SEPATAH KATA DARI SPONSOR KITA

(Translator : Zerard)


Manusia adalah gerombolan yang aneh: Di saat sesuatu terjadi, mereka berharap dan menduga semuanya akan berubah.

Anggaplah, seorang manusia menjadi petualang, dan mereka akan dengan segera ingin mengambil quest besar yang akan menentukan takdir dunia. Atau mereka akan belajar pedang dan mengharapakan bahwa keesokan harinya mereka akan menjadi master yang begitu tersohor hingga mencapai alam kematian. Wizard mencari rahasia dunia yang tidak di ketahui manusia, sementara penyair berusaha mempunyai nama keluarga di dalam ibukota...

Itu adalah mimpi yang benar-benar biasa, bukanlah untuk di hina atau di sindir, namun mimpi itu juga tidaklah realistis. Mengapa semuanya harus berubah dengan segera hanya karena sesuatu telah terjadi?

Priestess telah menjadi petualanh selama dua tahun lebih sekarang, dan dia telah memahami dan menerima ini—atau setidaknya itu yang dia kira.

“Haaaa....”

Namun entah mengapa seraya dia pergi dari Guild kenuju Kuil Ibunda Bumi, kemudiam dari sana kembali lagi menuju Guild, melewati kabut pagi, dia hanya dapat menghela di bibirnya. Itu karena, dia mengira bahwa situasinya telah berubah sekarang. Goblin Slayer tengah menangani permasalahan yang ada. Semua orang membantu. Bahkan petualang lain. Akan tetapi sudah beberapa hari sekarang—dan tidak ada yang berubah. Rumor tetap menyebar. Tidak ada yang tampak bergerak.

Dia kembali dari Guild ke Kuil dan kembali lagi hampir setiap hari, dan hari ini langkahnya terasa berat di banding biasanya. Sekali lagi, ini bukanlah karena sesuatu yang spesifik telah terjadi. Hanyalah sebuah akumulasi hari yang mulai membebani pundak Priestess.

Hari ini, seperti hari lainnya, semua orang di Kuil menyambutnya dengan hangat. (Yah, semuanya terkecuali High Elf Archer, yang masih tertidur). Dwarf Shaman telah memberikan persetujuannya, sementara Lizard Priest setuju bahwa menghabiskan satu hari untuk merenung bisa menjadinhal yang bagus. Apa yang mereka maksud adalah ini: bahwa mereka akan terus menjaga Kuil walaupun mereka sama sekali tidak menerima hadiah untuk ini.

Kemudian terdapat “kakak” Priestess, yang menyambutnya dengan senyuman dan melihatnya pergi dengan cara yang sama: Kakak Anggur. Rumor itu tentu sudah mencapai telinganya sekarang, namun dia sama sekali tidak terusik. Walaupun Priestess sendiri hanya dapat berpikir tentang Goblin Slayer.

“Hooo...” Helaan lagi. Hari di mana mereka mengunjungi persembunyian rogue terasa seperti mingguan. Dia merasa enggan untuk bangun di pagi hari dan takut tidur di malam hari. Dia hanya menghabiskan waktu melamin, dan memang itu sangatlah menyebalkan.

Hari ini, di sinilah dia kembali di depan Guild Petualang, tanpa adanya perbedaan dari hari sebelumnya.

Goblin Slayer...

Apa yang pria itu pikirkan? Itulah pertanyaan yang menggelembung di kepala Priestess, namun dia mengeleng kepalanya. Dia tidak boleh memikirkan hal semacam itu. Goblin Slayer, pemimpin dari partynya, pasti memiliki semacam rencana di kepalanya. Namun dia tidak bisa begitu saja mengikutinya dengan riang. Itu artinya—itu artinya tidak ada yang berubah semenjak dia pertama kali menjadi petualang bukan?

Priestess menggigit bibirnya keras, kemudian mendorong pintu Guild. Suara keramaian pagi menghantam dirinya.

“Selamat datang kembali!” Ini adalah salam pertama yang terdengar dari Gadis Guild, yang terserap dalam pekerjaannya di meja resepsionis. Wanita itu pasti sudah mendengar rumor itu juga, namun mungkin karena ingin menjaga hati Priestess, wanita itu tidak pernah menyinggungnya.

Priestess selalu bersyukur atas rasa tenggang hati kecil ini, dan menjawab, “Terima kasih,” dan berusaha untuk tersenyum.

“Goblin Slayer sudah berada di sini, loh—siapa tahu kamu sedang mencarinya.”

“Oh, terima kasih. Apa ini hari lainnya akan--?”

Pembasmian goblin?

Kalimat itu mati di bibir Priestess seraya dia menoleh menuju ruang tunggu. Pria itu mudah di temukan di antara ramainya petualang yang mencari quest. Dia berada pada sebuah bangku di sudut ruangan, tempat dia selalu berada, menggunakan srmor kulit kotor dan helm baja murahan.

“Hey,” Priestess mendengar, dan “Yo,” dan “Goblin lagi hari ini?” dan “Jangan kasih ampun mereka” dan seterusnya. Dalam dua tahun lebihnya sebagai petualang, sang gadis muda yang tidak pernah mengetahui apapun selain banyaknya perhubungan yang telah di jalin oleh Kuil. Dia tidak selalu mengetahui nama mereka atau seperti apa mereka terlihat. Namun pria dan wanita ini semuanya adalah petualang seperti diri ya. Koleganya berasal dari berbagai macam ras juga, dan Priestess memberikan salam “Selamat pagi.” hormat pada masing-masing dari mereka. Terdapat beberapa mantan pemula, pendatang baru yang tampak menjanjikan, mereka semua adalah petualang...

Apa aku benar-benar salah satu dari mereka...?

Dia sendiri merasa paling tidak percaya diri tentang ini semua.

*****

“Wow, si nona archbishop tadi pintar ngomong ya!”

“Aku kira tadi kita bakal di usir di depan pintu,” Heavy Warrior berkata lelah seraya dia memperhatikan sang priestess  berjalan menjauh. (TL Note : bukan priestessnya Goblin Slayer.)

Dia menoleh pada Knight Wanita dengan ekspresi yang mengatakan, Kamu hampir membuatku berpikir kalau kamu itu knight dari Supreme God beneran waktu di sana, namun wanita itu tampak tidak menyadarinya. Wanita itu terlalu sibuk menganggukkan kepalanya berkali-kali.

“Dan pastinya dong, dengan kita yang berbicara dengannya tentang pembasmian goblin. Bodohnya aku sudah meragukan dia!”

“Menurutmu?” Heavy Warrior berkata, kurang lebih menghiraukan dia.

Yang terpenting adalah Kuil Supreme God telah memutuskan untuk bertindak dan tindakan ini tampaknya akan membuat para petualang menghasilkan banyak uang. Itu karena, seseorang tidak akan bertahan hidup hanya dengan berpetualang—mereka perlu makan juga. Uang sangatlah penting. Bukan segalanya, namun tentunya berpengaruh. Terlebih jika kamu membawa dua anak kecil yang promosinya di tunda karena mereka berbohong tentang umur mereka.

Uang di tangan berarti makanan di mukut. Sebuah ranjang untuk di tiduri. Perlengkapan dan senjata baru. Benda ketika kamu membutuhkannya. Dengan cukup donasi—yang di mana berarti, dengan cukup uang—seseorang bahkan dapat di berikan keajaiban Resurrection, di mana seseorang dapat di panggil kembali dari seberang sungai kematian. Secara harfiah kamu dapat membeli kehidupan, hingga titik tertentu.

Beberapa orang berceramahan akan berhemat dan kesederhanaan, namun ini tidak pernah begitu masuk akal bagi Heavy Warrior. Uang bukanlah sesuatu yang dapat di anggap remeh, bamun selama kamu memilikinha, itu membuat hidupmu semakin mudah, dan kamu harus menggunakannya ketika kamu membutuhkannya.

Mungkin aku perlu memberikan donasi ke Kuil God of Trade. Pikiran itu melintas di benaknya walaupun dia tidak begitu mempercayai dewa. Heavy Warrior berputar mengarah temannya.

