Upacara Jelang Kedewasaan Rosina

(Penerjemah : Hikari)


Musim dingin mendekati pertengahannya, dan aku sedang berjalan kembali ke kamarku setelah menyelesaikan Ritual Dedikasi untuk hari ini.

“Suster Myne, apa yang akan kita lakukan untuk upacara jelang kedewasaan?” Fran tiba-tiba bertanya. Aku mengerjapkan mata dengan kaget, tidak begitu yakin dengan yang dia maksudkan.

“Upacara jelang kedewasaan? Tapi aku baru saja belum lama ini dibaptis.”

“Bukan untuk Anda, Suster Myne. Upacara untuk Rosina.” Fran, dengan sebelah tangan menutupi mulut untuk menahan tawa, menjelaskan maksudnya. Itu juga mengejutkanku; mulutku membuka dan mataku melebar.

“...Upacara… kedewasaan Rosina?”

“Ya. Rosina akan memasuki usia dewasa saat akhir musim dingin ini.”

“A-Aku tidak tahu…” Aku tidak bisa menyembunyikan kekecewaan terhadap diriku sendiri karena menjadi seorang tuan yang buruk yang bahkan tidak mengetahui fakta mendasar semacam itu tentang para pelayanku.

“Biarawan abu-abu diberikan pakaian untuk dikenakan oleh katedral saat memasuki usia dewasa. Semua magang dalam panti asuhan mendapatkannya, tapi bukanlah hal yang tidak biasa bagi para pelayan yang melayani seorang jubah biru untuk diberi hadiah oleh tuan mereka.”

Fran menjelaskan bagaimana proses upacara kedewasaan dilakukan di panti asuhan. Mereka yang memasuki usia dewasa akan mandi pagi-pagi sekali, mengenakan baju baru yang diberikan, dan kemudian akhirnya memanjatkan doa dan rasa syukur mereka di kapel. Ini semua dilakukan sebelum upacara jelang kedewasaan kota bawah dilakukan di bel ketiga. Dengan kata lain, upacara pembaptisan dan jelang kedewasaan bagi mereka yang berada di panti asuhan telah diselesaikan ketika aku masih di kamar berlatih harspiel.

“A-aku tidak pernah mengucapkan satu kata selamat pun pada anak-anak di panti asuhan…”

Apakah itu benar-benar bisa diterima bagi seorang direktur panti asuhan? Aku cukup sibuk sejak datang ke katedral, tapi aku merasa itu adalah alasan yang buruk. Aku memucat seakan darah terkuras dari wajahku, yang membuatku mendapat tawa terkekeh dari Fran.

“Sebagai seorang magang, Anda pada dasarnya tidak boleh berpartisipasi dalam upacara-upacara katedral. Bukan salah Anda bila Anda tidak menyadari hal ini. Anda terbaring di tempat tidur saat upacara jelang kedewasaan musim panas dan upacara pembaptisan musim gugur, dan kami semua sibuk dengan persiapan musim dingin saat upacara jelang kedewasaan musim gugur. Terlebih lagi, akan muncul ketidaksetaraan jika Anda mengadakan perayaan bagi beberapa orang padahal yang lainnya tidak mendapatkan perayaan yang serupa.”

Segala sesuatu di panti asuhan pada dasarnya dibuat setara mungkin, jadi Fran sering memperingatkan menolak segala hal yang mungkin menimbulkan ketidaksetaraan. Tapi sekalipun aku tidak bisa memberikan hadiah pada anak-anak panti asuhan, setidaknya aku ingin memberikan mereka beberapa kata selamat.

“Suster Myne, tolong jangan berpikir untuk memberikan hadiah pada para anak yatim piatu itu,” Fran kembali menegaskan. “Itu hanya akan menimbulkan masalah dalam jangka panjang.”

Aku bisa memahami alasan perkataannya itu. Aku mungkin saja memilih untuk memberikan hadiah selama masa jabatanku sebagai direktur, tapi tidak ada jaminan penerusku akan melakukannya. Dan sekarang dengan sudah ditetapkannya aku untuk pergi ke Akademi Kerajaan saat berusia sepuluh tahun, aku tidak akan tetap tinggal di sini sebagai direktur panti asuhan untuk waktu yang sangat lama. Fran ingin aku memikirkan dampak jangka panjang dari tindakan-tindakanku.

