AKAN BAGAIMANA SEMUA ORANG BERTARUNG DENGAN MEMPERTARUHKAN NYAWA MEREKA

Penerjemah: Zerard


“Banyak betul yang harus—di lakukan!” Sang warlock menjerit, terengah-engah seraya dia bergegas melewati hutan, mengangkat rok dari seragamnya. Siapapun yang berpikir seorang pembaca mantra itu tidak berguna, dalam opini dirinya, bukanlah seorang petualang yang sesungguhnya. Mereka tidak mengetahui jasa besar yang telah dia lakukan terhadap mahkota kerajaan, ataupun pencarian dari Grey One, ataupun pembaca mantra seperti Greyhawk.

Kurasa mereka lebih mempunyai kemampuan dengan pedang sih...!

“Um, hei, kamu nak, mundur! Kamu terlalu di depan! Kamu mau mati?!”

“Oh, uh, ma-maaf...!”

Mungkin pemula itu hanya ingin melihat apa yang sekutunya lakukan; apapun itu, mereka terlalu dekat dengan garis depan dan tentunya pantas untuk di tegur.

Pekerjaan pembaca mantra adalah untuk mengamati keseluruhan situasi medan perang, ya, namun itu ada batasannya. Banyak pemula telah berkumpul dalam tugas melindungi Kuil Ibunda Bumi, namun performa kebanyakan dari mereka tidaklah sepadan dengan harga yang diberikan. Bahkan pemandangan banyak bocah yang mundur, dengan cepat membuat sang warlock geram. Itu karena, dia sedang sibuk menjaga medan gaya yang menghalau manticore untuk mendekat. Rasa kesal hanya akan membuatnya hilang konsentrasi, dia tahu itu, namun dia tidak dapat mengenyahkan perasaan itu; dia hanya bisa memendamnya.

“Permisi, tapi aku kira bukannya kamu seharusnya menjaga mereka...!” dia mengeluh kepada rekannya, seorang monk, bahkan seraya wanita itu tampak miris melihat manticore yang menggaruk dinding dengan cakarnya.

“Sungguh,” sang monk membalas, terlihat sedikit terbebani, seperti biasanya, seraya dia mengelus kepala gundulnya. “Aku mencoba untuk menyimpan keajaiban di saat seseorang perlu disembuhkan dari racun, sementara itu, aku akan memberikan P3K di saat aku bisa—jangan salahkan aku kalau satu atau dua bocah lepas dariku.” Sebuah tumpukan perban, petualang yang mengerang bergelimpangan di lantai di sekitar monk. Dia tengah merawat para pemula yang terluka di garis depan. Adalah sebuah alasan yang bagus.

Tetapi itu hanya sebuah alasan. Petualang yang datang ke sebuah pertarungan tanpa membawa potion sendiri itu pantas untuk mati, pikir sang warlock—namun wanita ini tidak mengatakannya. Dia tahu bahwa terdapat beberapa garis yang tidak boleh dilewati. Lagipula buku mantra sangatlah mahal. Jika dia memikirkan masa-masa awal dirinya, dia tahu bahwa dia tidak berhak untuk menilai mereka.

Ini semua gara-gara mereka membocorkan hal ini pada pasar gelap di negara lain walaupun seharusnya itu adalah rahasia militer! Terisi dengan kemurkaan yang dapat dipahami, warlock menggigit jempolnya melihat kampungnya yang jauh di sana.

“Sikapmu tidak kewanitaan sekali.”

“Bacot!” Sang warlock berteriak, hampir histeris. “Apa kamu sudah selesai di sana?!”

“Ribut! Aku lagi bekerja secepat mungkin!” seorang pria pemegang kapak berteriak membalas, membenamkan senjatanya pada undead chimera yang mendekatinya.

Monster itu sudah cukup untuk membuatmu meragukan kewarasan orang-orang yang memimpin Kekacauan. Adalah sebuah makhluk buas dengan beberapa orang mati yang menempel jadi satu, bermacam lengan dan kaki. Makhluk itu merayap maju, mengeluarkan semacam miasma beracun, mengayunkan lengannya liar seraya dia menyerang.

Akan tetapi, pemegang kapak telah berhasil menghindari serangan itu seraya dia bergabung dengan petualang lain untuk melanjutkan pertarungan.

