Di Tengah Mimpi
(Bagian 3)

(Penerjemah : Nana)


Nanami sedang berjalan sendirian di kampus yang mana suasananya telah berubah menjadi pemandangan kampus musim dingin dikarenakan hanya tersisa satu bulan lagi di tahun ini. Kumpulan mahasiswa-mahasiswi jarang terlihat di waktu-waktu seperti ini karena kuliah siang baru saja dimulai.

Dalam perjalanannya menuju kantin kampus, dia melewati lobby eksibisi. Menyadari ada satu hal yang menarik perhatiannya, dia pun berhenti.

Dia merasa kenal dengan punggung seseorang yang dilihatnya dari pantulan kaca.

Sekilas, dia bisa menebak siapa orang yang dimaksud.

Dengan mengintip bagian dalam gedung dari pintu kaca otomatis, dia melihat punggung dari seseorang yang dikenalnya.

Yang sedang berdiri membelakanginya adalah Sorata.

Sorata sedang berdiri di depan lukisan yang menghias dinding gedung. Lukisan tersebut adalah gambar yang dibuat oleh Mashiro saat masih berada di Suiko. Pihak kampus meminta lukisan tersebut dari pihak Suiko dan akhirnya setuju untuk disumbangkan hingga sekarang ini lukisan tersebut dipajang di gedung ini.

“…”

Nanami penasaran sudah berapa kali dia melihat sosok Sorata seperti ini di tempat yang sama. Dia tidak benar-benar menghitungnya, tapi menurutnya sudah lima kali dia melihat ini saat tahun keduanya di kampus.

Setiap kali dia melihat hal ini, dia hanya bisa melihat Sorata dari kejauhan tanpa bisa memanggilnya.

“…Apa sudah tidak apa-apa, ya?”

Tanpa dia sadari kata-kata tersebut terucap dan Nanami memberanikan diri untuk berjalan ke dalam lobby eksibisi. Dia berdiri di depan pintu otomatis dan menunggunya untuk terbuka sepenuhnya sebelum akhirnya berjalan ke dalam.

Dia berdiri tepat di samping Sorata namun ia masih belum menyadarinya. Pandangan Sorata terkunci ke lukisan di depannya.

“Lukisan yang indah, ya?”

Ketika Nanami mengucapkan kata-kata tersebut, Sorata melihat ke arahnya dengan ekspresi terkejut. Namun, dengan cepat ia kembali menatap lukisan di depannya.

“Benar sekali.”

Dan tersenyum dengan canggung.

“Aku sering sekali lewati di sini.”

“Huh?”

“Aku beberapa kali melihatmu selalu berdiri di sini.”

“Oh, begitu.”

Sorata mengerti hal itu dan ia hanya bisa menahan malu. Sejujurnya, ia tidak ingin orang lain tahu kalau ia datang ke tempat ini dan menatap lukisan di depannya.

“Kalau kau sering melihatku, harusnya kau menyapaku” ucap Sorata mencoba mencairkan suasana.

“Nantinya aku bisa mengganggumu.”

“Aku lebih senang jika diganggu jika dibandingkan harus dilihat dari kejauhan.”

Alasan Sorata memberitahunya kenapa ia berdiri di depan lukisan ini.

Ia berniat untuk bertemu dengan Mashiro.

“Kalau kau ingin menemuinya, datang saja.”

“Benar juga.”

Nanami tidak merasakan ada niat yang kuat dari nada bicara Sorata ketika menyetujui sarannya. Kesan yang dirasakannya hanyalah Sorata cuma menjawab sarannya.

Kiranya, Sorata sepertinya tidak begitu ingin bertemu sesering mungkin dengan Mashiro. Jika mereka bisa secara kebetulan bertemu di suatu tempat, itu sudah cukup bagi Sorata, pikir Nanami.

Nanami merasa kalau perasaan Sorata untuk Mashiro yang menginginkan kalau “Aku ingin bertemu denganmu” itu berbeda dari perasaan menggebu-gebu yang bisa diwakilkan dengan kata-kata seperti, “Aku ingin bertemu denganmu sekarang juga.” Emosi yang muncul di hati Sorata tersebut mulai sedikit melunak……sudah bukan seperti api yang membara dengan besar tapi lebih seperti mengingatkannya pada permukaan air yang tenang.

Mungkin saja, ini yang orang-orang sebut dengan yang namanya cinta pikir Nanami.

Sosok Mashiro masih merupakan hal yang penting bagi Sorata. Bahkan setelah mereka putus, Nanami masih berpikir kalau perasaan suka Sorata terhadap Mashiro masih kuat.

Emosi remajanya saat masih di Suiko mulai tumbuh menjadi emosi yang dewasa.

Diri Sorata yang melihat lukisan Mashiro seperti ini membuatnya menjadi seperti orang dewasa. Namun, hal tersebut tidak dikarenakan akan umurnya tapi Sorata menjadi dewasa karena pengalamannya.

