Doa Musim Semi

(Penerjemah : Hikari)


Tidak perlu waktu lama bagi Sylvester untuk merasa bosan dengan decitan "pooey"-ku dan berhenti mencolek. Tapi kenyataannya, bukannya bosan, perhatiannya beralih ke hal lain.

"Benda apa ini?" gumamnya sebelum menarik tusuk rambutku. Sebelum aku bisa bereaksi, rambutku jatuh terurai di belakangku. Aku langsung mendongak dan melihat Sylvester mengamati tusuk rambut berhias yang keluargaku buatkan untukku. Dia kelihatannya adalah seorang dewasa di akhir umur 20-an, akan tetapi tingkahnya ini seperti anak SD yang liar—tak bisa diprediksi dan tak terkendali.

Dia akan mematahkannya! Aku menyadari hal itu, dan aku pun pucat pasi.

"T-tolong kembalikan itu."

Aku mengulurkan tanganku. Permohonanku membuat Sylvester menyengir seperti Cheshire Cat (TL : Tokoh terkenal dri dongeng "Alice in The Wonderland" yang berwatak iseng dan licik); dia mengangkat tangannya lebih tinggi daripada yang dapat kuraih dan menggoyang-goyangkan tusuk rambut itu, mengatakan padaku untuk mencoba mengambilnya. Sejauh yang bisa kuterka, dia sama sekali tidak ada niatan untuk mengembalikannya. 

“Kembalikan!”

Aku mengejar Sylvester, melompat-lompat mencoba untuk menggapai tusuk rambut itu sementara dia menggerakkannya ke sana ke sini agar tetap di luar jangkauanku. Aku pun kehabisan napas dalam waktu singkat.

“Kuminta… kau… mengembalikan… nya… Itu… tusuk… rambutku. Tusuk rambut yang… ayah… dan ibu… dan kakakku buat…”

Uggh…. aku benci bocah laki-laki seperti ini.

Aku mendongak melihat tusuk rambut yang berayun-ayun di atas kepalaku dan mengepalkan tangan, mataku menyipit. Aku bisa merasakan mana di dalam diriku memanaskan sekujur tubuh, terus naik seiring kemarahan menguasaiku.

“G-Gah! Novis, tidak!” Damuel menjerit panik, membuat Karstedt dan Kepala Pastor menoleh dan mengangkat alisnya dengan marah. Mereka mengeluarkan tongkat bercahaya mirip tongkat konduktor mereka dan mengayunkannya di udara.

“Dasar bodoh! Sudah kubilang jangan terlalu mengisenginya!”

“Jangat menjahili anak kecil!”

Dua pukulan tajam mendarat di atas kepala Sylvester dengan suara benturan yang keras. Tongkat bercahaya mereka telah berubah menjadi gada di depan mataku. Aku terperangah memikirkan seberapa besar cedera yang mereka sebabkan, tapi Sylvester sendiri hanya mengangkat bahu.

“Kenapa begitu marah? Aku hanya bermain-main sedikit.”

Sylvester tidak menyadari kesalahannya sama sekali, tapi sekarang aku tahu Karstedt dan Kepala Pastor akan menghukumnya setiap kali dia bertindak terlalu jauh, semua kemarahan yang mendidih dalam diriku pun lenyap begitu saja.

Kepala Pastor menyambar tusuk rambutku dari tangan Sylvester dan mengembalikannya padaku. “Kau bisa memasangnya lagi sendiri, ya ‘kan?”

“Ya. Terima kasih, Kepala Pastor.”

Aku dengan cepat menyanggul rambutku dengan tusuk rambut itu. Sylvester menyaksikan dengan penasaran, kemudian mengulurkan tangannya lagi. Karstedt menampar tangannya menjauh sambil membentak, kemudian menunjuk pada Damuel yang gemetaran.

“Bersenang-senanglah dengan Damuel, jangan Myne. Perawakannya lebih berisi,” katanya.

Kepala Pastor setuju, mengusir Sylvester menjauh. “Benar sekali. Pergi bermainlah dengan Damuel di sudut. Myne, kau ke sini.”

