Bersiap Untuk Doa Musim Semi

(Penerjemah : Hikari)


Hola~ Ada selintas info tentang beberapa penyesuaian mulai dri chapter ini. Pertama, sebagai ganti istilah “Suster Magang”, aq pake “Novis”. Berikutnya, aq pke sebutan “tunggangan sihir” untuk menerjemahkan ‘highbeast’, hewan sihir yg dipakai Ferdinand dan para kesatria di anime eps 22-24. Ok, met baca~

---0---

Hari-hari perlahan menjadi semakin hangat, dan sekitar setengah dari salju yang menyelimuti kota telah mencair. Hibernasi musim dingin telah berakhir, dan sekarang waktunya bagi semua orang untuk mulai menyekop salju yang tersisa sebagai persiapan untuk musim semi. Tuuli harus kembali bekerja, yang berarti dia hanya bisa menjengukku di biara tiap beberapa hari.

Panti asuhan sudah menyelesaikan semua pekerjaan tangannya, yang kemudian kami jual ke Benno lewat Lutz. Itu memberiku lebih banyak keleluasaan saat menentukan anggaran untuk panti asuhan. Hutan masih terlalu bersalju untuk mengumpulkan apapun di sana, tapi semua salju itu akan mencair tidak lama lagi. Kemudian kami akan bisa kembali mengumpulkan bahan makanan sambil membuat kertas.

Saat ini hingga nanti dikhususkan untuk pendidikan, dengan para biarawan abu-abu yang dulunya pernah menjadi pembantu untuk mengajari anak-anak tentang sopan-santun. Kelihatannya para biarawan merasa cemas dengan aku yang terlalu sering berkeliaran di panti asuhan sehingga menanamkan kebiasaan buruk pada anak-anak; mereka takut bahwa dengan membiarkan mereka terus berbicara santai denganku, mereka mungkin akan berakhir bertingkah dengan cara yang sama terhadap biarawan biru lainnya. Pengajaran ini dilakukan di aula ruang makan, yang membuat bengkel kerja menjadi kosong; hanya ada aku, Lutz, dan Damuel di sana.

“Aku ingin mesin cetak-tekan siap untuk buku tahap berikutnya, sekalipun kita hanya akan bisa menggunakannya untuk teks saja,” kataku.

“Kedengarannya bagus,” balas Lutz. “Tapi bagaimana caranya kita akan membuat mesin percetakan itu?”

“Mm… Aku berencana untuk memodifikasi saja salah satu alat yang sudah kita punya ini.”

Aku mengeluarkan cetak biruku dan menunjukkannya pada Lutz. Kalau aku mengingatnya dengan benar, mesin cetak-tekan pertama Gutenberg dibuat dari mesin pemeras anggur yang dipakai untuk membuat wine. Aku tadinya yakin bisa membuat mesin cetak permulaan seperti itu, tapi di luar dugaan sulit untuk membangun ulang langkah-langkahnya hanya dari ingatan saja.

"Kau mengatur mata hurufnya di sini, melumurinya dengan tinta, menaruh kertasnya… dan kemudian tekan saja." Aku menirukan gerakan menggunakan mesin cetak normalnya (yang terlalu tinggi untuk kuraih dan kugunakan sendiri) sambil coba menjelaskan seperti apa mesin cetak-tekan itu. Karena aku tidak bisa meninggalkan biara, semuanya tergantung Lutz untuk memesan apa yang kami butuhkan dan memberikan instruksi ke lokakarya-lokakarya.  

"Kurasa kita akan harus memutuskan seberapa besar benda di mana kau meletakkan mata hurufnya—itu, uh…bingkainya? Yeah, seberapa besar bingkai cetaknya," kata Lutz.

"Kita bisa mengerjakannya dengan mengukur buku bergambar yang sudah kita buat."

