Perpanjangan Masa Menginap di Biara

(Penerjemah : Hikari)


Aku mendapatkan omelan tanpa henti saat sadar kembali. Pertama-tama Lutz dan Benno, kemudian Fran dan Gil, lalu akhirnya Damuel dan Kepala Pastor. Aku merasa bahwa seiring dengan berjalannya waktu, aku terus bertemu dengan lebih banyak orang yang akan mengomeliku.

...Tapi serius, aku berharap mereka tidak menggunakan “berkunjung karena aku sakit” sebagai alasan untuk mengomeliku di tempat tidur. Biarkan aku tidur.

Omelan paling panjang dan panas kali ini berasal dari Damuel. Kelihatannya dia benar-benar ngeri setelah aku mendadak pingsan begitu saja, takut bahwa Kepala Pastor mungkin menganggap bahwa dia juga adalah seorang kesatria yang tidak dapat mengikuti perintah atasannya.

“Saya benar-benar berpikir akan dieksekusi kali ini! Saya seperti orang mati berjalan ketika kami membawa Anda pulang ke sini,” katanya marah dengan air mata menggenang.

“Maaf. Aku benar-benar menyesal. Selain itu, untuk memperingatkanmu, begitu percetakan dimulai aku mungkin akan mulai sering pingsan karena kegirangan.”

“Anda sama sekali tidak menyesalinya, Suster Magang!”

“Maaf karena aku tidak cukup berlatih supaya berhenti pingsan.”

“Bukan itu yang seharusnya Anda sesali!”

Sulit untuk menahan rasa girang atas mata-mata huruf logam dengan semua orang yang mengomeliku sepanjang hari hingga malam, sehingga demamku turun dengan luar biasa cepat. Tapi omelan terus berlanjut bahkan setelah aku merasa lebih baik. Rasanya benar-benar membosankan karena mereka terus mengulangi hal yang sama lagi dan lagi. Aku hanya ingin pulang ke rumah saat ini; salju sudah cukup meleleh untuk kereta-kereta berlalu-lalang, jadi sudah benar-benar sebentar lagi.

“Aku hanya ingin pulang…”

Tapi pertama-tama, aku harus menulis surat permintaan untuk bertemu dengan Kepala Pastor. Atau begitulah niatku, tapi aku akhirnya mendapatkan surat yang meminta untuk bertemu dari Kepala Pastor lebih dulu. Walaupun ini kurang pas “meminta untuk bertemu” dan lebih tepat bertanya kapan aku senggang, karena aku yang akan mengunjunginya daripada sebaliknya.

“Fran, hal yang langka bagi Kepala Pastor untuk mengirimiku surat. Urusannya pasti mendesak. Aku ingin menemuinya sesegera mungkin—aku tidak keberatan pergi hari ini, bahkan—tapi aku tidak yakin apa yang harus kukatakan padanya.”

“Para pembantunya kemungkinan besar kewalahan mempersiapkan kedatangan Anda jika Anda pergi begitu mendadak. Saya yakin besok akan menjadi hari yang tepat,” kata Fran setengah tersenyum, jadi aku langsung menuliskan surat yang mengatakan aku akan senggang besok.

“Haruskah aku membawakannya hadiah atau semacamnya? Dia mengunjungiku saat aku sakit bagaimanapun juga.”

Selama kunjungannya, Kepala Pastor membawakanku banyak makanan, meskipun aku tidak benar-benar membutuhkan karena salju mulai meleleh dan aku akan segera pulang ke rumah. Pada saat ini aku berpikir untuk memindahkan setengah dari itu semua ke gudang bawah tanah di gedung anak perempuan.

“Beberapa penganan yang Anda buat di sini akan memadai. Kepala Pastor cukup menyukai kue kering Anda.”

“Bagaimana dengan caramel custard yang kubuat belum lama ini kalau begitu?”

