Senpai Seorang Bunny Girl
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Seusai sekolah, Sakuta berpura-pura kalau ia melupakan pertemuannya dan bersiap-siap untuk menuju loker sepatu tetapi setelah memikirkannya lagi ia menuju ke atap. Pikirnya, Ia hanya akan memperburuk keadaan nantinya. Lebih cepat lebih baik… Meski ia mengira kalau hal itu tidak berlaku dalam kasus ini.

Meski begitu, kata-kata pertama yang diucapkan Saki Kamisato kepada Sakuta adalah “Kau terlambat!”

Dia sudah marah-marah saja. Benar-benar tidak adil.

“Aku ada piket.”

“Aku tak peduli.”

“Jadi apa maumu?”

“Aku langsung ke intinya saja,” Saki menatap ke arah Sakuta dengan penuh amarah. “Kau itu orang yang dikucilkan di kelas, jika kau dekat-dekat dengan Kunimi pasti akan memengaruhi reputasinya.”

“……”

Kata-kata yang menyakitkan tetapi memang langsung ke intinya.

“Meski baru pertama kali berbicara denganku, kau sepertinya tahu banyak tentangku, Kamisato.” Ucapnya dengan nada datar.

“Semua orang tahu tentang ‘insiden rumah sakit’-mu.”

“Oh benar juga,” ucap Sakuta yang merasa bosan dengan topik yang dibicarakan Kamisato.

“Jika kau kasihan dengan Kunimi, jangan berbicara lagi dengannya.”

“Kalau berdasarkan logikamu sendiri, kau yang sedang dalam masalah saat ini. Reputasimu menurun selagi kita berbicara.”

Masih ada siswa-siswi lain yang berada di atap, dan pertengkaran yang terlihat jelas antara Sakuta dan Kamisato menarik banyak perhatian.

Beberapa siswi, bahkan terlihat sedang mengetik sesuatu di ponsel mereka. Sepertinya sedang melaporkan ini ke teman mereka yang lain.

Rajin sekali meraka.

“Ini bukan tentang Aku, ini tentang Kunimi.”

“Aku mengerti, kau hebat Kamisato.”

“Huh? Kenapa kau tiba-tiba memujiku?”

Sakuta bermaksud untuk menjadikannya sebagai lelucon, tetapi tampaknya dia tidak mengerti.

“Kurasa kau tak perlu khawatir. Kunimi akan baik-baik saja. Reputasinya tak akan menurun hanya karena orang lain melihatnya berbicara denganku. Semua orang tahu kalau ia itu tipe pria yang akan memakan bekal makan siang yang dibuat oleh ibunya dengan senyuman dan selalu menyinggung betapa lezat masakan ibunya itu. Mereka tahu kalau Kunimi itu orang baik yang selalu peduli pada orang lain.”

Kunimi pernah tertawa setelah mendengar kata-kata tersebut, dan ia berkata kalau siapa pun yang dibesarkan oleh seorang single mom tahu akan betapa berharganya figur kasih sayang itu, tetapi orang bodoh pun tahu kalau hal tersebut tidak semudah kelihatannya. Banyak anak yang mempunyai situasi serupa malah berperilaku buruk.

“Jadi tak usah khawatir. Kunimi pria yang luar biasa, ia terlalu baik untuk orang sepertimu kalau Aku boleh jujur.”

“Kau cari ribut?”

“Kau yang pertama kali memulai hal ini, Kamisato.”

Sakuta mulai jengkel dan hal itu dapat terlihat dari nada bicaranya.

“Ugh, jangan mengingatkanku lagi! Kenapa Kunimi juga memanggilmu dengan namamu sendiri, Sakuta, sedangkan ia memanggilku Kamisato. Aku pacarnya! Jadi kenapa Kunimi memanggilku dengan nama keluargaku?”

Kata-katanya barusan adalah hal terakhir yang Sakuta kira untuk memicu pertengkaran. Siapa juga yang peduli? Pikirnya, namun ia tidak jadi mengucapkan hal tersebut. Ia tidak butuh kisah cinta Kamisato membebani dirinya lebih dari yang sudah ada.

Tetapi hal yang Sakuta katakan selanjutnya malah lebih buruk lagi.

“Kau kasar sekali hari ini. Apa kau sedang datang bulan?”

“Hah?!”

Wajah Kamisato memerah.

“It--- Mati saja! Dasar Bodoh! Kuharap kau mati!!”

Karena tidak bisa menahan amarahnya, Kamisato melarikan diri dari tempat itu sambil menghina Sakuta. Lalu membanting pintu keluar.