Aku mulai menggunakan penggaris untuk mengukur semua hal, menambahkan ukuran-ukuran tersebut ke cetak biruku sambil bicara pada Lutz tentang mesin cetak-tekan. Aku menuliskan semua instruksi yang bisa kuingat, dari "Buatlah tempat untuk meletakkan kertasnya sedikit miring" sampai "Taruh sebuah kotak untuk menampung tinta di sini."

Lutz melihat semua hal itu dan menggelengkan kepala. "Hei, Myne. Bisa tidak kita tambahkan semua hal ekstra itu nanti saja?"

"Ekstra? Tapi semua yang kusebutkan itu esensial."

Meskipun mengetahui ingatanku, aku mungkin saja melupakan lebih daripada yang kuingat—belum lagi semua hal yang bisa saja salah kuingat dan belum kusadari. Tapi keluhanku hanya mendapatkan gelengan kepala lagi dari Lutz.

"Bukan itu maksudku," katanya, menunjuk pada cetak biruku. "Aku mengerti kalau kita perlu tempat untuk menampung tintanya, tapi menurutku masalah yang kau hadapi di sini adalah memperkirakan bagaimana caranya memasangkannya pada mesin cetak-tekan. Apa kita tidak bisa menaruh saja sekotak tinta di meja untuk saat ini?"

Lutz benar. Selama kami bisa memasang bingkai cetak untuk mata huruf di bawah mesin cetak, kami minimal bisa melakukan percetakan, sekalipun ada beberapa langkah yang tidak dibutuhkan yang memperlambat proses.

"Kau terlalu berpikir keras tentang hal ini karena kau sudah membayangkan dengan jelas produk akhirnya di kepalamu itu. Ingat bagaimana kita dulu memakai banyak sekali alat-alat pengganti buatan sendiri saat pertama kali membuat kertas? Kita bisa melakukan yang sama untuk ini. Fokus saja pada apa yang benar-benar kita butuhkan saat ini, nantinya kita bisa mengembangkannya seiring waktu."

"...Benar. Seperti yang kau bilang, masalah terbesarnya adalah mendapatkan perajin untuk membuat mesin yang bisa dioperasikan anak-anak."

Aku menyelesaikan cetak biru sederhanaku sembari mengobrol. Kami menetapkan untuk memulai dengan desain dasar yang akan kami pesan dari bengkel kayu Ingo lewat Benno.

“Sekarang kita hanya perlu membicarakan hal-hal yang lebih kecil... “ Dengan urusan mesin cetak-tekan yang sudah dirampungkan, aku mencoba mengalihkan diskusinya ke bingkai dan tongkat penyusun, tapi sebelum aku bisa mengatakan apapun Gil bergegas masuk ke dalam ruang kerja.

“Suster Myne!”

“Ada apa, Gil? Apa sekarang sudah waktunya untuk pergi ke ruangan Kepala Pastor?”

Semua pelayan wanitaku hari ini sedang sibuk mempersiapkan Doa Musim Semi, karena itulah aku tidak ada latihan harspiel.

"Er, bukan begitu. Rosina hanya memintaku untuk datang menjemputmu. Masalahnya, dia benar-benar marah karena kau menghabiskan seluruh waktumu mengerjakan mesin cetak saat kita belum siap untuk Doa Musim Semi. Dia tidak begitu memperlihatkannya, tapi dia, uh...agak murka."

Aku mendapat kesan kalau dia hanya melampiaskan amarahnya padaku karena waktunya untuk bermain harspiel berkurang sementara aku pergi begitu saja dan melakukan apapun yang kuinginkan.

"Aku mengerti. Kalau begitu, bisakah kau membiarkan dia mengomelimu menggantikanku?"

"Tentu! Tunggu… Tunggu sebentar. Tidak! Aku tidak mau!" Gil, baru menyadari apa kukatakan, menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia kelihatan sangat lucu sampai-sampai Lutz dan aku pun tertawa, membuat kami mendapatkan pelototan dan sebuah gumaman bahwa dia akan membawaku kembali ke kamar bagaimanapun caranya. Kelihatannya aku tidak punya pilihan selain menyerah dan menghadapi kemarahan Rosina.

