Senpai Seorang Bunny Girl
(Bagian 2)

(Penerjemah : Nana)


Keesokannya, Sakuta terbangun karena bermimpi aneh. Ia ingat kalau dirinya hampir rata dengan tanah karena tertimpa kumpulan kelinci.

“Sadarlah! Mereka harusnya kumpulan bunny girl!” keluhnya saat ia berusaha untuk bangun. “Mm?”

Namun, ia tidak bisa bangun. Ada sesuatu yang menghalanginya untuk bangun dari tempat tidur. 

Ia menarik selimut yang menutupi tubuhnya dan menemukan penyebabnya.

Seorang gadis yang mengenakan piama sedang meringkuk di sampingnya, lengannya melilit lengan kiri Sakuta dan tidur dengan nyenyak. Karena Sakuta menarik selimutnya, hal tersebut membuat gadis itu kedinginan dan semakin memeluk erat dirinya. 

Gadis tersebut adalah adik perempuannya, Kaede, yang akan berusia lima belas tahun di bulan November nanti.

“Bangun Kaede. Sudah pagi.”

“Tapi Kaede kedinginan…”

Tampaknya dia tidak ingin bangun dari tempat tidur, jadi Sakuta mengangkatnya dan membangunkannya dari tempat tidur.

“Kau berat sekali!”

Tinggi Kaede sekitar 162 cm, cukup tinggi dibandingkan dengan gadis seumurannya dan dirinya tumbuh pesat belakangan ini. Kedua gunung yang dirasakan di lengannya menunjukkan kalau Kaede bukanlah gadis kecil lagi.

“Setengah dari berat Kaede adalah rasa sukaku padamu onii-chan!” keluhnya.

“Apa kau mendengar ucapanku barusan? Aku berharap kalau yang setengahnya lagi adalah obat untuk sakit kepalaku. Dan juga jika kau sudah bangun, berdirilah.”

“Ugh.”

Karena mengeluh, Kaede melepaskan rangkulannya. Wajahnya mulai terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan tahun lalu, dan ada perbedaan yang sangat jelas terlihat antara caranya berpenampilan dengan caranya bertindak. Kontak fisik yang sebelumnya biasa dilakukan oleh Kaede setahun yang lalu membuat Sakuta merasa tidak nyaman belakangan ini.

“Sudah saatnya kau berhenti menyelinap ke ranjangku.”

Sekaligus berhenti mengenakan piama dengan penutup kepala (hoodie) yang membuat dirinya seperti panda.

“Kaede ingin membangunkan onii-chan, tapi onii-chan tidak bangun-bangun juga, salah onii-chan sendiri!”

Wajah cemberutnya itu membuat dirinya tampak lebih muda dari yang terlihat.

“Ah baiklah, tapi kau sudah bukan anak kecil lagi jadi jangan melakukan hal seperti itu lagi.”

“Oh? Apa itu membuat onii-chan terangsang?”

“Kakak macam apa yang terangsang dengan adiknya sendiri.”

Sakuta mumukul pelan kepala Kaede dan meninggalkan kamarnya.

“Ah! Tunggu!”

Setelah ia membuat sarapan dan makan bersama. Sakuta selesai lebih dahulu dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

“Hati-hati di jalan!” kata Kaede sambil tersenyum. Sakuta meninggalkan gedung apartemennya seorang diri.


Ia mulai menguap, bahkan sebelum dirinya keluar dari gedung apartemennya. Kejadian kemarin sangat merangsangnya, dan dirinya kesulitan untuk melupakan peristiwa itu. Terbangun dari mimpi aneh bukanlah hal yang bagus untuk memulai harinya.

Dengan sambil menguap, ia berjalan melewati pemukiman penduduk. Dia harus berjalan melewati jembatan untuk sampai ke tempat tujuannya. Saat ia sudah di dekat stasiun, bangunan di sekitarnya berubah menjadi gedung-gedung yang menjulang tinggi. Jalanan yang dilaluinya juga menjadi lebih ramai---orang-orang disekitarnya memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.

