Undangan Setelah Makan

(Penerjemah : Hikari)


"Ke-Kepala Pastor…"

"Kuharap kau tahu kalau statusmu terlalu rendah untuk menolak."

Aku beralih pada Kepala Pastor untuk meminta bantuan karena undangan tersebut benar-benar memberiku firasat buruk, tapi dia langsung menyanggah tanpa pikir panjang.

Ini adalah pertemuan para bangsawan bagaimanapun juga. Orang biasa sepertiku tidak akan pernah berhak untuk menolak. Aku tahu itu. Tapi ini layak untuk dicoba.

"Sini, Myne."

Walaupun Kepala Pastor sudah repot-repot memposisikan kami duduk saling berjauhan, Sylvester menepuk-nepuk ruang kosong di meja antara dia dan Karstedt, memberi tanda padaku agar duduk di sebelahnya. Aku berhenti sejenak, tidak yakin harus melakukan apa karena tidak ada tempat untuk aku duduk di situ, tapi Karstedt dan Damuel sama-sama berdiri dan mulai bertukar tempat duduk, mengatakan padaku untuk menyerah saja.

"Myne, berjalanlah mengelilingi meja seperti yang Damuel lakukan dan duduk di sebelah Sylvester." Kepala Pastor mendorong punggungku dengan rasa sesal, tahu bahwa perintah Sylvester bukanlah sesuatu yang bisa ditolak.

"Pe-Permisi." Aku berjalan mengelilingi meja makan besar ini dan, tanpa ada pilihan lain, duduk di sebelah Sylvester. Karstedt berada di sisiku yang lain, jadi aku bergeser ke arahnya di kursiku sehalus mungkin sebisaku. Damuel duduk di seberangku, dan Kepala Pastor di seberang Sylvester.

"Dengar, Myne," Sylvester memulai, "bagaimana kalau kita bertukar juru masak? Kau tidak masalah dengan itu, 'kan? Ini bukan pencurian; ini pertukaran."

Tapi mereka ini adalah juru masak Benno. Dia pasti akan sangat marah kalau aku menukarnya tanpa izin, dan kemungkinan bahwa resep kami bocor akan menjadi masalah besar.

"Para juru masak ini dipinjamkan padaku oleh seseorang. Aku tidak bisa begitu saja setuju menukar mereka."

“Kalau begitu aku akan bernegosiasi dengan seseorang itu. Siapa dia?"

Benno tidak dalam posisi di mana dia bisa menolak perintah seorang bangsawan, tapi akan jadi bencana jika restoran Italia tempat dia mencurahkan begitu banyak sumber daya tidak lagi bisa dibuka akibat kekurangan juru masak. Aku sudah bisa membayangkan sakit kepala menyakitkan Benno dan Mark saat melihat investasi mereka menjadi sia-sia.

 "Pastor Sylvester, seorang pedagang biasa tidak akan dapat menolak permintaan dari seseorang berstatus bangsawan sepertimu. Kau tidak akan mendatanginya untuk bernegosiasi, tapi lebih tepatnya membuat permintaan tidak masuk akal yang tidak bisa dia tolak."

“Yeah, kurasa akan berakhir seperti itu dengan pedagang," gumam Sylvester, dengan sekelebat rasa senang di matanya.

Kelihatannya Kepala Pastor memang benar saat mengatakan bahwa Sylvester memiliki hati yang baik terkubur amat sangat jauh dalam di dalam dirinya. Dia tidak meledak marah terhadap pengamatanku; malahan, dia mengangkat dagunya sedikit, memberi tanda agar aku melanjutkan.

Aku melirik Kepala Pastor, yang membalas dengan anggukan yang hampir tidak kentara. Damuel gemetaran di sampingnya, wajahnya pucat pasi seperti hantu, tapi bukanlah pilihan bagiku untuk kehilangan para juru masakku di sini.

"Para juru masakku akan bekerja di sebuah rumah makan yang rencananya  akan segera dibuka. Mereka dalam pelatihan untuk itu saat ini, dan banyak uang yang telah dihabiskan dalam melatih mereka dan mempersiapkan rumah makan. Jumlah pengeluarannya mungkin tidak seberapa bagi seorang anggota bangsawan, tapi itu dapat berarti antara hidup dan mati bagi seorang rakyat biasa. Apakah kau masih akan mengambil para juru masak itu meski hal tersebut akan menghancurkan restoran itu, Pastor Sylvester?  Kalau kau begitu menyukai masakan mereka, kumohon agar kau sebaiknya menunggu sampai rumah makan itu dibuka dan menjadi pelanggan di sana."