“Saya ingin menegaskan bahwa saya memberitahu tentang para biarawan jubah biru yang memberikan hadiah pada para pelayannya karena Anda adalah jenis orang yang biasanya akan memberikan hadiah para para pelayannya tanpa diminta, Suster Myne. Itu bukanlah sesuatu yang seharusnya dilakukan.”

Aku sendiri tidak menyadarinya, tapi kelihatannya Fran sampai repot-repot menginformasikan upacara jelang kedewasaan Rosina karena dia beranggapan aku akan ingin memberikannya hadiah. Dan dia memang benar. Aku bahkan tidak tahu di musim apa pelayan-pelayanku dilahirkan. Aku tahu Rosina sudah mendekati usia dewasa, tapi aku tidak tahu kapan upacaranya.

“Terima kasih telah memberitahuku, Fran. Aku akan memikirkan apa yang akan kuberikan pada Rosina. Tapi pertama-tama… bisakah aku menanyakan apa yang Kepala Biara berikan padamu setelah upacara jelang kedewasaan?”

“Sebuah pena dan tinta. Saya menggunakan pena itu hingga hari ini. Saya ingat betapa senangnya saya, karena saya merasa dia menerima saya sebagai seorang dewasa.” Fran tersenyum lebar hangat saat bicara. Aku bisa menduga dia memberitahuku tentang upacara jelang kedewasaan Rosina secara khusus karena upacaranya sendiri adalah sebuah kenangan menyenangkan baginya.

Sebagai tuannya, aku harus memikirkan hadiah apa yang akan membuat Rosina senang. Tapi aku sering keliru menebak apa yang orang sukai, jadi adalah hal yang benar-benar esensial agar aku menyelidiki hadiah seperti apa yang normal untuk upacara jelang kedewasaan. Pertama, aku akan menanyai orang-orang yang dekat denganku apa yang mereka tahu. Lutz sudah jelas jadi orang yang pertama untuk memulai, tapi aku tidak akan bisa bertemu dengannya sampai badai saljunya berhenti. Dan satu-satunya orang yang dekat denganku di katedral, selain para pelayanku, adalah Kepala Biara. Yang artinya adalah...


“Kepala Biara, salah satu pelayanku akan memasuki usia dewasa. Hadiah apa yang normalnya akan kuberikan padanya?” tanyaku begitu kami menyelesaikan pekerjaan kami untuk hari ini. Dia melihatku dengan mata sedikit melebar, menggumamkan komentar yang cukup tidak sopan “Itu adalah pertanyaan masuk akal yang langka darimu,” kemudian berdeham.

“Hadiah terbaik adalah yang si penerimanya akan gunakan untuk waktu yang lama, karena ini adalah upacara untuk merayakan kedewasaan mereka. Hadiah yang standar, dengan demikian, adalah yang akan mereka gunakan saat bekerja. Aku memberikan setiap pelayanku sebuah pena dan tinta.”

“Sesuatu yang Rosina akan sering gunakan dan untuk bekerja… Yah, berarti hanya ada instrumen musik,” pikirku sambil mengucapkannya, membuatku mendapatkan pandangan dingin dari Kepala Biara.

“Bodoh. Siapa yang pernah memberikan sebuah instrumen musik mahal pada pelayannya saat dirinya sendiri bahkan tidak memilikinya? Belilah satu untuk dirimu sendiri sebelum berpikir menghadiahkannya pada salah satu pelayanmu,” katanya dengan sedikit rasa kesal. Itu menandakan waktunya untuk mengalah.

“Kau benar. Terima kasih untuk pendapatmu. Aku akan mencoba memikirkan sesuatu yang lain.”


Beberapa hari setelah Kepala Biara menguliahiku, badai salju akhirnya mereda. Tuuli, Lutz, dan Benno datang ke kamarku bersama-sama.