Dengan masih berdiri di tempatnya, Sakuta menggarukkan kepalanya dan bergumam “Sial, Aku tepat sasaran yah…?” dengan sedikit rasa menyesal.


Agar tidak sengaja bertemu Saki Kamisato lagi di lorong sekolah, Sakuta menghabiskan waktunya dengan menikmati semilir angin laut di atap sekolah sebelum pulang ke rumahnya.

Saat dirinya turun dari atap sekolah dan bersiap mengganti sepatunya di loker sepatu, langit yang tadinya berwarna biru menjadi merah seiring waktu berganti.

Tempat itu sepi senyap, tidak ada seorang pun di sana. Saat-saat seperti ini bagaikan ketenangan sebelum ombak kedua menghantam---para siswa-siswi yang pulang setelah jam sekolah usai telah lama pergi namun kumpulan siswa-siswi lain masih sibuk dengan klub mereka atau sedang latihan. Saat ia mengganti sepatunya, ia bisa mendengar suara klub olahraga sedang berteriak di kejauhan. Suara yang terdengar dari kejauhan itu hanya menambah kesunyian yang dirasakan Sakuta.

Jalan yang ia lalui menuju stasiun tampak seperti dirinya sedang menyewa seluruh bahu jalan untuk keperluan pribadinya. Setelah itu, ia segera memasuki Stasiun Shichirigahama yang mana cukup sepi dari penumpang. Sakuta biasanya ikut pulang bersama siswa-siswi lain setelah kelas usai, bergabung dengan kerumunan besar siswa-siswi yang berdesak-desakan di peron kecil tersebut, tetapi hari ini hanya terlihat beberapa orang saja yang sedang menunggu kedatangan kereta.

Pandangan matanya langsung tertuju ke salah satu gadis. Seorang gadis yang berdiri dalam diam di ujung peron, seakan dirinya menolak segala kontak verbal dengan orang-orang disekitarnya---dengan kabel earbud kendur yang berasal dari saku jaket seragamnya.

Mai Sakurajima.

Dengan bermandikan cahaya matahari sore, kecantikan dirinya seakan terasingkan---hanya dengan berdiri diam di sana, sosoknya layak untuk diabadikan dalam sebuah foto. Sakuta merasa kalau ia bisa menatap sosok itu selama yang dirinya mau…tapi rasa penasarannya mengalahkan keinginannya itu.

“Hi,” ucap Sakuta sambil berjalan ke arah Mai.

“……”

Tidak ada jawaban.

“Halo?” ucapnya lebih keras.

“……”

Masih tidak ada jawaban.

Tetapi Sakuta yakin kalau Mai menyadari kehadirannya.

Sakuta dan Mai berdiri di peron yang sepi, menunggu kereta datang. Terdapat tiga siswa SMA Minegahara lain yang tersebar di stasiun tersebut. Lalu, sepasang kekasih yang seperti anak kuliahan memasuki stasiun---tampak seperti turis. Mereka menunjukkan tiket harian kereta dengan desain Noriori-kun ke petugas yang berjaga di gerbang masuk.

Setelah berjalan ke tengah peron, mereka langsung menyadari keberadaan Mai.

“Hei…”

“Bukankah itu…?”

Sakuta bisa mendengar pasangan tersebut saling berbisik. Menunjuk ke arah Mai yang sedang menunggu kereta datang, seakan Mai tidak menyadari hal yang sedang terjadi.

“Eeh, jangan tahu kau tak boleh!” pasangan wanitanya berbisik dengan nada menggoda, jelas-jelas tidak berniat untuk menghentikan tindakan yang dilakukan pasangannya. Percakapan mereka dapat terdengar di stasiun yang sunyi tersebut. Sakuta merasa hal itu mengganggu dirinya dan orang-orang sekitar.

Karena tidak tahan lagi, ia berbalik menghadap ke arah mereka dan melihat kalau si pria sedang mengarahkan kamera ponselnya ke arah Mai.

Sebelum si pria bisa memotret Mai, Sakuta menghalanginya. Terdengar suara *klik*, tetapi foto yang si pria dapat hanyalah foto close-up dari wajah Sakuta.

Si pria tampak terkejut, lalu menunjukkan amarahnya.

“Ka-kau ini siapa?” geramnya, mendekati Sakuta. Si pria tidak bisa membiarkan seorang anak SMA mempermalukan dirinya di depan pacarnya.

“Perkenalkan, Aku ini seorang manusia” ucap Sakuta dengan wajah datar. Secara harfiah, hal itu benar adanya.