Pada kunjungan Tuuli belum lama ini aku telah bereksperimen dengan caramel custard dan es krim. Hasilnya benar-benar mengingatkanku bahwa es krim paling bagus dimakan saat cuaca hangat. Es krim selalu terasa enak di rumah modern berpenghangat, tapi di sini bahkan makan di depan perapian pun membuat orang lebih fokus pada hawa dingin daripada makanannya; ini benar-benar membuat seluruh badan kedinginan.

“Hm. Caramel custard memang enak begitu terbiasa dengan teksturnya, tapi menyantapnya untuk pertama kali rasanya sedikit...tidak nyaman. Saya tidak yakin itu akan menjadi hadiah yang tepat untuk seseorang yang belum pernah mencobanya sebelumnya.”

Seperti yang kuduga dari reaksi Lutz dengan potatoffel kukus, mengukus bukanlah metode memasak yang dilakukan di sini. Ella sangat terkejut saat mempelajari bagaimana caranya membuat caramel custard, dan mereka semua yang mencobanya berkomentar tentang tekstur dan menyampaikan kekhawatirannya kalau-kalau makanan itu menghilang sebelum itu bisa masuk ke dalam mulut mereka. Tapi pada akhirnya, mereka semua sangat memuji betapa manis dan nikmatnya itu.

“Kalau begitu, mintalah Ella memanggang kue kering yang sangat disukai Kepala Pastor.”

Aku menetapkan kue kering sebagai bingkisanku. Akan ada yang rasa plain dan teh, karena keduanya adalah favoritku.

Setelah menetapkan itu, aku mengerjakan cetak biru untuk mesin cetak-tekan. Aku cukup yakin bahwa mesin cetak-tekan pertama di Bumi adalah hasil modifikasi dari alat pemerasan anggur, jadi itu tidak terlalu sulit dibuat. Satu-satunya masalah adalah aku tidak ingat dengan jelas ukuran atau struktur atau apapun semacam itu.

“Umm, aku cukup yakin itu memerlukan alat untuk melumurkan tinta? Sesuatu dengan pegangan seperti ini, dan kulit membentang seperti ini… Sebuah tempat di samping untuk menahannya, tepat di sebelah tempat untuk menaruh kertasnya… Kurasa tempat di mana mata-mata huruf itu dibariskan itu kelihatan seperti ini?”

Aku berusaha keras mencari-cari dalam ingatanku, tapi semuanya begitu samar-samar sehingga cetak birunya nyaris tidak tersusun. Aku bisa memberikan instruksi samar pada orangnya, tapi adalah hal yang di luar kemampuanku untuk menuliskan secara detail ukurannya. Kelihatannya aku akan harus menuliskan ini sambil bereksperimen dengan mesinnya secara langsung.

Aku penasaran apakah Kepala Pastor mau menggunakan alat pencari ingatan itu padaku lagi, pikirku dalam hati sambil mengerjakan desain di mejaku. Para pelayanku berkeliaran di sekitar ruangan, bekerja sekeras mungkin menyelesaikan tugas-tugas mereka.


“Selamat pagi, Kepala Pastor,” aku menyalaminya sambil menyerahkan bingkisanku.

“Kau sebenarnya tidak perlu melakukannya,” balasnya dengan ekspresi yang benar-benar datar sambil mengambilnya. Aku sama sekali tidak tahu apakah dia senang atau tidak.

“Arno.”

Kepala Pastor memanggil Arno mendekat, yang kemudian datang dan menaruh sebuah piring di atas meja. Fran membuka bungkusan kue kering dan menyusunnya di atas piring. Dia kemudian mengeluarkan cangkir yang dia bawa dari kamarku, yang kemudian dituangkan teh oleh Arno sebelum mengisi cangkir Kepala Pastor juga.

“Silakan, Suster Myne.”

Arno menyodorkan piring berisi kue kering ke depanku. Tidak mengerti apa yang dia inginkan dariku, aku melihat Kepala Pastor.

“Saat membawakan seseorang makanan sebagai bingkisan, adalah sopan santun yang umum bagi si pengunjung untuk mencicipinya lebih dulu untuk uji racun. Kurasa ini bukanlah sebuah kebiasaan yang umum untukmu, dan sepertinya sekarang adalah kesempatan bagus untuk mengajarimu.” 