"...Oh, ya sudahlah, tidak ada gunanya menunda hal yang sudah pasti. Lutz, kuserahkan sisanya padamu."

"Baiklah. Kau ada pekerjaan penting besok, 'kan? Semoga beruntung. Aku tahu kau bisa melakukannya." Lutz mengacak-acak rambutku, dan aku mengangguk tidak terlalu antusias sebelum pergi kembali ke kamarku, dipandu Gil yang cemberut.


Aku terhenyak saat melihat zona bencana yaitu kamarku. Selain berbagai baju, sepatu, dan bermacam-macam pelengkap untuk merawat diri yang dikeluarkan dan dijejalkan ke dalam kotak-kotak, ada handuk, barang-barang berbahan linen, piring-piring, peralatan menulis, kertas, dan diptych yang dimasukkan begitu saja ke dalam kumpulan campur-aduk oleh para pembantuku. Ada beberapa kotak kayu di aula yang sudah sesak dengan makanan, dan ada beberapa kotak yang masih kosong yang akan diisi dengan peralatan memasak dari dapur begitu makanku untuk hari ini sudah disiapkan. 

Aku naik ke lantai dua dan melihat kamarku sendiri bahkan lebih berantakan lagi. Ada tiga kotak yang dibariskan—satu untuk kain-kain linen, satu untuk pakaian, dan satu lagi untuk sepatu—dan di atas mejaku didominasi oleh beragam kebutuhan sehari-hari. Di antara semua kekacauan itu ada Delia, Rosina, dan Wilma.

"Suster Myne, Anda tidak boleh pergi ke bengkel sementara kami masih bersiap-siap untuk Doa Musim Semi." Itulah yang Rosina katakan, tapi aku tahu aku hanya akan dimarahi kalau aku mencoba membantu mereka; aku sudah diberitahu dengan sangat tegas bahwa bersiap-siap adalah pekerjaan para pembantu dan karena itulah aku tidak boleh ikut-ikutan melakukannya. Kelihatannya tugasku adalah menghabiskan seluruh waktuku menonton orang lain bekerja.

"Ya ampun! Kau sama sekali tidak ada motivasi! Ini pekerjaan penting untukmu, Suster Myne!"

"...Tapi, aku percaya kalian semua punya cukup kemampuan untuk menangani semua ini tanpa harus mengawasi semua pergerakan kalian."

"Bukan itu masalahnya di sini."

Orang-orang yang akan mendampingiku saat Doa Musim Semi adalah Fran, karena dia sebelumnya pernah sekali mendampingi Kepala Pastor; Rosina, karena diperlukan seorang gadis untuk mengurusku; dan Hugo serta Ella, yang akan memasak untukku.

Delia, Wilma, dan Gil tetap tinggal masing-masing untuk mengurus kamarku, panti asuhan, dan Lokakarya Myne, sementara Todd, juru masak lainnya, akan membuat makanan saat aku tak ada bersama Nicola dan Monika, kedua orang itu telah membantu Ella selama musim dingin.

"Tetap saja, barangnya banyak sekali," gumamku tanpa sadar setelah memandangi sekeliling kamar dan melihat betapa banyak barang yang kubeli untuk bertahan hidup selama  musim dingin. Rosina menaikkan sebelah alisnya keheranan.

“Anda termasuk yang ringan dalam hal barang bawaan, Suster Myne. Suster Christine akan membawa dua kotak baju, belum lagi beberapa peralatan melukis dan berbagai alat musik.”

“Kami dulu harus mulai mengemas barang bawaan Suster Christine jauh lebih awal daripada sekarang,” Wilma terkekeh menyetujui. “Selalu menjadi sebuah perjuangan kapan pun dia pergi mengunjungi Distrik Bangsawan.”