“Bagaimana denganmu?”

“Gagal total.” Spearman melambai tangan seraya dia berlari kecil. Di samp8ngnya adalah Witch, merokok pipianya, mungkin mendengarkan percakapan, mungkin tidak.

Adalah benar-benar biasa. Mungkin ini adalah waktu untuk membayar pajak, Heavy Warrior berpikir, mengesampaingkan kecemasan pribadinya untuk semnetara waktu.

“Aku bertanya dengan kenalanku yang menangani petualang kota, tapi sama sekali nggak dapat apapun,” Spearman berkata.

“Yeah?”

“Yeah. Kita ini spesialis tebas-dan-libas, coy. Ini bukan bidang kita.”

Kepercayaan diri pria itu mengundang sebuah “Heh, heh” pelan dari Witch.

“Masuk akal sih,” Knight Wanita menambahkan. “Masing-masing dari kita mempunyai perannya sendiri.”

“Hmm,” Heavy Warrior mendengus. “Tumben kamu bisa ngomong sesuatu yang ada benarnya sesekali.”

“Bego, semua yang aku ucapkan itu benar.”

“Iya deh,” Heavy Warrior menjawab dengan lambaian lelah.

Knight Wanita menghiraukan pria itu. “Dengar,” dia berkata, penuh kewibawaan. “Siapapun yang mengatakan bahwa dia dapat melakukannya sendiri itu hanyalah orang tolol yang nggak bisa melihat kebenaran sesungguhnya.”

“Hoh.” Spearman menyeringai. “Apa nggak terlalu kepagian untuk mulai berceramah?” Namun bagaimanapun juga, dia membutuhkan cara untuk menghabiskan waktu hingga kertas quest keluar. Dan dia tidak melihat Gadis Guild manisnya di manapun.

“Mm,” Knight Wanita menjawab dengan percaya diri. “Nggak ada kata kepagian untuk belajar sesuatu yang baru—dan aku akan mengajarimu.”

“Gimana kalau aku nggak mau di ajari, wahai knight jelita?”

“Ayo mulai dengan hipotesis.  Anggap terdapat seorang petualang Bronze, yang dapat membelah surga dan bumi dengan pedangnya, yang dapat menghancurkan Dark God, namun tidak pernah melewati peringkat Bronze karena itu akan terlalu merepotkan.”

“Siapa yang mau melakukan itu?”

“Anggap saja.”

Ini tampak membuat Spearman berimajinasi, namun dia mengangguk mengikuti, walaupun dengan  perasaan bahwa pahlawan dari dongeng lebih masuk akal dari cerita ini.

“Coba kamu pikirkan,” Knight Wanita berkata. “Baju petualang ini, makanannya, sayurannya, daging, sepatu, penginapan, dan bahkan negaranya sendiri, semua di produksi oleh orang lain, kan?”

“Yeah, dan aku yakin dia pasti punya pacar, mungkin. Pokoknya, seseorang yang peduli dengannya, di tambah dengan orang tuanya.” Komentar Spearman cukup tidak sopan. Witch menendang lutut pria itu. Spearman cukuplah jantan untuk tidak berteriak.

Knight Wanita tampak tidak menyadarinya: “Benar, betul,” dia berkata, terkesan. “Siapapum yang mengatakan kalau dia membuat semua itu sendiri itu adalah pembohong besar.”

“Kalau, di pikir, lagi,” Witch berkata tertarik, memutar pipa dan menghisapnya. “Terkadang...mereka, bilang: untuk membuat anggur, di perlukan, irama yang stabil. Jika, peta, bintang-bintang, berubah, rasa...akan, anggur, juga, berubah.”

Satu atau dua pujian untuk dewi sanubari juga penting...dan seterusnya.

Witch merapalkan kalimat dari  seorang sage kuno, dan Knight Wanita menjawab, “Benar,” mengangguk kuat. Bahkan para dewa tidaklah bertindak sendiri. Untuk berpikir seseorang mahakuasa dan mahatahu sangatlah konyol. Namun Knight Wanita belumlah selesai. “Karena kamu nggak bisa melakukan semuanya, percayai seseorang untuk melakukan apa yang kamu nggak bisa!”

“Kamu nggak mempercayai yang lain; kamu memaksa yang lain,” Heavy Warrior berkata, menyela wanita itu pada puncak ceramahnya. “Saat seseorang mempunyai kekuatan, mau itu dewa atau iblis, itu kekuatan mereka. Mereka bisa menggunakannya sesuka mereka.”

“Tapi seperti mereka bilang, dengan kekuatan besar datanglah tanggung jawab besar...!”

“Iya, kamu menyelematkan dunia, terima kasih, semoga harimu menyenangkan. Kamu mau menjadi petani, silahkan, terserah. Kebanyakan dari kalian akan bertarung dengan iblis kalau kalian bertemu.”

Bagi Heavy Warrior, semua ini terlihat begiti sederhana, namun Knight Wanita berdiri kukuh: “Tunggu dulu.”

Heavy Warrior setengah melihatnya, menyengir, sedikit kesal namun sangatlah akrab dengan reaksi seperti itu. “Kamu harus berhenti memakai sarung tangan sebelum helmmu. Kamu selalu meminta seseorang untuk memegang rambutmu!”

“Hrrgh...!” Itu adalah serangan kritikal. Knight Wanita, mengeluarkan hrk dan hagh fepat beberapa kali sebelum akhirnya dia tampak tenang. “Ini—ini Cuma sepele, kan? Bukan sesuatu yang merepotkan!”

“Aku nggak bilang seperti itu. Cuma bilang kalau kamu bertindak seolah ini nggak berpengaruh denganmu.” Heavy Warrior berkata, Knight Wanita terus mengeratkan gigi, dan Spearman hanya melihat mereka berdua.

Witch membiarkan kedua matanya melamun ke tanah. Salah satu dari mereka berdua bisa terlibat di salah satu sisi perdebatan ini. Mereka sama sekalintidak mau mengalah.

“Yang ku maksud itu adalah seorang pahlawan besar bisa menjadi pahlawan besar karena mereka bisa membuat perbedaan ini...!”

“Aku nggak paham apa yang kamu maksudkan.”

Setelah beberapa saat, Witch mulai membiarkan percakapan ini mengalir begitu saja, dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pada akhirnya, percakapan seperti ini tidak mempunyai arti apapun. Adalah perdebatan biasa. Dunia begitu besar, dan apa yang kita lihat sama sekali bukanlah segalanya; sesuatu dapat bergerak di tempat yang tidak di duga. Inti dari sihir adalah untuk melihat semua ini, untuk meraih kebenaran.

Apa yang terjadi? Apa yang akan terjadi pada mereka? Bahkan walau dia hanya melihat dari bagian paling ujung, Witch hanya bisa mengira-ngira saja.

Dan itu membimbingnya pada....

“Aku, penasaran..tentang, bagaimana, ini, akan berjalan...”

Satu hal yang pasti: ini akan menjadi petualangan menarik lainnya.

*****

Uh, um, se-selamat pagi, pak, Goblin Slayer...” Priestess berkata seraya dia berjalan menuju pria itu. Jawaban dari petualang yang terlihat menyedihkan itu selalu sama seperti biasa: “Ya.”

Adalah keseharian yang terjadi di sini pada Guild dinkota perbatasan: dia adalah yang pertama tiba di pagi hari, akan tetapi yang terakhir untuk mengambil quest. Petualang yang sudah tiba, sudah terbiasa dengan pemandangan armor yang duduk tak bergerak di sudut ruang tunggu. Pendatang baru dan pemula sering terbelalak pada awalnya, namun tidak lama mereka juga mulai tidak mempedulikan pria itu. Bagi mereka, seorang petualang yang spesialis dalam membasmi goblin sama sekali tidak layak untuk di perhatikan.

Dalam beberapa tahun belakangan, pria itu tampak mengumpulkan sebuah party dan mulai bekerja secara rutin dengan mereka, namun sekarang dia sendiri—tidak, hanya dengan satu orang lainnya. Dwarfnya, elfnya, dan lizardmannya tidak terlihat selama beberapa hari ini.