“Wah! Makhluk ini nggak ada berhentinya! Bikin aku merinding!” Suara ini berasal dari seorang pria muda dari kelas warrior yang memegang sebuah pentungan dan pedang, namun celotehannya tidak menghentikan pekerjaan yang dia lakukan. Adalah sebuah gaya tarung yang tidak biasa, namun kegigihannya patut dikagumi. Dia ditemani dengan seorang gadis muda di belakangnya, yang walaupun terlihat jelas gelisah, mengangkat pedang dan timbangannya tinggi dan memilih sasarannya.

“Mau sampai kapan aku harus menjaga medan gaya ini tetap aktif buat kalian menyelesaikan pekerjaan kalian!”

“Nggak tahu!”

Sang warlock menahan teriakan Bego! Pada jawaban pendek itu dan memfokuskan dirinya pada satu mantra: Para monster undead janggal itu tampaknya beracun. Dan kemudian mereka menambahkan manticore di tengah-tengah monster itu. Tentunya beracun juga.

Sebenarnya, adalah tugas oh-wizard-yang-berwawasan-luas yang menyadari bahwa makhluk ini beracun dan memperingatkan yang lain.

Tapi aku dengar kisah para wizard yang nggak akan sadar kalau ada satu macan yang menggigit mereka di lehernya...

Dia kesal pada satu hal, karena mereka harus mulai dengan subyek apa itu manticore. Makhluk ini memiliki kepala pria tua, tubuh singa, ekor kalajengking dan banyak otak—bukankah itu merupakan pengetahuan umum? Dan kemudian, setelah mengetahui bahwa dia beracun, reaksi yang di dapat adalah jangan mencoba untuk melawan dua musuh beracun secara sekaligus dan dia harus mencoba untuk menghadapi salah satu dari mereka.

“Wizard itu lemah,” matamu! Dasar nggak guna—!

Namun satu-satunya balasan dari gerutunya hanyalah sebuah raungan dari manticore.

“Ahem-hem?” Bahkan selain dari gadis harefolk, dengan pipinya yang penuh dengan makan, membuat sang warlock tersinggung. Wanita muda itu—sangat sulit untuk mengetahui apakah dia putih atau coklat—menjentikkan telinganya seolah ada sesuatu yang gatal. “Pria itu di belakang terus dari tadi—apa ada yang terjadi dengannya?”

“Apaaaa?” pemegang kapak, menyela di tengah hantaman kapaknya yang menghabisi beberapa (tidaklah jelas berapa banyak) lengan monster undead. Kemudian dia menopang kapak di pundaknya dan berkata, “Giliranmu!”

“Hah?!” pria muda membalas, namun dia sudah memulai mengambil langkah mundur.

Pemegang kapak bergegas mendatangi petualang yang bersembunyi dalam bayangan. “Dengar, kalian! Apa-apaan sih yang kalian lakukan?! Kami bilang kita butuh masing-masing dari kalian untuk membantu kami menahan makhluk ini!”

“Hrm...” Pria yang diajak bicaranya itu tampak tidak senang, namun kemudian dia tersenyum dengan sebuah, “Ah, cuekin saja aku. Perutku Cuma lagi mengganggu...”

“Perutmu?!”

“Itu tidak baik,” ucap Monk, datang dengan momen yang begitu sempurna seolah dia memang sedang menunggu saat ini. “Mungkin makhluk undead itu sudah menyebarkan racun di sekitar sini. Akan sangat gawat jika racun itu mengenaimu. Setidaknya, itu nggak murah untuk di sembuhkan...”

Pria muda dan gadis yang masih bertahan menjaga garis belakang mereka berteriak.

“Ini nggak bagus!” Harefolk Hunter berteriak, bergegas untuk membantu mereka.

Sebuah quest dari kuil seharusnya adalah pekerjaan mudah, namun jika kamu menjadi sakit dan harus membayar untuk disembuhkan, maka itu akan menjadi percuma. Cukup menghiraukan kalkulasi iti, sang monk dengan senang mengorek kantungnya. “Jangan khawatir, biar aku lihat dulu. Aku bisa memberikanmu harga yang bagus, obat terbaik di saat perut seorang elf sedang sakit adalah...”

“Elf?” pemegang kapak mengulangi. Telinga Panjang dapat terlihat menjentik di depannya. Namun kalung peringkat yang menggantung tertulis manusia.

“Aku ini buta kah sampai nggak menyadari kalau ini palsu?!”