Sementara aku mencerna betapa hebatnya Suster Christine, mata Rosina melebar singkat menyadari sesuatu. “...Um, Suster Myne. Bolehkah saya membawa harspiel juga?” tanyanya ragu-ragu.

Aku menggelengkan kepala, melirik harspiel-harspiel yang bersandar di dinding sudut kamarku. “Kurasa akan lebih aman meninggalkan mereka di sini, terutama mengingat semua itu bukanlah milikku.” Aku meminjamnya dari Kepala Pastor, jadi tidaklah bijak untuk membawanya pergi tanpa izin; tidak akan mudah untuk mengganti ruginya kalau sampai rusak, hilang, atau dicuri.

Tapi Rosina tidak akan menyerah semudah itu. Matanya terkunci pada harspiel-harspiel tersebut, dia melanjutkan. “Bersediakah Anda berbaik hati menanyakannya pada Kepala Pastor mewakili saya?”

“Aku bisa melakukannya jika hanya itu, tentu.”

“Saya merasa sangat berterima kasih.”


Pada akhirnya, aku benar-benar tidak membantu dengan duduk-duduk saja di kamarku, jadi aku pun mengatakan bahwa sudah waktunya aku untuk membantu Kepala Pastor dan pergi didampingi Fran serta Damuel.

“Persiapan untuk Doa Musim Semi cukup berat. Permintaan bantuan dari Ordo Kesatria memerlukan urgensi, tapi sebagai seorang pengiring ini adalah pekerjaan mudah karena tidak ada banyak persiapan yang dilakukan.” Fran menjelaskan bahwa persiapan yang dibutuhkan untuk Doa Musim Semi ini lebih parah karena kami akan berpergian ke kota-kota pertanian dengan kereta alih-alih tunggangan sihir yang kami lakukan sebelumnya.

Secara pribadi, aku lebih merasa tertekan dengan perjalanan daripada persiapannya—semua antusiasmeku lenyap begitu tahu kami akan berkendara dengan kereta. Aku punya firasat bahwa saat kami mencapai kota pertanian pertama, aku benar-benar akan terlalu kecapekan untuk melakukan apapun.

“Apa sama sekali tidak ada cara agar aku tidak pergi ke Doa Musim Semi?” aku menghela napas.

“Apa yang Anda bicarakan, Novis?  Doa Musim Semi adalah sebuah ritual yang penting,” kata Damuel, menatapku tajam merasa keberatan.

Kenyataannya, aku sudah tahu betapa pentingnya itu. Aku padahal hanya berharap dia membiarkanku mengeluh sedikit, hanya sekedar mengeluarkan uneg-unegku.

“Aku mengerti betapa pentingnya itu, Tuan Damuel. Hanya saja aku sulit membayangkan berapa banyak hari yang akan kuhabiskan dengan terbaring sakit di tempat tidur setelah bertahan bepergian dengan kereta.”

“...Hm. Mempertimbangkan bagaimana kehidupan sehari-hari Anda sudah menjadi sebuah perjuangan untuk Anda, saya bisa membayangkan perjalanan ini akan sangat menyulitkan. Tapi saya tidak merasa bahwa Tuan Besar Ferdinand akan membiarkan Anda melewatkan ritual ini karena hal itu.”

Aku sudah mengetahuinya dengan sangat baik bahwa dia tidak akan membiarkanku meloloskan diri dari itu. Tapi tetap saja, sebagai usaha putus asaku, aku menunggu sampai waktuku untuk membantunya selesai dan kemudian melayangkan keluhanku pada Kepala Pastor.

“Kepala Pastor, apakah aku benar-benar harus pergi ke kota-kota pertanian? Aku yakin aku akan benar-benar jatuh sakit karena berkendara dengan kereta.”

