BAGAIKAN BAJINGAN

(Translator : Zerard)


Gadis itu penasaran, ketika dia di tanyai, “Kamu ikut?” dia dengan segera meresepon, “Iya!” Sekarang, berjalan menuruni, jalan samping yang redup dan berbau aneh, Priestess merasakan sedikit penyesalan.

Berjalan di depannya adalah sesosok armor yang diam dan tak elegan. Walaupun pria itu cukup berbaik hati untuk menyamai langkahnya dengan gadis itu, Priestess masih merasa dirinya berlari untuk mengikuti dia. Priestess meremas tongkat derik di depan dada, ketika hatinya berdebar tanpa hanti.

Dia telah hidup di kota ini selama bertahin-tahun sekarang, akan tetapi dia tidak pernah membayangkan bahwa terdapat tempat seperti ini. Kawasan Kumuh, yang biasa di sebut orang-orang. Walaupun kota perbatasan adalah semacam pionir pos terdepan, kota ini menggunakan infrastruktur dari sebuah kota yang sudah ada sebelumnya di sini. Sekarang Priestess melongo bingung pada bangunan yang ada di sekitarnya. Dalam seumur hidupnya dia tidak pernah mengunjungi bangunan yang tidak tertata rapi yang menyebar hingga ujung kota.

Tentu saja, dia adalah cleric dari Ibunda Bumi. Dia tidak merasakan kebencian pada mereka yang duduk di tanah, menatap kosong, atau bergumam pada diri mereka sendiri, memeluk kain di sekeliling tubuh mereka. benar, terkadang Prietess merasa tidak nyaman di antara mereka, dia harus mengakui itu, namun jika salah satu mereka meminta bantuannya, dia akan membantu.

Kemudian, dia harus mengupas beberapa kenaifan yang mungkin masih menggantung dalam dirinya untuk mencapai setiap orang tidak beruntung yang mereka lalui. Namun…

Aku jadi penasaran apakah aku memang harus ikut dengannya.

Priestess mempercepat langkahnya kembali untuk mengikuti armor itu, yang di mana sudah berada di depan dirinya selagi dia berpikir.

“Kamu mau aku ikut bersamamu?” High Elf Archer sudah bertanya di Guild Petualang.

“Aku akan mencari bantuan,” pria itu berkata. “Kalian tetap di sini saja dan jaga kuil.”

Mereka masih tidak mengetahui apa yang musuh mereka—jika mereka memanglah musuh—inginkan atau bagaimana mereka akan bertindak. Mereka harus bersiap.

Begitu, High Elf Archer menyadari, memikirkan kembali pada petualangannya yang baru-baru saja. Adalah selalu mungkin bahwa makhluk mati atau goblin atau apapun yang mungkin mengincar Kuil Ibunda Bumi. Oleh karena itulah mengapa Goblin Slayer sedang menghabiskan waktu dan upaya untuk merespon situasi ini. Hal itu sendiri membuat hati Priestess berdebar, Priestess berpikir mungkin itulah alasannnya. Alasan ketika pria itu berkata “Kamu ikut?”—tidak bertanya tentang pendapat atau memberikan Priestess informasi apapun—Priestess merespon “Iya!”

Kemudian—Priestess berpikir, dia tidak dapat terlalu mengingatnya—dia telah berkata kepada High Elf Archer sesuatu tentang kekhawatiran dirinya terhadap kuil rumahnya. Itu bukanlah alasan yang kuat, dan semua rekannya sudah dapat menerka itu setelah melihat ekspresi wajah khas gadis itu.

Urrgh… Memikirkannya saja sudah cukup membuat wajahnya panas karena malu. Padahal aku kira aku ini sudah tujuh belas tahun!

Sangatlah memalukan bagi Priestess untuk berhadapan dengan sifat kenakak-kanakannya.

Banyak petualang yang pergi beraksi. Mereka melakukannya demi Kuil Ibunda Bumi—untuk keluarganya. Dia merasa, sepertinya, dia benar-benar…tumbuh. Jauh melebihi dirinya yang sebelumnya.

Ketika dia berbicara, dia mencoba untuk tidak membiarkan pikiran itu mengalir menjadi suara. “H-hei, pak Goblin Slayer…”

“Kenapa?”