“Membasmi goblin lagi, pak...?” Priestess bertanya seraya dengan bimbang duduk di sampingnya. Emosi dalam suaranya—apakah itu kagum atau hanya ragu?

Sudah berapa lama semenjak mereka berdua mulai menangani quest bersama? Bukan waktu yang pendek. Beberapantahun. Walaupun apakah itu waktu yang panjanh atau tidak tergantung dari siapa kamu bertanya...

“Ya.” Suara petualang bernama Goblin Slayer terdengar pelan, kalimatnya pendek dan datar. “Setelah kita lihat keadaannya berjalan.”

“...Baik.” Priestess mengangguk, dan dengan itu, percakapan berakhir. Perbincangan basa-basi dari petualang lain mengisi udara, gelombang suara tak berarti mencapai telinganya. Kehehingan mungkin dapat sulit untuk di jalani, namun dengan cukupnya suara yang mengisi celah itu, mungkin ini tidaklah begitu buruk.

Setelah duduk di sana tidak nyaman untuk beberapa saat, walau dengan bokong mungilnya yang bergerak bergeser di kursi, Priestess membuka mulutnya. “Uh, um...”

“Apa?”

“A-apa ada, uh, sesuatu yang...perlu di lakukan?”

Adalah ucapan yang ambigu, dan bahkan seraya dia berbicara, Priestess tampak merasa malu. Tidaklah jelas pada mulanya apa yang membuat gadis itu malu. Apakah kurang jelasnya dari pertanyaannya, atau mungkin malu pada dirinya sendiri karena tidak mengambil tindakan apapun?

Goblin Slayer mendengus sekali, kemudian melanjutkan pelan, “Aku sudah memainkan bagianku.”

“Apa...?” Priestess menoleh kepadanya, terbengong seperti anak kecil.

“Bukan berarti aku sudah melakukan apapun,” dia berkata sebagai pendahuluan. “Tapi ketika kamu berburu rusa, terkadang cara terbaik adalah nggak bergerak.”

“Rusa...?”

“Sampai mangsamu berpikir kalau kamu hanyalah pohon atau batu di pinggir jalan.”

Itulah di saat kamu melepaskan tembakanmu, sebuah panah yang akan menembus titik vital—atau seperti itulah yang pernah di ceritakan kepadanya.

“Huh,” Priestess bernapas, dalam kombinasi amtara kagum dan kesal. Kemudian dia menyentuh jari mungil ke dagunya dengan “Hmm,” berpikir, yang di mana dia melanjutkan dengan serius, “Kamu tahu banyak hal yang berbeda ya?”

“Aku akan menggunakan apapun yang bisa ku pakai,” Goblin Slayer berkata, terdengar seperti merendahkan diri. “Pada akhirnya, aku bukanlah ranger, scout, atau bahkan warrior.”

“...Tapi tetap saja, kamu tahu banyak,” Priestess mengulangi. Dia menghitung di jari: tentang petuapanh, tentang pertarungan, tentang bagaimana mencari sebuah gua. “Banyak sekali hal yang kamu ketahui, hal yang kamu pikirkan... rasanya nggak adil.”

“Begitu?”

“Iya.”

“Begitu...”

Ucapan itu pelan—tidaklah jelas apakah Goblin Slayer setuju dengannya atau tidak—namun kemudiamn pria itu terdiam. Priestess melirik pada helm baja untuk beberapa saat sebelum dia berkata pelan, hampir kepada dirinya sendiri, “...Aku pemasaran apa pada akhirnya aku akan mengetahui banyak hal juga.”

“Entahlah.”

“Entahlah...apa?”

“Aku nggak pernah menganggap diriku sendiri pintar.” Aku nggak bakal tahu.

Priestess merasa dia tidak dapat melanjutkan subyek ini lagi. Sebagai gantinya dia mengembungkan pipinya seperti anak kecil yang mengambek, namun ketika dia menyadari apa yang dia sudah lakukan, dia menenangkan dirinya. “Kalau begitu, aku belajar.” Dia yakin bahwa dia terdengar sedikit cemberut. “Aku belajar apapun yang aku bisa, belajar dan berlatih... Aku akan berupaya semampuku.”

“Begitu,” Goblin Slayer berkata dan mengangguk. “Itu bagus.”

“Uh-huh,” Priestess membalas seperti murid yang patuh, dan kemudian terdiam kembali. Keramaian Aula Guild terdengar di telinganya sekali lagi, perbincangan basa-basi mengisi ruangan di sekitar mereka.

Jika itu semua perbincangan basa-basi, bagaimana dengan perbincangan mereka baru saja? Tentunya itu sama tidak berartinya dengan yang lain. Lagipula momen seperti itu tidak pernah bertahan lama. Anggota pegawai yang pergi dari meja resepsionis telah kembali dengan tumpukkam kertas...

“Baiklah, semuanya! Ini adalah daftar pekerjaan hari ini!”

Terdengar sorakan bersemangat dari para petualang yang telah menunggu momen ini; mereka bergegas menyerbu papan buletin. Beberapa dari pekerjaan itu sangatlah mudah, beberapa sulit, namun mereka semua mempunyai satu persamaan, yaitu adalah petualang yang tidak bekerja tidak akan makan.

“Hei, coba lihat yang ini!”

“Apa itu? Menjaga Kuil Ibunda Bumi?”

Percakapan yang paling tidak di duga ini mencapai telinga Priestess dari riuhnya keramaian, membuat dirinya bergetar.

“Apaan, mereka takut beberapa preman yang mendengar rumor itu akan datang mengincar mereka?”

“Bukan, Aku dengar mereka mendapatkan bantuan dari Kuil Supreme God...”

“Huh, kedengarannya bagus. Dan menggiurkan!”

“Hei, kamu tahu apa yang mereka ucapkan—kamu memetik apa yang kamu tanam. Seperti karma baik untuk menolong orang yang bermasalah.”

Masing-masing dari petualang mengambil sebuah quest, mengatakan apapun yang tampak bagus bagi mereka. Priestess memperhatikan mereka dengan ekspresi tak jelas di wajahnya. Mungkin dia tengah berpikir, Tapi mereka menyebarkan rumornya juga! Pikiran akan ini pasti menggelembung dalam hatinya menyebabkan sebuah momen keraguan, namun ini harus di lakukan. Itulah saat di mana seorang pria membulatkan tekadnya dan berdiri, berjalan mengarah para petualang.

“—?”

Sang gadis memutar tatapannya heran kepada pria itu. Akan tetapi, helm baja itu, tidak memiliki ekspresi. Pria itu menelan liurnya: “Eep.” Petualang ini tampak seperti tidak terdapat apapun di dalam armornya, seorang Nonexistent Knight. Hal ini menambah intimidasi ke dalam kebimbangan alaminya, dan dia menengang.

“Kamu perlu sesuatu?”

Ya” datang jawaban singkay. Namun suara itu begitu serak begitu tinggi. Ini tidak layak. Dia menarik napas dalam, kemudian membersihkan tenggorokannya. “Aku mohon. Ini adalah quest paling darurat. Tolong...aku mohon bantu kami.” Suara dari anak penjual anggur dari kota air begitu halus dan meminta.

*****

“Goblin?”

“Tidak... Yah, iya.”

Priestess adalah yang pertama yang memberikan tatapan serius pada pria muda dengan pengucapan tak jelasnya.

Anak dari pedagang anggur. Yang berasal dari kota air. Bagi Priestess, pria itu seharusnya memperkenalkan dirinya dengan lebih berwibawa dan berbobot. Priestess membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, namun kalimat itu tersangkut di tenggorokannya.

Aku bisa bilang apa...?

Apakah dia perlu mengejeknya? Secara dingin menolaknya? Marah, berteriak, menangis, atau menyerangnya langsung?

Sejujurnya, belumlah jelas apakah ayah pria muda ini adalah sumber dari rumor itu. Untuk itu...dia telah menginvestigasi dan mencari, dan dia yakin mereka sedang bergerak. Tentu saja dia tidak memiliki bukti. Akan lebih baik bagi mereka jika bukti itu tidak pernah ada...