Dan begitulah, setelah menyuruhku pergi dan membawaku ke mejanya, Kepala Pastor melanjutkan rapatnya dengan Karstedt. Mereka kembali meneliti peta, terang-terangan mengabaikan ratapan menyedihkan Damuel.

Ngomong-ngomong, peta yang dibentangkan di atas meja ini membuatku terkesiap kagum; ini jauh lebih mendetail dibanding yang pernah kulihat di Serikat Pedagang. Peta yang satu itu hanya menunjukkan nama-nama kota dan jalan, jadi ini pertama kalinya aku melihat peta yang benar-benar menggambarkan seluruh duchy.

Duchy ini sendiri bentuknya memanjang dan tipis, membentang dari utara ke selatan dengan beberapa area yang diwarnai mereka dan yang lain warna biru. Kelihatannya area di sekitar kota sebagian besar berwarna merah, sementara ada lebih banyak warna biru saat semakin menjauh.

...Kira-kira warna-warna itu untuk menandakan apa?

Aku penasaran, tapi diskusi mereka kelihatannya cukup serius sehingga kurasa lebih baik aku tetap diam dan hanya memandangi peta itu.

“...Ya, itu bisa dilakukan.”

“Ayo kita berangkat kalau begitu.”

Begitu Karstedt dan Kepala Pastor telah menyepakati semuanya, sudah waktunya untuk menuju ke Gerbang Bangsawan.

“Damuel, gendong Myne. Sylvester, ambil ini. Dan Karstedt, ini.”

Karstedt dan Sylvester meninggalkan ruangan sambil membawa bawaan-bawaan besar sementara Damuel mengikuti dengan membopongku.

Aku berbisik di telinganya. “Tuan Damuel, aku ingin menjauh sebisa mungkin dari biarawan jubah biru itu.”

“Anda tidak tahu betapa saya menyetujuinya.”

Damuel dan aku sama-sama setuju tentang hal ini. Dia melangkah mundur sedikit dari Sylvester, waspada. Kelihatannya meskipun dia seorang biarawan jubah biru, keluarga Sylvester memiliki status yang jauh lebih tinggi daripada keluarga Damuel.

Aku ingin menjauh sebisanya dari Sylvester, takut dia akan berubah menjadi Shikza lainnya saat marah, tapi dia secara aktif mengikuti kami.

“Bukankah kalian berdua sedikit dingin padaku?”

“I-itu pasti hanya imajinasimu,” balasku sambil mencari-cari seseorang yang bisa menangani Sylvester. Tapi Karstedt tidak terlihat di mana pun, dia sudah pergi lebih dulu. Aku melihat ke balik bahu Damuel dan melihat Kepala Pastor menyusul kami dari belakang, telah selesai memberikan perintah terakhir pada para pembantunya.

“Kepala Pastor…” rengekku, membuat dia memijat pelipisnya.

“Sylvester, jaga jarakmu dari Myne. Aku tidak ingin berurusan dengan ambruknya dia bahkan sebelum Doa Musim Semi dimulai.” 

“Dia pasti sangat lemah gara-gara ini. Bukannya itu lumayan menyedihkan?” Sylvester mencolek pipiku, mungkin karena aku lebih dekat dengan tingginya saat ini karena Damuel menggendongku.

Kepala Pastor menampar tangannya menjauh dan memelototinya dengan dingin. “Ya, memang begitu. Myne begitu lemah dan sakit-sakitan sehingga kami harus sangat berhati-hati saat berurusan dengannya, tidak peduli betapa merepotkannya itu. Jangan membuatku mengatakannya lagi.”

Karstedt telah membuka Gerbang Bangsawan dan sedang menunggu kami di lapangan di sisi lain. Dia, Damuel, dan Kepala Pastor memanggil tunggangan sihir dari feystone mereka sembari Kepala Pastor memberi instruksi.

“Kau yang memimpin, Karstedt. Myne dan Damuel akan berada di tengah, sementara Sylvester dan aku akan mengikuti dari belakang.”

“Apa itu terdengar baik untuk Anda, Novis?” tanya Damuel.