Uji racun…? Um, itu menakutkan.

Aku bisa memakan kue kering itu tanpa cemas karena aku sendiri yang membawanya, tapi mendengar hal itu membuatku merasa gugup tentang makan atau minum di tempat lain di luar kamarku.

“Orang yang mengundang akan minum teh lebih dulu.”

Kepala Pastor menyeruput tehnya, yang telah dituangkan dari poci yang sama dengan tehku, sementara aku memakan sepotong kue kering. Begitu selesai dilakukan, kami berdua menikmatinya dengan santai.

Fran sepertinya benar saat bilang bahwa Kepala Pastor menyukai kue kering. Ekspresinya tetap tidak berubah, tapi kue keringnya lenyap lebih cepat daripada makanan lain di atas meja.

Kami berbicara sedikit tentang hal-hal santai seperti cuaca dan status panti asuhan. Kemudian, setelah kami selesai menikmati teh, sekarang waktunya untuk hal penting dari diskusi ini.

Aku sudah mulai terbiasa dengan budaya bangsawan saat ini. Kurasa. Aku ingin yakin begitu.

“Um, Kepala Pastor. Aku ingin segera pulang ke rumah, dan aku penasa—”

“Tidak.”

Bahkan sebelum aku menyelesaikan kalimatku, Kepala Pastor meletakkan cangkirnya dan menolak.

“...Bwuh?”

Aku menelengkan kepala ke samping kebingungan, tidak mengerti kenapa Kepala Pastor tidak membiarkanku pulang ke rumah meskipun kenyataannya salju telah mencair. Dia berdiri, mendorong kursinya mundur dengan sedikit bersuara. Kemudian, setelah memandangi penjuru kamarnya sekali, dia menuju ke ruangan tersembunyi di belakang ranjangnya.

“Ikuti aku.”

Kelihatannya ini adalah sesuatu yang dia tidak ingin pembantunya dengar. Aku menaruh cangkirku juga dan berdiri untuk pergi melewati pintu yang baru saja dia buka. Begitu di dalam, aku duduk bangkuku yang biasa sementara dia di kursinya.

“Apakah ini sesuatu yang kau tidak ingin para pembantumu dengar?”

“...Benar. Semakin sedikit yang tahu hal ini akan lebih baik.” Kepala Pastor menarik napas perlahan sebelum melanjutkan. “Aku belum lama ini diberitahu bahwa Wolf tewas mendadak. Itu terjadi tepat setelah aku meminta Karstedt mengirim seseorang untuk menyelidikinya.”

Kata “tewas” membuatku menelan secara refleks. Tapi aku mau tidak mau secara perlahan menelengkan kepalaku, karena ada satu detail penting yang tidak begitu kumengerti. 

Um... Siapa itu Wolf?

“Kau kelihatannya sangat kebingungan.”

“Um, Kepala Pastor. Ini mungkin pertanyaan konyol, tapi siapa orang yang bernama Wolf ini? Kurasa aku pernah mendengar nama ini sebelumnya, tapi tidak begitu jelas….”

Fakta bahwa tidak ada wajah yang muncul dalam pikiranku begitu mendengar nama tersebut berarti dia mungkin bukanlah seseorang yang kukenal secara pribadi. Kepala Pastor sedang membicarakan dia seakan dia adalah seseorang yang seharusnya kuketahui, jadi aku yakin dia adalah orang yang penting, tapi aku tidak bisa mengingatnya.

Mata Kepala Pastor melebar tidak percaya. Kemudian, dia menghela napas berat. “Wolf adalah kepala dari Serikat Tinta.”

“Oh, orang mencurigakan itu?” Kepala Serikat Tinta yang memaksa bicara Lutz dan mengendus-endus informasi mengenai diriku itulah yang menjadi alasan utama aku terperangkap di biara sepanjang musim dingin. “Tunggu… Dia mati?! Bagaimana bisa?!”