Kepala Priestess penuh akan pikiran yang berputar yang mungkin adalah deduksi atau konjuksi atau hanya sekedar fantasi. Hanya saja—dia pikir bahwa itu adalah benar. Seseorang yang penting baginya sudah di lukai.

Dan nggak ada alasan bagiku sama sekali untuk nggak membalas mereka.

Pikiran itu mendorong masuk ke dalam hati Priestess. Pikiran itu mulai menyebar seperti benih yang mulai tumbuh.

Anak goblin. Dengan orang lain yang senang menyebarkan rumor keji seperti itu, mengapa dirinya saja yang harus menahan diri? Priestess dapat mengatakan, Sedikit terlambat untuk datang memohon. Egois. Minta maaf, dia dapat memerintah pria itu. Bukan masalahku. Syukurin.

Apakah mungkin? Tentu saja mungkin. Dia hanya perlu membiarkan emosi menggiringnya. Namun...dia, Priestess, menjalani hidupnya dalam kepercayaan bahwa ini bukanlahnhal yang tepat untuk di lakukan.

Jalan yang dia jalani adalah jalan untuk menyejukkan hati orang, berbaik hati kepada mereka, menolong dunia ketika kamu mampu. Itulah kepercayaannya, enam atau tujuh belas tahun dari kehidupannya.

Tentu saja, semua orang memiliki keadaannya sendiri serta motivasi mereka, dan tidak semuanya dapat di maafkan. Namun untuk melampiaskannya begitu saja tanpa pikir panjang, itu terlalu...

Menyedihkan.

Priestess menarik napas dalam untuk membersihkan kalimat yang menyangkut di tenggorokannya. Untuk membantu melenyapkan kegelapan berat dan lengket yang menggelembung dalam dadanya.

“Aku...” dia berkata, kemudian harus menarik napas untuk dapat melanjutkan, “Setidaknya aku bisa mendengarkan dia.”

“Begitu.” Adalah selalu satu kata yang sama dengan Goblin Slayer. Namun entah mengaoa, Priestess merasa enggan mendengar itu. “Kalau begitu ayo kita dengar. Apa di sini nggak masalah?”

“Yah, uh...” Sang anak pedagang tampak siaga oleh percakapan dengan lambang suci yang di genggam Priestess. Dia menggaruk pipi bersalah dan melirik sekitar pada keramaian petualang yang mencari quest pagi mereka. Tak seorangpun dari mereka yang memperhatikan secara spesial pada grup kecil ini, namun tentu saja terdapat banyak mata dan telinga di sini. Kemampuan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitaran adalah permasalahan hidup dan mati untuk seorang petualang.

“Kurasa sudah sedikit telat untuk mencemaskan soal reputasi.” Sang pria muda bergumam namun melanjutkan mengeratkan gigi, “Tapi kalau kita bisa, aku ingin menggunakan ruang rapat atau semacamnya...”

“Baiklah.” Goblin Spayer mengangguk dan berputar melirik mengarah meja resepsionis. Gadis Guild tengah sibuk dengan semua petualang yang mendaftarkan questnya. Namun tentunya dia tidak bisa begitu saja masuk ke dalam ruangan itu...

“...Oh.”

Baru saja, matanya bertemu dengan Inspektur itu, yang duduk di sudut dengan berkas kertas di tangannya. Wanitanitu dengan acuh meletakkan buku yang dia sembunyikam di balik kertas dan memberikan Goblin Slayer sebuah seringai. Goblin Slayer, tidak terpengaruh, menunjuk tanpa suara mengarah anak pedagang dan kemudian mengarah lantai dua. Inspektur mengangguk, melirik kepada Gadis Guild yanh sangat sibuk, kemudian menyentuh bibir dengan jarinya. Rahasia kecil kita. Tetapi dia mendapatkan ijinnya, hanya itu yang dia inginkan.

“Ayo.”

“I-iya...”

Dua kalimat datar dan langkah sigap. Dan anak pedagang mengikuti dengan bingung.

“...” Priestess menggigit bibir dan menggenggam erat tongkat derik. Mereka pergi menuju lantai dua, hingga mencapai ujung lorong. Ini bukanlah bagian dari lantai dua yang menjadi satu dengan penginapan untuk petualang. Ini adalah tempat di mana Guild melakukan pekerjaan administrasinya. Menyadari bahwa Priestess hampir tidak pernah berada di sini selain saat promosi wawancaranya, Priestess gelisah.

Nggak, nggak. Itu hanyalah alasan. Bahkan dia menyadari itu. Emosinya menjadi liat tak terkendali di dalam dirinya. Namun walaupun begitu, dia bertekad untuk mendengarkan pria ini.

Mereka mendoronhg pintu berat dan memasuki ruangan yang penuh dengan momento dan peninggalan petualangan jaman dulu. Terdapat permata yang berkelip, penghargaan militer, rekaman lagi, dan senjata dan perisai terkenal...

Adalah ruangan piagam. Terisi dengan benda yang lebih mengagumkan di banding kepala monster atau potongan tanduk yang menghiasi rumah makan.

Mungkin benda-benda ini hanya berada di sini untuk membuat takjub calon pemberi quest. Namun tetap saja, menyadari adanya palu perang raksasa yang duduk di antara lainnya, membuat Priestess merasakan sebuah kebanggaan. Kemudian rasa minder berubah menjadi keberanian, dan dia duduk pada sebuah bangku panjang di ruangan.

Anak pedagang anggur duduk bersebrangan dari dirinya, sementara Goblin Slayer duduk di samping dirinya. Priestess merasakan bantalan bangku tenggelam dan bangku itu berdecit di karenakan beban perlengkapan pria itu.

“Baiklah, beritahu kami apa keperluanmu.”

Goblin Slayer berkata setelah perkenalan singkat.

Anak pedagang terdiam—melihat pria itu yang semakin tenang sekarang, Priestess menyadari bahwa dia lebih muda dari yang dia kira sebelumnya. Mungkin di karenakan warna wajah dan kulitnya yang di hasilkan dari makanan kaya yang dia makan, atau mungkin pakaian elegannya. Priestess mengira bahwa pria itu sekitar berumur dua puluh tahun, mungkim sedikit lebih tua. Umur yang matang di mana seorang anak akan mengambil alih usaha ayahnya dan mulai kendapatkan pengalaman.

Priestess tidak membiarkan spekulasi ini menghalangi perhatiannya pada pria di seberanganya ini.  Dia tidak mempunyai keajaiban Sense Lie.

“Akhirnya aku mengetahuinya secara pasti,” dia berkata. “Ayahku membuat kontak dengan agen Kekacauan.”

Tanpa keajaiban untuk membantunya, Priestess harus menilai sendiri apakah yang dia katakan benar atau tidak.

*****

“Aku menyadari ayahku yang bertingkah aneh. Bukan karena bisnis lagi lesu. Kami masih sehat, secara finansial. Tapi, dia kelihatan putus asa, dan kemudian rumor tentang Kuil Ibunda Bumi mulai tersebar, dan ayahku mengambil kesempatan itu.

“Aku nggak mencoba untuk buat alasan di sini, tapi ini terasa sangat aneh bagiku.

“Perdagangan itu bukanlah sesuatu yang mulia—ketika terdapat keributan, kamu akan memanfaatkannya dan menjadikan itu sebagai laba. Tapi itu cuma bisnis... Kalau secara pribadi, kami sama sekali tidak senang melihat penderitaan orang lain.

“Tapi ayahku, dia tersenyum dan tertawa. Dia berdedikasi akan bisnisnya, sangat serius, sangat loyal, dan—walaupun mungkin ini bukan hak aku untuk mengatakannya—sangat kompeten. Aku memperhatikannya kerja semenjak aku masih bocah; bau anggur pada bajunya adalah bau ayahku.

“...Maafkan aku. Ya, aku tahu. Itu bukan poinnya di sini...

“Poinnya adalah, dia putus asa.