Sakuta akhirnya sampai di jalan raya, ia menunggu lampu merah, dan menyeberangi penyebrangan itu. Saat ia melewati kawasan hotel dan toko-toko elektronik, stasiun kereta yang ditujunya akhirnya terlihat.

Semua itu memakan waktu kurang lebih dari 10 menit.

Tujuannya adalah stasiun kereta Fujisawa yang terletak di jantung kota Fujisawa, sebuah kota di Prefektur Kanagawa. Kumpulan pelajar dan pekerja kantoran yang menuju ke sekolah atau kantor mereka membanjiri tempat itu.

Di lantai pertama stasiun terdapat Jalur Kereta Odakyu. Dikhususkan untuk kereta yang membawa penumpang dengan tujuan Shinjuku dan kereta tersebut melakukan transit di stasiun ini sebelum akhirnya kembali ke Stasiun Katase-Enoshima. Sedangkan di lantai kedua ditujukan untuk penumpang yang menaiki JR Tokaido dengan tujuan Shonan-Shinjuku.

Sakuta mengikuti kumpulan orang yang menaiki tangga menuju gerbang tiket JR Tokaido namun ia berbalik arah.

Sakuta menuruni jalan penghubung sepanjang 27 meter yang terhubung ke Supermarket Odakyu. Namun, bukan berarti ia berencana untuk berbelanja. Hari masih pagi, dan supermarket tersebut pasti masih tutup. Ia berbelok ke arah kiri dari pintu supermarket yang tutup menuju Stasiun Fujisawa lainnya.

Jalur Kereta Api Listrik Enoshima atau disingkat Enoden---den yang berarti kereta api listrik dalam bahasa Jepang. Stasiun tersebut hanya memiliki satu jalur yang berhenti di tiga belas stasiun sebelum sampai di Stasiun Kamakura dengan waktu tempuh 30 menit.

 Sakuta memasuki stasiun tersebut dengan men-tap kartu komuternya dan untungnya kereta tiba pada saat yang bersamaan. Gerbong kereta itu berwarna hijau dengan bingkai jendela yang berwarna krem, menunjukkan kesan retronya. Gerbong kereta di stasiun ini dibatasi, dengan hanya berjumlah empat buah saja.

Sakuta menunggu kereta yang datang di peron dan memasuki gerbong pertama.

Banyak penumpang yang mengenakan seragam sekolah memilih menggunakan kereta ini. Sisanya adalah para pekerja kantoran yang mengenakan setelan mereka. Sebelum ia pindah ke area ini, Sakuta menganggap kalau kereta ini hanya ditujukan untuk para turis tetapi ternyata banyak warga setempat yang menggunakan kereta ini sebagai kendaraan pulang-pergi sehari-hari dari sekolah atau tempat kerja mereka.

Sakuta meraih gantungan kereta yang berada di dekat pintu keluar.

Saat ia meraih pegangan tangan tersebut, seseorang menyapanya. “Yo.”

Remaja tampan yang mendatanginya berusaha untuk tidak menguap---jika ada rumor yang mengatakan kalau remaja ini bekerja di salah satu agensi idol terkenal, orang lain pasti akan percaya. Wajahnya terlihat serius dan sekilas terlihat menakutkan namun ketika ia tersenyum kesan tersebut hilang, hanya terlihat wajah ramah dari seorang remaja yang polos. Hal tersebut ternyata populer di kalangan gadis.

Namanya adalah Yuuma Kunimi. Seorang siswa kelas dua, pemula di klub basket dan ia juga mempunyai pacar.

Haaa…

“Jangan menyapa orang lain seperti itu.”

“Senyumanmu itu adalah hal terakhir yang kubutuhkan di pagi hari ini. Motivasiku langsung hilang.”

“Serius?”

“Sangat serius.”

Keduanya berbicara banyak hal dan tidak lama kemudian suara bel keberangkatan berbunyi, menutup pintu gerbong kereta api tersebut.