“Benar sekali. Aku akan harus membawa banyak sekali ramuan obat untukmu,” Kepala Pastor membalas dengan santai.

Wajahku mengerut saat memikirkan ramuan yang dulu dia paksakan untuk kuminum saat aku ambruk kelelahan dan dia memerlukanku untuk segera bangkit.

“...Apa mungkin maksudmu adalah ramuan yang luar biasa efektif tapi rasanya begitu parah sampai-sampai orang lebih memilih mati daripada meminumnya?”

“Ya.”

“Ngh… Sekarang aku jadi semakin tidak ingin pergi.”

Aku sudah bisa membayangkannya: aku akan tumbang di perjalanan kami menuju sebuah kota pertanian, salah satu ramuan menjijikkan Kepala Pastor akan dituangkan ke dalam kerongkonganku, dipaksa untuk melakukan ritual selama pendorongan energi, kemudian kembali tumbang selagi kami menuju ke kota pertanian berikutnya. Lingkaran rasa sakit dan derita tanpa henti ini akan terus berlanjut sampai kami selesai mengunjungi setiap kota pertanian. Memikirkannya saja sudah cukup membuatku mual.

“Kepala Pastor, kau harus melakukan sesuatu dengan betapa parahnya rasa ramuan itu. Entah itu atau siapkan ramuan tidur supaya aku bisa tidur selama perjalanan, atau mungkin biarkan aku bepergian dengan salah satu patung sihir bergerak yang dimiliki kesatria itu. Bisakah kau melakukan sesuatu? Kumohon?” Aku dengan berkaca-kaca menyampaikan setiap pilihan yang terpikir olehku sembari memohon pada Kepala Pastor.

Dia mengangguk, terlihat agak enggan. “...Kau kelihatan cukup tertekan. Aku akan mempertimbangkan pilihan-pilihan itu.”

“Aku akan merasa sangat berterima kasih. Selain itu, salah satu dari pengiringku ingin membawa sebuah harspiel, tapi kurasa itu tidak akan bisa diterima.”

Aku begitu takut bepergian dengan alat musik semahal itu sehingga aku lebih suka agar dia menolaknya, tapi Kepala Pastor memberikan izinnya tanpa pikir panjang.

“Sebaliknya, aku mendukungnya. Rosina bisa memainkannya untuk kita selama perjalanan. Musiknya pasti akan menjadi sumber hiburan besar selama malam-malam yang panjang.”

“Tunggu, benarkah?” aku mengerjapkan mata terkejut. “Kudengar katanya sangat berbahaya di luar kota dengan bandit-bandit dan hewan-hewan buas di mana-mana. Apakah aman membawa alat musik semahal itu ke luar sana?”

Kepala Pastor memandangku dengan bingung. “Tidak ada bandit yang cukup bodoh untuk menyerang kereta para biarawan dan bangsawan yang sedang menuju ke Doa Musim Semi.”

“...Benarkah? Tidak ada?” Aku benar-benar berpikir bahwa para bandit malah sangat mungkin menyerang bangsawan-bangsawan kaya demi harta bendanya, tapi sepertinya aku melewatkan sesuatu.

“Myne, kebanyakan para bandit adalah petani-petani lokal.”

“Apa? Bukankah bandit itu seperti kumpulan para pencuri yang bertahan hidup dengan mencuri dari orang lain?”

“Bodoh. Jika grup semacam itu muncul, para pedagang akan mulai menghindari jalan-jalan di area itu. Mereka yang cukup berani dengan bahaya tersebut akan membawa pengawal, membuatnya menjadi target yang beresiko, dan setelah cukup banyak kejadian para bandit itu akan menjadi target Ordo Kesatria. Akan sangat konyol berpikiran bahwa seluruh organisasi itu bisa bertahan hidup hanya dengan mencuri dari orang lain.”