“Pembuatan anggur berjalan lancar, dan uang juga mengalir. Dia bersikeras untuk memperbesar bisnisnya. Kalau ku ingat lagi, kurasa di situlah di mana bibit Kekacauan mulai di tebar.

“Ini sebuah perputaran: Kamu bekerja untuk membuat uang. Dia memasukkan uang itu untuk memperbesar bisnis. Seraya bisnis berkembang, kamu mempunyai lebih banyak pekerjaan. Namun di saat yang sama dengan bisnismu yang berkembang, kamu juga tidak memiliki banyak uang, dan kalau pekerjaannya tidak berjalan lancar, bisnisnya akan lesu, dan kamu kehilangan bantalanmu.

“Ayahku putus asa. Dan itu...mungkin yang mendorongnya untuk bergabung dengan pelayan Kekacauan itu. Dia mungkin berpikir untuk mengikuti rencana mereka dan membuat uang di tengah plot mereka.

“Lucu, Aku tahu. Dia di tipu—sejak kapan sih pasukan Kekacauan akan bekerja sama dengan orang semacam kami, kan? Tapi di saat bisnis bersemi...yah, laba akan menjadi pendamping ranjang yang aneh. Keadilan dan belas kasih akan di kesampingkan.

“Dengar, aku nggak mencoba untuk bilang kami nggak bersalah. Aku sendiri pernah meminta tolong orang yang bergerak di dalam bayang-bayang. Berusaha untuk membungkam dengan mereka. Semua orang tahu bahwa segalanya seharusnya tetap tenang dan tentram—er, maaf, aku melantur dari topik lagi.

“...Ayahku, dalam ketakutannya, mempertaruhkan semua, membuat rencana, menjalin kontak, memastikan untuk meninggalkan jejak bukti. Dengan kata lain: kalau aku ketangkap, semuanya akan di ketahui oleh publik, dan kalian semua akan terjerat bersamaku.

“Hanya sedikit jaminan. Tentu saja, mereka penuh akan ancaman tentang apa yang akan terjadi pada dirinya jika dia mengkhianati mereka. Kamu boleh saja tertawa kalau kamu mau, tapi ini sudah jelas sebuah kesalahan.

“Waktu itu, beberapa maling menyelinap ke hunian kapten garda kota. Ini bukan pertama kalinya terjadi: tembakau dan obat pernah di curi sebelumnya. Namun kali ini berbeda. Si pencuri adalah troll. Katanya dia mengobrak-abrik ruangan pribadi kapten, kemudian lari tapi terbunuh oleh petualang yang lewat.

“Tapi troll ini, entah kenapa dalam kegaduhan itu, dia menjatuhkan kontrak ayahku di dalam ruangan kapten garda. Dan begitulah. Para garda, dengan wajah murka, mulai mengejarnya, dan kemudian semua terkuak. Ayahku di tangkap, dan bisnisnya kemungkinan hancur.

“sedangkan untuk aku—satu-satunya yang menyelematkanku adalah aku sama sekali tidak tahu apapun tentang ini semua. Mereka membuktikannya dengan Sense Lie di Kuil Hukum di kota air.

“Pastinya aku tidak bisa begitu saja mewarisi bisnis dan mengatakan bahwa semua akan berjalan lancar. Mereka tahu kalau ini semua sudah tersebar publik.

“Beberapa hari yang lalu,—di pagi hari. Aku punya satu pengikut, seorang pria yang ada dalam pertempuran sepuluh tahun yang lalu. Dia bilang padaku kalau dia menemukan jejak kaki di belakang rumahku. Dia bilang dia mengenal jejak itu. Tidak salah lagi.

“Mereka bilang itu jejak goblin.”

(TL Note : buset dah ni orang ngomong kagak ada berhentinya wkwkwkwk.)

*****

Selain suara pria muda itu, keheningan mengisi ruangan rapat di saat dia mulai berbicara sampai dia berhenti. Anak pedagang anggur mulai menimbun satu kalimat dengan kalimat lain seolah ingin menunjukkan bahwa dia tidak mengada-ngada. Bahkan tanpa keajaiban Sense Lie, Priestess merasa ucapannya memiliki kebenaran.

Bahkan, sebenarnya, ada beberapa cara untuk mengalahkan Sense Lie, bagian buruk dari dirinya berbisik ke dalam hati, dan sangat perih baginya untuk mengakui itu.

“Begitu; jadi mereka seperti itu mereka bergerak.” Suara datar Goblin Slayer terdengar di telinga Priestess seraya dia merenung.

Ap—? Dia melirik mengarah helm itu, namun tidak ada respon darinya, hanya kalimat tambahan.

“Kamu sudah coba Guild?”

“Ya, Aku sudah mengajukan permintaan resmi.” Pria muda berkata. “Walaupun tidak ada seorangpun yang mengambilnya, setidaknya di kota air.” Dengan sedikit candaan, dia berkata, “Bukan karena itu perburuan goblin, tapi karena aku anak seorang pria yang bekerja dengan Kekacauan.”

“Itu—“ Priestess memulai, namun menyadari bahwa dia tidak mengetahui bagaimana untuk menyelesaikan kalimat itu, dia menutup mulutnya kembali.

Itu sudah sewajarnya? Itu yang sepantasnya? Tidak, tidak, tidak. Tidak, itu bukanlah dirinya. Dia tidak ingin mengucapkan kalimat itu secara lantang. Dia meremas tangannya begitu kuat hingga tongkatnya berderik.

“Tapi sepertinya kamu nggak di serang di keesokan harinya.”

“Pengikutku bilang kalau kita bisa mendapatkan beberapa orang dengan senjata untuk berjaga, itu bisa mencegah para goblin untuk mendekat.”

“Hmm,” Goblin Slayer mendengus, berpikir pada dirinya sendiri seraya dia melanjutkan percakapan dengan datar. Keacuhannya membuat Priestess berusaha mendenggarkan sebaik mungkin.

“Itu bukan berarti kami nggak punya perlindungan... Walaupun setelah kegaduhan, kebanyakan dari mereka berhenti.” Tapi keluarga ini masih memiliki perlengkapan, bersama dengan beberapa pengikut dan pria bersenjata. Mereka telah di tugaskan berjaga, berganti posisi setiap malam, dan sebuah boneka sawah menggunakam armor telah di dirikan di kebun anggur.

Goblin Slayer mementalkan upaya kecil ini dengan beberapa kalimat. “Itu hanya akan menunda apa yang akan terjadi. Nggak jelek, tapi aku yakin kamu nggak punya banyak waktu.”

“Yeah... Itulah mengapa aku pergi ke Kuil Hukum. Aku bukan bermaksud untuk menyembunyikan malu tentang apa yang terjadi.”

Namun sekarang rencana Kekacauan telah terkuak, mereka harus di tangani—dan segera. Kuil Supreme God telah memulai rencana untuk membantu Kuil Ibunda Bumi, mengirimkan orang ke sana. Namun mereka hampir tidak bisa menyisihkan tenaga untuk sekedar perburuan goblin sederhana. Tertutama satu yang hanya untuk manisan, dan satu lagi seorang pengkhianat dan anaknya yang menyebabkan ini pada diri mereka sendiri.

“Tapi...aku berhasil cukup dekat dengan wanita ini di kuil, seorang gadis dari rumah bangsawan terkenal yang sekarang bekerja secara independen sebagai pedagang.” Wajah pria muda itu akhirnya melembut, seolah dia melihat keselamatan di depannya. “Dia bersedia untuk mengatur sebuah rapat...dan sang archbishop mendengar apa yang aku perlu katakan.”

“Dan karena itu aku jadi terlibat?”

“Benar. Beliau bilang terdapat petualang di kota perbatasan di bagian barat yang membasmi goblin...”

Priestess dapat membayangkan gambarannya. Mantan Noble Fencer—sekarang Pedagang Wanita—dan Sword Maiden, di kala mereka mendengar kata goblin. Campuran pikiran dan perasaan menjadi beradu, dan terasa menusuk di dada Priestess.

“Aku akan coba.”

Karena itu, ucapan tadi apalah apa yang dia duga, tajam—dan menyakitkan.