Kereta tersebut mulai melaju dengan kecepatan yang begitu lamban sehingga terasa seperti masih mengambil ancang-ancang untuk mempercepat lajunya. Namun, sebelum bisa menambah kecepatan, kereta sudah memperlambat lajunya lagi dan bersiap-siap untuk tiba di Stasiun Ishigami.

“Hei, Kunimi.”

“Mm?”

“Sakurajima-senpai itu…”

“Kasihan sekali dirimu.”

Sebelum Sakuta selesai bertanya, Kunimi memotong pertanyaannya dan menepuk bahu Sakuta untuk menghiburnya.

“Kenapa kau mengasihaniku seperti itu?”

“Aku senang melihatmu menaruh minat pada gadis lain selain Makinohara, tapi yah… Dia di luar jangkauanmu.”

“Aku tak bilang kalau Aku menyukainya atau berencana untuk menembaknya.”

“Kalau begitu apa?”

“Aku hanya penasaran seperti apa dirinya,”

“Hmmm… Satu hal yang kutahu, dia terkenal.”

“Aku tahu itu.”

Mai Sakurajima adalah seorang selebriti. Semua siswa di SMA Minegahara mengetahui siapa dirinya. Kemungkinan besar juga kalau 70 sampai 80 persen orang di Jepang juga mengetahui hal yang sama. Sosoknya begitu ‘terkenal’ hingga kata tersebut bukanlah sebuah kiasan belaka.

“Dia memulai karirnya dalam dunia akting sejak berusia enam tahun. Lalu acara drama pagi yang dibintanginya mendapat rating tinggi seperti saat di mana drama TV sedang populer-populernya. Hal itu membuatnya menjadi sorotan besar dari berbagai media.”

Popularitasnya meledak, menyebabkan dirinya untuk tampil di berbagai jenis acara, film, dan iklan. Dia mendapatkan begitu banyak tawaran pekerjaan hingga dirinya muncul setiap hari di layar TV semua orang.

Pada akhirnya, dua atau tiga tahun setelah debut pertamanya dimulai, tren ‘Mai Sakurajima’ memudar namun kemampuan dirinya sebagai seorang aktris membuat tawaran pekerjaan terus berdatangan.

Dalam dunia bisnis di mana tidak biasanya kepopuleran seorang selebritas menurun dalam waktu satu tahun, dia bekerja dengan giat hingga masa remajanya di SMP. Itu saja sudah sangat mengagumkan, namun nantinya dia akan menjadi sorotan besar sekali lagi.

Saat menginjak usia nya yang ke-14, Mai Sakurajima telah tumbuh menjadi seorang gadis dewasa dibandingkan dengan remaja seumurannya. Memainkan peran utama dalam sebuah film populer membuatnya kembali menjadi sorotan berbagai media hingga wajah tersenyumnya menjadi sampul dari berbagai majalah selama berminggu-minggu.

“Aku pernah naksir dia saat SMP. Rasanya, dia cewek yang sempurna! Imut! Seksi! Dan terkesan Misterius!”

Tidak hanya Kunimi saja, banyak remaja laki-laki memikirkan hal yang sama.

Popularitasnya kian melejit, namun di saat yang bersamaan---Mai tiba-tiba mengumumkan untuk hiatus dari dunia akting. Hal ini terjadi tepat sebelum dirinya lulus dari SMP. Tidak ada alasan pasti yang diberikan---dan dua tahun telah berlalu semenjak pengumumannya itu.

Ketika Sakuta mengetahui kalau Mai Sakurajima bersekolah di tempat yang sama dengannya, ia pun cukup terkejut.

Wow, selebritas itu ternyata benar-benar ada, pikirnya.

“Tapi yah, Aku jadi ingat semua rumor-rumor mengenai Mai Sakurajima. Orang-orang bilang kalau kesuksesannya itu berkat ‘casting couch [1] atau dia itu ‘tidur’ dengan seorang sutradara…”

 “Saat SD?”