Secara pribadi, Nanami dalam hati terdalamnya mengharapkan Sorata untuk tetap seperti itu.

Meski Sorata tidak pernah menunjukkannya, tapi Nanami percaya kalau hubungan Sorata dengan Mashiro sangat erat.

“Aoyama, kau ada kuliah siang ini?”

“Un, aku agak terlambat sedikit jadi aku mau makan siang di kantin dan setelah itu pergi kerja paruh waktu.”

“Karena aku juga mau bertemu dengan Akasaka di kantin, mau bareng? Kurasa Rita juga ada.”

“Baiklah.”

“Mari.”

Dengan berjalan di samping Sorata, Nanami meninggalkan lobby eksibisi.

“Sorata, Nanami, di sini!”

Begitu mereka memasuki kantin kampus, terdengar suara yang memanggil mereka.

“Sini! Sini!”

Sambil melambaikan tangannya, Rita memanggil mereka.

Di waktu-waktu seperti ini ketika kuliah siang baru saja dimulai, hanya sekitar 20% kursi kantin yang terisi. Jadi, mereka bisa dengan jelas melihat Rita langsung. Di sampingnya terdapat Ryuunosuke yang sedang duduk dan makan tomat dengan tenang.

Sorata dan Nanami menaruh niku udon dan kitsune udon yang mereka pesan ke nampan dan membawanya ke meja di mana Rita dan Ryuunosuke duduk. Sorata duduk di depan Ryuunosuke sementara Nanami duduk di depan Rita.

“Rita-san, maaf ya aku tidak bisa ikut sebelumnya.”

“Tidak apa-apa, tidak perlu dipaksakan karena memang ada kerja paruh waktu.”

“Kalian sedang bicara apa?” tanya Sorata yang sedang menyeruput udon.

“Aku mengundang Misaki dan Kanna tempo hari untuk makan hot pot di tempatku.”

“Dan aku tidak bisa ikut.”

“Aa, benar juga, Yuuko menceritakannya kemarin saat main ke tempat kami.”

Nanami mencoba mencuri pandang ke arah Sorata yang sedang membumbui udonnya. Topik pembicaraannya tentang tempat tinggal Rita. Dengan kata lain, hal ini menyangkut tempat tinggal Mashiro juga. Jadi seharusnya Sorata tahu akan hal ini. Namun, ekspresi wajah Sorata tidak berubah sedikit pun.”

“Apa?”

Mungkin karena dia menatap terlalu intens, Sorata menoleh ke arahnya.

“Tidak apa-apa” ucap Nanami yang melanjutkan memakan kitsune udonnya.

Sorata tidak menanyakannya lebih jauh lagi dan hanya menjawab “Ohh.”

“Kanda, bahas dulu masalahnya.”

“Oh, baiklah.”

Dalam menanggapi perkataan Ryuunosuke, Sorata mengeluarkan file a4 dari tasnya. Di dalamnya terdapat sekitar lima buah kertas dan ia menaruh semuanya ke meja untuk ditunjukkan ke Rita.

Dengan melihat sekilas, Nanami bisa tahu kalau isi dari kertas itu adalah rencana dari game mereka. Dia sudah pernah melihat hal-hal yang dibuat Sorata beberapa kali ini sebelumnya. Namun, isi dari kertas yang dikeluarkannya seperti sedang berada dalam tahap pengembangan. Beberapa gambar dengan penjelasan yang ditempel dengan label ‘sementara’ membuatnya tidak bisa dibilang sudah final. Tulisannya agak berantakan hingga tidak bisa dimengertinya.

Sorata menunjuk ke arah kertas dengan jarinya untuk menjelaskan isi dari kertas itu kepada Rita.

Rupanya, kertas itu berisi detail bahan gambar dari proposal yang diusulkan oleh Rita.

Rita membuat catatan dengan tinta merah di bagian kosong dari kertas itu dan menggambar beberapa sketsa serta menuliskan “Apa yang seperti ini sudah OK?”

“Semuanya ada lima gambar…jika semuanya sudah selesai di tanggal 24 kami akan sangat senang, karena aku juga ingin bertemu dengan Totsuka-san sekali lagi sebelum tahun ini berakhir dan memulai rapat lebih awal tahun depan.”

“Deadlinenya tanggal 24 ya……” ucap Rita dengan muram.

“Jika kau bisa, aku ingin menyerahkannya hari itu juga, bagaimana menurutmu?”

Sekilas, Rita melirik ke arah Ryuunosuke. Tapi langsung menatap ke arah Sorata lagi.

“Teman-temanku yang ada di Jurusan Seni tampaknya sudah punya pacar semua dan berencana untuk kencan di hari itu. Cuma aku saja yang tidak punya pacar dan kencan untuk malam Natal, bukannya buruk kalau begitu?”

