Senpai Seorang Bunny Girl
(Bagian 4)

(Penerjemah : Nana)


Sakuta menuntun Mai ke suatu tempat di daerah pemukiman warga setelah berjalan selama sekitar 10 menit dari stasiun.

“Dan tempat ini adalah?” tanya Mai yang sedang menatap ke arah apartemen tujuh lantai di depannya.”

“Tempat tinggalku.”

“……”

Sakuta merasakan tatapan sinis yang ditujukan kepadanya.

“Aku tak akan melakukan hal yang aneh-aneh.”

Sambil berbisik, “Mungkin.”

“Ulangi lagi coba?”

“Jika senpai mencoba untuk menggodaku, Aku tak yakin bisa mengendalikan tindakanku.”

“……”

Mai semakin kesal.

“Oh? Senpai, apa kau gugup?”

“A-aku? G-gugup?”

“Nada bicaramu seperti orang gugup…”

“Aku tidak punya perasaan apa-apa hanya karena mengunjungi kamar seorang pria yang lebih muda dariku.”

Mai bergaya *hmph* dan berjalan ke lobi apartemen mendahului Sakuta. Dengan menahan tawanya, Sakuta berjalan di belakang Mai.


Mereka menaiki lift ke lantai lima dan pintu ketiga setelah lift adalah tempat di mana Sakuta tinggal.

“Aku pulang!” serunya, dan masuk ke dalam rumah. Tidak ada jawaban, biasanya Kaede menunggunya di pintu masuk tetapi ia pulang di waktu selarut ini. Jadi mungkin dia marah atau mungkin sedang tertidur? Atau mungkin sedang asyik membaca buku hingga tidak menyadari kalau kakaknya sudah pulang…

“Masuklah,” ajak Sakuta, yang menyadari kalau Mai masih berdiri di pintu masuk dan belum melepas sepatunya.

Kamar Sakuta tepat berada di samping pintu masuk.

Mai meletakkan tas sekolahnya ke lantai dan paper bag dari loker koin di sebelahnya, lalu duduk di tepi tempat tidur dengan kedua tangan di sisinya. Sakuta melirik isi paper bag tersebut dan melihat telinga kelinci dari kostum bunny girlnya. Dia pasti berencana untuk melakukan aksi bunny girlnya lagi entah di mana.

“Yah, setidaknya kamarmu rapi,” ucap Mai sambil melihat ke sekeliling ruangan. Dia tampak tidak terkesan.

“Aku hanya tak punya hal yang menarik.”

“Aku bisa tahu.”

Tempat tidur, meja belajar, dan sebuah kursi---tidak ada hal lain yang menarik di sini.

Senpai,” ucap Sakuta.

“Berhenti,” kata Mai, mencoba memotong kata-katanya.

“Apa?”

“Berhenti memanggilku dengan sebutan senpai! Terasa aneh.”

“Sakurajima-san?

“Terlalu panjang, dan sulit diucapkan, kan?”

“Aku bisa menyingkatnya menjadi Jima-san? Urp!”

Mai meraih dasi Sakuta dan menariknya kuat-kuat.

“Jangan kasih nama yang aneh.”

“Kupikir kita akan makin dekat!”

“Aku benci dengan orang yang tidak tahu sopan santun,” geramnya. Ketegangannya begitu terasa, hingga Sakuta tidak bisa melempar lelucon. Apakah prinsip tegas ini dikarenakan karena latar belakang dirinya sebagai aktris?

“Kalau begitu…Mai-san?”

“Kau tidak terlihat seperti seorang Azusagawa, jadi Aku akan memanggilmu Sakuta.”

Sakuta bertanya-tanya, memangnya dalam pikirannya gambaran nama Azusagawa itu seperti apa.

“Jadi? Apa yang ingin kau tunjukkan?”

“Pertama-tama…bisa lepaskan tanganmu dulu?”

Mai akhirnya melepaskannya. Sakuta membetulkan postur tubuhnya, melepaskan dasi yang dipakainya dan membuka kancing kemejanya. Tanpa gangguan sedikit pun, ia juga melepaskan kaus yang dipakainya sehingga tubuh bagian atasnya bisa terlihat dengan jelas.