“Bukan, rumornya muncul saat dia berada di bangku SMP. Sebenarnya, rumor yang beredar pertama kali di acara gosip adalah tentang ibunya---yang bertindak sebagai manajernya. Tapi Mai bekerja di agensi berbeda sekarang ini dan Presiden perusahaan itu… Aku mendengar berita ini minggu lalu di TV.”

“Huh, Aku tak yakin soal itu… Maksudku, rumor-rumor seperti itu biasanya cuma dibuat-buat.

“Tapi di mana ada asap, pasti ada api kan?”

“Meski begitu, asapnya mungkin bukan berasal dari dia sendiri. Karena kita hidup di dunia yang berbeda, kita tak mungkin tahu kebenarannya.”

Informasi pribadi bisa menyebar dengan cepat di Internet. Siapa pun dan di mana pun, orang-orang dapat mengetahui hal apa pun dalam sekejap. Bahkan, jika hal itu bukanlah berita asli sekalipun. Orang-orang yang biasanya menyebarkan berita bohong ini tidak terlalu memperdulikan fakta yang ada. Mereka hanya peduli dengan lelucon yang mereka buat untuk mendapatkan perhatian orang lain, mengikut tren yang terjadi dan biasanya menyalahkan orang lain. Tidak kurang dan tidak lebih.

“Karena kau pernah mengalami hal yang sama, perkataanmu terdengar meyakinkan…”

Sakuta mengabaikan perkataan Kunimi tentang dirinya.

Ketika Kunimi mengatakan hal itu, kereta yang mereka tumpangi telah melewati empat stasiun: Yanagikoji, Kugenuma, Shonankaigankoen, dan Enoshima.

Sakuta melirik keluar jendela dan menyadari kalau mereka sedang melaju di jalur di mana jalan raya terpotong oleh kereta yang lewat. Sakuta merasa asing setiap kali ia melihat kendaraan biasa dari jendela kereta. Tetapi ia hampir tidak punya waktu untuk memikirkan hal itu sebelum akhirnya kereta melaju di jalur biasanya.

Pemukiman warga berada dekat dengan laju kereta saat ini hingga kecelakaan bisa terjadi kapan saja. Sangat dekat sampai-sampai Sakuta bisa menyentuh dinding rumah warga jika ia mengeluarkan tangannya dari jendela kereta meskipun kereta tersebut sedang melaju. Seolah-olah cabang pepohonan serta dedaunan yang berada di halaman belakang rumah warga bergesekan dengan jendela kereta.

Terlepas dari pemikirannya tersebut, kereta terus melaju melewati pemukiman warga dengan perlahan hingga akhirnya berhenti di Stasiun Koshigoe.

“Tapi Aku tak pernah melihatnya dengan siapa pun saat di sekolah.”

“Mm?”

“Sakurajima-senpai. Kau yang memulai membicarakannya, Sakuta.”

“Oh, benar juga.”

“Dia selalu sendirian.”

Dia tidak cocok berada di kelasnya saat ini---atau di sekolah ini. Itulah kesan Sakuta terhadap Mai Sakurajima.

“Seorang senpai dari klub basket berkata kalau dia tak menghadiri sekolah saat semester pertamanya disini.”

“Kenapa tidak?”

“Karena alasan pekerjaan. Dia mengumumkan kalau dirinya sedang berhenti dari dunia akting untuk sementara waktu, tapi sepertinya masih ada kontrak kerja yang harus dia selesaikan terlebih dahulu.”

“Oh, kurasa masuk akal kalau begitu.”

Tetapi kenapa mengumumkan hal itu ke publik sebelum semua pekerjaannya selesai? Jika ada suatu alasan yang harus segera dikatakannya…

“Dia baru menghadiri semua kelasnya setelah liburan musim panas.”

“…Terdengar merepotkan.”

Sakuta bisa membayangkan apa yang dihadapi oleh Mai di musim gugur itu. Dalam satu semester, semua teman kelasnya sudah bersama dengan kelompok mereka masing-masing dan Mai melewatkan hal tersebut.