“Huh?”

“Dan kau adalah seorang penguntit.”

“Ap---?! B-Bukan!”

“Kau sudah cukup dewasa jadi sikapmu harusnya bisa lebih baik lagi. Apa yang kau lakukan barusan membuatku malu karena berasal dari spesies yang sama denganmu.”

“Aku tak---”

“Kau akan memposting foto tersebut seperti kau sudah melakukan sesuatu yang mulia, kan?”

“?!”

Amarah dan rasa malu terpampang jelas di wajah pria tersebut. Sakuta sepertinya benar tentang kelakuan pria itu.

“Jika kau sangat ingin perhatian dari semua orang, Aku bisa memposting fotomu dan menuliskan ‘Penguntit’ sebagai judul postingannya.”

“……”

“Bukankah orang tuamu mengajarkan hal ini ketika masih kecil? ‘jika kau tak mau mendapat perlakuan yang sama, jangan melakukan hal yang sama ke orang lain.’”

“Di-diam, bocah!” ucap pria itu. Lalu meraih tangan pacarnya dan memasuki kereta yang baru saja tiba dan mengarah ke Kamakura. Hanya ada satu jalur di stasiun tersebut, jadi tidak peduli ke arah mana pun kereta itu menuju, mereka akan berhenti di tempat yang sama.

Sakuta melihat kereta tersebut meninggalkan stasiun dan merasa kalau ada yang sedang menatapnya dari belakang.

Tiba-tiba merasa gugup, Sakuta berbalik dan melihat Mai melepaskan earphone yang dipakainya dengan wajah kesal.

Matanya saling menatap mata Sakuta.

“Makasih,” ucap Mai.

“Huh?”

Sakuta mengharapkan reaksi yang berbeda dan tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya.

“Kau kira Aku akan memarahimu? Dan menyuruhmu untuk ‘Mengurus urusanmu sendiri’?”

“Uh…yeah.”

“Aku berniat mengatakannya tapi tidak jadi.”

“Kalau begitu kau tak perlu mengatakan hal itu juga.”

Jujur saja, cara dia mengakui hal itu sama saja dengan mengatakan hal tersebut di awal.

“Aku terbiasa dengan hal seperti itu.”

“Tapi tetap saja, hal itu pasti melelahkan buatmu kan?”

“……”

Rasa terkejut dapat terlihat di wajah Mai.

“Melelahkan… tepat sekali,” Mai mengakuinya.

Senyuman muncul di wajahnya, seakan dia sedang bersenang-senang.

Merasa kalau Mai ingin bercerita lebih banyak, Sakuta berdiri di sebelahnya.

Tetapi sebelum ia bisa menanyakan apa pun, Mai bertanya, “Kenapa kau ada di sini, di waktu sepetang ini?”

“Aku dipanggil oleh seorang cewek dari kelasku ke atap sekolah.”

“Sebuah pengakuan? Kau orangnya populer ya? Aku tidak mengira.”

“Pengakuan karena membenciku.”

“Oh?”

“Cewek itu mengaku kalau dia membenci sikapku.”

“Wow, sebuah tren baru.”

“Aku baru pertama kali diperlakukan seperti itu. Kalau kau sendiri? Kenapa kau ada di sini selarut ini?”

“Aku hanya menghabiskan waktuku agar tidak bertemu denganmu lagi.”

Sakuta melirik ke arah Mai tetapi ia tidak tahu maksud sebenarnya dari perkataannya dengan hanya melihat wajahnya. Memutuskan kalau ia tidak perlu tahu hal itu, ia membiarkannya.

Sebaliknya, Sakuta melihat jadwal kereta dan mencoba mengganti topik pembicaraan.

“Pukul berapa sekarang?”

“Lihat jam tanganmu sendiri.”

Sakuta mengangkat kedua pergelangan tangannya dan tidak terlihat satupun jam tangan.

“Kalau begitu, periksa ponselmu sendiri.”

“Aku tak punya ponsel.”

“Bahkan ponsel lipat sekali pun?”

“Lipat atau tidak, Aku tak punya. Aku juga tak sengaja meninggalkannya di rumah hari ini.”

Sakuta tidak memiliki ponsel jenis apa pun.

“…Di zaman modern seperti ini?”

Mai menganggap hal tersebut sulit dipercaya.

“Aku serius. Maksudku, Aku memang pernah punya tapi Aku kesal dan melemparnya ke laut.”

