Indecisive Heart

(Author : Rafli Sydyq)


Pada saat kami sedang dalam perjalanan, tiba-tiba saja kami bertemu dengan sebuah rombongan yang sedang diserang oleh segerombolan Goblin.

Kami mencoba untuk menolong mereka.

Kenzo dengan berani menebas para Goblin tersebut tanpa rasa takut. Kemampuan berpedangnya pun sudah kian terasah sampai-sampai aku mengakui kalau dia itu keren saat mengayunkan pedangnya.

Shiori dengan penuh semangat melemparkan sihir kearah para Goblin tersebut. Senyuman penuh sukacita bisa terlihat dengan jelas diwajahnya setiap kali dia merapalkan sihirnya.

Masako dengan serius memberikan support kepada kami di garis belakang. Gadis yang dulu terus mengikutiku dari belakang sekarang sedang bersinar dengan terang hingga membuatku tidak tau harus berkata apa kepadanya.

Sedangkan diriku... dengan tangan yang gemetar, aku hanya bisa menangkis serangan para Goblin tersebut dengan menggunakan perisaiku. Sesekali aku berusaha memberikan serangan balasan. Akan tetapi seranganku bisa dengan mudah dihindari oleh para Goblin yang tidak lebih tinggi dari pinggangku.

Bahkan jika aku beruntung, seranganku hanya mengakibatkan luka yang tidaklah fatal.

Aku takut.

Aku takut saat melihat darah.

Aku takut saat bertarung.

Aku takut untuk terluka.

Aku takut untuk melukai.

Aku takut.

Disaat aku tidak tau apa yang harus aku lakukan, tiba-tiba saja kepala semua Goblin meledak yang membuat semua tempat bersimbah dengan darah.

Aku berusaha menahan naluriku untuk muntah.

Semua pemandangan ini, semua darah ini. Aku tidak mau melihat hal mengerikan seperti ini lagi. 

Aku... tidak mau bermain game ini lagi.

...

Aku tidak terlalu ingat apa yang terjadi setelah kejadian Goblin sebelumnya, yang aku ingat hanyalah Masako yang diajak naik kereta bersama dengan wanita yang mem... menghabisi para Goblin dengan mudahnya. Sedangkan aku, Kenzo, dan Shiori naik ke kereta lain bersama dengan orang-orang yang berpakaian seperti Kesatria.

Lalu, tanpa sadar, kami sudah berada di kota Geyser.

Sesaat setelah kami sampai, saat itulah hal itu terjadi.

Dia, Masako, telah berubah.

Seorang gadis yang awalnya terus mengikutiku dari belakang, seorang gadis yang terus memperlakukanku seperti anak-anak, seorang gadis yang adalah teman masa kecilku. Dia, sudah berubah.

Dengan parasnya yang cantik jelita bagaikan bidadari, pakaian yang dia kenakan sangatlah cocok dengannya hingga membuat kecantikannya berlipat ganda. Aura yang dia pancarkan sangatlah terang hingga membuatku takut untuk melihatnya.

Seorang gadis yang dulunya selalu berada bersamaku, sekarang sudah berada di ketinggan yang mustahil untuk aku capai.

Lalu, hal mengejutkan lainnya muncul.

Seorang kesatria dengan rambut seperti bara api. Seorang kesatria yang muncul di trailer. Seorang kesatria yang memberiku motivasi untuk memainkan game ini, akhirnya aku bisa bertemu dengannya.

Setelah itu... Setelah itu... Eh... Setelah... itu... Apa...?

...

Akhir-akhir ini, kondisi Lonel kian memburuk. Wajahnya semakin memucat, dia menjadi tidak bernafsu makan, dan tatapan matanya semakin kosong seiring waktu berlalu.

Kalau begini terus, dia akan hancur.

“Itulah yang terjadi”

“Meskipun kau mengatakan itu, tidak ada yang bisa aku lakukan”

Aku mencoba untuk berkonsultasi terkain masalah Lonel pada idolanya, seorang Player yang bernama Alexander.

“Aku tau kalau ini egois. Akan tetapi kau adalah idolanya, alasan dia bermain game ini adalah kau”

“Hah... meskipun begitu, secara teknis ini bukanlah masalahku. Terlebih lagi, saat ini aku sedang sibuk. Jika kau ingin berkonsultasi, aku sarankan kau bertemu dengan Rafael. Dia saat ini sedang berada di gereja sekarang”

Setelah mengatakan itu dan beberapa penjelasan tambahan, Alexander segera pergi meninggalkanku berdiri sendirian di pinggir tempat latihan.

Tidak lama setelah kami sampai di kota Geyser, kami dan para Player lainnya mendapatkan pelatihan khusus untuk menghadapi serangan Makhluk Buas yang akan datang.

Pelatihan itu dipimpin langsung oleh Alexander. 

Awalnya aku dan Lonel mengikuti pelatihan ini bersama. Namun, setelah beberapa hari hanya aku seorang yang mengikutinya.

Masako saat ini sedang berlatih bersama gurunya.