“Kau bisa menebak yang terjadi selanjutnya,” ucap Yumma yang memikirkan hal yang sama dengan Sakuta.

Setelah kelompok-kelompok siswa-siswi di kelas terbentuk, akan sulit merubah atau bergabung dengan kelompok tersebut. Semua orang sudah nyaman dengan tempat mereka berada saat ini dan hal itu dilakukan oleh sebagian besar orang.

Ketika Mai mulai menghadiri kelasnya di semester kedua, semua teman sekelasnya tidak tahu harus bagaimana berinteraksi dengannya. Ditambah, Mai seorang selebriti. Semua teman sekelasnya penasaran dengan dirinya, tetapi ada risiko yang harus ditanggung seseorang jika mencoba berinteraksi dengan Mai. Semua orang yang mencoba berteman dengannya pasti akan sangat menarik perhatian. Mereka akan menjadi sorotan banyak pihak di sekolah dan hal itu akan mengundang desas-desus tentang mereka seperti “Dasar tak tahu diri…” atau “Mereka pikir diri mereka itu siapa?” dan hal ini membuat Mai mustahil untuk menyesuaikan diri dengan teman kelasnya.

Dan ketika kau tidak bisa menyesuaikan diri…kau tidak bisa menjadi bagian dalam pertemanan dengan sesama siswa-siswi di kelas. Semua orang tahu akan hal itu. Yang namanya pertemanan di sekolah selalu seperti itu.

Karena hal seperti inilah membuat Mai selalu sendirian ketika berada di sekolah. 

Semua orang selalu berkata betapa membosankannya hidup ini dan berharap sesuatu yang menarik akan terjadi. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang benar-benar menginginkan agar sesuatu terjadi atau berubah.

Sakuta juga merasakan hal yang sama. Jika tidak ada hal menarik yang terjadi, itu artinya dirinya bisa bersantai. Tidak perlu memikirkan segala sesuatu dengan rasa cemas. Banzai! untuk hari-hari damai yang membuatnya bisa bermalas-malasan.

Bel keberangkatan kembali berbunyi, dan pintu kereta menutup.

Kereta kembali bergerak, melaju perlahan melewati pemukiman warga.

Pemandangan di luar jendela hanya berupa dinding bangunan yang segera digantikan oleh dinding bangunan lain. Dinding berganti dinding, rumah berganti rumah dan sesekali digantikan oleh perlintasan kereta api lainnya. Selang beberapa waktu ketika hanya dinding-dinding bangunan saja yang dapat dilihat dari jendela kereta, tiba-tiba…pemandangan tersebut berubah 180°.

Birunya lautan terbentang luas sejauh mata memandang dan memantulkan sinar matahari pagi yang berkilauan.

Birunya langit terbentang luas sejauh mata memandang dan udara pagi yang cerah memudar menjadi awan putih yang membentang luas di kejauhan.

Dan diantara kedua fenomena alam tersebut, garis cakrawala dapat terlihat dengan jelas. Seperti sihir yang memikat, setiap mata yang ada di kereta tersebut memandang keluar jendela.

Untuk sesaat, kereta tersebut melaju di pesisir pantai Shichirigahama yang menghadap ke Teluk Sagami. Pemandangan yang memikat mata setiap orang yang memandang sudah termasuk dengan pemandangan Pulau Enoshima di sebelah kanan dan pantai Yuigahama di sebelah kiri.

“Kenapa kau tiba-tiba membicarakan Mai Sakurajima?”

“Kunimi, apa kau suka bunny girls?” tanya Sakuta dengan tidak melepaskan pandangannya dari birunya lautan yang membentang.

“Tak juga.”

“Berarti kau mencintai mereka kan?”

“Tentu saja.”

“Kalau begitu Aku tak bisa bilang…”

“Kenapa begitu? Ayolah, beri tahu Aku.” Kunimi menusuk-nusuk rusuk Sakuta dengan jarinya.