“Ke-kenapa kau membuka bajumu?!” teriak Mai. Mengalihkan pandangannya dari Sakuta. “K-katamu tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh! Menjijikkan! Dasar cabul! Eksibisionis!”

Setelah mencaci maki Sakuta, Mai mencoba memandang ke arah Sakuta lagi dengan gugup.

“Ah---”

Lalu Mai berteriak karena terkejut.

Terdapat tiga bekas luka yang dapat membuat bulu kuduk merinding dapat terlihat di dada Sakuta. Luka tersebut membuat Sakuta seperti habis dicakar oleh monster raksasa. Keberadaan dari luka itu bermula dari bahu kanannya sampai ke pinggul kirinya.

Bekas luka tersebut terbilang besar, sangat besar bahkan. Sekilas terlihat aneh. Seseorang yang diserang oleh beruang bahkan mendapat luka dengan ukuran yang lebih kecil dari ini. Jika Sakuta pernah mengalami kecelakaan dengan mesin pengeruk eskavator, mungkin menjelaskan bekas luka tersebut. Sayangnya, Sakuta tidak pernah mengalami kecelakaan apa pun.”

“Apa kau diserang oleh seorang mutant?”

“Aku tak mengira kalau kau menyukai komik Amerika tersebut.”

“Aku cuma pernah melihatnya di film-film.”

“……”

“……”

Mai terus-menerus menatap bekas luka Sakuta. 

“Bekas luka ini sungguhan?” tanya Mai.

“Orang bodoh macam apa yang membuat luka palsu semacam ini?”

“Boleh kusentuh?”

“Silahkan.”

Mai berdiri dan mengulurkan tangannya, menggunakan ujung jarinya untuk menyentuh bekas luka Sakuta.

“Oh!”

“Jangan bersuara aneh!”

“Luka ku sensitif. Pelan-pelan?”

“Seperti ini?”

Mai mengusap lembut luka tersebut dengan jarinya.

“Terasa nikmat.”

Tanpa mengubah ekspresi wajahnya, Mai mencubit tubuh Sakuta dengan kencang.

“Ow! Ow! Lepaskan!”

“Kurasa kau menikmatinya juga.”

“Tidak, sebenarnya Aku kesakitan!”

Mai melepaskan cubitannya, merasa kalau hal semacam ini tidak bisa dimenangkannya.

“Jadi? Bagaimana kau mendapatkan bekas luka seperti ini?”

“Aku tak begitu yakin.”

“Huh? Apa maksudmu? Bukannya kau ingin menunjukkan ku hal ini, kan?”

“Sebenarnya, bukan ini. Bekas luka semacam ini tak terlalu penting. Jadi, lupakan saja.”

“Bagaimana mungkin Aku bisa melupakannya? Jika bekas luka itu tidak penting, kenapa kau membuka bajumu?!”

“Aku selalu mengganti pakaianku ketika tiba di rumah, jadi…sudah seperti kebiasaanku?”

Sakuta membuka laci meja belajarnya, mengambil sebuah foto, dan memperlihatkannya ke Mai.

“Ini yang ingin Aku tunjukkan.”

“……?!”

Ketika Mai melihat foto tersebut, matanya membelalak karena terkejut. Lalu dia melihat Sakuta, seperti menuntut sebuah penjelasan. “Foto apa ini?”

Foto tersebut menampilkan seorang gadis SMP dengan seragam musim panas. Karena pakaian tersebut begitu terbuka, luka memar dan sayatan dapat terlihat jelas di bagian lengan dan kakinya.

“Ini adikku, Kaede.”

Seragam tersebut menutupi bagian punggung dan perutnya, tetapi Sakuta tahu kalau di bagian itu juga dipenuhi oleh luka yang sama.

“…Dia diserang oleh seseorang?”

“Tidak. Semua itu berkat cyberbullying.”

“…Aku tidak mengerti.”

Wajar saja. Hampir semua orang yang diberi tahu oleh Sakuta tentang kejadian ini bereaksi seperti itu.