“Kamu tadi bilang soal pe-pembantu… Apa kamu Tahu seseorang di sekitar sini?”

Pikiran itu sangat mengejutkan dirinya sendiri. Akan tetapi, di waktu yang sama, ini tampaklah wajar. Dia telah bersama pria itu dalam jangka waktu yang lama sekarang. Selama pria itu berjalan dari kebun ke Guild ke gua dan kembali lagi, tentunya dia akan membuat kenalan di keseluruhan kota secara alami. Meskipun tampilan pria itu, Priestess sering melihat pria itu berbincang dengan mudah bersama orang-orang yang dia tidak kenal.

Pria itu sudah veteran sekarang. Sudah sewajarnya bahwa dia mengenal banyak orang sekarang.

Sudah tiga tahun, tapi…

Akan tetapi Priestess masih belum mengetahui semua tentang pria itu. Pikiran itu membuat Priestess sedikit sedih., tetapi, di saat yang sama, gembira. Seperti sebuah buku yang sangat di gemarinya dan ternyata masih memliki banyak halaman yang tersisa.

“Seseorang yang aku tahu, ya. Tapi bukan seseorang yang ku kenal.” Dia berkata di ikuti dengusan pelan. Kepala Priestess mulai terisi dengan tanda tanya.

“Apa maksudnya…?”

“Ikut aku, nanti kamu tahu.”

Yah, apa yang bisa di katakan priestess untuk membalas itu?

Goblin Slayer berjalan melewati daerah kumuh, melihat ke sini dan kesana, seolah dia sedang mencari sesuatu. Priestess mengikutinya dengan keriangan—dan kesulitan—dari sekor burung kecil namun tanpa mengetahui apa yang pria itu cari.

\mungkin pria itu merasakan ketegangan gadis itu, karena setelah beberapa saat dia berkata dalam nada datar biasanya, “Sebuah tanda.” Ucapan itu begitu acuh. “Salah satu yang di ajarkan guruku.”

“Tanda…”

“Mereka meninggalkan tanda. Di pintu.”

“Uh… huh.”

Akhirnya dia berhenti di salah satu bangunan. Sebuah struktur kecil, berdiri di ujung kota.

“Toserba…?” Priestess bertanya, melihat tanda yang menggantung dengan beberapa rantai di atas mereka. apakah ini tanda yang pria itu maksud? Tidak, tidak mungkin, Goblin Slayer tadi berkata sesuatu tentang pintu. “Hmm,” Priestess berkata, menyentuh bibir dengan jari seraya dia matanya memperhatikan sekitar.

Mencari apapun yang sesuai dengan deskripsi, dia menyadari sebuah goresan kecil di salah satu ujung pintu. Goresan itu hampir tampak seperti di gores dengan kapur, namun menurut Priestss hal ini tidaklah unik atau spesial.

“Kita masuk.”

“Oh, b-baik!”

Sementara Priestess berdiri di sana untuk mencari tahu, Goblin Slayer mendorong pintu dan masuk, dia mengikuti pria itu dengan buru-buru.

Gelap, dan sempit.

Itu adalah kesan pertama Priestess. Sebuah lampu berkarat membara walaupun ini masih siang hari, membakar serangga kecil yang terbang mendekati. Cahaya oranye berminyak yang di hasilkannya membuat bayangan di dalam ruangan ini tampak berdansa. Priestess berkedip, merasa kan ombak perasaan sesuatu seperti kelinglungan.

Terdapat rak setinggi plafon di semua empat sudut, berbaris dengan berbagai macam benda yang penuh dengan debu. Dalam sekilas mata, sangatlah jelas bahwa jualan itu tidak bergerak sama sekali. Ini adalah toserba yang berada di ujung tanduk.

“U-um, pak Goblin Slayer…?” Priestess berbisik.

“…Apa yang anda cari, tuan pelanggan?”

Priestess menjerit terkejut “Eep!” seorang pria kecil bermata sayu sedang duduk di ujung toko, hampir terkubur dengan jualannya sendiri. Kapan pria itu datang—atau apakah dia sudah berada di sana dari tadi? Priestess bahkan tidak mengetahui apakah pria itu adalah rhea atau dwarf… tidak, dia tidak dapat menyingkirkan kemungkinan bahwa pria itu bisa saja manusia. Priestess dapat mengetahui dia adalah seorang pria, namun umur dan rasnya sangatlah rancu bagi Priestess.