Dengan menjelaskannya panjang lebar, Rita seperti memohon ke Sorata dan Nanami.

Ryuunosuke yang duduk di sampingnya tampak tidak peduli……

Tidak, ia sedang mengunyah tomat dengan ekspresi wajah yang aneh.

“Ada hubungan apa cerita itu dengan deadline gambar tanggal 24 nanit?”

“Nanami, jika kau dijanjikan untuk kencan, bukannya kau akan lebih semangat dalam mengerjakan sesuatu sampai harinya tiba?” ucap Rita ke Nanami meski kata-kata itu dengan sengaja ditujukan untuk Ryuunosuke.

“Ya, kurasa bisa saja.”

Jika satu hal bisa dipastikan kelancarannya, maka hal lain juga akan baik-baik saja.

“Yah, kalau begitu kau harus cepat mencari pacar, buat janji kencan dengannya di hari itu, bagi gadis asing sepertimu, seharusnya hal itu mudah dilakukan.”

“Nanami tidak akan mau jika harus kencan dengan orang yang tidak disuka, kan?”

“Ya.”

“Kau tidak akan mau pacaran dengan orang yang tidak disuka, kan?”

Rupanya, Rita tidak ingin mengomentari hal ini ke Ryuunosuke secara langsung.

“Yeah.”

Nanami hanya bisa tersenyum canggung.

“Ah, aku juga diajak kencan buta sama beberapa laki-laki di malam Natal.”

Wajah tersenyum Rita masih tidak melihat ke arah Ryuunosuke. Dia terus melanjutkan bicaranya dengan Nanami. Akting Rita itu sangat luar biasa pikir Nanami. Dia bisa menghadapi Ryuunosuke yang keras kepala seperti ini. Hal ini yang tidak bisa ditiru oleh Nanami.

“Kanda, lakukan sesuatu.”

Ryuunosuke jelas saja kesal sampai meminta bantuan ke Sorata. Tapi, Sorata hanya menjawab.

“Aku tidak bisa melakukannya” balasnya dengan cepat.

Setelah berpikir sebentar, Ryuunosuke mulai berbicara meski kelihatannya sangat enggan.

“Apa kau akan pergi?”

“Ya?” tanya Rita yang menggodanya.

“Ke kencan buta itu.”

“Sangat mengejutkan mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Ryuunosuke.”

“Komentar yang bagus~”

“Kalau begitu, apa kau keberatan?”

“Tentu saja.”

Rita menjadi tersenyum lebar. Ketika dia melihatnya, Nanami menyadari kalau Rita sebenarnya sangat menyukai Ryuunosuke.

“Sungguh?”

“Gambarnya harus sudah jadi sebelum akhir tahun ini seperti yang dibilang Kanda dan kita perlu model 3D-nya untuk digunakan di versi percobaan, dan aku tidak bisa meninggalkan pekerjaan untuk menghabiskan waktu buat acara bodoh.”

“……Sudah kuduga.” 

Rita menghela napas dengan kecewa.

“Jangan khawatir, aku tidak akan datang ke kencan buat itu dan akan menolak ajakannya.”

“Sungguh?”

“Ya, Jujur saja, aku ingin menghabiskan malam Natal dengan Ryuunosuke dibandingkan dengan cowok yang tidak kukenal. Aku boleh datang ke rumahmu, kan?”

“Tidak masalah kalau kau mau membantu pekerjaanku.”

Mendengar balasan Ryuunosuke, Rita menggembungkan pipinya dan mengarahkannya ke Nanami.

“Apa aku boleh marah?” tanyanya.

“Agak sulit untuk mengharapkan itu dari Akasaka-kun.

“Kalau kau masih ingin merayakan Natal, Kanda nanti akan menyiapkan kue di hari itu.”

“Apa? Aku?!”

Sorata yang sedang asyik menyantap udonnya menyuarakan penolakannya.

“Baiklah. Aku akan tahan dengan kue Sorata.”

“Kalian berdua benar-benar seperti iblis…”

Sambil mengatakan itu, Sorata meminum kuah udonnya.

“Kalau Nanami ada rencana apa buat malam Natal? Kalau kau masih belum punya rencana, mau ikut makan kue?”

“Oh, bear juga. Misaki bilang kalau dia akan pergi ke Osaka tanggal 23, Kanna akan kencan dengan Iori, Mashiro harus menghadiri pesta akhir tahun dari kantornya. Kalau kau masih belum punya rencana…”

“Oh, hari itu aku……”

“Oh, apa kau ada kencan?”

Begitu Nanami mengatakannya, Rita mendekatinya.

“Apa cowok di Jurusan Teater?”

“Tidak, bukan begitu…ayahku akan datang.”

“Huh?”

