AKAN BAGAIMANA SEMUA ORANG MENGERJAKAN URUSANNYA SENDIRI

(Translator : Zerard)


Buih-buih dari anak sungai sangatlah menenangkan di dalam dunia suram ini. Sangatlah sulit menahan godaan untuk dapat tidur sebentar, walaupun tentunya ini bukanlah waktu untuk melakukan itu. Godaan ini semakin menguat karena ini adalah wilayah gadis itu sendiri, taman bermandikan surya mentari di dalam kuil Supreme God. Bekerja dari subuh hingga senja tidaklah mengartikan bahwa seseorang itu semakin mampu. Dan pengikutnya selalu meminta dirinya untuk beristirahat.

Tentunya dunia tidak akan berakhir jika dia mengambil satu atau dua jam tidur...

Hmph. Itu cuma alasan saja, dan saya tahu itu.

Sword Maiden menarik lembut pedang dan timbangan ke tempat dia tengah bermandikan cahaya matahari siang. Dia mendengar langkah kaki yang datang dari koridor. Langkah yang tidak asinh—namun sesuatu yang aneh mengiringi langkah itu di kejauhan. Dercakan sebuah armor. Suara itu sangat tidak berirama. Bercampur baru. Campuran dari beberapa ras dan kelamin.

“Apa ada beberapa petualang datang...?”

“Ah, i-iya, bu...”

Tanpa mendengak, Sword Maiden dapat mengetahui bahwa Female Merchant berdiri terdiam di jalan masuk taman. Biasanya Sword Maiden akan berupaya untuk “melihat” pada orang, namun dia merasa cukup malas saat ini.

“Mereka bilang mereka ingin bertemu dengan amda, Nona Archbishop. Saya sudah meminta mereka untuk menunggu...”

“Hmm.” Terdengar hembusan angin di kala dia berdiri, bertumpu pada pedang dan timbangan, menyebabkan detingan pada benda itu. “Dan, jika saya boleh bertanya, apakah ibukotanya?”

“Sama seperti biasanya, saya rasa.” Female Merchant (Sword Maiden merasa) tersenyum dengan sedikit kepahitan. “Yang Mulia menangani langsung permasalahan pemerintahan, tapi plot dari para bangsawan dan pedagang besar, atau sekte jahat masih belum ada habisnya...”

“Yang berarti sederhananya dunia tidak akan pernah kehabisan bibit petualang.”

“...Ya, bu.”

Sword Maiden cekikikan; berbanding terbalik dengan Female Merchat yang melihat tanah dengan muram.

Saya paham itu hal yang bagus, tapi itu sama saja, pikir Sword Maiden.

Female Merchat telah mengalami pengalaman buruk, melihat terlalu banyak, namun tetap saja, dia tidak kehilangan kerewelannya. Sword Maiden melihat semua itu sebagai hal yang menyenangkan, namun tentunya tidak di ragukan itu pasti sering meyakiti Female Merchant itu sendiri. Sword Maiden seharusnya tahu—dirinya juga sama. Dia telah menjelajahi dungeon terdalam, dan di antara itu dan petualang lain setelahnya, dia telah banyak melihat...

“Kota ini juga sama,” dia berbisik, seolah menginstruksikan muridnya yang goyah.

Dia mengambil langkah ke depan menuju Female Merchant, memperpendek jarak di antara mereka dan menjulurkan satu tangan untuk menyentuh pipi gadis itu, mendengar getaran akan “Oh” yang berasal dari jawabannya. Kulit itu bagaikan sutra di balik jemarinya. Sword Maiden Tersenyum pada kehangatan yang teradiasi. “Akan selalu ada mereka yang lari, bersembunyi dari matahari, melalui bayang-bayang. Seperti itulah jalannya dunia...dan kita harus memahaminya.”

Dia membelai pipi itu lembut dan merasakan Female Merchant tersentak. Terasa begitu manis, mata Sword Maiden menyipit terhibur di balik kainnya. Dia semakin yakin bahwa dia terlihat seperti ini bagi mereka yang ada di sekitarnya ketika mereka menjelajahi sungeon itu.

“Pertama, saya ingin kamu untuk mengakui bahwa mereka ada. Itu berbeda dari menyerah. Dan kemudian, dengan dasar itu...”

Berbicaralah.

“Kita tidak menghakimi kejahatan di dunia namun memberikan perhatian pada mereka. Itu adalah keadilan.”

“Hukum berdasar pada keadilan, namun tidaklah sama dengan keadilan, ataupun penghakiman. Tidak bisa membedakan hal ini, dan seseorang akan terjerumus pada kebenaran pribadi.”

Female Merchat menegang. “Ya...bu,” dia menjawab lemah.

“Hee-hee. Bagus.”

Sword Maiden mundur, dan dengan “Oh” lagi.

Sekarang, setelah ini telah usai di selesaikan...

“Tolong panggil para petualang itu. Mari kita dengarkan apa yang mereka ingin katakan.”

“Oh, i-iya, bu...!” Pedagang Wanita masuk ke dalam lorong kuil.

“Baiklah,” Sword Maiden berkata seraya dia mendengarkan gadis itu pergi dan meluruskan posturnya sendiri.