“Dia tak membaca sebuah pesan singkat atau chat dan salah seorang gadis dengan kasta tertinggi di kelas marah padanya. Seluruh teman sekelasnya memusuhi Kaede dan isi dari grup chat kelas tersebut dipenuhi dengan ujaran kebencian. Seperti, ‘Dasar menyebalkan,’ ‘Dasar menjengkelkan,’ ‘Mati saja,’ ‘Kau terlalu mencolok,’ ‘Jangan pernah kembali ke sekolah,’ dan hal lain semacam itu ke Kaede.”

Saat Sakuta mengatakan hal tersebut, ia melepaskan ikat pinggangnya.

“Dan suatu hari, luka-luka tersebut muncul di tubuhnya.”

“Kau yakin akan hal ini?”

“Awalnya, Aku juga mengira kalau orang lain yang melukai Kaede. Tapi saat itu, Kaede sudah berhenti bersekolah. Jika dia tak meninggalkan rumah, bagaimana mungkin seseorang bisa melakukan hal itu padanya? Oleh sebab itu, Aku mengira kalau stres yang dialaminya begitu parah hingga dia melukai dirinya sendiri.”

Sakuta melepas celananya dan menggantungnya di belakang kursi agar tidak kusut.

“Memang benar kalau beberapa korban perundungan merasa kalau itu salah mereka,” ucap Mai. Untuk suatu alasan, Mai mengalihkan pandangannya ke sudut ruangan.

“Jadi Aku mencoba membolos dan mengawasi Kaede sepanjang waktu. Aku perlu tahu yang terjadi.”

“Sebelum kau bicara lebih lanjut…”

“Apa?”

“Kenapa kau masih membuka bajumu?

Sakuta melihat dirinya sendiri dalam cermin. Ia hanya mengenakan celana boxer dan kaus kaki yang masih menyelimuti kakinya.

“Seperti yang kubilang sebelumnya, Aku selalu mengganti pakaianku begitu Aku sampai rumah.”

“Kalau begitu cepat pakai bajumu!”

Ia membuka lemarinya untuk mencari baju ganti. Saat ia melakukannya, Sakuta melanjutkan ceritanya, “Sampai di mana Aku tadi?”

“Kau bolos sekolah dan mengawasi Kaede. Apa yang terjadi setelah itu?”

“Sesaat Kaede membuka sebuah aplikasi dari ponselnya, sebuah luka baru muncul. Di pahanya muncul luka sayatan baru. Darah segar keluar dari lukanya…dan setiap postingan sosial media yang dia lihat membuat luka memar atau sayatan mulai bermunculan.”

Seakan rasa sakit hati yang dirasakannya muncul sebagai luka memar dan sayatan di sekujur tubuhnya.

“……”

Mai seperti kehabisan kata-kata untuk menanggapi hal ini.

“Hal itu menjadi alasanku menganggap kalau Sindrom Pubertas itu nyata.”

“…Benar-benar cerita yang sulit dipercaya, tapi kuyakin kalau kau tidak mempunyai alasan kenapa harus mengarang cerita atau memalsukan foto ini.”

Mai mengembalikan foto itu dan Sakuta menempatkan kembali foto tersebut ke meja belajarnya dan mengunci laci tersebut.

“Hal itu terjadi bersamaan saat kau mendapat luka cakaran tersebut di dadamu?”

Sakuta mengangguk.

“Luka cakar tersebut tidak mungkin disebabkan oleh seorang manusia.”

“Tapi tetap saja, Aku tak mengetahui kenapa Aku mendapat luka cakaran ini. Tiba-tiba Aku terbangun dengan bersimbah darah dan segera dilarikan ke rumah sakit. Kupikir Aku akan mati.”

“Apa itu alasan dibalik ‘insiden rumah sakit’ yang sebenarnya?”

“Ya. Akulah yang dirawat di rumah sakit.”

“Berarti kebalikannya! Kita benar-benar tidak bisa memercayai rumor yang beredar.”

Mai menenangkan dirinya dan duduk kembali di kasur.