Apakah pria itu menemukannya atau membuatnya, intinya pria itu telah mengambil sebuah quest tingkat rendah. Penipu itu mendecakkan lidahnya dan melompat ke belakang seraya pemegang kapak mendekatinya. “Hrmph! Kalau kebun itu nggak di serang, aku nggak akan repot-repot seperti ini...!” Dia mengelap wajahnya dan menarik sebuah belati, namun sang warlock terlalu sibuk untuk melihat apa yang terjadi. Yang terpenting bagi warlock ada memperhatikan medan perang, menjaga medan gaya, dan melihat mantra apa yang dapat berguna. Makhluk undead itu tidaklah seberapa, namun manticore ini dapat menggunakan sihir, oleh karena itu perlindungan untuk melawan itu sangatlah penting. Dia mulai merapal mantra, memutar otaknya untuk mengingat berapa banyak sihir yang sudah digunakannya hari ini, seberapa banyak lagi sisanya, dan mengingat kata yang tepat supaya dia tidak salah merapalkan mantra yang tidak ada.

Dan di atas semua itu, dia harus memperhatikan semua orang di baris belakang yang baru saja menjadi petualang tahun ini—adalah sesuatu yang sangat merepotkan, namun tidak ada pilihan. Dan juga terdapat mereka yang terluka—apa yang dilakukan monk itu? Apa aku juga bakal di suruh untuk merawat korban?

Dan pemegang kapak, apa yang dia lakukan? Puji tuhan, apakah dia sudah meninggalkan bocah-bocah di barisan depan?

Tebas tebas cipratan cipratan. Denging denging. Teriakan teriakan. Jeritan jeritan. Grrahhh!

“Oh, aduuuh! Berisik banget!”

Detik berikutnya, terdengar sebuah Zap! Nyaring dan kepala seorang pria, tertelan oleh kilatan petir, meledak bagaikan buah masak.

“Tonitrus oriens iacta! Bangkit dan jatuh, petir!”

Sebuah petir menyambar secara keji dari ujung jari, menembus kepala pria itu.

Semua orang terdiam pada ledakan cahaya itu, bahkan para monster. Sang warlock meringis melihat petualang di sekitar, pundaknya terangkat seraya dia menarik napas. Dia hampir tidak menyadari mereka yang mengambil satu langkah mundur secara reflek. “Jadi aku nggak begitu mengerti apa yang terjadi, tapi aku langsung saja dan menghabisi dia. Ada yang keberatan?!”

Semua orang menggeleng kepala.

“Kalau begitu kembali ke tempat kalian! Sekarang! Sang warlock berteriak.

Banyak yang harus ku lakukan—yang benar saja!

Tidak ada yang berani membalas seraya warlock kembali menjaga medan gaya.

Tidak ada dari mereka yang tahu, atau dapat mengetahui, bahwa dark elf iti adalah seorang pelari yang ditugaskan untuk melakukan kejahatan terhadap Ibunda Bumi.

*****

“Sepertinya kuil Ibunda Bumi juga sudah dimulai!”

“Yeah?” Heavy Warrior membalas familiar Gadis Druid, memastikan agar dia tidak salah mendengar bahkan seraya dia mengayunkan pedang besarnya.

Er, kurasa dia akan marah kalau aku memanggil ini familiar.

Gadis itu selalu berkata sesuatu tentang bagaimana dia hanya meminta bantuan kepada makhluk hutan, bukan membuat mereka menjadi pelayannya. Heavy Warrior mempertimbangkam masalah ini seraya dia memotong kaki prajurit demon dengan pedangnya. Dia dapat membelah dua atau tiga dari mereka dengan sekali tebas, melenyapkan darah dan daging dari dunia ini kembali ke alam roh.

Mereka mungkin menyebut ini sebagai lesser demon, namun mereka tetaplah monster mengerikan yang patut ditakuti. Dan mereka telah mengepung para petualang yang menjelajahi makam bawah tanah, sepuluh atau dua puluh meter dalamnya. Terlebih lagi, greater demon, kemungkinan adalah pemimpin mereka, dapat terlihat di sini dan di sana. Satu-satunya ketenangan bagi mereka adalah tidak adanya archdemon yang tampak di sekitaran...

“DDAAAEEMOOONNNNN!!”

“Hrrah!!”

Seekor demon berkepala kambing meraung kepada Heavy Warrior, dan pria ini meraung balik, maju perlahan ke depan dan menjaga jaraknya.

Pelayan Kekacauan sialan...