“Apa kau baik-baik saja, Myne?” tanya Tuuli.

“Tuuli, Lutz! Oh, dan Benno.”

“Aku akan pergi untuk belajar di panti asuhan, tapi mereka berdua ini ingin mengatakan sesuatu.” 

Tuuli pergi setelah menyapaku, tapi Lutz dan Benno masuk ke dalam kamarku. Benno menegakkan tubuh begitu dia menyadari Damuel ada di dalam.

“Suster Myne, saya dengan rendah hati meminta agar Anda mengizinkan seorang leherl untuk dilatih sebagai pelayan meja di bawah pengawasan Anda.”

Benno ingin aku melatih seorang leherl bernama Leon di kamarku. Aku melirik Fran, yang kemungkinan besar akan melatihnya.

“Fran, menurutmu apa bisa diterima jika aku menyetujui hal ini?”

“Mengingat saya akhir-akhir ini dapat mempercayakan pekerjaan pada Rosina dan Wilma, saya memiliki waktu untuk mengajarkan secara spesifik tentang seni menunggu saat waktu makan siang,” balasnya. Aku menyadari ekspresinya jadi sedikit lebih kaku daripada biasanya, dan mengingat hal itu saat kembali menatap Benno.

“Baiklah. Benno, kami akan mengajarinya hanya bagaimana caranya menjadi seorang pelayan meja, jadi silakan pastikan untuk untuk mengirim seseorang yang telah dilatih secara penuh.”

“Dilatih secara penuh?” Benno memberiku pandangan penasaran. Para karyawannya telah dilatih secara menyeluruh sehingga mereka telah dipersiapkan untuk menangani pelanggan kaya—Lutz dan aku telah mempelajarinya dengan baik ketika mengunjungi tokonya. Kami diperlakukan sebagai seorang tamu kehormatan sembari diantar ke kantornya, dan karena Benno menghargai bisnis kami, tidak ada satu pun yang memperlakukan kami dengan tidak sopan. Jadi masuk akal bahwa Benno akan menganggap semua karyawannya cukup terlatih dengan baik untuk belajar di sini.

“Fran akan mengajari karyawanmu, tapi dia adalah seorang biarawan abu-abu dan seorang yatim piatu. Kami dengan tegas menolak untuk berurusan dengan siapa pun yang tidak terlatih untuk mencemooh atau memandang rendah dia.”

Aku sudah mendengar dari Fran bahwa walaupun semua karyawan Benno bersikap sopan terhadap pelanggan, hanya sekitar setengah dari mereka yang sopan pada pelayan. Ada beberapa dari mereka di toko yang menatap Fran dengan cara yang tidak menyenangkan sementara dia menungguku selesai berbicara dengan Benno di kantornya.

“Oh, jadi yang Anda maksudkan adalah ada individu tidak terlatih semacam itu di toko saya. Maafkan saya, sepertinya pelatihan saya tidak cukup. Jika Leon ternyata adalah salah satu dari individu tidak terlatih semacam itu, silakan langsung informasikan pada saya sehingga saya dapat segera membatalkan kontraknya sebagai leherl.”

“Fran, apa kau ada ada permintaan lain, atau cukup itu saja?”

“Ya… Saya tidak keberatan mengajari Leon untuk menjadi seorang pelayan meja, tapi kami tidak akan menyediakan makanan untuknya. Makanan di sini dibuat untuk Suster Myne.”

“Jangan khawatir, aku akan menutupi biaya makannya sama seperti yang kulakukan untuk Lutz.”

Benno dan Fran mulai mendiskusikan detail perjanjiannya, jadi aku memberi tanda pada Lutz untuk mendekat dan mulai berbisik.

“Lutz, ada yang mau kubicarakan.”

“Apa? Apa kau ada rencana gila lainnya?” Sebuah jejak kewaspadaan muncul di wajah Lutz, dan baik Fran maupun Benno menghentikan diskusi mereka untuk melihat ke arah kami begitu mendengarnya.

“Rencana gila? Itu keterlaluan, Lutz. Aku sedang membicarakan tentang upacara jelang kedewasaan Rosina. Apa kau tahu hadiah macam apa yang biasanya diberikan setelah upacara seperti itu? Zasha pastinya masuk usia dewasa tidak lama lagi.”

