinding yang ada di sebelahnya. Waktunya menunjukkan pukul tiga sore lewat beberapa menit.

“Oh, Aku harus pergi kerja paruh waktu.”

“Kalau begitu pergilah.”

“Terima kasih banyak, Futaba. Untuk kopinya juga.”

“Berterima kasihlah kepada pembimbing Klub Sains. Ini bukan punyaku.”

Futaba menunjukkan label nama yang tertulis di penutup botol dari kopi bubuk tersebut.

“Yah, siapa pula yang akan sadar jika kurang beberapa bubuk?” ucap Sakuta.

Ia berdiri, menyandang tasnya di bahu dan menuju pintu keluar.

Namun saat ia mendekati pintu keluar, sebuah ide muncul di kepalanya dan ia berbalik. Futaba sedang menyalakan api dari pembakar Bunsen, mungkin sedang bersiap-siap untuk melakukan percobaan yang sebenarnya.

“Futaba.”

“Mm?”

Matanya tetap tertuju ke nyala api biru.

“Hubunganmu dengan Kunimi baik-baik saja?”

“……”

Futaba menatap Sakuta seperti orang kebingungan.

“Aku…”

Dia ingin mencoba menjawab pertanyaannya dengan cepat, tetapi kata-katanya tidak keluar dari mulutnya. Dia bahkan tidak bisa bilang kalau dirinya baik-baik saja. Suaranya menciut, dan Sakuta bisa tahu kalau Futaba berusaha untuk tidak membiarkan hal itu mengganggunya dengan membuat ekspresi wajahnya tetap datar.

“Aku sedang berusaha untuk membiasakan diriku,” ucapnya sambil tersenyum sedikit, dia tidak mau memaksa kalau dirinya baik-baik saja.

Tidak ada rasa iba yang bisa dilakukan oleh Sakuta. Yang bisa ia lakukan hanyalah menjadi saksi dari kisah cinta Futaba yang gagal sebagai karakter sampingan.

“Kau nanti bisa terlambat,” ucap Futaba dengan menggerakkan dagunya seperti menyuruh Sakuta untuk cepat pergi. Setelahnya, Sakuta meninggalkan lab sains.

Saat ia menutup pintu lab sains di belakangnya, ia bergumam, “Membiasakan diri apanya? Itu artinya kau masih belum bisa melupakannya.”



[1] [Nananotes: Scat play itu yah bagi yang pernah buka sukat**o atau “2 Girls 1 cup” dulunya mungkin paham dengan yang dimaksud, kalau ngga jangan sekali-sekali buka karena bakal bikin trauma, SERIUS.]