"Oh, rumah makan? Maksudmu rakyat biasa akan makan makanan itu?" Mata Sylvester membelalak tidak percaya, dan dengan seulas senyum seperti yang Benno sunggingkan pada para pelanggan terbaiknya, aku mengambil kesempatan ini untuk mempromosikan restoran tersebut.

"Harganya akan cukup mahal sehingga hanya mereka yang dianggap kaya di kota bawah yang akan bisa membelinya, dan hanya orang-orang yang direkomendasikan oleh pelanggan yang sudah ada yang akan dilayani. Area makannya ditata menyerupai kediaman bangsawan, dan akan disajikan hidangan seperti yang bangsawan makan–atau tepatnya, tempat itu akan menyediakan masakan yang bahkan belum pernah dimakan oleh para bangsawan."

"Yeah? Dan siapa yang akan memperkenalkanku?"

"...Umm, karena kau sepertinya berminat, aku sendiri yang akan memperkenalkanmu pada mereka."

Sejujurnya, aku sama sekali tidak mau menanggung tanggung jawab yang pastinya sangat besar dengan memperkenalkan Sylvester yang tidak bisa ditebak seperti anak SD ini ke restoran, tapi ini lebih baik daripada dia merampas juru masak kami dan menghancurkan semuanya.

"Baiklah. Perkenalkan aku kalau begitu. Aku akan mampir ke sana."

"Kuucapkan terima kasih banyak. Tuan Karstedt, Kepala Pastor, apakah kalian bersedia datang juga?" Aku memohon melalui mataku bahwa aku ingin seseorang untuk mengendalikan Sylvester, dan mereka berdua dengan enggan mengangguk bersamaan.

...Pastor Sylvester bisa dibilang seorang bangsawan, jadi mungkin Benno akan menghargai hal ini? Atau mungkin dia akan membencinya. Aku penasaran yang mana. Bagaimanapun, aku mau dia menghargainya karena akulah yang dengan damai menghentikan juru masaknya diambil-paksa.

Sementara aku diam-diam memuji diriku atas usaha heroik ini, Kepala Pastor—dengan segelas anggur dan semacam camilan ringan mirip ham dan keju di tangannya—mendadak mengangkat kepala seakan baru teringat sesuatu.

“Myne, bagaimana kalau meminta Rosina memainkan harspiel untuk kita?” tanyanya, yang mana mengingatkanku bahwa dia telah mengizinkan untuk membawa harspiel sejak awal supaya gadis itu bisa menyediakan “sumber hiburan besar selama malam-malam yang panjang.”

Aku memanggil Fran dengan sebuah lirikan dan memintanya untuk memberitahu Rosina bahwa kami ingin dia memainkan harspiel. Karstedt membelalakkan mata mendengar ucapanku.

“Seorang rakyat biasa memiliki harspiel?”

“Kepala Pastor memberitahuku bahwa aku sebaiknya belajar memainkannya.”

Aku mengatakan padanya tentang bagaimana Kepala Pastor mengatur pendidikanku, yang membuat Karstedt bergumam, “Jadi dia sudah memulai persiapannya. Seperti yang diharapkan dari Tuan Ferdinand.” Mempertimbangkan bahwa Kepala Pastor tidak mengatakan apapun soal aku diadopsi oleh seorang bangsawan pada saat itu, bisa dibilang pandangannya ke depan memang mengagumkan.

“Myne berbakat dalam musik. Kau masih melakukan latihanmu, bukan?”

“Semuanya adalah karena Rosina seorang guru yang berbakat.”

Kepala Pastor mengarahkan pujiannya padaku, tapi Rosina-lah yang memaksaku berlatih. Dia tidak akan memperbolehkanku melewatkannya tidak peduli seberapa ingin aku melakukannya, dan siapapun yang berlatih alat musik setiap hari pasti akan jadi makin mahir. Satu-satunya alasan kemampuan pianoku tidak semakin bagus saat aku masih Urano adalah karena aku tidak berlatih setiap hari.

“Saya memenuhi panggilan Anda, nona.” Rosina tiba dengan harspielnya. Sebuah kursi ruang meja makan telah dipersiapkan untuknya, dan dia duduk di situ dengan senyum lebar. Kemudian dia memainkan lagu demi lagu yang diminta Sylvester.

“Luar biasa. Bagaimana bisa seorang biarawati abu-abu sepertimu belajar memainkan harspiel dengan begitu baik?”