Ada sedikit kekhawatiran dari Sorata yang terkejut. Di mata Nanami, ada kebaikan yang tulus karena Sorata khawatir akan dirinya. Reaksinya memang wajar karena dari yang Sorata tahu, ayah Nanami pernah menentangnya untuk mengejar mimpinya menjadi seiyuu.

“Tidak, tidak! Bukan begitu. Esoknya…Kami akan ada rapat di kantor.”

“Rapat?”

Sorata dan Ryuunosuke begitu terkejut. Ryuunosuke yang sedang asyik dengan tablet PC-nya juga mulai mendengarkan.

“Aku tidak tahu pastinya untuk rapat tentang apa, tapi rapat ini ditujukan untuk keluargaku……kudengar kami akan membicarakan tentang rincian pekerjaan seperti agensi seiyuu itu seperti apa dan industrinya sendiri. Aku baru berumur 20 tahun, kan. Jadi, karena masih dianggap sebagai minor, keluargaku bisa mengerti……jadi sepertinya pertemuan ini seperti pengenalan.”

Awalnya, hanya Sorata yang menyadari hal itu tapi ketika Nanami sedang membicarakannya, ia kesulitan untuk memproses berita tersebut dan hanya bisa mengucapkan kata “Huh”. Tapi tetap saja, ia perlu dengan sendiri dari Nanami agar dugaannya yakin.

“Kau dan ayahmu akan datang ke rapat itu, ya?” tanya Sorata.

“Mm……aku ingin memberitahu lebih awal, tapi nyatanya hal itu akan diumumkan oleh agensi karena menyangkut ‘berita resmi.’”

“Berarti kau lulus audisi, kan?”

Sorata terlihat hampir tidak bisa menahan rasa girangnya. Dan melihat hal itu, Nanami juga mati-matian menahan dirinya agar tidak lompat kegirangan.

Rasa antisipasi yang besar itu dijawab oleh anggukan Nanami sambil membalas “Mm.”

“Kau berhasil, Aoyama!”

Sorata langsung berdiri dengan wajah gembira. Para mahasiswa-mahasiswi di sekitar mendengar suara Sorata yang keras itu dan menatapnya dengan aneh.

“Baiklah, aku hanya senang kau berhasil! Kerja yang bagus, Aoyama!”

“Oh, kau terlalu melebih-lebihkannya, Kanda-kun.”

“Aku masih tidak percaya. Yahooooo, air mataku sampai keluar!”

Air mata Sorata benar-benar mengalir dan sampai terjatuh di atas meja.

“Kuharap kau bisa memberitahuku sebelumnya.”

“Maaf, aku berniat mengatakannya setelah rapat besok selesai.”

“Tidak apa-apa, tapi tetap saja. Aku sangat kagum.”

“Kanda, kau terlalu berisik.”

“Selamat karena sudah lulus.”

Benar sekali. Nanami tidka menduga kalau Sorata akan sesenang ini. Dia merasa sedikit menyesal karena tidak memberitahu hal ini lebih awal.

“Aku tidak bisa menahan perasaan ini. Kita harus merayakannya! Hari ini juga…gimana kalau setelah kerja paruh waktu? Apa kau bisa malam nanti, Aoyama?”

“Maaf, kurasa tidak bisa hari ini, ah…sudah waktunya…aku harus pergi.”

Nanami berdiri sambil menjinjing tasnya dan mengangkat nampan makanannya.

“Yah, kalau begitu pesta perayaannya harus dilakukan di lain hari.”

“Bilang ke Misaki-senpai agar tidak membawa kembang api dan sejenisnya.”

“Ku usahakan.”

Sorata tersenyum nakal sementara Nanami mengembalikan nampan yang dibawa ke tempatnya dan meninggalkan kantin kampus.

Dia berjalan ke arah gerbang utama kampus yang menuju ke jalan raya. Langkah kakinya terasa ringan.

Seperti yang dirinya duga, perasaan lega setelah melewati rintangan besar sangat menyenangkan. Tapi di titik ini juga merupakan awal yang baru baginya. Memang benar kalau dia sudah berusaha dengan keras sampai saat ini agar bisa lulus audisi, tapi impiannya bukan hanya ini saja.

Mulai sekarang ini, dia ingin mengisi berbagai peran. Dia ingin meningkatkan kemampuannya sendiri selama bekerja. Karena sekarang dia sudah memulai langkah pertama untuk mewujudkan impiannya. Akhirnya, dia berhasil mendapatkan kesempatan ini.

Dia merasa Sorata yang begitu gembira itu mengajarinya tentang betapa besar pencapaiannya itu.

Karena itulah dia menyukai Sorata.

- Ayo tetap berusaha keras mulai dari sekarang.

Di mata Nanami yang melihat ke depan, terdapat langit biru yang membentang sampai cakrawala.


Sebelumnya | Daftar Isi | Selanjutnya