“Tuan Damuel, kau tidak bersedia melindungiku dari Pastor Sylvester.”

Damuel tadi sama sekali tidak melindungiku dari keisengan Sylvester; dia terlihat nyaris tidak terlihat seperti seorang pengawal yang dapat diandalkan. Aku akan merasa lebih aman berkendara dengan Kepala Pastor, sejujurnya.

“I-itu karena…” Damuel membeku di tengah-tengah ucapannya. Dia berpikir sejenak apakah sebaiknya dia melanjutkan atau tidak, kemudian bergumam pelan “Maafkan saya.”

Tunggangan sihir Damuel adalah seekor kuda bersayap. Aku naik ke atas punggungnya, kemudian Damuel duduk di belakangku dan menarik tali kekangnya. Kuda tersebut membentangkan sayap dan terbang menyusul griffon Karstedt, yang sudah pergi lebih dulu.

Begitu kami terbang melintasi kota bawah dan melewati dinding terluar, griffon itu segera mulai bergerak turun. Kami menuju ke kediaman musim dingin kota pertanian yang paling dekat dengan gerbang selatan, kota tempat orang-orang di lingkungan rumahku pergi saat hari penjagalan babi. Struktur bangunannya tinggi dan lebar seperti sekolah SD yang berusia ratusan tahun, dengan sebuah lahan yang mirip dengan lapangan olahraga.

Bahkan dari setinggi ini di langit, aku bisa melihat sejumlah besar orang berkumpul di sana. Sekilas itu terlihat ada sekitar seribu orang. Sementara kami turun ke lapangan, orang-orang di bagian tengah berdesak-desakan membuka ruang bagi kami.

Karstedt dengan berwibawa mendarat di area yang baru saja terbentuk dan menghilangkan tunggangan sihirnya sementara kuda bersayap Damuel turun di sebelahnya. Karstedt mengangkatku turun dari punggungnya, kemudian Damuel menggelincir turun lalu menyingkirkan tunggangan sihirnya juga.

“Minggir semuanya!” Sylvester berseru lantang dari atas sementara singa Kepala Pastor turun. Karstedt mundur beberapa langkah, masih menggendongku di lengannya, dan mendongak saat sesuatu yang kebiruan melompat turun dari singa itu dengan teriakan keras.

“Apa?!”

“Bwuh?!”

Kerumunan orang itu geger akibat kejadian mendadak tersebut, dan saat semua orang menyaksikan, sosok biru itu membalikkan diri di udara sebelum mendarat dan melakukan sebuah pose. Energinya itu kelihatannya menular; kegirangan menyebar cepat di kerumunan ini dan semua orang bersorak seakan-akan mereka sedang menonton sebuah pertunjukkan.

“Si idiot itu terbawa suasana.”

Aku samar-samar merasakan frustasi dalam suara Karstedt, dan tidak lama kemudian singa Kepala Pastor turun dengan berdebam seakan-akan berusaha untuk menghantam Sylvester dan menghancurkannya. Tapi orang itu dengan mudah menghindar dengan manuver akrobatik dan melakukan pose lainnya.

“Oooooh!”

Kerumunan itu semakin bersorak. Sylvester menunjukkan senyum sangat puas di wajahnya, seperti seorang bocah SD yang baru saja memamerkan bakat spesialnya.

“...Apakah Doa Musim Semi adalah upacara di mana para biarawan memberikan pertunjukkan pada orang-orang?” gumamku, terperangah dengan betapa berbedanya Sylvester dari para biarawan jubah biru yang kutahu.

Karstedt menggelengkan kepala dengan ekspresi muram. “Myne, kau tidak perlu mempedulikan dia. Dia bukanlah teladan yang patut ditiru. Atau tepatnya, dia adalah contoh sesuatu yang harus kau perjuangkan agar tidak sammenjadi seperti itu.” 

“Kurasa Sylvester adalah seorang bangwasan tingkat tinggi, mempertimbangkan bagaimana santainya dia berinteraksi denganmu, Tuan Karstedt. Apakah dia akan membuat permintaan tidak masuk akal padaku seperti yang pernah dilakukan Shikza?”