Sakuta sangat mengingat hal itu. Hari itu adalah hari saat ia memeriksa hasil ujian masuk ke Minegahara…

Kotak kecil dengan berat kurang dari 1 kg itu, sebuah perangkat praktis yang menghubungkan dirinya dengan dunia luar, melengkung di udara seperti jembatan Kintai di prefektur Yamaguchi ketika Sakuta melemparnya ke laut.

“Sampah seharusnya berada di tempat sampah.”

Apa yang dikatakan Mai benar adanya.

“Aku akan melakukan itu lain kali.”

“Kalau begitu, kau juga tidak punya teman?”

Tanpa ponsel, bagaimana mungkin seseorang bisa membuat rencana dengan orang lain? Inilah kenyataan dari dunia yang mereka tinggali. Pendapat Mai memang benar adanya. Bertukar nomor ponsel, alamat email, dan alamat kontak adalah awal dari sebuah pertemanan dan jika seseorang tidak melakukan semua itu, maka kau akan dianggap sebagai bukan bagian dari masyarakat modern. Dalam lingkup sekolah, siapa pun yang gagal melakukan hal ini dianggap sebagai orang mencurigakan. Sakuta kesulitan berteman karena hal ini pada awalnya.

“Aku punya banyak. Aku punya dua orang teman.”

“Kenapa kau membuatnya kalau ‘dua’ itu jumlah yang banyak?”

“Dua orang itu sudah lebih dari cukup! Aku hanya harus berteman dengan mereka selamanya.”

Jumlah nomor ponsel, alamat email, dan alamat kontak dalam daftar pertemanannya itu tidak terlalu penting. Jumlah tidak selamanya penting, tidak menurut Sakuta.

Kalau boleh jujur, teman itu apa? Yang menjadi patokan Sakuta adalah “Seseorang yang bersedia untuk memberinya nasihat meskipun ia menelepon mereka larut malam.”

“Hmm,” gumam Mai dan mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku blazernya. Ponsel pintarnya dilapisi oleh cover merah muda dengan bentuk telinga kelinci di atasnya.

Dia menunjukkan layar ponsel pintarnya. Waktu menunjukkan pukul 4:37 sore, kereta selanjutnya akan tiba beberapa menit lagi. Namun, ketika Sakuta melihat layar ponsel pintar Mai, ponselnya mulai bergetar. Sebuah panggilan masuk.

Sakuta bisa melihat kata Manajer dari layar ponsel pintar Mai.

Dia menolak panggilan itu, dan ponsel pintarnya berhenti bergetar.

“Kau yakin?”

“Keretanya sudah tiba…dan Aku tahu apa yang mau dia katakan.”

Kiranya, Sakuta mendengar nada jengkel dari kata-kata Mai.

Kereta yang mengarah ke Fujisawa tiba di stasiun itu…


Sakuta dan Mai memasuki gerbong yang sama, lalu duduk bersebelahan di kursi kosong yang mereka tempati.

Pintu kereta menutup, dan mulai berjalan meninggalkan Stasiun Shichirigahama. Gerbong kereta tersebut ternyata cukup penuh. Sekitar 80% dari kursi gerbong tersebut terisi, dan beberapa orang memilih untuk tetap berdiri.

Dua stasiun terlewat dan lautan yang terlihat dari luar jendela digantikan oleh pemandangan dari pemukiman penduduk saat kereta terus melaju.

“Jadi yang kemarin itu.”

“Lupakan hal itu. Aku sudah memperingatkanmu, kan?”

“Sayangnya, Aku tak bisa. Dirimu sebagai bunny girl begitu menggairahkan.”

Rasa letih yang Sakuta pertahankan baru saja terlihat dari caranya menguap.

“Aku sangat bergairah hingga tak tidur semalaman.”

Sakuta menatap Mai dengan wajah kecewa.

“H-hei! Sebaiknya kau tidak membayangkanku melakukan hal yang aneh-aneh!”

Sakuta mengharapkan tatapan sinis dan cemoohan, tetapi wajah Mai memerah dan bicaranya terbata-bata. Tatapan yang dia tunjukkan jelas-jelas untuk menyembunyikan rasa malunya. Hal itu terbilang lucu.

Tetapi wajahnya berubah menjadi datar kembali.

“B-bukan berarti Aku begitu peduli jika seorang pria yang lebih muda dariku memiliki khayalan seksual tentangku,” ucapnya mencoba mencari alasan. Tetapi pipinya masih memerah dan kata-kata tadi jelas-jelas sebuah kebohongan. Dia mungkin terlihat seperti orang dewasa, namun di dalam dirinya masih seperti anak kecil.