“Kamu segitu ngidamnya mau minum anggur Holy Earth mother kah?!”

Adalah Spearman yang menekan ke depan, menghindari pisau daging yang diayunkan menurun oleh demon berkepala kambing dan Spearman balas dengan tombaknya. Senjata sihir yang dia gunakan menangkis pisau musuh dengan jarak yang sangat tipis, ketajamannya sama sekali tidak berkurang ketika tombak itu menusuk tenggorokan demon.

“DDDEEEEEEEAAAMMMMOOOOONNNN!!!”

Namun salah satu keunggulan makhluk demon adalah daya hidup mereka. Daging di sekitar ujung tombak mulai menggelembung dan membengkak, menutup luka dengan senjata yang masih menancap di dalamnya. Sang demon menggengam batang tombak dengan lengan kuatnya, menarik, mencoba untuk melepaskan ujung tombak, sementara Spearman bertahan dan mencoba untuk mengendalikan senjatanya. Senyuman di wajahnya menunjukkan bahwa kemenangan sudah berada di genggamannya.

“Itu, adalah...persembahan...untuk kesuburan...” Sebuah badai super dimensional menyayat udara. Memegang tongkatnya tinggi dan merajut sebuah mantra adalah partnernya yang berani, Witch. “Jika, sampai, tercemar...maka, tidak akan, ada...buah...hingga, satu, tahun...” Kekuatan sihir berkumpul di dalam makam bawah tanah, awan badai terbentuk di langit-langit. “Caelum...ego...offero! Saya persembahkan pada surga!”

Dalam sekejap, sebuah badai salju terbentuk, lengkap dengan hujan es dan kabut. Dalam sekejap, sang demon tertutupi dengan es, menjadi putih membeku, terhantam oleh bongkahan es.

“Sadis, wanita yang mengerikan,” Spearman bergumam pada dirinya sendiri, dan Heavy Warrior menyetujui. Namun walaupun begitu...

Semuanya berjalan maju mundur saja di sini.

Mereka telah berhasil menerobos persembunyian sekte jahat yang berupaya untuk menodai anggur persembahan untuk Ibunda Bumi, namun ini adalah yang mereka temukan: sebuah parade demon yang tak terbatas. Terlebih lagi mereka tersebar di segala arah, tanpa adanya tanda mereka akan dapat mencapai ruangan terdalam di waktu dekat ini.

Walaupun nona archbishop berkata bahwa itu tidak masalah baginya.

“Hei, bagaimana kelihatannya di sana?”

“Sulit,” Half Elf Light Warrior membalas malas. Dia dan Bocah Scout tengah sibuk berusaha mengalihkan demon lainnya.

Ya, itu benar: dia tidaklah sendiri di sini. Dia tidak dapat bersantai, tidak dapat meremehkan musuh, namun tidak ada yang perlu diributkan. Lihatlah ke sana: sebuah party yang terkenal karena membasmi demon sedang berupaya sebaik mungkin. Seorang pengguna sihir gemuk tengah menembakkan Magic Missiles, seorang petarung wanita dan paladin tengah mengayunkan pedangnya sebaik mungkin, dan bahkan sang healer tengah menembakkan roket bertabung.

“DDAAEEMMONNN...!”

Sayangnya, tidak ada serangan kritikal.

Sang greater demon yang menyerang para petualang memang sungguh aneh. (Yah, semua demon memang aneh.) Demon itu tampak seperti female warrior yang cukup cantik, berkulit biru dan memegang lembing. Tubuhnya yang terbentuk menawan tertutupi dengan armor yang cukup untuk menjaga kehormatannya, namun menunjukkan cukup banyak bagian kulit yang membuatnya sangat provokatif.

Namun itu hanyalah setengah dari apa yang dapat dikatakan tentang wanita ini.

“DDDDDEEEMMMMMOOOONNDD...!”

Karena di balik tubuh bagian bawah demon wanita yang begitu menggiurkan, mempesona ini adalah tubuh seekor laba-laba. Bagian bawah dari tubuhnya dipenuhi dengan kaki yang menggeliat dan tertutupi dengan rambut-rambut tipis, di iringi dengan duri-duri beracun. Secara keseluruhan, butuh dua orang manusia untuk dapat menghitung jumlahnya—enam kaki yang dia miliki—dan dua lengan—enam bagian tubuh secara keseluruhan.

Sungguh, dia adalah pemandangan yang akan membuat seseorang meragukan kewarasannya. Dan tampaknya dia adalah pemimpin dari tempat kematian ini.