Aku kemudian bertanya bagaimana seharusnya aku bersikap dengan seseorang yang bertindak sesukanya pada mereka yang berada di bawahnya tanpa bisa memprotes, yang mana membuat Karstedt sedikit kebingungan.

“Dia bukanlah orang yang kejam. Kau bisa merasa tenang bahwa dia tidak akan mencelakakanmu. Dia kebetulan saja bersikap tidak masuk akal...dan pembuat masalah di mana-mana.”

“Jika Sylvester membuat permintaan yang tidak masuk akal padaku, bolehkah aku datang meminta tolong padamu, calon ayah angkatku?” tanyaku, menelengkan kepala sedikit ke samping,

Karstedt membuka matanya lebar-lebar, kemudian memberiku sebuah cengiran lebar. “Tentu saja. Datanglah padaku kapan saja kau suka. Aku akan menghancurkan orang jahat manapun yang membuat puteri angkatku menangis.”

...Calon ayah angkatku benar-benar orang yang bisa diandalkan.

Setelah aku diam-diam mengamankan dukungan Karstedt, Kepala Pastor menyingkirkan singanya dan mulai berjalan menuju sebuah panggung kecil di salah satu ujung lapangan. Orang-orang menyingkir saat dia berjalan, membentuk sebuah jalan yang langsung menuju ke panggung untuknya. Sementara itu, Sylvester mengeluarkan sebuah cawan besar sekitar delapan puluh sentimeter tingginya dari tas di punggungnya, memegangnya dengan hormat sambil mengikuti di belakang Kepala Pastor.

Karstedt menurunkanku ke tanah dan memintaku untuk mengikutinya, tapi segera menyadari betapa lambatnya kecepatan jalanku dan kembali menggendongku dalam sekejap. Dia kemudian berjalan cepat-cepat menuju ke panggung juga. Kelihatannya kecepatan jalanku benar-benar tak tertahankan.

Tapi aku hanya lambat karena para orang dewasa memiliki kaki yang lebih panjang dariku. Ini bukan salahku.

Setelah menurunkanku di panggung, Karstedt dan Damuel bergerak ke depan dan memandang seluruh kerumunan dengan tatapan tajam untuk menunjukkan bahwa mereka serius. Sylvester menyerahkan cawan emas besar itu—sebuah instrumen suci—pada Kepala Pastor, yang kemudian menaruhnya di atas sebuah pijakan besar yang diletakkan di tengah-tengah panggung.

“Doa Musim Semi akan dimulai sekarang. Para pemimpin kota ini dan sekitarnya, majulah ke depan.”

Mengikuti panggilan Kepala Pastor, lima orang masing-masing membawa sebuah ember bertutup yang kelihatannya cukup besar untuk menampung sebanyak sepuluh liter pun naik ke panggung.

“Myne, sekarang waktunya bekerja.”

Kepala Pastor mengangkat dan menurunkanku di pijakan dengan cawan itu, karena aku tidak bisa mencapainya sendiri, dan aku berjalan dengan lututku di sepanjang kain merah yang telah dibentangkan pada pijakan tersebut. Cawan itu terlihat mirip dengan gelas wine. Batu-batu feystone besar tertanam di sekitar mangkuk bundarnya, dengan yang berukuran lebih kecil menghiasi sepanjang tangkainya yang didekorasi dengan rumit hingga ke dasarnya.

Aku duduk di depan cawan itu dan menaruh tanganku pada batu-batu feystone di dasarnya,

“Oh Dewi Air Flutrane, pembawa kesembuhan dan perubahan. Oh kedua belas dewi yang melayani di sisinya. Sang Dewi Tanah Geduldh yang telah dibebaskan dari Dewa Kehidupan Ewigeliebe. Aku berdoa agar Engkau mengaruniakan adik perempuanmu kekuatan untuk melahirkan kehidupan baru.”

Kerumunan orang yang menyaksikan pun geger saat aku menuangkan mana-ku ke dalam cawan itu, membuatnya bersinar dengan cahaya keemasan benderang.