Dirinya sendiri pernah terjerumus pada jalan yang tidak benar belum lama ini, dan bukanlah kekuatannya sendiri yang telah mengembalikan dia ke dalam jalan yang benar. Sekarang adalah kewajibannya untuk menolong orang lain, betapapun kecil bantuannya itu, kapapun itu, selama dia mampu. Dia telah merasa seperti itu semenjak dia berkomitmen untuk masuk ke jalan petualang. Sekarang setelah dia merenungkannya kembali, perasaan itu terasa dingin dan keras, seperti butiran kaca.

Namun, walaupun dengan semua itu, kurasa itu sesuatu yang patut di hargai.

“Baiklah, tamuku... Hee-hee, satu orang memiliki pedang berat. Ksatria wanita terhormat. Seorang half elf, seorang pemuda..” Yang lainnya adalah anak kecil—atau mungkin rhea yang bertelanjang kaki?

Semua pikiran ini melintasi kepala Sword Maiden seraya dia berputar untuk menghadapi kewajiban yang ada di tangannya.

*****

“Ah, di sana kamu rupanya!”

Bahkan keramaian dan keriuhan kota air tidak sedikitpun menghalau persepsi dari petualang berpengalaman.

Terdapat seorang gadis duduk di sebuah bangku, menggunakan pakaian hijau dan memegang tombak besi di tangan. Ya, mereka telah menjadwalkan pertemuan, namun hanya sang raja atau bangsawan terpenting yang memiliki jam tangan mekanikal yang sangat mewah (atau presisi) dia telah meminta anggota partynya Witch untuk mengirimkan familiarnya dengan pesan bahwa pertemuan ini akan berlangsung di siang hari.

“Yo, lama nggak ketemu. Senang lihat kamu sehat.”

“Iya!” sang gadis berdiri dari bangku dan menyeringai riang. “Tapi akhir-akhir ini lagi sulit sih. Aku ini sibuk banget sampai kamu nggak akan percaya.”

“Iya kah? Hei, aku lihat kamu punya senjata baru—berusaha meniruku ya?” Spearman mengangkat dagunya mengarah tombak baru gadis itu.

Dia masih mengingat pedang spektakuler yang di genggam gadis itu bawa di kala mereka pertama kali bertemu. Namun sebuah senjata mengagumkan tidak akan berkontribusi banyak pada keselamatanmu jika senjata itu tidak cocok dengan tipe tubuhmu. Gadis itu, yang merupakan seorang amatiran waktu itu, sekarang tampak jelas menjaddi petualang yang berhasil. Figur langsing di balik seragam hijau berlapis dengan baju besi untuk membuatnya tetap aman.

“Mimpi!” dia berkata, menjawab godaan dengan godaan. “Semuanya memilih bersama. Benda yang akan membuat kami seperti pahlawan dari legenda.”

“Huh.” Spearman menyeringai. “Kedengarannya bagus menurutku. Jadi semuanya berjalan lancar.”

Sang gadis cekikikan bangga dan membusungkan dada sedangnya; Spearman tersenyum kembali dengan sedikit tanda kesedihan. Semuanya yang di maksud gadis itu kemungkinan adalah wizard itu, dan warrior itu. Mereka meembuat pilihan yang bagus, Spearmam pikir.

Tombak merupakan salah satu senjata paling umum dalam sejarah manusia, hampir setara dengan pentungan. Bahkan para Enam Pahlawan yang menjelajahi Dungeon of the Dead kurang lebih sepuluh tahun yang lalu memiliki pengguna tombak di antara mereka...

“Ku kira pahlawan itu seharusnya cantik,” Spearman berkata menyeringai, mengingat rumor yang dia dengan tentang petualang tertentu itu. “Kurasa kamu perlu sedikit lebih tinggi dan mungkin sedikit lebih kewanitaan sebelum para penyair menyanyikan lagu tentangmu.”

“Aw, awas kamu ya.” Sang gadis tersenyum lebih lebar dan mencondong ke depan. “Lihat saja nanti, mereka akan bernyanyi tentang aku selama ratusan tahun!”

“Ha, aku nggak sabar, nak. Mereka bisa menyanyikan keseluruhan kisahnya padaku.”

Adalah percakapan ringan, hanya beberapa petualang di hari libur. Spearman perfi dan membawakam gadis itu semacam jajanan beku—“es krim”—dan sang gadis menerimanya dengan riang..

Di saat mereka kembali duduk di bangku, sang gadis dengan cepat mulai menggali sendoknya. Tidak lama kemudian, dia bergumam, “Jadi hei. Kamu lagi ngapain hari ini? Kita sudah sering berbicara bareng tapi selalu tentang rumor dan lainnya.”

Kamu perlu bertemu denganku sekarang ini juga untuk sesuatu?

Spearman menggaruk kepala dengan sedikit merasa malu. “Yah, uh, Aku nggak tahu apakah ini termasuk dalam darurat atau nggak, tapi.,,aku baru mendengar sesuatu yang kedengaran mencurigakan.”

“Mencurigakan?”

“Tempat di mana aku tinggal, Kuil Ibunda Bumi membuat anggur ini setiap tahunnya untuk di persembahkan kepada dewa di sekitar festival panen.” Spearman menggaruk kembali, merasa malu lagi, seraya gadis itu memberikannya tatapan kosong. “Tapi ini berubah menjadi sesuatu yang sneh tahun ini... Aku cuma, kamu tahulah, penasaran—apa kamu mengetahui apapun yang berhubungan dengan ini?”

“............Huh.”

Spearman tidak menyadari cara gadis itu yang sedikit menyipitkan matanya. Dunia penuh dengan bibit petualang, tidak peduli di manapun kamu berada.