“Baiklah, yang ini milikku!” Knight Wanita berteriak seraya dia berlari maju. Dia menggunakan full armor, helm daan segalanya.

Demon serangga itu tertawa ketika dia melihat wanita ini, kemudian dia mencondong ke depan menggunakan semua kakinya bersiap untuk menyerang.

“Jangan sampai lengah, ya?”

“Ayolah, aku tahu apa yang ku lakukan. Ini waktunya buatku untuk membangun legendaku dan akhirnya mendapatkan gelar palladin itu...”

Tampaknya kehadiran seorang paladin di dalam party pembasmi demon telah menggelitik harga dirinya. Knight Wanita menghiraukan wajah lelah Heavy Warrior seraya dia membuang perisainya ke samping dan menggenggam pedang dengan kedua tangan.

“Serang aku!” dia berteriak dan monster itu melaju mengarahnya, enam kakinya bergerak serentak.

Seorang knight yang menjadi satu dengan tunggangannya tidak akan dapat menyamai kecepatan dan kemampuan dari demon laba-laba. Namun tentu saja: dia adalah tunggangannya, dan lembing demon itu tertuju kepada Knight Wanita dengan kecepatan tinggi.

Benturan dahsyat, di iringi dengan berat dari demon, bahkan dapat menumbangkan makhluk raksasa yang konon hidup di selatan. Jika petualang biasa terkena, mereka akan beruntung jika masih ada yang tersisa dari tubuh mereka untuk di kubur.

Namun ketika knight saling berpapasan, Knight Wanita menunduk, hampir terlipat menjadi dua. Dalam satu gerakan mulus, dia mengangkat pedangnya ke atas untuk menyambut ujung tombak. Terdengar wuuus, atau setidaknya seperti itu kedengarannya. Sepatu baja Knight Wanita mengeluarkan asap seraya dia tergeser di tanah. Sang demon, yang menghancurkan lantai makam dalam penyerangannya, telah kehilangan setengah bagian atasnya yang masih menggenggam tombak (terbelah menjadi dua dalam sayatan diagonal), terlontar ke udara, sebuah senyum kemenangan masih berada di wajahnya.

Darah berwarna air keruh menghujani mereka, dan helm Knight Wanita terlepas. Heavy Warrior menyadari bahwa wanita itu pasti telah memanfaatkan momentum musuhnya untuk menebas musuhnya ketika makhluk itu datang.

Aku sudah lama mengenalnya dan aku nggak pernah lihat dia melakukan hal seperti ini...

Heavy Warrior akan menanyakannya nanti, lebih dari satu kali, namun Knight Wanita hanya menyengir dan berkata bahwa rahasia seorang knight tidak akan dibagikan kepada siapapun. Heavy Warrior sama sekali tidak mengetahui teknik macam apa atau di mana dia mempelajarinya. Walaupun satu kali, di kala wanita itu sangat mabuk, dia akan membocorkan bahwa gerakan itu sangatlah tua, begitu tua sehingga hampir tidak ada seorangpun yang mengingatnya.

“Kamu memetik apa yang kamu tanam,” dia berkata tenang, sebuah tetesan darah membentuk garis di wajahnya, seraya Heavy Warrior membelai rambut wanita itu ke samping. “Tapi, ya tuhan... Orang bodoh macam mana yang terpancing beradu seperti itu?”

“Itu yang barusan kamu lakukan, bego.”

****

“Kamu cukup hebat bisa menahan itu...”

“Yah, aku tahu aku bisa langsung masuk ke sana dan Bam! Aku menang! Heh, menang itu peranku!” Pahlawan berkata kepada Sage seraya dia berlari melintasi dungeon dalam di bukit makam perbatasan seperti kilatan cahaya. Di tangannya adalah pedang suci. Di tubuhnya, armor sihir. Dan dia juga diperkuat dengan berbagai macam sihir pengikat oleh temannya. Mantel berburu hijau dan tombak besi memiliki daya tariknya sendiri, namun ini masihlah tetap pakaian favoritnya.

“Tapi, ya, harus kemana dan bagaimana cara masuk atau semacamnya? Yang kayak gini itu terlalu di sulit buatku.”

Sumpah, ini itu Cuma bawa masalah saja.