“Jangan dekat-dekat denganku.”

Dia menjauhkan bahunya dari Sakuta, seperti mencoba menghindari sesuatu yang kotor.

“Wooow. Kasarnya!”

“Aku bisa hamil.”

“Harus kita beri nama apa?”

“Kau serius…?” Tatapannya berubah sinis.

Mungkin Sakuta sudah sedikit berlebihan.

“Bukan pakaianku yang harusnya kau lupakan,” ucapnya.

“Kalau begitu apa?” Jika Mai ingin membicarakan hal tersebut, Sakuta akan terus menyinggungnya. Inilah yang sedari tadi ingin ia tanyakan.

“Sakuta Azusagawa,”

“Kau ingat namaku?”

“Aku mencoba untuk mengingat setiap nama orang setelah mendengarnya pertama kali.” 

Tujuan yang mengagumkan. Dia mungkin sedang rehat dari dunia akting, tetapi setelah di dunia itu cukup lama pasti membuatnya terbiasa.

“Aku mendengar rumor tentangmu.”

“Oh…rumor ya?”

Sakuta tahu apa yang dia maksud. Hal yang sama membuatnya dipanggil ke atap sekolah sebelum ini.

“Kurasa melihat lebih cocok daripada mendengar,” ucap Mai sambil mengeluarkan ponsel pintarnya dari saku blazernya lagi. Mai menggunakan browser ponselnya dan membuka suatu forum tertentu.

“Sekolah SMP-mu sebelumnya berada di Yokohama.”

“Benar.”

“Dan kau terlibat perkelahian hingga tiga teman kelasmu harus dirawat di rumah sakit.”

“Yah, kau tahu Aku ini petarung yang hebat.”

“Karenanya kau mengundurkan diri dari SMA Yokohama yang tadinya menjadi pilihan pertamamu dan memilih SMA Minegahara sebagai pilihan keduamu dan pindah ke sini.

“……”

“Masih ada lagi. Mau kulanjutkan?”

“……”

“Yah, tepat seperti perkataan seseorang, ‘‘jika kau tidak mau mendapat perlakuan yang sama, jangan melakukan hal yang sama ke orang lain.’”

“Aku tak keberatan kalau kau mau menanyakan hal itu. Justru Aku merasa terhormat karena kau tertarik denganku.”

“Dunia Internet itu hebat ya. Segala jenis informasi pribadi dapat dengan mudah dibeberkan seperti ini.”

“Benar sekali.”

Aku tidak bisa berkomentar apa-apa selain setuju.

“Tentu saja, tidak ada jaminan kalau apa yang disebarkan itu benar.”

“Jadi menurutmu bagaimana?”

“Sudah jelas kan! Jika seseorang melakukan hal seperti itu pasti orang itu tidak akan dengan santainya melanjutkan sekolahnya dan bersikap seolah tidak terjadi apa-apa.”

“Aku berharap teman sekelasku mendengar perkataanmu itu.”

“Kenapa tidak memberi tahu mereka kalau rumor itu bohong?”

“Rumor itu seperti…kondisi [1] suatu ruangan. Perasaan atau situasi atau apa pun namanya. Di zaman sekarang ini, kau harus tahu cara membaca situasi.”

 “Benar juga.”

“Siapa pun yang tak bisa membaca situasi akan dijauhi dan orang-orang yang membuat aturan tak tertulis itu tak menyadari hal tersebut. Jadi jika kau mencoba menepis rumor dan mencoba membenarkannya, orang lain hanya akan bersikap, ‘Masa bodo dengan masalahnya?’”

Lawannya bukanlah dengan orang-orang itu sendiri, yang mana hal itu tidak akan berarti apa-apa bagi Sakuta. Segala hal yang ia coba lakukan hanya akan menjadi bumerang balik dengan cara yang tidak ia duga.

“Mencoba melawan arus seperti itu sia-sia saja.”

“Jadi kau hanya akan membiarkan kesalah pahamannya terus berlanjut? Menyerah tanpa berusaha terlebih dahulu?”

“Rumor semacam ini cuma gosip Internet tak berdasar. Aku tak yakin kalau Aku bisa berteman dengan orang bodoh yang memercayai hal semacam ini tanpa pikir panjang.”

“Kau terdengar marah.”

Mai tersenyum dan sepertinya dia setuju akan hal itu.

“Giliranmu.”

“……”

Mai menatap Sakuta dengan wajah kesal. Tetapi karena dia telah mendengar cerita Sakuta, dia mulai menceritakan masalahnya.