Aku tadinya berpikir bahwa para pedagang akan sering bepergian hilir-mudik, tapi ternyata itu tidaklah akurat. Sudah jelas, sangat sedikit yang kuketahui tentang dunia ini sehingga Kepala Pastor jadi jengkel padaku.

“Adalah hal yang lumrah bagi para petani untuk sementara waktu bertindak kriminal mengancam para pedagang demi uang dan barang dagangannya, tapi jika mereka menyerang pada bangsawan maka tidak ada lagi cawan-cawan yang dibawa ke lahan mereka. Karena alasan itulah, tidak ada petani yang cukup bodoh untuk menyerang bangsawan atau biarawan yang menuju ke Doa Musim Semi. Belum lagi sekalipun mereka memang menyerang bangsawan, mereka akan dikalahkan dengan mudah.”

Para bandit menghindari mengincar para bangsawan tidak hanya karena tindakan mereka secara langsung mendukung para petani, tapi juga karena mereka semua memiliki jumlah mana yang membahayakan.

“Jadi kita akan benar-benar aman di perjalanan?”

“...Ya, kita akan aman.”

Aku sebenarnya penasaran kenapa Kepala Pastor ragu-ragu menjawabnya, tapi bagaimanapun, sepertinya perjalanan kami akan jauh lebih aman daripada yang kupikirkan. Itu melegakan, dan mungkin satu-satunya hal melegakan dalam perjalanan ini.


Pagi hari sebelum kami berangkat untuk Doa Musim Semi adalah yang tersibuk. Aku dibersihkan, didandani dengan jubah upacara, dan diminta untuk memakai tusuk rambut. Karena kami akan menuju ke kota-kota pertanian, aku memakai sepatu kulit babi yang baru saja belum lama ini diselesaikan untukku. Fran sedang berbicara tentang betapa berlumpurnya kota-kota pertanian, tapi kurasa sulit untuk percaya bahwa itu akan lebih parah daripada gang-gang yang ada di kota bawah. Walaupun mungkin saja salah aku berpikiran seperti itu.

Semua yang kugunakan untuk bersiap-siap pagi ini disimpan dalam kotak-kotak, yang kemudian diikat erat dengan tali. Itu adalah bawaanku yang terakhir; sekarang setelah semuanya disiapkan, Fran dan Gil mulai membawa kotak-kotak itu ke kereta satu demi satu sementara Rosina membawa sendiri kotak yang berisi harspiel ke kereta, menimangnya sepanjang waktu itu. Tanpa ada banyak yang perlu dilakukan di kamarku yang sekarang kosong, aku memutuskan untuk mengucapkan salam perpisahan pada setiap pengiringku yang tetap tinggal di sini.

“Wilma, kutinggalkan panti asuhan dalam pengurusanmu.”

“Ya, Suster Myne. Saya bisa meyakinkan Anda bahwa anak-anak akan menjadi malaikat-malaikat kecil yang sopan saat Anda kembali. Saya harap Anda akan memuji mereka atas usahanya.”

Saat aku mengangguk menanggapi, Gil berlutut di tempat dengan “Ayo, puji aku” terlihat jelas di wajahnya, jadi aku pun mengulurkan sebelah tanganku.

“Kupercayakan bengkel kerja padamu, Gil. Kurasa kau akan bisa menangani semuanya?”

“Yeah, kau bisa mengandalkanku!”

“Delia, tolong urus kamarku selagi aku pergi.”

“Seperti yang kau inginkan… Ya ampun! Kenapa kau kelihatan begitu gugup?! Suster Myne, aku jadi lebih khawatir apakah kau bisa melakukan pekerjaanmu dengan benar.” Delia memelototiku, rambut merah terangnya sedikit terurai.

Dirinya yang akan bertugas mengurus kamarku bukanlah hal yang membuatku cemas—aku yang akan pergi ke kota-kota pertanian dengan kereta malahan yang kukhawatirkan.

“Ngh… Aku tidak begitu yakin tentang kereta.”