Saat dia kembali duduk, pintu kamar terbuka dan seekor kucing calico memasuki ruangan dan mengeong.

Di belakang kucing tersebut…

“Oh, onii-chan sudah pulang?”

Seorang gadis yang mengenakan piama panda muncul dari balik pintu.

“Er…,” ucapnya sambil kebingungan.

Sakuta sedang berdiri dengan hanya mengenakan celana dalam dan seorang gadis yang terlihat lebih dewasa dari mereka berdua sedang duduk di tempat tidur Sakuta.

“……”

“……”

“……”

Tidak satu pun dari mereka membuka mulutnya. Tiga pasang mata saling menatap satu sama lain. Hanya kucing calico tersebut, Nasuno, yang sedang bergembira ria dengan menyandarkan dirinya ke kaki Sakuta.

Kaede yang pertama kali memecah suasana sunyi tersebut.

“M-Maaf!” teriaknya, dan melarikan diri ke ruang tamu. Namun, dia kembali mengintip dari celah pintu, matanya bolak-balik memandang Sakuta dan gadis misterius di kamar Sakuta untuk beberapa saat. Sebelum akhirnya, dia memanggil onii-chan nya.

“Apa?” tanya Sakuta, menggendong Nasuno dan mendekat ke arah Kaede. Ketika Sakuta berada di depan pintu kamar, Kaede membisikkan sesuatu ke telinga Sakuta.

Onii-chan harusnya bilang kalau mau memanggil call girl [1], peringatkan Aku dulu sebelumnya!”

 “Kau salah besar, Kaede.”

“Huh? Bukannya kalau situasi seperti ini artinya dirimu sedang memuaskan gairah seksual karena fetish [2] seragam sekolahmu!”


“Kau tahu dari mana hal semacam itu?”

“Bulan lalu, Kaede membaca sebuah novel yang bercerita tentang seorang wanita yang punya pekerjaan yang mirip! Wanita tersebut sangat luar biasa karena dia membimbing orang-orang yang malang ke surga!”

“Yah, semua orang punya pandangan yang berbeda-beda, tapi kebanyakan orang akan menganggap kalau Aku membawa seorang pacar ke rumah.”

Anggapan seperti ini lebih mungkin terjadi bagi Sakuta.

“Kaede bahkan tak ingin membayangkan skenario suram tersebut.”

“Suram, ya?”

“Suram sekali. Hampir seperti saat bumi hancur dengan sendirinya.”

“Yah, kuanggap akhir dari planet bumi merupakan harga yang setimpal untuk seorang pacar.”

“Kau sudah selesai bercandanya?” seru Mai.

Sakuta kembali masuk ke kamar tidurnya. Kaede melekatkan dirinya dibalik punggung Sakuta dan merangkul tangan kanannya. Menyembunyikan dirinya dibelakang Sakuta sambil mengintip ke arah Mai dengan rasa curiga. Tubuh Kaede cukup tinggi, jadi yah usahanya untuk menyembunyikan dirinya terbilang sia-sia. Mai masih bisa melihat dirinya.

“Wanita ini tak meminta onii-chan untuk membeli sebuah vas, kan?”

“Tidak.”

“Apa onii-chan berjanji untuk pergi melihat sebuah lukisan?”

“Bukan juga.”

Onii-chan dipaksa untuk membeli buku paket Bahasa inggris…?”

“Kaede, dia tak sedang menjual apa pun. Jangan khawatir, ini bukan sebuah penipuan. Dia seorang senpai di sekolahku.”

“Namaku Mai Sakurajima. Senang bertemu denganmu.”

Saat Mai berbicara dengannya, Kaede menyembunyikan dirinya dalam bayang-bayang Sakuta seperti seekor binatang kecil yang kabur dari kejaran pemangsanya. Tubuh Kaede cukup dekat dengan dengan punggung Sakuta sampai-sampai ia bisa merasakan hembusan napasnya saat Kaede membuka mulutnya meskipun suaranya terlalu kecil untuk dapat didengar oleh seseorang.

“Uh,” katanya, “Senang bertemu denganmu juga. Namaku Kaede Azusagawa.”