“Aku pertama kali menyadari hal ini ketika liburan dimulai.”

Dengan kata lain, empat hari yang lalu. Tanggal 3 Mei saat Hari Peringatan Konstitusi.

“Aku pergi ke Akuarium Enoshima karena bosan.”

“Sendirian?”

“Masalah?”

“Hanya ingin tahu jika kau sudah punya pacar.”

“Aku belum pernah pacaran,” ucap Mai sambil mengalihkan pandangannya.

“Ohhh?”

“Kau lebih suka kalau Aku sudah tidak perawan?”

Mai memandang Sakuta dalam diam, seperti sedang menggodanya.

“……”

“……”

Mereka saling memandang satu sama lain dalam diam.

Wajah Mai mulai memerah sampai ke bagian lehernya. Dia yang mengungkit hal itu, dan kata perawan ternyata jauh lebih memalukan dari yang dia kira.

“Uh, Aku tak melarangmu melakukannya,” ucap Sakuta, mencoba mencairkan suasana.

“B-bagus. O-omong-omong! Aku berjalan-jalan di akuarium dikelilingi oleh keluarga yang sedang liburan, dan tiba-tiba Aku menyadari kalau tidak ada satu pun orang yang dapat mendengar atau melihat diriku.”

Wajahnya terlihat kesal dan itu membuat Mai seperti anak kecil. Sakuta selalu menganggap kalau Mai terlihat dewasa, jadi dirinya saat ini menjadi hal baru bagi Sakuta. Namun jika Sakuta mengomentari hal ini percakapan mereka akan keluar dari topik yang ingin ia dengar, jadi ia simpan komentar ini untuk dirinya sendiri.

“Awalnya, kupikir kalau Aku sedang berkhayal. Karena dalam beberapa tahun ini Aku belum tampil lagi di TV; orang-orang sedang sibuk dengan ikan-ikan, dan hal lainnya.”

Nada suaranya semakin terdengar suram.

“Tapi saat dalam perjalanan pulang, Aku mampir di sebuah kafé dan hal tersebut jelas terjadi. Pelayannya tidak melayaniku dan tidak ada satu pun yang menawariku tempat duduk.”

“Sistem kafé tersebut bukan self-service?”

“Tidak, kafé itu kafé biasa. Terdapat sederet kursi di meja pelayan dan empat meja kecil di sisi satunya.”

“Apa mungkin kau pernah mengunjungi tempat itu dan melakukan sesuatu yang buruk hingga membuatmu dilarang di tempat itu untuk seumur hidupmu?”

“Tentu saja tidak!” Wajahnya seketika terlihat marah, dan Mai menginjak kaki Sakuta.

“Kakimu, senpai.”

“Kenapa dengan kakiku?”

Wajahnya yang tanpa ekspresi sangat mengagumkan. Dia bahkan tidak tahu apa yang Sakuta maksud. Mungkin hal semacam ini sepele untuk aktris profesional.

“Aku sangat senang karena kau menggunakannya untuk menginjak kakiku.”

Sakuta mengatakan hal tersebut sebagai lelucon, tetapi Mai tampak menyangkal hal tersebut. Remaja laki-laki yang duduk di sebelah Mai baru saja turun dari kereta, jadi dia mengambil kesempatan ini untuk menjauh dari Sakuta.

“Aku bercanda.”

“Kau menganggapnya dengan serius. Aku bisa tahu.”

“Yah, tentu saja. Pria mana yang tak mau menghabiskan waktunya dengan senpainya yang cantik?”

“Benaaarkah. Ceritaku tidak akan pernah selesai jika kau tidak menutup mulutmu. Sampai di mana aku tadi?”

“Kau baru saja dilarang memasuki sebuah kafé.”

“Sudah cukup.”

Terlihat suatu kilatan kecil di matanya. Dia benar-benar marah kali ini.

Untuk menunjukkan kalau ia menyesal karena leluconnya barusan, Sakuta menutup mulutnya dengan menirukan gerakan seperti sedang menutup ritsleting yang terbuka.

“Pelayan kafé tersebut tidak menanggapi perkataanku sama sekali,” lanjut Mai menjelaskan situasinya dengan wajah cemberut. “Para pelanggan yang ada juga melakukan hal yang sama. Hal itu membuatku gelisah dan tiba-tiba saja Aku melarikan diri dari kafé itu.”

“Seberapa jauh?”