“Duuuuh! Jangan membuatku makin khawatir!”

“A-aku akan melakukan yang terbaik,” kataku dengan terbata, mungkin membuat Delia kehilangan potongan terkecil terakhir rasa yakinnya terhadapku yang bahkan tanpa disadarinya tadi masih dia miliki.

Begitu dia melihat aku sudah selesai mengucapkan salam perpisahanku, Fran mendekat. “Suster Myne, sekarang waktunya bagi kita untuk pergi ke kereta.”

“Baiklah. Ayo kita berangkat.”

“Selamat jalan. Kami menunggu Anda pulang dengan selamat.

Sementara para pengiringku yang lain mengantar kepergian kami, aku mengikuti Fran keluar dari kamar, Rosina dan Damuel mengikuti dari dekat di belakang. Kami menuju ke area bangsawan di biara ini, karena gerbang utama di sana, di mana kereta-kereta berada.

“Rosina dan saya harus melakukan pengecekan terakhir pada kereta, juga mendiskusikan perjalanan yang akan dilakukan dengan Arno, jadi silakan pergilah ke ruang tunggu bersama Tuan Damuel. Kepala Pastor seharusnya sudah ada di sana.”

Dan begitulah, aku menuju ke ruang tunggu bersama Damuel. Di sepanjang perjalanan, aku melihat Kepala Pastor bergegas berjalan ke arahku, para pengiringnya turut mendampingi di belakang.

“Selamat pagi, Kepala Pastor.”

“Selamat pagi. Myne, pergilah ke ruanganku; ada hal mendesak yang harus didiskusikan denganmu. Aku akan segera di sana begitu aku sudah selesai memberi instruksi pada Arno dan yang lainnya. Apa kau juga mengerti, Damuel?”

“Ya, pak!”

Kepala Pastor mengakhiri percakapan sampai di situ dan melanjutkan jalannya yang terburu-buru ke kereta. Dia bergerak dengan luar biasa cepat, tapi masih tetap bisa terlihat berwibawa sambil melakukannya. Damuel dan aku saling melirik, kemudian mulai berjalan ke ruangan Kepala Pastor. 

Kami tidak ada masalah untuk masuk ke dalamnya karena Kepala Pastor juga telah meninggalkan beberapa pengiringnya. Mereka mempersilahkan kami duduk, dan tidak lama kemudian Kepala Pastor pun kembali.

“Terima kasih kalian berdua telah menunggu.”

“Kepala Pastor, masalah mendesak apa yang kau bicarakan?” Aku menelengkan kepala kebingungan sementara Kepala Pastor menutup lemari-lemari berisi dokumen, dan menguncinya secara bergiliran.

“Kita akan mengendarai tunggangan sihir feystone. Aku baru saja mengirim kereta-kereta itu ke kota pertanian tempat kita akan menginap malam ini.”

“...Apa terjadi sesuatu?”

“Aku seharusnya berharap tidak terjadi sesuatu,” katanya, memasuki kamar rahasianya dengan sekumpulan kunci. Dia kembali lagi, sekarang memegang sebuah cincin bertahtakan batu feystone kuning terang dan sebuah gelang berhiaskan batu-batu dengan tujuh warna berbeda.

“Myne, pakai ini.”

“Tuan Besar Ferdinand, itu adalah—”

“Ini hanya untuk berjaga-jaga, Damuel.”

Aku bisa melihat sebuah gelang yang mirip di pergelangan tangan Kepala Pastor. Dia juga memakai cincin yang terlihat sama di jari tengahnya, yang mana mengingatkanku bahwa dia pernah meminjamkan sebuah cincin pada saat misi Ordo Kesatria juga. Itu benar-benar membantu saat itu, jadi kurasa mungkin ini juga akan berguna kali ini. Aku dengan merasa berterima kasih menerima keduanya dan memakainya, mengenakan cincin di jari tengah tangan kiriku seperti Kepala Pastor.