“Ah.”

“Dan kucing ini namanya Nasuno.”

Sakuta menggendong kucing tersebut agar Mai bisa melihatnya. Nasuno mengeong lagi sambil meregangkan tubuhnya.

“Terima kasih telah memberitahuku, Kaede” ucap Mai.

Kaede menjulurkan wajahnya untuk sesaat, kemudian dia merebut Nasuno dari tangan Sakuta dan segera berlari keluar kamar. Lalu, membanting pintu kamar tersebut.

Dia sangat cerewet ketika cuma ada dirinya dan Sakuta, tetapi jika ada orang lain di sekitarnya, Kaede selalu bersikap seperti ini. Ketika Kunimi datang menjenguk, mereka berdua hanya saling berbicara ketika Sakuta ada.

“Maaf, dia sangat pemalu.”

“Jangan khawatir; Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Bilang itu pada Kaede nanti dan Aku lega karena luka-lukanya sudah sembuh.”

Anehnya, memar dan sayatan di tubuh Kaede tidak meninggalkan bekas luka. Sakuta sangat senang akan hal itu karena Kaede seorang gadis. Di saat yang sama, ia bertanya-tanya tentang luka yang membekas di dadanya. Hal tersebut masih menjadi misteri, tapi…bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Ia harus membantu Mai saat ini.

Mai meletakkan kedua tangannya ke belakang dan bersandar seperti orang sedang berjemur sambil menyilangkan kakinya.

“Aku kaget karena Kaede tidak mengenaliku.”

“Yah…dia jarang menonton TV.”

“Hmm,”

Sakuta tidak yakin apakah Mai percaya dengan alasan semacam itu.

“Kembali ke topik pembicaraan kita… Mai-san, saat berada di kereta tadi, kau mengatakan sesuatu tentang keinginanmu mengunjungi suatu tempat di mana tak ada seorang pun yang mengenalimu. Seberapa serius dirimu?”

“Seratus persen serius.”

“Kau yakin?”

“…Terkadang Aku memikirkan hal seperti itu. Tapi adakalanya, Aku khawatir kalau Aku tidak bisa mencicipi roti krim lagi.”

Mai mengeluarkan roti krim yang dibawanya dan menggigit roti tersebut.

“Aku menanyakan hal ini karena ini penting.”

“……”

Mai terus mengunyah roti krim itu.

Sakuta menunggu sekitar sepuluh detik sebelum Mai menelan habis roti tersebut.

 “Aku bersungguh-sungguh,” jelas Mai. “Perasaanku cepat sekali berubah dari waktu ke waktu.”

“Yah, tapi…”

“Kalau begitu biarkan Aku bertanya hal ini. Kenapa kau sangat ingin tahu?”

Mata Sakuta melirik ke arah pintu kamar. Ia sedang memeriksa keberadaan Kaede meskipun Kaede sudah lama pergi.

“Dalam kasus Kaede, menjauhkannya dari hal-hal seperti sosial media dapat meringankan gejala Sindrom Pubertas-nya.”

Kaede tidak lagi bermain dengan sosial media. Tidak membaca sebuah postingan dari forum tertentu. Tidak lagi bergabung dalam grup chat kelas. Orang tua mereka menghentikan layanan ponsel Kaede dan Sakuta melempar ponselnya ke laut. Mereka bahkan tidak mempunyai satu pun komputer di rumahnya.

“Dapat meringankan?”

“Dokter yang memeriksa Kaede berkata, ‘Kalau kau berpikir jika perutmu sakit, maka hal tersebut pasti akan terjadi’ dan suatu hal semacam itu pasti dapat terjadi. Tapi sang dokter juga tak dapat memercayai kalau luka fisik tersebut disebabkan oleh Kaede sendiri.”

Pada akhirnya, Sakuta tidak terlalu memperdulikan saran dokter tersebut. Tetapi sebagian dari saran tersebut juga benar adanya. Setelah seluruh teman kelasnya memusuhi Kaede, dia kesulitan menerima kenyataan itu. Karena perasaan kecewa yang begitu berat, rasa sakit yang dia rasakan mulai muncul satu demi satu di tubuhnya sebagai luka asli. 