Tidak lama sebelumnya, ini hanyalah sekedar mencari Demon Lord atau menguak rencana sekte, kemudian menyerbu persembunyian mereka dan menyelesaikan permasalahan. Namun sekarang semuanya adalah politik dan plot, situasi yang rumit dan canggung. Terkadang dia berpikir betapa enaknya jika hanya sekedar menyerbu masuk tanpa berpikir tentang hal lainnya. Namun rekannya berkata kepadanya bahwa itu tidak boleh. Menghiraukan jalan yang sepantasnya pada dunia adalah sama dengan mengasingkan diri dari dunia itu sendiri, mereka bilang. Jika semua orang begitu menyukaimu, jika mereka begitu mempercayaimu, maka biarkanlah mereka mempercayaimu sesuka mereka. Tidak perlu menyelesaikan setiap masalah yang ada di dunia ini sendirian.

Karena, dunia tidak berputar mengelilingi satu orang. Orang yang kamu kenal, orang yang tidak kamu kenal, orang baik, orang jahat: Semuanya sama-sama berjuang untuk hidup.

Ambilah bukit makam ini sebagai contoh: Bukit ini telah dilaporkan oleh beberapa petualang yang berusaha menyelesaikan perburuan goblin. Dan adalah seseorang lainnya yang berasal dari Guild Petualang yang melaporkannya kepada archbishop. Dan sekarang ini menjadi perburuan besar, yang di mana pedagang telah menyediakan banyak macam perlengkapan.

Sang raja sendiri telah memastikan terdapat uang untuk semua ini—uang yang disediakan oleh pembayar pajak di seluruh negara. Dan jika berurusan dengan pertarungan, adalah petualang lainnya yang membantu untuk menghalau musuh.

Dan sekarang Pahlawan tengzh berlari secepat mungkin melewati jalan yanh di buat oleh seseorang, di suatu tempat, di suatu waktu.

Walaupun dia merasa bahwa ini semua sangatlah merepotkan...

Ini juga membuatku sangat, sangat senang.

“Hee-hee...!”

“Apa yang kamu ketawain?”

“Aw, nggak!” Pahlawan menggeleng kepala. Sword Saint berdiri di depan, melancarkan serangan di setiap kali para demon ada dalam jangkauannya.

Beberapa sekte jahat telah berencana untuk menodai anggur suci Ibunda Bumi. Mereka menciptakan pasukan undead, memanggil iblis, bekerja sama dengan pedagang gelap, dan akhirnya berupaya melakukan ritual jahat di dalam bawah tanah. Dan sekarang Pahlawan mendapatkan kesempatan untuk menghancurkan semuanya.

Jila dia gagal, maka lahan kota perbatasan akan menderita setidaknya selama setahun, mungkin lebih lama. Dia tidak boleh melewatkan kesempatan ini, dan dia tidak berniat melewatkannya. Sang pahlawan tidak dapat dikalahkan. Seperti itulah seharusnya.

“Baiklah!”

“Sage menggunakan mantra untuk membantu mereka bergerak lebih cepat, sedikit terengah-engah seraya dia mengarahkannya. Cara tersederhana adalah menggunakan scroll Gate untuk melompat masuk ke tempat yang mereka tuju, namun sebuah spirit barrier menghalangi dan membuat semua semakin sulit. Sebuah lompatan tanpa pikir panjang adanya pelindung seperti itu dapat membuat mereka kembali ke dunia mereka dalam seratus tahun yang akan datang atau semacamnya—dan dia tidak menginginkan itu.

Pahlawan seharusnya menyelamatkan dunia. Dia bukanlah pahlawan karena dia dapat menyelamatkan dunia; adalah karena mencoba menyelamatkan dunia yang membuat dia menjadi pahlawan.

Kurasa kalau ada seseorang yang bilang, kamu yakin bisa selamatkan dunia ini? Jawaban ku bakal, entahlah!

Apa yang bisa dia lakukan bukan tidak bernilai banyak. Namun dia memiliki teman yang penting baginya, dan terdapat banyak sekali orang di dunia ini. Karena itu dia harus menyelamatkannya, dan dia yakin ini akan berhasil.

“Ada pintu di ujung lorong! Kamu mau aku memotongnya?”

“Ayo kita lakukan ini dengan cara klasik petualang—dobrak!”

“Itu nggak klasik.”

Selanjutnya, tibalah pertarungan besar nan klimatik.

Pahlawan berteriak dan terjun masuk ke tengah gerombolan jahat besar, menyinari kedalaman bumi gelap dengan ledakan matahari.