Mungkin itu di sebabkan oleh kerchief pria itu—sebuah benda abu-abu yang tampak seperti rubah—menyembunyikan wajahnya. (TL Note: Kerchief = https://www.google.com/search?q=kerchief&safe=strict&hl=en&sxsrf=ALeKk02HgPpeXMbw7ftw6b9RqMIl9-sAig:1611712497069&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwjbn_j2gLvuAhWW63MBHcKeD5cQ_AUoAXoECBQQAw&biw=1920&bih=966 saya tidak tahu sebutan indonya apa.)

“Lentera tembaga,” Goblin Slayer membalas, “Dan minyak.”

“Kamu pasti seorang petualang, ya tuan.”

Huh? Mata Priestess melebar sedikit. Dia mengira mendengar adanya perubahan tipis pada nada kesal dari penjaga toko. Mungkin itu adalah akumulasi pengalamannya dalam berbicara, atau mungkin…

“Boleh aku tanya apa yang kalian ingin lakukan berikutnya?” Dan dua mata memandang mereka dari bali kerchiefnya. Tatapan itu begitu menusuk tanpa bermaksud apapun, Priestess memegang tongkat di depannya seolah ingin bersembunyi di balik tongkat itu.

Goblin Slayer hanya mengangguk. “Aku akan membasmi ular.”

“…Dan semoga kamu beruntung dalam melakukannya.”

Kemudian penjaga toko bergerak, berayun perlahan, Priestess mengeluarkan satu suara terkejut lagi.

Apa itu sihir? Dinding di belakang penjaga toko telah menghilang. Ruang yang menganga menunjukkan sebuah pintu berat berkelip yang tampak janggal dalam toko klautraphobik ini.

“Heh.” Sang penjaga toko berkata ketika dia melihat ekspresi Priestess. Priestess berpikir bahwa itu membuat pria ini terdengar seperti seorang rhea. Namun kesan yang melintas itu dengan cepat sirna.

“Selamat datang, nona muda dan tuan pembasmi goblin, pada Guild para Rogue.”

*****

“Bukan tugasnya kita buat memasang poster rekrutmen untuk para bajingan bumi, tapi ini terdengar lebih pantas ketika kamu memanggil dirimu sendiri sebuah Guild. Sejauh ini, kamu tidaklah berbeda dari Guild Petualangmu.” Penjaga toko menyengir pelan seraya dia membimbing mereka berdua menuruni sebuah jalan sempit. Apakah tempat ini benar-benar ada di balik toko kecil itu? Priestess tercengang.

Terdapat sesuatu lainnya yang membuat dirinya terbengong juga: penjaga toko ini. Priestess dapat dengan mudah menyangka pria itu sebagai rhea—namun bisa juga sebagai elf, dwarf, atau manusia. Terkadang dia mengira terdapat telinga makhluk buas di balik kerchief abu-abu itu, atau dia mendapatkan kilasan sisik lizardman dibalik bajunya.

Ini pasti sihir. Priestess berpikir kembali. Namun dia merasa itu bukanlah hal yang harus dia tanyakan. Beberapa hal di dunia ini jauh lebih baik untuk di biarkan saja. Dan dia mempunyai banyak pertanyaan lain.

“Seperti Guild Petualang…? Lengkap dengan quest dan yang lainnya..?” Dia bertanya ragu. Dia tengah berbicara kepada Goblin Slayer di sampingnya, namun adalah penjaga toko yang menjawab.”

“Yah, pemberi berbicara kepada perantara yang mencari pelari untuk mereka; itu tidaklah jauh berbeda.” Dari cara penjaga toko  berjalan ke depan, satu-satunya suara kaki yang menggema di lorong adalah kaki Priestess dan Goblin Slayer. Dan dalam hal itu, walaupun dengan langkah sigapnya, langkah Goblin Slayer sangatlah senyap. Priestess mendapati dirinya sendiri meringis dengan malu di setiap ketak sepatu dan dentingan tongkat deriknya. “Tapi juga, kamu merupakan rumah bagi mereka yang merasa tidak dapat mempercayai Guild Petualang.”