Melihat hal itu secara langsung, saran dokter tersebut merupakan satu-satunya alasan yang Sakuta anggap masuk akal. Suatu gagasan tentang keadaan mental seseorang dapat memengaruhi kondisi tubuh orang itu juga tampaknya hal yang masuk di akal bagi Sakuta. 

Jika seseorang takut pada suatu hal, maka kondisinya tubuhnya tidak sedang dalam kondisi prima. Hanya dengan melihat makanan yang dibenci oleh seseorang dapat membuat orang itu merasa mual. Seseorang yang membenci kelas renang mungkin akan terkena demam ketika waktu untuk berenang di kelas tersebut tiba. Setidaknya, sebagian besar orang pernah mengalami hal semacam itu.

Hal tersebut pada dasarnya sama, meskipun gejala dan akibatnya sama sekali berbeda. Sakuta mengira kalau teori dasar yang dikemukakan oleh dokter tersebut benar adanya.

“Jadi?”

“Aku percaya kalau luka-luka di tubuh Kaede disebabkan oleh seberapa serius dirinya/kuat perasaannya.” 

“Kalau itu Aku mengerti. Tapi apa hal itu berlaku juga padaku?”

“Maksudku, kau harus lihat dirimu sendiri saat di sekolah. Kau bersikap seolah-olah kau seorang siswi penyendiri.”

“……”

Wajah Mai datar seperti biasa. Mai seperti tidak terlalu tertarik dengan apa yang ingin diucapkan oleh Sakuta, tetapi tatapan mata Mai menyiratkan “Jadi?” dan mendesak Sakuta untuk melanjutkan penjelasannya. Ekspresi semacam ini membuat Sakuta berpikir kalau tidak ada orang lain yang mampu melakukan hal tersebut, kecuali Mai.

“Uh, maksudku adalah,” ucap Sakuta, memutuskan kontak mata dari Mai. “Kurasa lebih baik jika kau kembali bekerja sebagai aktris sebelum keadaannya semakin memburuk.”

Sakuta mencoba membuat nada bicaranya selembut mungkin. Karena ia tidak punya alasan untuk berkelahi dengan Mai. Ia tidak akan pernah menang jika membahas dunia akting.

“Apa maksudnya itu?”

“Jika kau mulai tampil di TV lagi, tak peduli jika kau masih berpura-pura sebagai seorang penyendiri, orang-orang yang menontonmu tak akan membiarkanmu melakukannya. Sama seperti sebelum kau memulai hiatus dari dunia akting.”

“Hmph.”

“Lagi pula, Kau…sudah menemukan tujuan hidupmu,” ucap Sakuta sambil memperhatikan reaksi Mai.

“……”

Alis Mai bergerak sedikit. Sangat samar terlihat. Jika Sakuta tidak memperhatikannya, ia mungkin tidak menyadarinya.

“Tujuan apa?” nada bicaranya sangat berbeda dengan ekspresi yang ditunjukkannya.

“Kau ingin kembali berakting.”

“Kapan Aku mengatakan hal itu?” tanya Mai, mengekspresikan kekesalannya dengan dramatis. Sakuta kira ini salah satu akting Mai.

“Jika kau tak tertarik, kenapa kau menatap poster film yang ada di kereta tadi dengan iri?”

Sakuta mencoba memancingnya.

“Aku menyukai novel dari adaptasi film itu! Aku hanya penasaran dengan adaptasinya.”

“Kau yakin tak ingin memerankan pemeran utama wanita di film itu sendiri?”

“Sakuta, jangan mencoba memprovokasiku.”

Mai tersenyum dengan bangganya. Perasaan Mai yang sebenarnya tidak ingin ditunjukkannya.

Sakuta juga tidak menyerah.

“Menurutku, seharusnya kau melakukan sesuatu yang kau inginkan Mai-san. Kemampuanmu dalam berakting dan riwayat kerjamu juga bagus. Ditambah, manajer mu menginginkanmu untuk kembali tampil! Kenapa tak kembali ke dunia akting?”