“Saya kebetulan saja diberikan kesempatan untuk mendedikasikan diri dalam kesenian oleh nona saya yang sebelumnya, Suster Christine.”

“Menarik… Baiklah, Myne. Giliranmu.”

Secara pribadi, kupikir cukup kejam memintaku untuk bermain tepat setelah semua orang telah mendengarkan Rosina. Kami bahkan tidak bisa dibandingkan. Aku buru-buru mencari alasan yang bisa kugunakan untuk menolaknya.

“Aku, ah… Sayangnya aku terlalu kecil untuk memainkan harspiel ukuran dewasa.”

“Oh? Tidak perlu khawatir, Suster Myne. Saya membawakan harspiel Anda untuk berjaga-jaga jika hal seperti ini terjadi. Mohon tunggu sebentar sementara saya mengambilnya dari kamar Anda.”

...Tidaaaak. Rosina, kenapaaa…?

Aku merosot putus asa. Karstedt menghibur dengan menepuk punggungku, sambil menahan tawa sementara Sylvester, yang juga menyengir, mengalihkan pandangan dariku ke Kepala Pastor.

“Baiklah. Kau duluan dan bermainlah sementara kita menunggu, Ferdinand.”

Aku tadinya yakin Kepala Pastor akan menolak, tapi dia ternyata berdiri, mengambil harspiel dengan sebuah helaan napas jengkel, dan kemudian mulai bermain. Kemudahan di mana dia dapat melakukan pertunjukkan seperti Rosina sebenarnya sangat mengesankan, tapi dia memilih untuk memainkan lagu anime yang pernah kuajarkan padanya.

...Aransemennya membuat itu jadi sedikit sulit untuk dikenali, dan liriknya sudah diganti dengan yang bernuansa religius, tapi itu tetap saja lagu anime! Aku berjuang menahan tawaku, merasa pinggangku seperti akan meledak sembari mendengarkan dia bermain. Tidak disangka keisengan kecil yang kulakukan akan menyerangku balik seperti ini.

“Aku tidak pernah mendengar lagu itu sebelumnya,” Sylvester mengamati.

“Memang tidak,” Kepala Pastor membalas santai, yang membuat Sylvester  mengerutkan wajah.

“Lagu apa itu? Siapa yang menggubahnya?”

“...Itu rahasia.” Kepala Pastor mengerling ke arahku, sebuah cengiran congkak terpampang di wajahnya. Aku tersentak dalam hati. Sylvester, yang duduk di sebelahku, mengangkat sebelah alisnya, mata hijaunya berkilat.

Gaaah! Aku tidak mau kau mempublikasikannya, tapi jangan goda dia seperti itu juga! Sekarang dia jadi benar-benar tertarik, aku tahu itu!

Sementara badai kepanikan mengamuk dalam diriku, Rosina kembali dengan sebuah harspiel kecil. 

“Ini dia, Suster Myne.”

“Terima kasih, Rosina.”

Aku memetiknya dan memilih memainkan sebuah lagu latihan sederhana yang sudah kupelajari. Aku memastikan untuk tidak memainkan lagu dari masa-masaku sebagai Urano, karena itu bisa menggali lubang kuburku sendiri. Aku yakin sudah semakin berkembang.

“...Kau lumayan, tapi tidak begitu hebat.”

“Aku yakin sekarang giliranmu untuk bermain, Pastor Sylvester. Aku ingin mendengar musikmu.”

Aku dikelilingi oleh orang-orang berbakat artistik—Rosina, Wilma, dan Kepala Pastor—jadi aku tidak tahu apa yang diharapkan dari bangsawan biasa. Sekarang sepertinya adalah kesempatan bagus untuk mengetahuinya dengan meminta Sylvester bermain.

“Heh. Jadi kau ingin mendengar permainan harspielku, ya? Baiklah, anggap dirimu beruntung. Aku akan bermain.”

Sylvester dengan percaya diri mengambil harspiel itu, tapi dinilai dari tindak-tanduk dan sikapnya sulit bagiku untuk membayangkan dia memiliki kecenderungan bermusik. Meski demikian, penampilan bisa menipu. Dia jauh lebih berbakat daripada yang kuduga; dia memetiknya dengan lembut, nada-nada nyanyiannya pun semuanya tepat.

...Ngggh. Para bangsawan semuanya terlalu berlevel tinggi. Aku tadinya mengharapkan bukti bahwa Kepala Pastor menuntut terlalu banyak dariku, tapi ternyata aku malah mendapat konfirmasi bahwa bangsawan memang benar-benar luar biasa terampil.