“Orang tuaku mungkin akan memberinya peralatan untuk bekerja. Yang mereka berikan setelah pembaptisannya adalah peralatan kecil untuk anak-anak.”

Peralatan yang diberikan kepada anak-anak setelah pembaptisan mereka umumnya lebih ringan sehingga mereka bisa membawanya, atau lebih kecil.Tapi hal itu menyulitkan untuk terus memakainya karena anak-anak tumbuh semakin besar. Beberapa membeli yang baru sebelum dewasa dan yang lain menerima peralatan lebih besar yang bekas, tapi meski begitu, mereka diberikan peralatan kerja yang baru saat mereka memasuki usia dewasa.

“Peralatan untuk para perajin. Oke… Benno, hadiah apa yang biasanya para pedagang berikan setelah upacara kedewasaan?”

“Aku memberikan aksesoris pada keluargaku dan pakaian untuk para leherl. Keduanya diperlukan agar bisa pantas dilihat saat bertemu para bangsawan.

“Kau tidak memberi apapun pada lehange?”

“Tidak.”

Leherl adalah hal yang penting bagi masa depan toko dan akan dibawa dalam pertemuan-pertemuan begitu mereka masuk usia dewasa, tapi kebanyakan lehange akan pergi begitu kontraknya habis, jadi tidak perlu memberikan mereka hadiah perayaan.

“Aksesoris dan baju tidak masalah, tapi… kurasa Rosina tidak akan begitu memakai keduanya.”

“Tapi dia akan mulai menggelung seluruh rambutnya, ‘kan? Mungkin memberinya sisir atau pita atau semacamnya,” usul Lutz.

Mungkin tusuk rambut berhias yang cantik akan jadi hadiah yang bagus untuknya. Aku menulis hal itu di papan diptych-ku.

“Kalau kau perlu tusuk rambut sebagai hadiah, silakan saja memesannya lewat Lutz.”

“Terima kasih untuk sarannya.”

Benno kembali ke tokonya setelah menyelesaikan diskusinya dengan Fran. Aku menemani Lutz ke panti asuhan, Fran dan Damuel ikut serta, sehingga aku bisa pergi menemui Tuuli.

“Tuuli bekerja keras,” Lutz mengamati. “Myne, kau sebaiknya menuliskan satu surat padanya dengan kata-kata yang gampang.”

“Baiklah, kurasa akan kulakukan. Makasih.”

Kelihatannya Lutz telah sesekali mengajari Tuuli. Dia bilang dia hanya melakukan apa yang telah kulakukan untuknya tahun lalu, tapi berkat hal itu Tuuli dapat bertahan tidak ketinggalan jauh dari anak-anak panti asuhan.

“Sekarang, silakan coba menyelesaikan soal ini.”

Sekolah katedral hari ini membahas matematika. Aku mendekati Wilma, menyaksikan Tuuli memelototi kalkulatornya dari sudut penglihatanku. Wilma dan Rosian sama-sama melayani di bawah tuan yang sama; mungkin aku bisa mempelajari sesuatu dari apa yang Wilma dapatkan ketika masuk usia dewasa.

“Oh ya, itu mengingatkan saya—Rosina menjadi dewasa musim dingin ini,” kata Wilma.

“Itu benar. Meski aku tidak yakin apa yang sebaiknya kuberikan padanya. Bisakah aku menanyakan apa yang Suster Christine berikan padamu saat kau memasuki kedewasaan, Wilma?”

Seulas senyum rumit muncul di wajah Wilma.

“Saya memasuki usia dewasa setelah Suster Christine meninggalkan katedral, sehingga saya tidak diberikan apapun secara khusus.”

“...Apa? Kalau begitu, aku harus memberikanmu hadiah juga.”

Tidak pernah terlintas di pikiranku bahwa Wilma mungkin tidak pernah diberikan apapun, jadi aku buru-buru mengusulkan untuk membelikannya sesuatu juga. Tapi dia hanya terkekeh, bibirnya menyunggingkan seulas senyum menawan.