“Kamu menerima tawarannya?!” Priestess mendapati suaranya lebih kasar dan kritikal dari apa yang dia inginkan. Dia tersentak dan memegang mulut dengan kedua tangan, namun dia tidak dapat menarik ucapan itu lagi.

“Nggak ada alasan untuk menolaknya.”

“Tapi...!”

Tapi apa? Apakah dia berniat untuk mendebat untuk tidak menerima pekerjaan itu?

Kalimat di dalam hatinya begitu gelap dan kejam hingga dia ingin menekan kedua telinga dengan tangan dan meringkuk menjadi bola. Namun dia tidak dapat lepas dari itu, bahkan biarpun dia mencabut kedua mata dan merobek telinga dan menarik lidahnya.

Tetap saja, ucapan Goblin Slayer kepadanya seraya dia duduk pucat dan bergetar terdengar begitu acuh. “Siapapun mereka dan di manapun terjadi, terbunuh oleh goblin bukanlah sesuatu yang baik untuk siapapun.”

“Ah...” Priestess mendengak menatap pada helm baja yang terlihat murahan. Wajah dan matanya terselimuti oleh bayang-bayang di balik helm itu. Namun Priestess dapat merasakan seolah pria itu dapat melihat menembus hatinya, dan Priestess-pun kembali melihat ke lantai.

Ya.

Pria itu benar.

Hanya karena ayah seseorang telah melakukan kesalahan, hanya karena dirinya tidak menyukai itu, bukan berarti ini tidak membuat perbedaan tentang apa yang terjadi kepadanya.

Ini sama saja dengan mentertawai seseorang karena kamu mengira bahwa mereka adalah anak dari goblin.

Bisa di bilang, bahwa kamu bertindak persis seperti goblin.

“Kamu punya peta rumahmu, peta daerah lahan sekitarnya? Aku mau mencoba merasakannya sebelum aku melihatnya langsung.”

“I-iya, aku punya...!” Anak pedagang anggur mengangguk, terlihat seperti dia tidak mempercayai apa yang dia dengar. Dia mengangguk lagi dan lagi. Di penuhi dengan emosi, dia bahkan menggenggam tangan kasar Goblin Slayer dan mengayunkannya dengan kuat. “Apa kamu benar-benar akan melakukannya?”

“Aku akan lakukam apa yang ku bisa.”

“Terima kasih, kamu menyelamatkanku...! Apapun yang kamu butuhkan, bilang saja—selama aku mampu, aku akan menyiapkannya untukmu! Aku akan melakukan apapun untuk membantu!”

Akhirnya percakapannya jadi sederhana, pikir Goblin Slayer. Tidak seperti Priestess hati pria itu bagaikan lautan tenang. Dia bahkan mungkin bilang bahwa ini terasa tidak dapat di hindari. Para goblin akan datang dia akan menunggu di saja dan membunuh mereka semua. Hingga tidak tersisa.

Bukanlah sesuatu yang spesial. Hanyalah apa yang selalu dia lakukan. Walaupun banyak yang harus di pikirkan, tidaklah perlu untuk cemas. Ini mudah.

Petualangan itu menyenangkan, tapi...

Sangat pedih baginya untuk duduk dan menunggu apa yang akan terjadi, tidak mengetahui apakah rencana yang dia lakukan akan berhasil. Dalam pikirannya, sangatlah ideal untuk menangani situasi yang ada, untuk merubah sesuatu sendiri, untuk mengetahui apa yang terjadi. Tak satupun dari itu yang harus di serahkan pada orang lain.

...Seseorang seharusnya nggak melakukan apa yang dia nggak biasa lakukan. Pikir Goblin Slayer, dan di balik helmnya, ujung bibirnya terangkat sedikit.

Mungkin itu karena dia sudah begitu lama melakukan satunhal hingga dia terbiasa dengan itu,. Astaga...

Tapi ini lah apa yang cocok denganku. Bukan petualang kota.

“...Oh, ya,” Goblin Slayer berkata. Dia tengah menggosok tangannya yang sekarang telah bebas ketika dia teringat oleh sesuatu. “Aku yakin ka,u taju, ada kebun di pinggiran luar kota.”

“Er, ya. Ya, kayaknya aku melihatnya. Aku yakin ayahku berusaha untuk membeli tempat itu.”  Pertanyaan itu begitu tiba-tiba dan sementara anak pedagang anggur bingung, Goblin Slayer secara intuitif merasa ini sesuatu yang pentinh dan mengangguk serius.

“Bagaimana menurutmu?”

“Bagaimana menurutku?” Yah, hm. Sang pria muda melipat lengan dan menatap plapon dan berpikir. Hewan-hewanya terlihat sehat dan terawat; keseluruhan tempat itu terlihat makmur. Padang rumputnya subur, hijau dan luas, sempurna untuk merumput. Tempat itu memiliki pagar dan dinding batu yang berukuran sama, dan keduanya terlihat terawat.  Hanya ada satu kesimpulan.

“Kebun yang bagus, kurasa.”

“Begitu,” Goblin Slayer berkata dan mengangguk. “Aku juga berpikir begitu.”

Baginha, itu sudah cukup. Hanya terdapat satu hal lagi untuk di pastikan. Seraya dia mulai merencanakan secara mental tentang apa yang akan dia lakukan, Goblin Slayer memutar kepalanya. Priestess masih melihat lantai, namun mungkin gadis itu merasakan pria itu yang berputar, karena dia merinding.

“Ikut atau nggak, sesukamu.”

*****


“Dan kamu terima pekerjaannya?”

“...Ya.”

“Astaga, kamu ini benar-benar terlalu.”

“...Tolong jangan tiru aku.”

“Maaf, maaf,” High Elf Archer berkata dengan tawaan dan lambaian tangan.

Mereka berada di depan gerbang Kuil Ibunda Bumi, dan tempat ini penuh dengan petualang. Atau lebih tepatnya, terdapat banyak petualang di jalan seperti Goblin Slayer dan Priestess seraya mereka menuju kuil. Tentu saja, walaupun mereka telah menerima pekerjaan, mereka tidaklah berada di sama hanya untuk bekerja sama dengan pria aneh ini. Petualang bergerak hanya karena satu alasan: petualangan. Dan juga, orang yang menawarkan quest tersebut adalah archbishop dari Kuil Huki, di kota air—Sword Maiden itu sendiri.

Tempat yang mereka lindungi adalah Kuil Ibunda Bumi. Dan terlebih lagi, mereka akan bertarung dengan pasukan Kekacauan. Kisah dan hadiahnya sangatlah menggiurkan. Semua orang menyukai alasan yang bagus untuk menyebabkan sedikit keributan. Dengan itu para petualang berbondong-bondong—Aku juga, aku juga!—dengan harapan mendapatkan bagian dari aksi.

Mereka menggunakan beragam macam perlengkapan dan bercakap tanpa henti dengan yang lain. Mata dari murid kuil berkilau seraya mereka berlari mondar-mandir untuk memperhatikan mereka semua...

Aku pensaran apa kita harus melakukan ini? Priestess berpikir, membayangkan waktu di mana yang hanya dia ketahui tentang petualang adalah berasal dari buku dongeng dan cerita beberapa orang yang terdengar yang masuk ke dalam kuil untuk meminta penyembuhan. Jika mereka melakukannya, dia yakin keadaan akan sangat berbeda dari sekarang.

Dia berpaling dari Goblin Slayer, yang tengah sibuk berbicara dengan Dwarf Shaman dan Lizard Priest. Priestess merasa, bahwa dia sudah bertindak dengan cermat, namun ini masih belum cukup. Dia masih belum meraih apapun. Dia tidak mmemiliki apapun untuk di tunjukkan sebagai hasil kerjanya. Mungkin dia akan mendapatkan hasil yang lebih baik jika dia menyerahkan yang lain untuk mengurus segalanya. Bagaimana jika, alih-alih bersikukuh dengan semua emosi menyulitkan itu, dia hanya perlu melemparkannya kepada seseorang lain, mungkin seseorang yang penting?

“Apa kamu pikir itu akan berhasil.”

“Apa...?”