“Nggak bisa mempercayai kami?” Pertanyaan datar itu terdengar dari Goblin Slayer.

“Mmm,” penjaga toko berkata terkekeh. “Anggap saja permasalahan…kredit.”

Hmm.” Goblin Slayer mendengus.

“Harus mencari faktanya, itu etika yang seharusnya. Kalau kamu sampai bisa tertipu, itu salahmu sendiri.”

“Begitu.”

“Masalah pertama dengan pelari yang datang menangis tentang seseorang yang berbuat salah kepada mereka—mereka kelihatan konyol! Memohon seseorang lain buat menggosok pantat mereka…” Penjaga toko terdengar serius, mendengus seolah membenci keseluruhan hal itu. “Aku tahu itu cuma membuatku kedengaran seperti orang tua yang mengeluhkan pemuda-pemudi akhir-akhir ini, tapi ku kasih tahu saja ya, yang cuma bisa mereka lakukan itu hanya mengeluh.”

Adalah kemungkin, Priestess berpikir melamun, sebuah pertanyaan akan bagaimana mereka menjalani hidup mereka.

Dia telah mendengar rumor. Bisikan akan mereka yang berlari melintasi bayang-bayang kota besa, bekerja di bawah tanah. Pratiksi perdagangan yang di mana tidak ada seorangpun yang akan melindungimu, tidak dapat berpangku terhadap apapun terkecuali tekad dan kemampuanmu sendiri. Itu mengerikan, kebebasan yang di nikmati orang-orang ini, dan mungkin itulah mengapa orang lain mempertanyakan bagimana mereka menjalani hidup.

Priestess merinding kepada ketidakpastian dan kegentingan dari semua itu. Bagi dirinya, pertama Kuil Ibunda Bumi dan sekarang Guild Petualang telah menjadi semacam perisai. Yang bersudi pergi ke tempat di mana hal itu tidak ada.

“Pastinya kamu tidak akan bekerja dengan para pengkhiatan…” Penjaga toko tampak menyadari getaran Priestess dan tampaknya berusaha untuk menenangkannya. “Contohnya, kami masih bersyukur kepada tuan pelanggan atas layanan yang di berikan kepada kami pada festival panen dua tahun yang lalu. Yang mustahil bagi kami untuk membohongi tuan.”

“Oh…” Priestess tidak pernah merasa lebih bersyukur karena tersembunyi di balik kegelapan. Dia tidak dapat menebak siapa pria dengan kerchief abu-abu ini—tentunya, karena dia tidak dapat melihat wajah pria itu—namun sekarang dia merasa pria itu pernah melihat dirinya berdansa dengan tongkat deriknya di festival panen.

“Aku ingat malam itu,” Goblin Slayer bergumam, namun Priestess memiliki sesuatu di dalam pikirannya selain apa yang terjadi pada Goblin Slayer selama festival. Prestess memberikan terima kasihnya kembali kepada keremangan yang menyembunyikan wajahnya yang merah.

Penjaga toko tampak tidak menyadari reaksi gadis itu seraya dia membuka sebuah pintu di ujung terowongan. Tiba-tiba, Priestess harus menyipitkan matanya di hadapkan dengan cahaya yang membanjiri masuk dari sisi lain. Cahaya itu menyegat matanya, yang sudah terbiasa dengan kegelapan.

“…Rumah makan,” Goblin Slayer akhirnya berkata.

“Yang belum buka untuk hari ini, tapi benar.”

Di antara kelipan, Priestess dapat melihat Goblin Slayer dan penjaga toko berbincang dengan normal.

“Kamu bisa lihat…?” Pertanyaan itu keluar sebelum Priestess mengetahuinya, pertanyaan yang sama yang Priestess tanyakan dulu sekali.

Goblin Slayer mendengus pelan. Namun kali ini, dia menambahkan beberapa saran. “Ketika kamu memasuki tempat gelap, tutup satu matamu. Kalau belum terlalu lama, kamu bakal bisa beradatasi.”