“Suster Myne, jika Anda merasa khawatir tentang hal itu, Anda akan perlu memberikan hadiah pada hampir semua pelayan Anda.” Delia dan Gil tidak menerima apapun untuk upacara pembaptisan mereka juga, dia menjelaskan. “Dan apakah tidak akan mengurangi perayaan Rosina jika Anda juga memberikan hadiah pada saya, Gil, dan Delia? Belum lagi Fran mungkin akan merasa tersisih karena hanya dia yang tidak mendapatkan apapun.”

“Mmm…” Yang kuinginkan hanyalah agar semua orang senang, tapi sulit sekali untuk membuatnya terjadi.

Wilma, mengulas senyum damainya yang biasa, mencondongkan tubuh ke depan saat aku sibuk berpikir. “Kami para pelayan merasa senang diberikan hadiah apapun dari tuan kami. Selain itu, apapun yang Rosina inginkan sudah jelas berhubungan dengan musik… Mungkin dia akan menghargai beberapa partitur lagu yang baru?”

“Partitur lagu baru! Sepertinya itu hadiah yang tepat.”

“...Walaupun itu sebaiknya musik yang cukup langka yang sampai-sampai tidak ada di koleksi lagu Suster Christine.”

Yah, anggap saja itu akan mudah bagiku untuk menemukan lagu baru untuknya….


Keesokan harinya, aku mengunjungi Kepala Biara.

“Kepala Biara, aku sudah memutuskan memberi Rosina partitur lagu baru untuk upacara kedewasaannya. Tolong ajari aku bagaimana caranya menulis partitur musik.”

“Lagu apa yang bahkan kau berniat tuliskan?”

“Yang kuingat, tentunya.”

Kalau aku akan luar biasa kesulitan menemukan musik di sini yang tidak dimiliki Suster Christine yang pecinta-seni, maka yang harus kulakukan adalah menuliskan lagu-lagu yang kuingat dari Bumi. Itu tidak akan terlalu sulit selama aku tahu bagaimana caranya menulis partitur musik. Sudah pasti.

“Yang kau ingat dari mimpi-mimpimu, maksudmu?”

“Ya. Aku tidak bisa memikirkan lagu lain apapun yang Rosina belum ketahui.”

“Fran, bawakan aku harspiel dari kamarnya.”

“Saya mengerti,” balas Fran.

Sementara Fran mengambil instrumen musikku, Kepala Biara mengajariku bagaimana caranya menulis partitur musik. Sudah pasti, ini sangat berbeda dengan partitur musik yang kuingat. Tangga nada yang bisa kutuliskan dengan partitur musik ini telah diberikan padaku sebagai referensi, tapi aku sama sekali tidak tahu tentang notasi dan aturan penulisannya.

“Saya sudah kembali.”

“Terima kasih, Fran.” Aku memetik harspiel kecil yang Fran bawakan untukku sambil menelusuri ingatanku tentang musik.

“Oh? Bukan ini… Mungkin ini? Oh, benar, benar. Seperti ini caranya…. Hmhmhmmm….” Begitu aku telah mengerjakan perkiraan lagunya, aku menuliskannya di sebuah kertas dan meminta Kepala Biara untuk memeriksanya untukku.

“Kepala Biara, apakah aku sudah menuliskan ini dengan benar?”

“...Sudah cukup. Berikan aku harspiel itu.”

Di saat perkiraan kelima, Kepala Biara kehilangan kesabarannya dan mengambil instrumen tersebut dari tanganku. Dia memposisikan harspiel kecil untuk anak-anak itu dan memelototiku.

“Kau, bernyanyilah. Aku akan mengerjakan notasinya. Akan lebih cepat bagiku untuk menuliskan musik ini daripada kau mempelajarinya sendiri.”