“Kupersembahkan padamu sukacita dan lagu-lagu kegirangan kami. Kupersembahkan padamu doa-doa dan ucapan syukur kami, sehingga kami dapat diberkahi dengan perlindungan pemurnianmu. Kumohon agar Engkau mengisi seribu nyawa di alam fana yang luas ini dengan warna sucimu.

Begitu aku menyelesaikan doa tersebut, baik Sylvester maupun Kepala Pastor dengan hati-hati memiringkan cawan itu. Cairan hijau terang bercahaya tertuang dari pinggirannya dan masuk ke ember-ember para pemimpin kota yang berbaris.

“Pujian bagi Geduldh sang Dewi Tanah dan Flutran sang Dewi Air!”

Begitu ember pertama terisi dan ditutup, sebagian kerumunan mulai menyerukan doa dan syukur mereka pada para dewa. Mereka mungkin adalah para penduduk di kota yang embernya baru saja diisi, karena seruan yang sama muncul dari kerumunan berbeda saat ember kedua diisi. Aku berhati-hati menjaga tanganku tetap berada di dasar cawan dan terus mengalirkan mana sampai ember kelima telah terisi.

“Itu sudah cukup, Myne.”

Begitu Kepala Pastor mengatakannya, aku akhirnya menarik mundur tanganku dari cawan yang dimiringkan, yang kemudian diposisikan tegak lagi sebelum Kepala Pastor menurunkanku kembali ke panggung. Aku berdiri di tengah-tengah, sebagai orang yang mempersembahkan mana, Sylvester dan Kepala Pastor berdiri satu langkah di belakangku di kedua sisi.

“Pujian bagi para dewa!” teriak Kepala Pastor. Aku secara refleks melakukan pose berdoa, dan begitu pula mereka yang berada di lapangan. Penduduk kota mungkin terbiasa melakukan pose ini setiap tahun; mereka melakukannya jauh lebih alamiah daripada siapapun di kota bawah.

“Demikianlah penutup Doa Musim Semi ini. Tunjukkan pada para dewa kepatuhan kalian, dan hiduplah baik-baik dengan kehidupan baru yang telah diberikan!” seru Kepala Pastor disambut sorak-sorai dan kegembiraan, sementara Sylvester membungkus cawan itu dengan sehelai kain dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Begitu selesai, Kepala Pastor memanggil tunggangan sihir feystone-nya dan mereka berdua melompat ke punggungnya.

“Kami harus pergi ke tujuan kami berikutnya, karena kami cukup sibuk tahun ini. Semoga kalian semua diberkati oleh para dewa.”

Kepala Pastor memutarkan singa putihnya mengelilingi kerumunan itu sekali, debu emas bertaburan ke atas mereka. Sementara itu, Karstedt dan Damuel memanggil tunggangan sihir mereka sendiri. Damuel mengangkat dan menempatkanku di atas kuda bersayapnya, yang melebarkan sayapnya sebelum membumbung tinggi ke langit, meninggalkan kota pertanian tersebut jauh di belakang kami.


Setelah itu kami bepergian ke kediaman-kediaman musim dingin di empat kota pertanian berbeda, merampungkan Doa Musim Semi di setiap tempat itu. Ketika kami selesai, matahari terbenam dan aku kelelahan.

“Sekarang kita hanya perlu mencapai tempat kita akan menginap. Novis, jangan tertidur. Anda akan terjatuh,” tegur Damuel, dan aku menganggukkan kepalaku yang terkulai sambil meremas tali kekang.


“Myne, bangun.”

“Bwuh?!”

Aku terbangun mendengar suara tegas Kepala Pastor dan melihat sekeliling, menemukan diriku di depan sebuah rumah yang sangat besar.

“Di mana ini?”

“Vila musim panas Baron Blon.”

Menurut Kepala Pastor, para bangsawan yang dipercaya mengelola tanah oleh archduke tinggal di vila-vila mereka dekat dengan desa-desa pertanian dari masa Doa Musim Semi hingga Festival Panen. Mereka kembali ke Distrik Bangsawan saat musim panas untuk membayar pajak dan memberikan laporan tentang tahun tersebut sementara semua bangsawan di kota bekerja mengumpulkan informasi tentang apapun yang terjadi selama setahun terakhir itu.