“Sampai  ke Stasiun Fujisawa dan ketika Aku berada di sana, semuanya kembali seperti semula. Semua orang bisa melihatku dan banyak yang terkejut sambil membisikkan, ‘Lihat! Itu Mai Sakurajima’ ketika mereka melihatku. Jadi kurasa kalau Aku sedang membayangkan kejadian di Enoshima. Lalu Aku mulai bertanya-tanya jika hal yang sama juga terjadi di tempat lain. Jadi Aku mulai mencari tahu.”

“Mengenakan pakaian bunny girl itu?”

“Jika Aku berpakaian seperti itu, orang-orang yang bisa melihatku pasti akan langsung menatap. Tidak mungkin kalau itu cuma khayalanku seorang.”

Benar juga. Reaksi Sakuta sendiri adalah buktinya.

“Jadi…hal ini mulai terjadi di tempat lain juga? Setidaknya, kau merasakan hal tersebut ketika berada di Shonandai.”

“Ya. Aku mulai berharap kalau tidak ada orang lain lagi yang dapat melihatku.”

Mai menatap Sakuta dengan tatapan sinis seperti sedang menyalahkan dirinya.

“Tapi di sekolah saat ini biasa-biasa saja dan hal itu tidak terjadi lagi. Setidaknya untuk saat ini.”

Mai mengedipkan matanya karena sumber cahaya yang datang di dekat pintu kereta dari gerbong belakang. Terlihat beberapa siswa sekolah lain mengeluarkan ponsel mereka, dan mengarahkannya ke---yah, yang pasti bukan ke Sakuta.

“Meski terdengar aneh, sepertinya kau menikmati hal ini.”

Sakuta pikir ia lebih baik menanyakan hal ini secara langsung. Mai tampaknya tidak seperti seseorang yang sedang ditimpa oleh suatu musibah.

“Karena Aku memang menikmatinya!”

“Serius?” tanya Sakuta karena ia tidak melihat sisi positif dari hal itu.

“Selama ini Aku selalu menjadi pusat perhatian. Aku selalu sadar kalau orang lain sedang menatapku. Sedari kecil, Aku selalu berharap agar Aku bisa mengunjungi tempat di mana tidak ada seorang pun yang mengenalku.”

Mai tidak seperti sedang mengada-ada. Bahkan, jika yang tadi itu cuma akting belaka, apa yang Sakuta ketahui tentang Mai membuatnya percaya apa yang dikatakannya. Lagi pula, selama ini Mai itu seorang aktris populer.

Saat mereka berbicara, Sakuta melihat kalau pandangan Mai tertuju ke arah poster film yang tergantung di langit-langit kereta. Sebuah iklan dari adaptasi novel yang populer dan dibintangi oleh aktris ternama yang sedang naik daun saat ini. Umurnya hampir sama dengan Mai.

Apa Mai masih mengikuti perkembangan berita di dunia akting? Atau dia sengaja mengabaikannya? Hmmm tidak, bukan itu maksud dari tatapannya. Dia seperti sedang menatap suatu hal yang jauh, kumpulan emosi yang saling bertentangan tecermin di matanya.

Dia seperti tidak bisa melepaskan dirinya dari dunia akting.

“Halo?”

“……”

“Sakurajima-senpai?

“Aku mendengarmu.”

Dia berkedip sekali dan kembali menatap Sakuta.

“Aku senang karena hal ini terjadi. Biarkan Aku menikmatinya.”

“……”

Kereta tersebut telah sampai di tujuan akhir mereka, Stasiun Fujisawa. Pintu otomatis kereta mulai terbuka, Mai berdiri lebih dahulu dan Sakuta segera mengikutinya.

“Sekarang kau mengerti situasiku kan? Lihat betapa anehnya Aku ini?”

“……”

“Tinggalkan Aku sendiri,” bentaknya. Lalu Mai mulai mempercepat langkahnya dan melewati gerbang tiket. Dia menjauhkan diri dari Sakuta seperti menyiratkan kalau ini sebuah perpisahan.

Sakuta mengikutinya dari kejauhan untuk sesaat---dan kalau boleh jujur, jalan yang Mai lalui adalah jalan pulang Sakuta. Mereka melawati jalan penghubung dan tiba di stasiun JR Tokaido.

Mai berhenti di depan loker koin di sudut stasiun dan mengambil sebuah paper bag dari dalam loker. Lalu dia melanjutkan perjalanannya, dan mengarah ke sebuah toko roti kecil.

“Roti krim satu,” ucapnya, mencoba berbicara dengan pelayan wanita di kasir.

Pelayan tersebut pasti tidak mendengarnya karena tidak menanggapi perkataan Mai.