“Reaksimu terlambat!”

Kelihatannya Karstedt dan Kepala Pastor telah menyelidiki Wolf untuk melihat apakah benar rumor mengenai dirinya itu, dan untuk menemukan bangsawan mana yang menyuruh dia untuk menyelidikiku. Tapi tepat saat mereka mempersempit daftar kemungkinan tersangka, Wolf tewas begitu saja. 

“Sepertinya Wolf telah mengetahui dari suatu tempat bahwa seorang biarawati rakyat jelata juga bergerak sebagai pengusaha.”

Fakta bahwa dia menekankan pada kata “suatu tempat” mengingatkanku bahwa secara mengejutkan beberapa bangsawan tahu kebenaran mengenai diriku. Tidak banyak bangsawan yang bisa menyediakan informasi seperti itu.

“Wolf sedang menyelidiki seperti apakah wanita pengusaha itu dan apakah ternyata benar dia memiliki koneksi dengan Benno. Akan tetapi, kau mundur ke biara begitu penyelidikan dimulai, selain itu kesehatanmu yang menurun membuatmu menghabiskan sangat sedikit waktu di luar dengan orang lain. Kelihatannya penyelidikannya berjalan dengan buruk.”

Kata-kata Kepala Pastor membuat jantungku melompat. Wolf telah ditugaskan oleh para bangsawan untuk menyelidikiku, tapi tidak hanya menghasilkan sedikit pencapaian, dia malah jadi fokus investigasi yang dipimpin Karstedt dan Kepala Pastor. Kemudian, mendadak, dia mati. Tidak sulit untuk membuat hubungannya di sini.

“...Apakah bangsawan yang membunuh Wolf?”

Kepala Pastor mengangguk pelan namun tegas. “Hampir bisa dipastikan.”

Kehidupan rakyat biasa bukanlah apa-apa bagi bangsawan; mereka menyingkirkan siapapun yang menghalangi jalan mereka. Aku tahu itu, tapi kenyataan bahwa itu terjadi begitu mendadak dan tepat di depanku tetap membuatku gemetar. Aku memeluk diriku sendiri, menggosok-gosokkan tanganku ke sepanjang lenganku yang merinding.

“...Apakah para bangsawan mengincarku?”

“Tidak diragukan lagi bahwa beberapa bangsawan mengincarmu, tapi kami tidak tahu siapa mereka atau apa tujuan mereka. Aku bisa menerkanya sedikit,” ucapnya, kata-katanya begitu berat sampai-sampai aku mulai gemetar. "Bangsawan yang memerintah kota-kota-kota pertanian akan pergi begitu Doa Musim Semi dimulai. Ketakutan terbesar kita adalah kau dibawa pergi dari kota, jadi kau harus tinggal di biara sampai cukup banyak bangsawan yang tersisa. Saat ada lebih sedikit bangsawan yang tetap tinggal di kota, akan lebih mudah untuk mengidentifikasi kesetiaan dan motivasi mereka.”

Dia tidak bilang aku tidak akan pernah bisa pulang ke rumah, setidaknya begitu.

Aku menghibur diriku sendiri sementara dengan sedih setuju untuk tetap tinggal di biara sampai Doa Musim Semi. Kepala Pastor menghela napas kecil karena lega dengan kepatuhanku, kemudian mengeluarkan sebuah papan kecil seukuran telapak tangannya.

“Aku harus mendiskusikan perpanjangan masa tinggal dan adopsimu dengan keluargamu. Berikan ini pada mereka.”

“...Baiklah.”

Tentang aku yang akan diadopsi oleh seorang bangsawan adalah topik diskusi yang terlalu berat untuk begitu saja dipercakapkan ketika Tuuli atau Ayah berkunjung. Aku telah berencana untuk membahasnya ketika pulang, tapi sepertinya Kepala Pastor akan menyampaikan berita itu pada mereka sementara aku tertahan di sini. Aku menundukkan kepala saat memperhatikan surat undangan yang Kepala Pastor serahkan padaku.