“Jika kau bertemu dengan bunny girl seksi di perpustakaan, apa yang akan kau lakukan?”

“Aku akan memotretnya dengan kamera ponselku.”

“Sudah kuduga.”

“Lalu Aku akan memandangnya sampai mataku copot.”

Reaksi Kunimi adalah reaksi yang normal. Setidaknya, reaksi normal dari seorang pria.

“Jadi apa hubungannya dengan Mai Sakurajima?”

“Mereka saling berhubungan satu sama lain, tapi…Aku masih tak yakin.”

“Aku tak mengerti sama sekali.”

Kunimi memutuskan untuk tidak menanyai Sakuta lebih jauh jika ia bersikeras mengelak dari pertanyaan yang diberikannya. Ia lebih memilih untuk tersenyum sebagai gantinya.

Kereta terus melaju di pesisir pantai, berhenti di stasiun lain hingga akhirnya mencapai Stasiun Shichirigahama, pemberhentian untuk siswa-siswi SMA Minegahara---sekolahnya Sakuta.


Ketika pintu gerbong kereta terbuka, aroma dari air laut dapat tercium.

Kerumunan siswa-siswi dengan seragam SMA Minegahara mulai turun dari kereta. Sebuah mesin yang seperti orang-orangan sawah berdiri tepat di depan pintu masuk stasiun, mengecek kartu komuter orang-orang yang lewat. Saat siang hari, akan ada petugas stasiun yang berjaga namun saat ini tidak terlihat adanya petugas ketika siswa-siswi Minegahara beramai-ramai keluar dari stasiun tersebut.

Di luar stasiun, para siswa hanya harus melewati sebuah penyeberangan jalan sebelum akhirnya sampai di sekolah mereka.

“Jadi, gimana kabar Kaede?”

“Kau tak bisa mengencaninya.”

“Ayolah, bersikap baiklah pada saudara iparmu ini?”

“Kau sudah memiliki pacar yang cukup imut, Kunimi.”

“Benar juga.”

“Dia akan marah jika mendengar ucapanmu itu.”

“Tak masalah. Kamisato imut ketika dia marah-marah. Hoh-hoh, Gimana? Kau iri, kan?”

Sakuta mengikuti arah pandang Kunimi dan melihat Mai Sakurajima berjalan beberapa langkah di depan mereka. Dengan lengan dan kakinya yang panjang, wajah mungilnya, dan tubuh ramping bak model. Semuanya mengenakan seragam yang sama, tetapi seragam sekolah tersebut berbeda ketika dipakai oleh Mai Sakurajima. Stocking hitam yang dikenakannya, rok yang menyembunyikan lekukan dari dua gunung dari tubuh bagian bawahnya, blazer ketat yang membalut tubuhnya---semua itu tampak sangat asing. Dia terlihat sedang cosplay sebagai gadis SMA. Sekarang dia sudah kelas tiga di sekolah ini, tetapi Mai seperti bukan siswi SMA Minegahara.

Tiga orang gadis terlihat berbincang-bincang di dekatnya, dan setiap dari mereka terlihat seperti gadis remaja dengan seragam sekolah mereka. Seorang siswi kelas yang sangat antusias menyapa senpainya dari klub yang sama jauh lebih cocok mengenakan seragam SMA Minegahara dibandingkan dengan Mai Sakurajima. Bahkan, siswa laki-laki yang sedang bercanda dengan teman di sebelahnya terkesan lebih bersemangat dibandingkan dengan Mai Sakurajima.

Perjalanan singkat dari stasiun menuju sekolah dibanjiri oleh siswa-siswi SMA Minegahara yang saling berbincang dan tertawa.

Tetapi di tengah-tengah semua itu, Mai berjalan sendirian dalam diam seperti orang yang terasing. Seperti alien yang bertualang ke sekolah SMA, orang buangan, atau itik bebek yang ditinggalkan induknya. Seperti itulah dirinya di mata Sakuta.