Shiori sampai sekarang entah ada dimana. Namun dia masih mengirimi kami pesan melalui familiarnya kalau dia baik-baik saja.

Lonel... seperti yang sudah kau lihat.

Kami berempat yang selalu bersama, saat ini sedang sibuk dengan urusan kami masing-masing. Meskipun ini sebenarnya bukanlah hal yang buruk, namun, tetap saja, ada perasaan yang mengganjal dihatiku.

Tanpa sadar aku sudah sampai di depan gereja.

Setelah menjelaskan alasan kedatanganku kepada salah satu biarawati yang berjaga, akupun dituntun menuju sebuah ruangan.

Ruangan tersebut tampak seperti sebuah ruangan yang khusus untuk menerima tamu. Aku disuruh untuk duduk di salah satu sofa yang telah disediakan. Setelah itu aku disuruh untuk menunggu.

Setelah beberapa saat, datanglah seorang pria dengan rambut putih seperti salju dan memakai pakaian serba putih yang biasa dipakai oleh pendeta.

Sekilas, orang itu terlihat mirip seperti wanita yang datang bersama dengan kami.

Dengan gerakan elegan, orang itu pun duduk tepat diseberangku. Setelah beberapa saat, dia baru berbicara.

“Perkenalkan, namaku adalah Rafael M. Dragnier. Aku dengar kau datang kemari atas saran dari Alexander. Apakah itu benar?”

“Itu benar, ah, perkenalkan. Nama saya adalah Kenzo Arnius. Seorang Petualang dan rekan dari Masako”

Setelah aku mengatakan itu, aku bisa merasakan kalau Rafael mengamatiku dari atas sampai bawah sambil memikirkan sesuatu.

“Rekan Masako, yah. Jadi, apakah bocah itu membuat masalah?”

“Maaf, bocah yang anda maksud itu...”

“Bocah yang terus bersama dengan Masako. Lonel”

Begitu ya, tampaknya dia sudah bertemu dengan Lonel. Terlebih, dia tanpa ragu mengatakan kalau Lonel itu bocah tepat dihadapanku. Yah... aku tidak bisa membantahnya.

Aku pun mengatakan padanya mengenai kondisi Lonel saat ini.

Rafael terus mendengarkan penjelasanku dengan serius. Setelah penjelasanku selesai, dia pun berbicara.

“Hahhh... aku sudah yakin akan menjadi seperti ini. Bocah itu terlalu polos, bahkan bisa dibilang saking polosnya dia hingga membuatnya rapuh. Satu sentuhan kecil saja sudah lebih dari cukup untuk menghancurkannya hingga berkeping-keping”

Aku... tidak bisa membantah hal itu.

Sejak kecil Lonel memang selalu disayang oleh kedua orangtuanya. Rasa sayang itu bisa dibilang terlalu berlebihan. Bahkan kata ‘Overprotektif’ tidak cukup untuk menjelaskan rasa sayang mereka.

Hal itu berdampak buruk pada berkembangan mentalnya.

Pada saat dia berusia sekitar dua belas tahun, barulah kedua orang tuanya menyadari ada yang aneh pada diri Lonel.

Lonel, dia, terlalu ‘baik’.

Memang tidak ada yang salah akan hal itu, namun jika kau hidup di dunia yang penuh dengan polusi, menjadi orang ‘baik’ hanya akan memperpendek umurmu.

Bahkan aku, diriku sudah diajarkan bagaimana caranya berbohong, bagaimana caranya bersandiwara, dan bagaimana caranya untuk memanfaatkan orang lain.

Sebagai contoh pertama, alasan aku menjadi ‘teman’ Lonel, adalah karena aku dibayar oleh orang tua Lonel. Mereka menyuruhku untuk ‘menemani’ sambil ‘menjaga’ Lonel agar dia tidak berbuat bodoh yang akan membahayakan keluarganya.

Selain diriku, Shiori juga sebenarnya juga memiliki tugas yang sama denganku.

Aku, kami juga dibayar untuk menjaga tunangan Lonel, Masako.

Masako awalnya sama mengkhawatirkannya dengan Lonel. Namun lambat laun, Masako telah tumbuh dengan pesat hingga dia tidak membutuhkan perlindungan lagi.

“Begitu yah... tugas menjadi pengawal sekaligus pengasuh itu memang merepotkan. Karena itulah aku tidak pernah mau menerimanya”

Eh, apa dia baru saja mendengarkan monologku?

“Lihat kakimu”

Pada saat Rafael mengatakan itu, aku bisa melihat sebuah rantai yang terbuat dari cahaya melilit kaki kananku.

Tunggu, rantai apa ini? Dan sejak kapan?

“Sejak awal, dan untuk penjelasan singkatnya, rantai itu membuat siapapun yang menyentuhnya tidak bisa mengatakan apapun kecuali kebenaran. Juga, semua monologmu itu, kau mengatakannya dengan keras”

Sialan, bagaimana aku bisa terkena trik seperti ini? 

“Baiklah, Kenzo Arnius. Mari kita teruskan perbincangan kita”