Didorong oleh tatapan tajamnya, aku mulai menyenandungkan lagunya. Aku melanjutkannya sampai Kepala Biara mengangkat sebelah tangan, memberi sinyal agar aku berhenti. Aku  melakukannya, dan dia mulai memainkan dengan harspiel semua bagian yang baru saja kusenandungkan itu. Rahangku perlahan merosot terbuka saat dia menyesuaikan notasinya, menyusun lagu itu menjadi sesuatu yang sesuai untuk dimainkan di harspiel, kemudian menuliskannya semua itu di kertas partitur.

...Apa ada yang tidak bisa Kepala Biara lakukan?

Dia tidak hanya memahami sepenuhnya lagu yang kusenandungkan, dia bahkan menyusunnya di harspiel dan mencatatkannya di kertas dalam sekejap mata.

“Myne, apa kau tahu lagu lainnya?”

“...Tidak ada banyak lagu yang bisa kumainkan dari ingatanku, tapi jika kau hanya perlu aku menyenandungkannya saja, aku tahu lebih banyak.”

Jawabanku mendapatkan sebuah anggukan puas dari Kepala Biara. “Kalau begitu, bersenandunglah.”

“Apa?”

“Aku baru saja berpikir bahwa aku ingin beberapa musik baru untukku sendiri. Ya, malahan kurasa aku ingin tiga lagu lagi.”

Dia berusaha keras menyusun lagu-lagu itu dan menuliskannya untukku, jadi aku tidak keberatan menyenandungkan tiga lagu lagi untuknya. Aku melanjutkan dan bahkan mengambil kesempatan ini untuk menyelipkan beberapa lagu anime. Cukup menyenangkan menyaksikan Kepala Biara memainkan musik anime untuk mengetes notasi dan menyusun lagu itu.


“Kau boleh menyalin ini dan memberikannya padanya.”

“Aku merasa sangat berterima kasih.”

“Aku menaruh partitur musik tulisan tangan Kepala Biara ke laciku dan diam-diam menyalinnya kapan pun kulihat Rosina dan Fran sibuk dengan dokumen-dokumen mereka. Begitu aku selesai menyalin keempat lagu itu, aku meminta Lutz membuat lubang di pinggirnya dan mengikatnya menjadi satu dengan benang agar mudah.

“Sudah selesai!”


Dan begitulah, upacara jelang kedewasaan diadakan di Hari Tanah terakhir musim dingin. Delia dan Gil bekerja keras menimba air pagi-pagi sekali, untuk Rosina gunakan saat mandi. Setelah selesai, dia mengenakan jubah biarawati abu-abu baru yang disediakan untuknya dari katedral. Rok yang tadinya cukup pendek untuk menunjukkan betisnya, sekarang lebih panjang sampai menutupi sepatu, dan ditambah lagi dia sekarang menggelung semua rambutnya di belakang kepala.

“Aku merasa sia-sia sekali kau harus menggelung seluruh rambut cantikmu itu, Rosina.” Aku merasa sedikit sedih memikirkan bagaimana aku tidak akan lagi bisa melihat rambut coklat indah bergelombang Rosina yang tergerai di belakangnya. Delia, di sisi lain, memperhatikan rambut Rosina dengan iri. 

“Itu tidak sia-sia! Kuharap aku bisa menggelung rambutku saat ini.”

Wilma selalu menggelung seluruh rambutnya menjadi sebuah sanggul ketat yang biasa-biasa saja, tapi Rosina memutuskan membiarkan gelungan rambutnya agak longgar dan feminin. Rosina sudah terlihat dewasa untuk seumurannya, jadi begitu dia menyanggul seluruh rambutnya, dia terlihat benar-benar seperti seorang wanita dewasa; tengkuk putih rampingnya jadi terlihat sepenuhnya, dan helaian-helaian rambut berkilauan yang menjuntai sedikit itu membuatnya terlihat jadi lebih sensual.

“Kau benar-benar cantik, Rosina.” Aku menghela napas kagum pada penampilan dewasa Rosina. yang membuatnya tersenyum malu.

“Uuuuh!” seru Delia. “Aku bahkan akan lebih cantik lagi saat aku sudah besar.”

“Aku yakin itu. Kau pasti akan cantik juga, Delia.” Aku memberi Delia seulas senyum geli, kemudian memberi selamat pada Rosina dan menyaksikan kepergiannya ke kapel di mana upacara kedewasaan diadakan.