“Apa kau juga mau memainkannya, Tuan Besar Karsterdt?”

“Aku tidak terlalu mahir memainkan harspiel. Mungkin bisa kalau aku membawa sulingku, tapi aku tidak membawanya.”

Di luar dugaan, sepertinya bahkan seorang pria militer berotot seperti Karstedt pun bisa memainkan alat musik, walaupun dia lebih memilih alat musik yang memanfaatkan kapasitas paru-paru yang telah dia tempat lewat latihannya daripada yang membutuhkan dia untuk memetik senar.

Um, wow. Itu lumayan keren.

“Tapi bukan berarti aku hanya akan duduk dan tidak melakukan apapun setelah semua orang melakukan pertunjukannya. Hm… Kuasa satu-satunya yang bisa kupertunjukan di sini sekarang adalah tarian pedang.”

“Tarian pedang?! Aku tidak pernah melihatnya. Aku ingin melihatnya, jika kau tidak keberatan.” Bahkan selama aku hidup sebagai Urano aku tidak pernah melihat tarian pedang yang sebenarnya. Aku memandangi Karstedt, mataku berbinar-binar dengan antisipasi.

Dia memanggil Damuel dengan sebuah anggukan, kemudian mengeluarkan tongkat bercahayanya lalu bergumam “schwert”. Dalam sekejap, tongkat tersebut berubah menjadi sebilah pedang. Kedua pria itu berhadapan satu sama lain, dengan ringan mengetukkan ujung-ujung pedang mereka, dan kemudian menghujamkannya ke udara. Itulah tanda untuk memulai.

Mereka sama-sama mulai menebas udara, bilah-bilah pedang mereka yang mematikan bersinar sementara mereka menari dalam tempo yang tetap, bergerak mulus dan tanpa membuang-buang energi.

Kelihatannya tarian pedang digunakan sebagai salah satu cara untuk mempraktekkan beberapa gerakan berbeda yang menyusunnya, dan bisa diduga bahwa semua orang di Ordo Kesatria mampu melakukannya. Tapi saat mempertunjukannya tanpa persiapan terlebih dahulu seperti yang dilakukan Karstedt dan Damuel, seseorang harus mengamati dengan cermat pergerakan orang lainnya dan arah pandangan mereka bergerak serempak. Tidak kompak sedikit saja akan berbahaya bagi keduanya.

Keringat membentuk bulir-bulir di dahi Damuel dan napasnya menjadi semakin berat. Menyadari hal itu, Karstedt menarik mundur pedangnya, dengan seraut ekspresi tenang di wajah.

“Ini seharusnya cukup.”

“Hebat! Tuan Besar Karstedt, Tuan Damuel, kalian sama-sama hebat! Aku tadinya takut salah satu dari kalian akan terluka, tapi kalian menyelesaikannya dengan percaya diri!”

Aku terus membanjiri mereka dengan pujian. Tapi Sylvester memprotes, berkata kalau dia pun bisa melakukannya, dan kemudian segera setelah itu dimulailah tarian pedangnya dengan Karstedt.

Um...Bisa tidak aku kembali ke kamarku sekarang?


Sylvester kelihatan cukup keren juga saat dia melakukan tarian pedang dengan ekspresi luar biasa serius. Aku bisa tahu dari kecepatan mereka saja bahwa ini adalah tarian pedang tingkat yang lebih tinggi daripada yang sebelumnya, tapi ini jadi membuatku kesal.

“Heh. Yang barusan sangat keren, ‘kan? Ayo, hujani aku dengan pujian,” Sylvester berkoar, dadanya membusung bangga.

Tarian pedang telah usai, dan aku bisa sekali lagi mengatakan dari lubuk hatiku yang terdalam bahwa aku merasa dia ini menyebalkan. Amat, sangat menyebalkan. Dia sudah kembali ke dirinya yang seperti anak SD, dan seluruh kesan keren serta semua rasa takjubku padanya langsung menghilang dalam sekejap.

“...Kau tadi hebat sekali, Pastor Sylvester.”

“Wow, kaku sekali. Coba lagi.”

Dia memaksaku mengulang pujianku tiga kali, sampai titik di mana dia benar-benar merepotkan untuk dihadapi sehingga aku pura-pura sakit hanya supaya aku bisa 

Dia memaksaku mengulang pujianku tiga kali, sampai titik di mana dia benar-benar merepotkan untuk dihadapi sehingga aku pura-pura sakit hanya supaya aku bisa alasan untuk cepat-cepat kembali ke kamar yang diberikan padaku.