“…Aku tidak peduli, persetan dengan orang itu.”

Mai tidak menaikkan volume suaranya tetapi nada tersirat ketika mengucapkan kata-kata tersebut adalah amarah. Ekspresi kesalnya terlihat dan Mai menatap Sakuta dengan jengkel.

“Urus-urusanmu sendiri.”

Sakuta kali ini sudah menyebutkan hal yang tidak perlu.

“……”

Mai tiba-tiba bangkit dan melangkah keluar dari kamar Sakuta.

“Toiletnya ada di sebelah kanan.”

“Aku pergi!” bentaknya. Dia mengambil tas sekolahnya dan membuka pintu kamar. 

“Eep!”

Kaede muncul dari balik pintu dan memegang nampan dengan berisikan beberapa cangkir teh. Dia juga mengganti piama yang dipakai sebelumnya dengan blouse putih dan rok tali kodok.

“Er, uh…Kaede membuat teh,” ucap Kaede terbata-bata karena terkejut dengan ekspresi Mai yang galak.

“Terima kasih,” ucap Mai, sambil tersenyum. Dia mengambil secangkir teh dan meminumnya dalam satu tegukan. “Rasanya enak.”

Mai meletakkan cangkir tersebut kembali di tempatnya dengan sopan dan berjalan menuju pintu depan. 

“Uh, tunggu Mai-san!” panggil Sakuta yang mencoba mengejar Mai.

“Apa?” bentak Mai sambil memakai sepatunya.

“Kau melupakan ini!” kata Sakuta sambil mengulurkan sebuah paper bag dengan kostum bunny girl di dalamnya.

“Simpan saja!”

“Setidaknya ku antar kau---”

“Tidak.” Mai memotong kata-kata Sakuta dan jelas terlihat kesal. “Rumahku ada di dekat sini.”

Setelah mengatakan itu, Mai pergi.

Sakuta mencoba mengejar, tapi…

“Jangan! Onii-chan nanti akan ditangkap!” seru Kaede.

Yang Kaede maksud adalah pakaian Sakuta karena dirinya cuma sedang memakai celana boxer dan Sakuta terpaksa mengurungkan niatnya.

Mereka berdua berdiri dengan canggung di depan pintu rumah.

“……”

“……”

Setelah beberapa saat terdiam, mereka berdua menatap paper bag tersebut.

Dan kostum bunny girl di dalamnya.

“Untuk apa ini?” tanya Kaede.

“Yah, untuk sementara ini…”

Sakuta mengambil telinga kelinci dari dalam tas dan Kaede yang masih memegang nampan dengan kedua tangannya tidak bisa melawan balik, ia mencoba menempelkan telinga itu ke kepala Kaede.

“K-kaede tak mau memakainya!”

Kaede melarikan diri ke ruang tamu, dan berhati-hati agar tidak menumpahkan teh yang dibawanya.

Sakuta tidak ingin memaksa Kaede, jadi ia mengabaikan niatnya. Ia menyimpan kostum tersebut di lemarinya dan berharap hari di mana ia bisa melihat Mai mengenakan kostum ini lagi akan tiba.

“Yah, tidak masalah...”

Hubungannya dengan Mai tidak berjalan dengan mulus. Sakuta benar-benar membuatnya kesal.

“Kurasa Aku harus minta maaf besok…”



[1] [Nananotes: call girl atau female escort itu seorang pekerja seks yang mengiklankan dirinya di media massa (majalah atau situs web tertentu). Para klien yang menggunakan jasa ini bisa datang ke tempat si pria/wanita panggilan atau membuat janji temu di tempat lain seperti hotel dll.]
[2] [Nananotes: Fetish adalah perilaku penyimpangan secara seksual. Orang-orang yang memiliki fetish akan sesuatu akan merasakan kepuasan atau gairah seksual dari benda-benda yang sifatnya bukan termasuk bagian seksual seperti genital dan alat kelamin. Contohnya: Fetish ketek *slurp*, kaki, keringat, udel, paha, otot, cewek SMA, gyaru, maid, dll.]