“Kurasa kau sudah mengerti hal ini, tapi jangan katakan pada siapapun tentang Wolf ataupun tentang adopsi. Tidak semua pembantumu yang bisa dipercaya,” katanya, dan pikiran tentang Delia segera muncul di benakku. Aku tidak bisa memprotes.


Begitu aku kembali ke kamarku, aku meminta Fran untuk menjemput Lutz supaya aku bisa memberinya surat undangan tersebut. Dia setuju untuk mengirimkannya ke orang tuaku, tapi kelihatan amat penasaran bagaimana bisa aku membuat masalah yang cukup besar sampai-sampai Kepala Pastor memanggil mereka. Yang bisa kukatakan padanya hanyalah aku tidak bisa pulang sampai selesai Doa Musim Semi. Informasi itu tidak masalah untuk diketahui umum. Atau tepatnya, itu adalah sesuatu yang harus kukatakan pada semua orang—termasuk para pembantuku—kalau aku ingin menghindari banyak masalah.

“Apa yang akan kita lakukan untuk makanan kalau begitu?” tanya Delia, setelah mendengarkan percakapanku dengan Lutz.

Aku tersenyum. “Pasar akan segera dibuka, dan kita masih punya makanan yang Kepala Pastor hadiahkan pada kita.”

Ternyata hadiah yang Kepala Pastor berikan adalah hasil pertimbangannya untuk memastikan aku bisa tinggal dengan aman di biara bahkan setelah musim dingin berakhir.


Orang tuaku datang tiga hari kemudian setelah Lutz mengirimkan surat tersebut. Di ruang tunggu gerbang aku melihat ibuku untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Pemandangan senyumnya yang biasa dan perutnya yang besar—cukup besar sehingga terlihat dia bisa melahirkan kapan saja—membuat perasaan hangat membuncah dalam diriku.

“Ibu...”

“Suster Myne, di sini bukanlah kamar Anda. Saya mengerti apa yang Anda rasakan, tapi tolong pertimbangkan posisi Anda.”

Fran dengan lembut menahan bahuku, seraut ekspresi serba salah terlihat di wajahnya. Ibu menarik mundur tangannya yang terulur ke arahku, dan Ayah menghiburnya dengan sebelah lengan merangkul pundaknya.

“Silakan, ikuti saya.” Fran berjalan menjauh dan aku mengikuti di belakangnya. Damuel berjalan di sampingku sementara orang tuaku mengikuti di belakang kami.

Aku berjalan maju, menahan dorongan untuk menoleh, saat sebuah tangan lembut mengelus rambutku—tangan yang lebih lembut daripada tangan Ayah. Aku pun tersenyum. Aku coba untuk menoleh, tapi jari-jemari tangan itu sedikit menegang seakan memberitahuku untuk tetap menatap ke depan. Rasanya lucu bagaimana tangan itu menyelinap mundur setiap kali Fran menoleh ke belakang untuk melihat kami. Terkadang tangannya berganti ke tangan yang lebih besar dan percakapan hening kami berlanjut hingga kami sampai di ruangan Kepala Pastor.

“Selamat pagi, Kepala Pastor,” sapa Ibu.

“Anda memanggil kami, Pak?”

Ayah memberikan hormat ala prajurit pada Kepala Pastor, yang balas mengangguk dan mempersilakan mereka duduk. Di sekeliling meja ada sebuah bangku di satu sisi dan dua kursi di sisi lainnya. Mempertimbangkan status kami di sini, orang tuaku akan duduk di bangku sementara Kepala Pastor dan aku di kursi. Ibuku berusaha duduk di bangku tersebut karena perutnya, tapi Ayah membantunya dan mereka duduk bersama-sama.

“Kalian semua boleh pergi.”

Kepala Pastor mengosongkan ruangan begitu para pembantunya telah membawakan teh kami. Selain itu, dia menggunakan alat sihir pemblokir suara dalam jangkauan luas di area sekitar meja.

Ayah melihat sekeliling dengan cemas. “A-apa yang…?”