“Sampai nanti, Rosina.”

“Tentu. Sampai nanti, Suster Myne.”

Karena biarawan biru dan abu-abu akan sama-sama sibuk dengan upacara kedewasaan, aku tidak perlu membantu pekerjaan Kepala Biara hari ini. Dan Rosina tidak di sini untuk mengajariku bermain harspiel.

Tidak punya hal untuk dilakukan, aku pergi ke panti asuhan dengan Fran dan Damuel untuk meminta Wilma membuat adonan kue parue. Aku tidak ada niatan untuk mengajari Ella resep ini, tapi aku tahu anak-anak akan tertarik dengan aromanya jika dia memasak ini di bangunan anak perempuan. Karena itulah aku meminta dia untuk datang ke dapurku begitu dia sudah membuat adonannya sehingga kami bisa memasaknya di sini sebagai gantinya.

“Wilma, apa kau bisa datang ke kamarku demi Rosina? Akan ada laki-laki di situ, tapi mereka semua orang-orang yang kau kenal. Kurasa Rosina akan lebih senang kalau kau di sana untuk merayakan bersamanya.”

“...Saya rasa saya bisa datang. Saya sudah semakin terbiasa dengan laki-laki karena bekerja dengan para biarawan abu-abu di aula ruang makan dan ruang kerja, jadi saya yakin saya bisa ikut ambil bagian sebentar dalam perayaan itu.”

Aku mulai kembali ke kamarku dengan Wilma, yang membawa semangkuk adonan kue parue. Fran dan Damuel melihatnya dengan mata melebar, memutuskan untuk berjalan agak menjauh darinya sehingga dia bisa merasa nyaman.


“Saya sudah kembali, Suster Myne.”

“Selamat datang kembali, Rosina. Kami sudah menunggu.”

Rosina kembali ke kamarku sebelum bel ketiga, begitu upacara kedewasaan telah berakhir. Saat dia berjalan ke lantai dua, aku meraih tangannya dan memandunya ke sebuah kursi.

“Suster Myne?”

“Ayo ke sini dan duduklah, Rosina.”

“Tapi saya tidak bisa duduk sementara majikan saya masih berdiri.” Rosina dengan tegas menolak untuk duduk. Aku memandangnya, tidak yakin harus melakukan apa, dan Fran menarik kursiku sambil menghela napas.

“Rosina benar, Suster Myne. Jika Anda ingin dia untuk duduk, Anda sendiri harus duduk lebih dulu.”

Aku dengan patuh duduk di kursiku, dan setelah itu Rosina mengikuti, dengan raut wajah sungkan. Pada saat itulah, aroma manis tercium dari dalam dapur.

“Wilma?!” decit Rosina, matanya melebar terkejut. Wilma menyunggingkan senyuman selamat datang di wajahnya saat dia menghidangkan sepiring kue parue di depannya. Delia di sebelahnya, di sisi lain, terlihat sangat serius saat menuangkan secangkir teh.

“Hari ini kami merayakanmu, Rosina,” kata Wilma. “Atas saran Suster Myne, aku memasak ini untukmu.”

“...Kelihatannya sangat enak.” Rosina menatapi kue parue itu dan dengan hati-hati menuang teh, kemudian kami semua mengelilingi meja, air mata menggenang di matanya yang biru. Aku melihat Fran, yang pergi dan mengambil partitur musik dari mejaku.

“Lagu-lagu ini adalah hadiahku untukmu. Jika kau bersedia, silakan latih dan mainkan ini untukku.”

“...Saya tidak tahu satu pun lagu ini. Bagaimana bisa Anda…? Suster Myne, saya merasa sangat berterima kasih. Anda mengumpulkan semua orang di sini untuk saya, dan… saya… Sa-saya tidak tahu harus berkata apa…” Rosina berseri-seri menyunggingkan senyuman menawan sambil memeluk kumpulan partitur musik di dadanya.

“Selamat atas jelang kedewasaanmu, Rosina. Semoga para dewa memberkatimu dan masa depan yang menunggumu.”