“Roti krim satu,” ucap Mai lagi.

Tetapi pelayan wanita tersebut tetap tidak melayani pesanan Mai, pelayan tersebut seperti tidak melihat Mai sama sekali. Setelahnya, pelayan itu menerima uang 1000-yen dari seorang pekerja kantoran yang datang setelah Mai. Dia seperti tidak bisa mendengar suara Mai dan selanjutnya dia menjual beberapa roti melon ke seorang gadis SMA.

“Pesan roti krimnya satu.” Ucap Sakuta yang berjalan mendekati Mai.

“Ditunggu ya!” Kata pelayan tersebut. Dia menyerahkan sebuah paper bag dari kasir dan Sakuta membayar roti tersebut dengan uang 130-yen.

Setelah menjauh beberapa langkah dari toko roti tersebut, ia menyerahkan kantong yang berisi roti krim itu ke Mai.

Mai menatap Sakuta dengan rasa bersalah.

“Sepertinya ada sisi negatifnya.”

“Ya. Aku jadi tidak bisa membeli roti krim dari toko ini lagi.”

“Iya, kan?”

“Tapi…Kau memercayai ceritaku yang gila ini?”

“Aku sedikit tahu dengan fenomena/cerita semacam ini.”

“……”

“Sindrom Pubertas.”

Alis Mai sedikit berkedut.

Sakuta tidak mengetahui secara detail tentang kasus di mana seseorang berubah menjadi tidak terlihat, tapi… cerita di mana “Aku bisa membaca pikiran seseorang!” atau “Aku bisa mengetahui masa depan seseorang!” atau “Kami bertukar tubuh!” ada banyak dan semua hal tersebut tampak seperti sebuah fenomena supranatural. Jika memeriksa nama fenomena ini di beberapa forum Internet, banyak yang membicarakan hal ini.

Para psikiater berpengalaman menganggapnya sebagai sugesti diri yang disebabkan oleh emosi yang tidak stabil dalam diri seseorang. Sedangkan orang-orang yang menganggap dirinya sebagai ahli di bidang ini berpendapat kalau hal ini merupakan bentuk baru dari serangan panik yang disebabkan oleh tekanan dari masyarakat modern. Sementara orang awam terhibur oleh fenomena aneh semacam ini dan sebagian besar berasumsi kalau hal ini semacam hipnotis massal.

Teori lain yang tidak kalah populer adalah mengaitkan hal ini dengan penyakit mental yang disebabkan oleh stres karena tidak bisa memenuhi harapan dari cita-cita diri sendiri.

Satu hal yang pasti dari semua penjelasan tadi adalah bahwa tidak ada seorang pun yang menanggapi hal ini dengan serius. Kebanyakan orang dewasa yakin kalau itu cuma khayalan anak-anak.

Suatu saat ketika orang-orang saling bertukar pendapat, mereka sepakat menyebut fenomena aneh ini dengan sebutan Sindrom Pubertas---sama seperti yang sedang dialami oleh Mai sekarang.

“Sindrom Pubertas hanyalah mitos.”

Mai memang benar, hal semacam ini hanyalah mitos semata. Biasanya tidak ada seorang pun yang akan memercayai fenomena semacam ini. Reaksi orang lain sama seperti reaksi Mai saat ini. Bahkan, jika mereka menyaksikan suatu hal yang aneh terjadi di depan mereka, kebanyakan orang akan beranggapan kalau mereka sedang berkhayal. Bahkan, jika hal itu terjadi pada diri mereka sendiri, orang awam akan berusaha keras membantah kejadian tersebut. Dunia yang ditinggali oleh semua orang saat ini adalah tempat di mana khayalan fantasi semacam itu sudah jelas tidak mungkin terjadi---ini hal yang lazim.

Tetapi Sakuta punya alasan lain untuk menentang semua itu.

“Ada hal yang ingin kutunjukkan. Ini alasanku memercayai ceritamu itu Mai-senpai.”

“Apa yang mau kau tunjukkan?” Mai tampak ragu-ragu.

“Bisa ikut denganku sebentar?” tanya Sakuta.

Mai memikirkannya dahulu sebelum memberikan jawabannya.

“…Baiklah,” ucapnya dengan mengangguk. Volume suaranya hampir seperti sebuah bisikan.



[1] [Nananotes: KY atau Kuuki Yomenai. Kuuki di sini berarti udara/kondisi dan Yomenai sendiri memiliki arti tidak bisa membaca. Jadi KY itu dipakai untuk menyebut orang yang tidak bisa membaca situasi.]