“Ba-baik pak…”

Sementara itu, mata Priestess, akhirnya mulai terbiasa, dan sekarang dia dapat melihat ruangan tempat dia berada. Satu-satunya rumah makan yang dia ketahui berada di Guild dan yang lainnya yang tersebar di sekitar kota. Tempat ini, sangat terlihat—muram.

Atau…sunyi?

Reaksinya mungkin akan berbeda jika mereka datang pada malam hari, namun mereka sedang berada di tengah hari. Bangunan yang tertata rapi ini adalah sebuah ruangan kecil dengan beberapa kursi, di tambah meja layanan. Sebuah pikiran melintas di kepalanya.Mungkin ini dulunya toko armor.

Di belakang meja, ,menggunakan rompi hitam dan dasi kupu, seorang wanita cantik berdiri menggosok sebuah gelas. Aroma samar akan air mengingatkan Priestess bahwa pelayan bar ini adalah seorang “pelayan” yang lebih dari sekedar pelayan—bagian bawahnya terendam dalam sebuah drum air. Sang pelayan duyung tersenyum ketika dia menyadari Priestess memperhatikan dia, dan Priestess tersipu kembali dan memalingkan tatapannya.

Hal ini membuat priestess melihat beberapa padfoot berambut hitam, mereka berdua terlihat seperti kucing dan anjing, bermain instrument senar mereka. jika malam datang, penyanyi akan memamerkan suaranya, anggur akan tersebar bebas, dan perbincangan rumor akan berlarian di rumah makan. Adalah dunia yang berada di luar imajinasi Priestess.

“Speakeasy?” tanya Goblin Slayer. (TL Note : Speakeasy = semacam bar https://en.wikipedia.org/wiki/Speakeasy )

“Anggap saja pilihan astetik. Bukan berarti kamu nggak akan melakukan kesepakatan terselubung di saat di perlukan.”

Penjaga toko memanjat salah satu meja bar, dan Goblin Slayer duduk di bawahnya. Kursi berdecit memprotes beban armor ptia itu, namun suara itu membuat Priestess bergegas dan duduk juga.

Sebelum Priestess dapat mengatakan apapun, pelayan bar tanpa suara menggeserkan sebuah gelas kepada Priestess. Priestess penasaran apakah ini minuman beralkohol, namun dia mendapati minuman itu adalah suguhan susu segar, dan dengan ragu dia mengangkatnya. Pada saat yang sama, para padfoot di ujung memetik nada. Suara itu berada di antara sebuah terompet dan rekaman, terdengar baru bagi Priestess, namun dia mendapati suara itu begitu enak di telinganya.

“Keramahtamahanmu sangat rinci sekali,” Goblin Slayer berkata pelan. Terdapat minuman juga di tangannya. Sebuah bir putih tipis. Tampaknya tidak mungkin mereka akan memberikan alkohol kuat yang datang untuk berbicara bisnis.

“Heh-heh.” Penjaga toko terkekeh. “Kalau begitu sekarang…”

“Mm,” Goblin Slayer berkata pendek dan mengangguk.

Percakapan yang mengikuti cukup membuat kepala Priestess pusing.

“Baiklah tuan, mengapa nggak bersantai dulu? Bersenang-senanglah.”

“Terima kasih. Akan ku lakukan. Karena kamu sudah memberikan aku kursi dan minuman, aku akan memperkenalkan diriku. Santai.”

“Aku menghargai kamu memperkenalkan dirimu sendiri. Tapi pastinya kamu nggak membutuhkan topengmu itu—tolong, santai saja.”

“Seperti yang kamu llhat, ini penting bagi profesiku—tolong jangan di khawatikan.”

“Nggak, nggak, Aku harus memaksa kamu untuk santai.”

“Nggak, kamu santai.”

“Yah, kalau kamu maksa, baiklah aku akan menerimanya. Ku harap kamu nggak keberatan aku bersantai duluan.”

“Kamu harus memaklumi penampilanku yang nggak pantas. Aku datang dari sebuah kota pionir di perbatasan barat, masterku adalah seseorang yang datang dan pergi, dan profesiku adalah membasmi goblin.”

“Makasih, makasih. Aku harus memohon maaf karena boss sedang nggak ada di saat kunjungan pertamamu, jadi kamu harus berurusan denganku sendiri, tipe rubah dengan kerchief abu-abu.”