Priestess mendapati pikiran muramnya tersapu oleh suara High Elf Archer, yang sebening lonceng. Apakah Priestess secara tidak sengaja mengutarakan isi hatinya? Dia melirik wajah elf dan melihat elf itu menggambar lingkaran di udara dengan telunjuknya. “Kamu hanya perlu melakukan apa yang mampu kamu lakukan. Kamu melakukannya karena kamu bisa. Dan kemudian selesai kan?”

“Me...menurutmu?”

Suasana hati Priestess masih belum membaik, dan wajahnya tetap murung. Dia mempertanyakan apakah dirinya benar dapat melakukan pekerjaan dengan rapih ketika dia bukanlah salah satu dari mereka yang duduk pada meja bintang di surga.

“Dengar.”

“Yeeeep...?!” Priestess tiba-tiba mendapati High Elf Archer mengetuk hidungnya lembut, seperti kakak yang memarahi adiknya.

“Kamu meminta kami melakukan pekerjaan pengawalan. Dan nggak ada musuh yang muncul. Mantap kan. Atau kamu masih marah tentang itu?”

“Aku nggak marah,” Priestess berkata, menekan hidung dengan tangannya. “Tapi apa menurutmu ini nggak apa-apa?”

“Saat kamu melakukan apa yang harus kamu lakukam dan semua orang senang—tentu saja semua nggak apa-apa.”

Bagi makhluk dengan umur yang pendek, manusia itu terlalu berlebihan memikirkan hal kecil—dan melewatkan apa yang berada tepat di depan matanya. High Elf Archer mengangkat bahu dan menggeleng kepala. Bahkan gerakan dramatis dan komikal ini, ketika di lakukan oleh high elf, menjadi terlihat sangat elegan. Kemudian kedua matanya menyipit seperti kucing nakal.

“Tapi aku setuju kalau ini satu petualangan membosankan. Dan hal berikutnya yang kita harus lakukan adalah perburuan goblin!”

Aku harus pastikan Orcbolg membayar kita soal ini. Kalimat High Elf Archer, terdengar cukup ringan.

“Itu benar,” Priestess menyetujui dengan anggukan dan kemudian mengarahkan kedua matanya kepada para petualang. 

Adalah, seperti yang kita jelaskan, pekerjaan yang cukup bagus—namun juga, bisa di bilanh, pekerjaan yang cukup sederhana. Kebanyakan dari petualang yang berkumpul adalah pemula yanh hanya memiliki beberapa pengalaman di saluran air atau berburu goblin. Tidak ada peringkat tinggi lainnya, tidak ada Bronze maupun Silver yang terlihat; semua orang di sana terlihat lugu dan baru.

“Pedang, cek! Pentungan, cek! Penutup alis dan armor dada, cek! Obor—yah, mungkin kita nggak membutuhkannya?”

“Nggak ada salahnya untuk di bawa. Terus juga potion dan yang lain... pastikan jangan sampai kamu jatuhkan.”

“Seharusnya nggak masalah, aku sudah pastikan mengikatnya dengan kencang. Ayo, putar, aku periksa kamu.”

Rookie Warrior dan Apprentice Cleric—tidak, seharusnya meragukan untuk menggunakan nama itu lagi untuk mereka—berada di antara party yang hadir. Sejak petualangan mereka di pegunungan bersalju, mereka berdua—yah,mereka tidak serta merta melejit menjadi penerima quest berpengalaman. Alih-alih, mereka melanjutkan untuk terus melakukan apa yang mereka lakukan, membuat kemajuan bertahap, langkah demi langkah. Namun mungkin kemajuan mereka sedikit bergerak lebih cepat dari sebelumnya.

“Hullo, hullo, jadi kalian datang dengan pekerjaan yang sama ya?” Komentar itu berasal dari sumber cepatnya pertumbuhan party mereka—anggota terbaru mereka. Harefolk Hunter, dengan kelincahan di kakinya seperti biasa. Telinga panjang gadis itu (dia kemungkinan adalah gadis) berayun dari samping ke samping, dan kaki panjangnnya mengetuk lantai gelisah. “Phew, Aku masih sulit membedakan wajah orang lain. Lega banget rasanya bisa bersama kalian.” Kemudian, dengan “Ahem, permisi,” dia mengeluarkan beberapa beri dari kantung dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Harefolk dapat bergerak selama mereka memiliki makanan, namun tanpa persediaan, mereka akan lapar dengan cepat, atau seperti itulah yang dia klaim.

Dan satu lagi hal menakjubkan dan mengagumkan: melihat Harefolk Hunter mengunyah riang, membuat hati seseorang terasa damai. Dan masih ada satu lagi: Setiap kali dia menggaruk bulunya, yang di mana sering dia lakukan, menggigit gumpalan bulu halus hingga terbang mengambang di udara, membantu Priestess melupakan kegundahannya.

“Wow, bulunya bagus...”

“Yeah, kalau kamu hidup di pegunungan. Kalau di bawah sini panas banget, bulunya jadi bikin repot. Aku mencoba mencukurnya, tapi rasanya jadi gatel banget.”

Dan benar, mereka dapat melihat bulu putih wanita itu telah berubah menjadi coklat.

Begitu—bentar lagi musim panas.

Priestess menyadari bahwa dia telah berusaha untuk tidak memikirkan hal semacam itu, dan dia mendengak ke langit. Biru, putih membentang luas di iringi dengan cahaya matahari, menyinari begitu terangnya hingga dia hsrus menyipitkan mata untuk melihat ke atas.

High Elf Archer, ketika dia melihat Priestess seperti itu, mengendus bangga dan membusungkaj dadanya yang kecil. “Kita akan pergi ke petualangan besar sekarang,” dia berkata, walaupun kemudian dia tersenyum lemas. “Walaupun itu Cuma perburuan goblin.”

“Oh, yang benar? Sayang, sayang banget soal itu. Yah, menurutku suatu saat kita akan ketemu lagi.” Adalah sulit untuk mengetahui seberapa serius wanita muda itu jika di dengar dari penlafalan logatnya yang kental. Priestess merasa sang harefolk tidak berbohong dan mendapati hatinya menjadi sedikit lebih ringan.

Bilang saja aku lugu, tapi...

Dia merasa sedikit lelah dengan dirinya sendiri tentang permasalahan ini.

“Hei, kamu, ayo ke sini! Kita pastikan dulu kamu siap untuk pergi!” Rookie Warrior memanggil.

“Baik!” Harefolk Hunter menyeringai dan berteriak membalas. Dia pergi, namun kemudiam berhenti dan berputar balik. “Ah, iya, kakak baik hati itu mencarimu.”

“Apa—?” Priestess gagal untuk menjawab dengan segera. Sebenarnya, dia harus segera langsung bertemu dengan Kakak Anggur. Harefolk Hunter tampak tidak menyadari kekhawatiran Priestess seraya sang kelinci melambai dan berteriak, “Sampai jumpa!”

High Elf Archer menghela, kemudian mengadopsi sebisa mungkin suara seorang kakak perempuan, telinganya berkedut naik dan turun. “Sana; temui dia. Aku punya hal lain yang harus di lakukan.” Dia memberikan Priestess dorongan untuk memicu dia, sang gadis terhuyung ke depan sebelum melewati salah satu petualang lain.

Petualang itu adalah seseorang dengan kapak di pundak—pria itu menggunakan kalung peringkat Emerald, tingkat ke enam—bersama dengan keseluruhan partynya. Di belakangnha datang seorang warlock dengan pakaian compang-campinh dan seorang monk dengan seragam kusam. Sang warlock tengah membalikkan halaman sebuah buku mantra dengan kesal, mengulanginsesuatu dalam gumaman. Kemungkinan kesulitan untuk mengingay rapalan mantra yang dipilih untuk hari ini. Sang warlock menjentikkan lidahnya pada keriuhan yang ada di sekitarnya.

Sang pengguna kapak yang tampaknya adalah pemimpin party tidak mempedulikan sang warlock; dia berteriak, “Yo kamu! Apa partymu yang menangani ini? Mau langsung di mulai nggak questnya?”