Namun nyatanya, tidak ada yang memperhatikannya sama sekali. Si Mai Sakurajima berada tepat di tengah-tengah kerumunan tersebut tetapi dia tidak menarik perhatian siapa pun. Tidak ada seorang pun yang heboh ketika melihat Mai Sakurajima. Di SMA Minegahara ini, hal itu biasa saja.

Sederhananya, Mai itu ada dan sifatnya seperti udara itu sendiri dan semua orang tahu kalau udara itu nyata adanya. Namun, hal ini mengingatkan Sakuta tentang apa yang terjadi di Perpustakaan Shonandai. Rasa kegelisahan muncul dalam dirinya.

“Uh, Kunimi…”

“Mm?”

“Kau bisa melihat Sakurajima-senpai kan?”

“Yep, dengan sangat jelas. Aku punya mata yang bagus dan keduanya berfungsi dengan sempurna!”

Jawaban dari Kunimi adalah hal yang sudah diperkirakan oleh Sakuta. Kalau begitu, apa yang dilihatnya kemarin?


“Aku ke arah sini, sampai nanti…”

“Mm.”

Kunimi berada di kelas yang berbeda tahun ini, jadi mereka berdua berpisah saat di lantai dua sekolah. Sakuta menuju Kelas 2-1 dan ketika ia sampai di sana, ruang kelas sudah ramai setengahnya.

Tempat duduknya berada di barisan depan di samping jendela. Dengan nama Azusagawa, ia selalu berada di tempat yang sama ketika tempat duduk kelas berdasarkan abjad. Kecuali ada seseorang dengan nama seperti Aikawa atau Aizawa, maka orang tersebut akan menggantikan tempat duduk Sakuta. Sayangnya, menjadi yang pertama dalam hal ini tidak berarti apa-apa. Tetapi tetap saja, semenjak bersekolah di SMA Minegahara Sakuta menyukai tempat duduknya ini.

Lagi pula, duduk di samping jendela berarti bisa melihat laut yang indah di luar. Ia bisa melihat ada beberapa orang yang sedang berselancar angin, mencoba untuk memanfaatkan angin pagi untuk berlayar.

“Hei.”

“……”

“Hei, Aku sedang berbicara denganmu.”

Mendengar dirinya dipanggil, Sakuta mengarahkan kepalanya ke arah suara tersebut.

Seorang gadis sedang berdiri di depan mejanya, menatapnya dengan marah. Seorang figur penting dari kumpulan gadis populer di kelas ini. Namanya adalah Saki Kamisato.

Dengan ukuran mata yang besar dan terbuka lebar. Panjang rambut sebahu dan sedikit melengkung ke dalam. Riasan wajah yang halus, dengan warna lipstik merah muda di bibirnya. Semua pria di kelas setuju kalau dia imut.

“Aku tak percaya kalau kau mengabaikanku!”

“Maaf. Aku tak berpikir kalau masih ada orang di kelas ini yang ingin berbicara denganku.”

“Dengar ya…”

Bel sekolah berbunyi dan guru pun memasuki kelas.

“Argh! Aku perlu berbicara denganmu. Datang ke atap setelah pulang sekolah.”

Dia membanting tangannya ke meja Sakuta, lalu kembali duduk ke kursinya.

“Aku tak bisa menolaknya ya?” gumamnya. Lalu dia menopang dagunya dengan tangannya dan memfokuskan diri dengan pemandangan laut di luar jendela.

Namun, pemandangan tersebut tidak membantunya sama sekali.

“Menyebalkan…”

Dipanggil oleh seorang gadis setelah sekolah usai tidak membuat Sakuta berdebar-debar. Bahkan, ia tidak merasakan hal itu sedikit pun.

Alasannya adalah karena Saki Kamisato berkencan dengan Yuuma Kunimi.



[1] [Nananotes: Casting couch itu sebuah praktik dimana aktor atau aktris diberikan peran dalam sebuah film atau acara lain dan sebagai ganti nya mereka harus memuaskan nafsu seksual dari Penata Peran atau Casting Director.]