“Ini akan mencegah suara kita terdengar dari luar ruangan. Myne, sekarang kau boleh duduk dengan orang tuamu karena hanya ada kita di sini. Kurasa kau sudah banyak menahan diri sepanjang jalan ke sini.”

Sambil menjelaskan dinding sihir pada Ayah, Kepala Pastor mendorongku lembut ke arah orang tuaku. Aku sejak tadi berdiri di tempat, tidak yakin harus ke mana.

“Saya merasa sangat berterima kasih, Kepala Pastor.” 

Aku berterima kasih padanya dengan senyum lebar sebelum duduk di antara orang tuaku. Aku menatap mereka bergantian, kemudian memberikan pelukan lembut pada Ibu.

“Senang sekali melihatmu, Bu. Aku kangen sekali. Kelihatannya Ibu bisa melahirkan kapan saja sekarang!”

“Belum. Ini akan sedikit lebih besar lagi,” kata Ibu sambil memelukku. Aku mengelus perut besarnya dan menghela napas lega.

“...Kau kelihatannya puas sekarang. Bisa kumulai?”

“Ya.” Aku menegakkan tubuh dan menghadap Kepala Pastor, yang sedang duduk di seberang kami.

“Baiklah sekarang. Mari lewati perkenalan yang merepotkan dan langsung ke permasalahannya. Ada keberatan?”

Kelihatannya Kepala Pastor mengerti dari waktu yang dihabiskannya denganku bahwa dia tidak akan mendapatkan apapun dari memberikan salam yang menjadi kebiasaan para bangsawan para rakyat jelata, dan karena itulah dia melewatkan semua salam panjang yang pernah dia berikan saat pertemuan dengan Karstedt.

“Myne akan tetap tinggal di biara sampai Doa Musim Semi selesai.”

“Tunggu sebentar. Kenapa? Perjanjiannya adalah dia hanya akan tinggal selama musim dingin.” Ayah mencondongkan tubuhnya ke depan, nyaris tidak bisa menahan diri.

Kepala Pastor menatapnya dingin dan melanjutkan dengan ekspresi datar. “Dia berada dalam keadaan yang lebih berbahaya daripada sebelumnya.”

Jawaban singkat yang Ayah dapatkan cukup untuk membuatnya sadar bahwa keadaan berkembang di luar kendalinya. Dia menenangkan ekspresinya dan mengulurkan sebelah tangan ke atas kepalan tinjunya.

“Bahaya apa?”

“Jangan katakan ini pada siapapun,” kata Kepala Pastor sebelum menjelaskan apa yang telah terjadi sejak musim gugur hingga saat ini, juga memberikan kilasan singkat tentang situasinya. Itu semua adalah hal yang pernah diberitahukan padaku.

“Myne memiliki lebih banyak mana daripada yang kuperkirakan. Mana ini penting bagi kota, karena saat ini kita mengalami kekurangan. Demi alasan inilah beberapa bangsawan ingin mengendalikannya, dan yang lainnya ingin menghancurkan dia.”

Dia menjelaskan bahwa bangsawan mengincarku demi berbagai alasan. Ibu dan Ayah memucat, dan aku bisa merasakan tangan mereka gemetar di punggungku.

“Skenario terburuknya adalah Myne dibawa pergi dari kota. Karena itulah ada beberapa perubahan aturan bagi para bangsawan yang memasuki kota. Kurasa kau sadar dengan perubahan-perubahan ini, Gunther, sebagai prajurit yang ditugaskan di gerbang.”

Mata Ayah melebar karena percakapan yang tak terduga ini, tapi dia menjaga tatapannya. “...Ya. Ordo Kesatria telah menerapkan aturan-aturan berbeda pada bangsawan yang melintas.”

“Ya, itu dikarenakan kemungkinan besar seorang bangsawan mencoba untuk menculik Myne. Kami belum tahu apakah bangsawan dari duchy ini atau yang lain yang akan bergerak lebih dulu; adalah hal penting untuk memobilisasi Ordo Kesatria dan meminta archduke untuk membatasi masuknya para bangsawan ke kota ini.”