“Bukan kami,” High Elf Archer berkata, tersenyum bangga. “Kami akan pergi berpetualang sekarang.”

“Itu berarti kami peringkat tertinggi di sini...” Sang pemegang kapak menghela nyarinh seolah ingin menunjukkan betapa beratnya beban ini, namun tidak butuh waktu lama baginya untuk merasa baikan kembali.

“Baguslah,” High Elf Archer berkata. “Kami serahkan padamu untuk menjaga tempat ini.”

“Serahkan pada kami. Tapi aku nggak yakin seberapa banyak yang bisa di serahkan pada kami, pekerjaan seperti ini...”

Priestess berpaling dari percakapan dan berlari menuju salah satu kuil yang sangat dia kenal. Dia memberi salam kepada kenalannya—cleric lain, petualang lain—seraya mereka berpapasan. Dia berusaha untuk tidak terburu-buru, tidak tergesa. Akan tetapi, dia masih berharap bahwa waktu yang di perlukannya untuk tiba adalah antara sekejap atau selamanya—untuk saat ini, waktunya terlalu panjang untuk tidak memikirkan tentang apapun, tetapi terlalu pendek baginya untuk mengatur perasaan yang dia rasakan. Pikirannya, tercerai-berai, mengianh di kepalanya, hingga terputar dan mengambang.

Banyak orang yang berbeda telah mengatakan hal yang berbeda kepadanya. Banyak orang berbeda tengah melakukan hal yang berbeda.

Jadi apa sih yang aku lakukan?

Dunia sangatlah luas dan kompleks dan juga penuh dengan tempat yang tidak dapat dia lihat. Kebanyakan dari tempat itu tidak ingin dia kunjungi, ataupun ketahui. Namun jika panggung yang bertajuk dunia ini begitu besar, seberapa besar belakang panggungnya, yang di mana hanya terpisah dengan sehelai tirai tipis. Atau bagaimana jika dalam kasus ini “panggung” yang terasa baginya, ketika pada kenyataannya itu adalah—

--belakang panggung.

Dia mengira bahwa dia sudah memahami penuh akan hal ini.

Apakah dia percaya bahwa dia dapat melakukan sesuatu? Hanya seorang gadis kecil yang mendengar bisikan dari para deea.

Berapa banyak cleric di dunia ini yang dapat melakukan keajaiban?

Dia telah membantu menyelesaikan beberapa petualangan. Bailah, lalu memangnya kenapa?

Dia telah tumbuh sedikit. Terus?

Adalah sebuah langkah yang begitu kecil hingga tidak mencakup satu petak dari papan ini.

Apa kamu serius berpikir kalau kamu—kamu!—dapat melakukan apapun?

Priestess, yang tadi merasa lebih ringan dan jernih, sekarang mulai merasa berat dan lamban kembali.

“Aduh, aku mau nangis rasanya,” dia menyadari itu. Dia menggigit bibirnya dan memaksa dirinya untuk menghadap ke depan. Namun kemudian...

“Hey. Ya ampun. Kenapa? Kamu kelihatan pucat.”

“Oh...”

Sang biarawati, yang mencari dirinya di segala tempat, tersenyum bagaikan matahari terbit. Dia menjulurkan tangannya yang gelap dan membelai lembut pipi Priestess.

“Eeyeeep?!” Priestess menjerit di kala wanita itu mencubit wajahnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Sumber dari air matanya berubah secara drastis, dan Priestess mengeluarkan erangan bernada tinggi, menyadari betapa konyol dan memalukannya dia terlihat.

Kemudian, sang biarawati menarik wajah Priestess naik dan turun, tertawa, “Heh-heh-heh, hee-hee-hee!” seraya dia melakukannya. Kakak Anggur akhirnha melepaskan dia ketika Priestess tampak mulai akan marah. “Senyum dong, senyum. Hanya boleh satu kali saja ketika cleric perkasa berjalan dengan tampang seolah dunia akan berakhir, dan itu adalah ketika dunia memang akan berakhir.”

“Ba-bagaimana aku bisa senyum kalau kamu menyakitiku...?!”

“Paling tidak kamu sudah tidak tersesat dalam pikiranmu lagi kan?” Kakak Anggur berkata, menyeringai, dan Priestess tidak mempunyai jawaban.

Priestess telah berusaha untuk mencari apa yang harus dia katakan ketika dia melihat Kakak Anggur, namun segalanya yang dia pikir telah terbang keluar dari kepalanya, bersama dengan rasa cemasnya. Pada akhirnya, apa yang hanya keluar adalah sebuah pertanyaan yang murni. “....Bagaimana kamu bisa ceria dan riang begitu?” Walaupun pertanyaan itu di utarakan dengan bibir yang mengambek.

“Pertanyaan bagus. Entahlah...” Kakak Anggur brnar-benar tampak tidak tahu, walaupun itu adalah dirinya sendiri yang sedang di bicarakan.

Mungkin ini adalah hari mencuci: Kakak Anggur duduk (cukup tidak anggun) pada sebuah gentung di samping ember yang di mana banyak seragam yang di lempar ke dalamnya. Mengayunkan kakinya, memperhatikan sekeliling kuil dengan kedua matanya, kemudian mendengak menatap langit biru. “Kemungkinan....karena aku tahu.”

“Tahu apa?”

Kakak Anggur tersenyum dan memberikan “adik kecilnya” sebuah kedipan. “Kalau aku bukan anak goblin.”

“Jadi biarkan saja orang tolol lainnya berkicau sesuka mereka! Mereka tidak tahu apapun—mereka hanya ngomong, ngomong, ngomong. Itu saja. Dia tersenyum.

“Dan juga ada hal lainnya. Kamu nisa cemas, atau marah, atau kamu bisa menangis—tapi kamu masih akan lapar pada waktunya, dan kalau seseorang menggelitikmu, kamu masih akan tertawa. Jadi lebih baik nikmati dirimu sendiri saja—dan itu jalan yang lebih bermoral juga.”

“...”

Priestess tidak paham. Dia tidak paham, namun sepertinya itu adalah sesuatu yang sangat sederhana. Karena itu telah menumpuk dan menumpuk semenjak dia dapat mengingatnya.

Kakak Anggur bersandar pada gentung untuk melihat wajah Priestess. Wanita muda itu berkedip dan mendapati dirinya bertatap dengan mata yang dapat menghisapnya. Dia menarik napas.

“Kamu ingat ajaran dewi kita. Coba ingatkan aku yang paling penting?”

Baik, bu.” Priestess mengangguk. Tidak terlihat sedikitpun keraguan. “Lindungi, sembuhkan, selamatkan.”

Bagus.” Kakak Anggur menyeringai. Senyumnya sangatlah indah dan sejernih langit biru; senyum itu timbul dari hati yang tulus gembira. “Kalau kamu merasa tersesat, ikuti saja ajarannya. Siapa yang peduli apa kata orang? Kita punya dewi di sisi kita!”

“...Baik, bu.” Priestess mengangguk kembali. “Baik, bu!” dia mengangguk lebih tegar.

“Kalau begitu ikutilah jalan yang lurus dan benar!”

“Baik, bu! Akan ku lakukan! Aku akan pergi ke petualanganku sekarang.” Dia mengangguk kembali, dan kemudian berlari menjauh. Tongkat deriknya berdenting seraya dia berputar, memegang topi di kepalanya, dan menunduk. “Um!” Dia tidak yakin apa yang harus di katakan selain “Terima kasih—banyak!”

“Kamu terbalik.” Itu seharusnya kalimatku.

Priestess menunduk kembali melihat wanita itu yang terhibur dan kemudian berlari.

Dia memiliki kecemasan. Dia memiliki kebimbangan. Namun dia tidak lagi peduli akan itu. Apa yang akan dia lakukan dan bagaimana dia melakukannya: Dia sudah belajar hal itu sejak dulu, dulu sekali dan telah mencapai sejauh ini dengan menerapkannya. Mungkin itu adalah sesuatu yang telah menjadi kebiasaannya, namun dia yakin sekarang.

Jalan yang dia tempuh pastilah apa yang orang sebut sebagai kepercayaan.