“Bangunan di sebelah sana itu adalah tempat para bangsawan tinggal, sementara para biarawan yang berkunjung menginap di rumah ini,” Kepala Pastor melanjutkan.

Karena para biarawan berkunjung setiap tahun saat Doa Musim Semi dan Festival Panen, para bangsawan yang memiliki tanah di duchy mempersiapkan rumah bagi para bangsawan yang berkunjung untuk menginap di dalamnya. Bisa dibilang itu adalah cara untuk membuat para biarawan terpisah dari mereka, karena walaupun mereka berasal dari kalangan bangsawan, mereka pada dasarnya bukanlah bangsawan. Sebagai bukti hal ini, para biarawan hanya akan bertemu dengan seorang perwakilan saat tiba. Begitulah. Bangsawannya sendiri bahkan tidak akan datang keluar menyambut mereka.

“Aku yakin Arno sudah datang menyapa dan meminta mereka membuka kuncinya untuk kita.”

Di rumah besar ini terdapat beberapa kereta kuda yang terparkir di depannya, dan fakta bahwa semuanya sudah kosong membuatku berkesimpulan bahwa semua barang milik kami telah dibawa ke dalam.

“Selamat datang.”

Para pembantu kami menyapa bersama-sama saat kami membuka pintu ke dalam rumah. Ada beberapa wajah yang tidak kukenal, tapi aku bisa menduga bahwa mereka adalah pembantu-pembantu Sylvester.

Arno berjalan sendirian ke depan dan berbisik pada Kepala Pastor. “Kami ingin menyiapkan makanan, tapi hanya ada dua ruang makan. Apa yang sebaiknya kami lakukan?”

“Kami akan makan bersama di ruang makan yang lebih besar. Akan tetapi, pastikan Myne dan Sylvester duduk saling berjauhan.”

“Seperti yang Anda inginkan.”

Sebuah kota pertanian tidak akan punya cukup makanan untuk menyokong seluruh rombongan biarawan dan pembantu mereka segera setelah hibernasi musim dingin. Mereka akan menjual kepada kami beberapa sayur, telur, dan susu, tapi kami telah membawa biji-bijian dan minyak kami sendiri. Itu adalah salah satu alasan mengapa para biarawan yang tetap tinggal di biara tidak mau pergi ke Doa Musim Semi.

“Nah kalau begitu, semuanya. Rapikan diri kalian dan berkumpul di ruang makan.”

Mengikuti pengumuman Kepala Pastor, para pembantu semuanya menuju ke majikan mereka masing-masing. Dalam kasusku, Rosina dan Fran datang terburu-buru menghampiriku. Melihat mereka berdua membuatku merasa seakan aku di rumah lagi.

“Selamat datang, Suster Myne. Mari pertama-tama kita ganti pakaian Anda.”

Mereka memanduku ke sebuah kamar yang sudah dipersiapkan. Para biarawan pada dasarnya berpergian secara berpasangan, dan kamar mewah ketiga sesekali dipersiapkan untuk saat-saat yang tidak biasa di mana biarawan ketiga ikut serta. Kali ini, Karstedt, Sylvester, dan Kepala Pastor menggunakan kamar mewah sementara Damuel dan aku, dengan status kami yang lebih rendah, tinggal di kamar-kamar yang dimaksudkan untuk para pelayan.

“Ini mungkin sulit untukmu, Tuan Damuel, tapi kamar ini lebih besar daripada rumahku. Aku sama sekali tidak merasa aneh di sini.”

Kamar ini mungkin berada di urutan terbawah bagi para bangsawan, tapi ini jauh lebih besar daripada apartemen di kota bawah. Ini tidak membuatku tidak nyaman sama sekali. Hanya dengan adanya karpet dan seprai yang dibawa dari ruangan direkturku sudah lebih dari cukup bagiku.

Fran membawakan satu bak air, yang kupakai untuk mandi dengan bantuan Rosina. Rasanya luar biasa karena aku telah menghabiskan hampir sepanjang hari di luar.