Kelihatannya Karstedt dan Kepala Pastor telah bekerja di balik layar tanpa kusadari.

“Semua perubahan itu dibuat hanya untuk Myne?” Ayah bertanya dengan sangsi.

“Ada beberapa alasan lainnya, tapi yang bisa kukatakan di sini adalah melindungi Myne adalah salah satu alasannya. Aku tidak ada niatan untuk memberitahu lebih banyak lagi mengenai hal ini. Alasan itu saja sudah cukup untukmu, menurutku.”

Ayah mengangguk, sedikit merasa lega.

“Para bangsawan yang dipercayakan tanah akan kembali ke wilayah mereka saat Doa Musim Semi mendekat. Seiring semakin sedikitnya bangsawan yang tetap tinggal di kota, akan lebih mudah untuk mengawasi tindakan-tindakan mereka. Aku meminta kalian untuk bertahan tinggal terpisah sampai saat itu. Ini semua untuk melindungi Myne.”

Kata-kata Kepala Pastor mengandung kekuatan ketulusan yang hening bagi mereka. Bisa dibilang dia sudah terbiasa untuk memimpin orang-orang. Dia bagaimanapun dulunya pernah memimpin seluruh Ordo Kesatria.

Insting prajurit Ayah sepertinya menyadari hal ini saat dia memberikan salam hormat. “Terima kasih atas pertimbangan khusus Anda. Tapi kenapa Anda sampai melakukan sejauh itu demi Myne…?”

“Bukankah aku sudah mengatakan bahwa mananya berharga? Dia harus dijaga baik-baik. Meskipun demikian tindakan-tindakan merepotkan ini tidak akan diperlukan jika saja dia mau diadopsi,” kata Kepala Pastor dengan helaan napas berlebihan.

“Adopsi?!” seru Ayah, matanya membelalak terbuka lebar. Ibuku meremas tanganku lebih erat.

“Gunther, apa pendapatmu bila Myne diadopsi oleh bangsawan sesegera mungkin?”

Aku bisa mendengar Ayah menggertakkan giginya. Ibu meremas tanganku sampai rasanya sakit, seakan-akan dia tidak akan pernah melepaskannya lagi. Meski mereka bungkam, tapi jawabannya sudah jelas.

“Baik orang tua maupun puterinya pun sama, kurasa…” Kepala Pastor mengetukkan satu jari ke pelipisnya, bergumam “Kupikir dia akan menyerah jika kedua orang tuanya setuju,” kemudian menatap kami.

“Myne pun mengatakan bahwa dia tidak ingin meninggalkan keluarganya demi alasan apapun, jadi aku setuju untuk menunda masalah ini sampai dia berumur sepuluh tahun. Tapi dia memiliki lebih banyak mana daripada semua rakyat jelata dengan Kondisi Pelahap manapun. Dia akan diadopsi oleh seorang bangsawan saat dia berusia sepuluh tahun. Ini tidak bisa ditawar lagi.”

“Apa...?!”

Orang tuaku membeku seakan-akan mereka disambar petir. Pendapat mereka tidaklah penting, dan mereka diberitahu bahwa adopsi akan dilakukan tidak peduli apa yang mereka pikirkan. Kelihatannya mereka tidak tahu harus bereaksi apa terhadap Kepala Pastor, yang jelas-jelas berusaha melindungiku, tapi kemudian merampasku dari mereka.

“Orang yang tidak tahu bagaimana caranya mengendalikan mana mereka tidak lain adalah sebuah bahaya bagi diri mereka sendiri dan orang-orang di sekeliling mereka. Jika archduke menentukan bahwa dia adalah sebuah ancaman bagi kedamaian kota, dia akan dieksekusi.”

“Dieksekusi?!”

“Adalah hal yang diperlukan bagi seorang pelindung kota untuk menyingkirkan hal-hal yang berbahaya. Sebagai seorang prajurit, kurasa kau juga memahami hal ini.”