“Selain itu, dan benar-benar menyakitkan bagiku untuk mengatakan ini…”

“Ya?”

“Kita akan didampingi oleh...seorang biarawan jubah biru lain,” Kepala Pastor mengatakan dengan ekspresi meringis.

Aku membuka mataku lebar-lebar dengan terkejut tepat saat pintu terbuka dan Karstedt masuk ke dalam ruangan bersama seorang biarawan jubah biru.

“Itu adalah aku. Namaku Sylvester. Jadi kaulah si novis rakyat jelata itu, ya?”

Dia memandangiku dengan alis dan mata hijau gelap yang terlihat tegas, rambutnya yang berwarna biru keunguan terikat di belakangnya. Mataku terarah pada tali perak yang mengikat rambutnya itu. Dia sedikit lebih pendek daripada Kepala Pastor, tapi memiliki perawakan yang lebih berotot, membuatnya jauh lebih terlihat sebagai mantan kesatria daripada Kepala Pastor. Dalam hal usia, dia sepertinya seumuran dengan Benno dan Kepala Pastor, meskipun observasi seperti itu tidak begitu berarti karena Benno dan Kepala Pastor jelas tidak seumuran meskipun kenyataannya mereka terlihat seperti itu menurutku.

“...Kau kecil sekali. Kau yakin sudah dibaptis? Kurasa kau bohong soal usiamu.” Sylvester mendengus, memberiku tatapan tidak sopan dengan mata hijau gelapnya. Aku hampir saja berteriak kalau aku tidak seperti itu, tapi menahan diri. Bagaimanapun, Sylvester adalah seorang biarawan jubah biru. Dia bukanlah seseorang yang bisa seenaknya saja kuajak bertengkar.

“Hei. Coba mendecit ‘pooey’.”

Setelah memandangiku untuk waktu yang lama yang tak nyaman, Sylvester mendadak mengacungkan jari telunjuknya. Itu langsung mencolek pipiku, melesak cukup jauh kalau dipikir-pikir. Aku secara refleks berseru “Aduh!”, yang mana membuatnya memandangiku dan menggelengkan kepala.

“Nyaris, tapi tidak. Ayo mendecit ‘pooey’.”

Ini tidak sekeras sebelumnya, tapi dia mencolek pipiku lagi sambil menggerak-gerakkan jarinya seperti bor. Aku menatap Kepala Pastor untuk meminta bantuan. Dia menurunkan pandangan, kemudian menghela napas menyerah dan memalingkannya.

“Myne, orang ini memiliki kepribadian yang parah. Tapi dia memiliki hati yang cukup baik di balik hal lainnya yang busuk. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah menyerah dan mengikuti kemauannya. Selain itu, Sylvester, Myne amat sangat lemah. Jika terlalu berlebihan mengisengi dia, maka ada resiko besar dia tewas. Tapi yang lebih penting—Karstedt, coba lihat ini.” Sembari berkata begitu, Kepala Pastor mulai membentangkan sebuah peta.

“Ya!” Karstedt mendekatinya, meninggalkanku sendirian dengan Sylvester dan Damuel yang terlihat pucat pasi. Tidak ada satu pun yang menolongku.

“Ayolah, mendecit.” Mata hijau Sylvester mengeras sementar dia terus mencolek pipiku. Bukanlah hal pintar membuat seorang bangsawan marah tepat sebelum perjalanan panjang.

“P-Pooey.”

Aku menyerah dan… mendecit… seperti yang dia inginkan. Sylvester mengangguk puas, kemudian mencolekku lagi.

“Sempurna. Mendecit lagi.”

“Pooey, pooey, pooey...”

Fakta bahwa aku akan menghabiskan Doa Musim Semi bepergian dengan seorang biarawan jubah biru seperti ini membuatku jadi semakin takut dengan apa yang perjalanan ini persiapkan untukku.