Begitu aku bersih, Rosina memilih pakaian dengan warna rumput segar untukku dan memakaikan sepatu kain mewah yang baru saja dibuat untukku ke kakiku. Dari banyak tusuk rambut yang telah kupersiapkan untuk Doa Musim Semi, Rosina memilih yang Tuuli buat selama musim dingin. Hiasan itu memiliki bunga-bunga berwarna kuning, jingga, dan kuning-hijau yang ditata agar terlihat seperti mekar; itu semua adalah warna musim semi.

“Hugo dan Ella bekerja sangat keras untuk makanan kali ini. Mereka bilang mereka tidak akan membiarkan diri mereka dibayangi juru masak lainnya.”

“Kalau begitu, aku harus memberikan makananku ini usaha terbaikku juga.”

Makan bersama dengan orang-orang berstatus bangsawan hanyalah penderitaan bagiku. Rosina dan Fran telah mati-matian mengajariku tentang tata krama bangsawan selama musim dingin, tapi aku yakin bahwa Karstedt—sebagai calon ayah angkatku—akan mengamati baik-baik setiap pergerakanku untuk melihat seberapa banyak hal yang seorang rakyat jelata bisa lakukan. Ada juga Sylvester yang perlu dicemaskan. Siapa yang tahu apa yang mungkin dia katakan? Kalau dia memang seorang bocah SD maka aku bisa saja mengabaikan dia, tapi karena dia adalah seorang bangsawan kelas atas, aku tidak bisa mengambil resiko.

“Bolehkah aku kembali ke kamarku begitu kami selesai makan?”

“Jika Anda diundang untuk pertemuan setelah makan, status Anda terlalu rendah untuk menolak.”

Ituuuu memberiku firasat buruk...


Makanan disajikan di ruang makan yang lebih besar. Semua orang berdandan. Kepala Pastor mengenakan pakaian pribadinya, yang mana cukup menyenangkan karena aku hanya pernah melihatnya dalam jubah biarawan atau zirah seluruh tubuh. Pakaiannya berbahan jatuh dengan lengan menjuntai seperti yang diduga dari pakaian bangsawan. Sylvester pun hanya pernah kulihat dalam jubah biarawan, tapi karena aku baru bertemu dengannya hari ini, aku sama sekali tidak menganggap penampilannya yang mengenakan pakaian pribadi ini adalah hal yang penting.

“Kau benar-benar terlihat seperti puteri seorang bangsawan saat kau memakai pakaian seperti itu,” kata Karstedt setelah melihatku. Seharusnya aman menyimpulkan bahwa ini adalah sebuah pujian.

Aku senang dia tidak langsung menolakku begitu saja atau merasa kecewa terhadapku.

“Saya berterima kasih atas pujianmu, Tuan Karstedt.”

“Aku bisa melihat hasil dari pelatihan musim dinginnya,” ujar Kepala Pastor. “Sikap dan cara bicaranya mengalami banyak peningkatan. Walaupun ekspresi emosinya yang mudah terlihat itu masih harus banyak dilatih.”

Dia selalu menyertakan pujiannya dengan semacam kritik, jadi sulit untuk menganggapnya pernah benar-benar memuji.

“Suster Myne, ini tempat duduk Anda.” Fran memanduku ke sebuah kursi dan menyajikan makananku.

“Kenapa kau mendapat makanan yang berbeda daripada kami semua?” tanya Sylvester setelah mangkuk di depanku.

“Mungkin karena makanannya dibuat oleh juru masak yang berbeda,” simpulku. “Fran, apa kau tahu?”

Fran memelankan suara dan menjelaskan. Dari dua dapur di sini, Hugo dan Ella diberikan dapur yang lebih kecil untuk digunakan sementara yang lebih besar dipakai untuk membuat makanan bangsawan yang biasanya.

“Sepertinya makananku dipersiapkan di dapur yang terpisah. Mengingat jumlah pembantuku yang sedikit, masuk akal bahwa para juru masakku menggunakan dapur yang lebih kecil.”