Ayah, tidak dapat membayangkan bahwa puterinya seberbahaya itu, menatapku dengan ekspresi kebingungan, sementara Ibu mengerutkan alisnya dengan cemas dan terkejut. Kepala Pastor, memandangi mereka berdua dengan ekspresi yang menjaga emosinya benar-benar tersembunyi, melanjutkan penjelasannya datarnya mengenai situasi tersebut.

“Dia harus belajar untuk mengendalikan mananya agar tidak dieksekusi. Oleh karena itulah dia diadopsi. Dia bisa tinggal bersama kalian sampai dia berusia sepuluh tahun dan pergi ke Akademi Kerajaan. Akan tetapi, saat waktu itu tiba, tidak akan ada keringanan yang diberikan. Dia akan diadopsi atau dieksekusi. Pilihannya ada pada kalian.”

“Sepuluh tahun…” Ayah menggumamkan batas waktu itu dengan rasa tidak percaya, karena itu memberi kami waktu untuk bersama-sama paling banyak dua tahun.

Kepala Pastor menghela napas perlahan. “Dia akan diadopsi oleh seorang bangsawan berkarakter baik, seseorang yang mendapat kepercayaan dan dukunganku secara penuh. Dia tidak akan diperlakukan dengan buruk. Aku bisa menjanjikan hal itu.”

Begitu dia berkata demikian, ibuku langsung mengangkat kepalanya. Dia menatap langsung mata Kepala Pastor dan mengangguk.

“Baiklah. Saya akan mempercayakan Myne pada Anda.”


“Effa?!” Ayah berseru terkejut, tapi Ibu mengabaikannya. Dia menatap lekat-lekat Kepala Pastor.

“Saat saya mengetahui bahwa Myne akan tinggal di biara selama musim dingin, saya pikir kesehatannya yang buruk akan tidak dapat menahannya. Tapi Tuuli memberitahu saya bahwa Myne baik-baik saja di sini berkat semua orang yang mendukungya. Saya yakin itu semua berkat usaha Anda, Kepala Pastor.”

Ibu, karena kehamilannya, hanya bisa mendengar tentang kehidupanku di biara lewat Ayah dan Tuuli. Tapi dia tahu bahwa aku selamat melewati musim dingin tanpa dirawat di tempat tidur sepanjang waktu berkat semua orang yang membantu mengurusku.

“Effa, kau… Aku mengerti, tapi adopsi—”

Ayah mulai memprotes, tapi Ibu mengangkat sebelah tangan untuk mendiamkannya. Dia sekilas menurunkan pandangan, kemudian perlahan menggeleng kepala.

“Tidak, Gunther. Pikirkan ini. Ada banyak anak-anak yang mulai tinggal jauh dari rumah sebagai leher begitu mereka berusia sepuluh tahun, ingat? Aku tidak ingin Myne dieksekusi karena dianggap terlalu berbahaya. Dia akan lebih berada dalam bahaya jika seorang bangsawan yang tidak mengenalnya dengan baik menculiknya. Kepala Pastor telah memperlakukannya dengan sangat baik. Kalau kita harus merelakannya pergi, aku setidaknya ingin seseorang yang bisa kupercaya.” Ibu menoleh pada Kepala Pastor dan menyilangkan lengan di depan dada. “Kepala Pastor, tolong rawat baik-baik Myne untuk kami.”

Kata-kata Ibu membuat Ayah menyerah. Dia merosot sedih, kemudian memberi salam penghormatan dengan menepukkan tangan kanannya dua kali di sisi kiri dadanya. Orang tuaku secara resmi setuju agar aku diadopsi ketika aku berusia sepuluh tahun.

“Aku sekarang benar-benar tidak ingin jadi berumur sepuluh tahun…”

Aku tahu mereka melakukan ini demi diriku, tapi kesedihan yang tak terlukiskan tetap saja menusuk hatiku. Aku terus menempel pada Ibu untuk waktu yang lama, berharap untuk menyingkirkan meski sedikit rasa sedih dan kesepian yang mencengkeramku