Aku tidak masalah dengan hal itu karena artinya aku bisa menyantap makanan yang biasa kumakan, tapi Sylvester—duduk di kursi yang paling jauh dariku—melihat ke arahku dengan sorot mata sangat penasaran.

“Aromanya cukup enak.”

“Ya, para juru masakku cukup berbakat.”

Semua orang kini sudah mendapatkan makanannya di hadapan mereka, jadi kami menyilangkan lengan dan memanjatkan doa. 

 ““Oh Raja dan Ratu yang perkasa atas langit yang tak terbatas yang memberkahi kami dengan ribuan demi ribuan kehidupan untuk dinikmati, Oh Kelima Yang Abadi yang perkasa yang menguasai alam fana, kupanjatkan rasa syukur dan doa pada Engkau sekalian, dan mengambil bagian dalam santapan yang disediakan dengan kemurahan hati ini.”

Begitu aku mengambil gigitan pertamaku, Sylvester berseru “Guh?! Kenapa kau memakannya?!” Sama sekali tidak mengerti apa yang dia maksud, aku hanya memiringkan kepalaku ke samping dengan bingung.

“...Kenapa tidak?”

“Sylvester memperlihatkan minatnya pada makananmu, Myne,” kata Kepala Pastor sambil mengangkat bahu. “Bukankah dia tadi memuji aromanya?”

Sepertinya Sylvester menuntutku memberinya makananku dengan eufemisme berputar-putar yang sangat disukai para bangsawan. Aku sama sekali tidak menyadarinya. 

“Aku tidak akan memberi semuanya. Kau bisa mendapatkan setengahnya meski begitu.”

“Ha-hanya setengah?” Sylvester menantapku dengan tidak percaya, seakan dia tidak percaya dengan apa yang barusan dia dengar. Tapi akulah yang kebingungan.

“Ini makananku. Seorang biarawan biru bermartabat dan berstatus bangsawan sepertimu tidak akan mengambil semua makanan yang dimiliki seorang gadis jelata miskin, bukan begitu?”

“Te-tentu saja tidak akan. Tentu saja…”

Pada akhirnya, Sylvester setuju dengan setengan dari makananku, rasa penasarannya menaklukannya. Sepertinya meskipun piring yang setengah kosong terkadang diberikan pada para pembantu, tidak ada yang memberikan hanya setengah dari apapun yang sedang mereka makan pada orang lain. Karstedt dan Kepala Pastor menghela napas keheranan sambil memijat pelipis mereka, sementara Damuel membeku di tempat dengan ekspresi yang benar-benar mirip dengan lukisan “The Scream”.

Menurut apa yang Kepala Pastor katakan nantinya padaku, saat seseorang memperlihat minatnya pada makananmu, sudah menjadi kebiasaan bagimu untuk menawarkan mereka piringmu, dan kemudian menunggu mereka mengembalikannya padamu. Dengan kata lain, aku seharusnya memberikan saja mangkukku dan menunggu.

Jadi memberinya setengah adalah jawaban yang salah, hm? Sial.

Begitu dia menghabiskan sup yang kuberikan padanya, Sylvester mendesakku dengan mata berbinar-binar untuk menyerahkan juru-juru masakku juga. Tapi berkat Karstedt dan Kepala Pastor yang menengahi, aku berhasil menyelesaikan makanku tanpa bahaya ataupun masalah. Aku diam-diam berterima kasih pada mereka berdua yang menetapkan kursi kami untuk berjauhan, kemudian berdiri.

"Aku harus undur diri sekarang. Silakan melanjutkan kesibukan kalian."

Aku berpamitan pada pada ketiga pria tersebut sementara mereka bersiap untuk pertemuan setelah makan dan mencoba cepat-cepat kembali ke kamarku, tapi Sylvester memelototiku dengan mata hijau gelapnya seperti seekor predator yang mengincar mangsanya. Dia memberi isyarat padaku.

"Tunggu sebentar, Myne. Kau ikut dengan kami. Kita akan sedikit lebih banyak membicarakan tentang pertukaran juru masak."

...Euuugh. Tentu saja dia belum menyerah soal itu.