“Terima kasih sudah menerima introduksiku. Tolong angkat kepalamu.”

“Tentu saja tuan, tapi angkat kepalamu duluan.”

“Itu akan menjadi masalah.”

“Kalau begitu, bersamaan.”

“Baiklah.”

“Kalau begitu, permohonannya sudah terbentuk.”

Percakapan itu, hampir seperti perkenalan ritualistic akan diri mereka sendiri dan latar belakang mereka, selesai dalam satu napas panjang. Priestess hanya dapat mendengar sebagian dari itu, dan itu terdengar bagaikan rapalan mantra baginya. Di saat mereka berdia selesai berbicara, mereka mengangkat kepala mereka secara bersamaan, dan saling menghlea.

Priestess hampir tidak mengerti apa yang terjadi, namun sepertinya itu adalah sesuatu yang mereka berdua perlukan. Penjaga toko dengan kerchief abu-abu menyeringai, memaparkan giginya, dan berkata ringan. “Baiklah, tuan. Apa yang ada inginkan?”

“Infomasi.” Jawaban Goblin Slayer tidak bisa lebih acuh lagi. “Seorang pedagang anggur, di kota air. Aku mau mengetahui apa yang dia lakukan akhir-akhir ini.”

“Apa--?” Priestess hampir menjatuhkan gelas yang hendak di minumnya. Orang yang dia sebutkan—Dia tidaklah terlalu berkaitan dengan apa yang terjadi, namun Priestess tetap berkedip, mendengus pelan seperti yang sering pria itu lakukan, namun kemudian Priestess memiringkan kepalanya ketika dia tidak mendapatkan respon.

“…Apa hubungan dia dengamu?”

“Aku nggak tahu,” Goblin Slayer menjawab, satu jawaban acuh lagi. “Itulah kenapa aku investigasi… Atau meminta dia di investigasi. Dan kemudian aku akan melakukan gerakanku.” 

“Aha,” penjaga toko berkata, mengelus dagu dengan apa yang tampak seperti rasa kagum. “Aku paham sekarang…” Dan kemudian dia melingkar salah satu jari pendek gemuknya di udara, seperti seekor laba-laba yang merajut sutranya. “Dan berapa harga, untuk informasi ini?”

“Berapa yang kamu mau?”

Priestess menghela napas. Huh, Seharusnya aku tahu dia nggak akan repot-repot bernegosiasi.

Itulah di mana ketika kedua mata di bawah kerchief itu menyipit. Suara itu rendah, seperti sebuah belati yang di genggam di tangan. “Maksudmu kamu mau menampar wajah kami dengan uang?”

“Benar.” Goblin Slayer menjawab, seolah tidak ada yang janggal. “Ini permintaan penting. Kalau terlalu sulit untukmu, terserah saja.”

“Apa maksudmu kami nggak bisa menangani ini?”

“Apa bisa?”

Sepasang mata memantau dari bali kerchief abu-abu, masuk ke dalam helm baja yang terlihat murahan. Priestess mendapati bahwa dia semakin mendekap erat tongkat tanpa di sadarinya, tanpa sadar menyadari bahwa sesuatu—dia tidak megetahui apa—akan segera terjadi. Tentu saja, itu bukan kesiagaan, yang menyebabkannya semakin meremas tongkat, atau keinginan untuk dapat bereaksi secara instan—hanya sekedar rasa takut.

Ini bukanlah sejenis petualangan yang biasa dia lakukan, sejenis petualang yang bertempat di lahan terbuka. Ini adalah petualangan perkotaan, sebuah situasi yang sama sekali tidak dia ketahui. Dia mengira dia telah belajar satu atau dua hal dalam dua tahun terakhir, dan sekarang—udara menegang, dan Priestess menyadari bahwa dia tidak lagi mendengar dentingan music dari sudut ruangan. Dia menelan berisik liurnya , merasa seperti suara itu pasti terdengar di keseluruhan bar, dia hampir tidak dapat bernapas.

Dia tidak tahu berapa lama waktu telah berlalu—mungkin kurang dari apa yang dia kira—ketika penjaga toko mengangkat tiga jari. Goblin Slayer, melihatnya, dengan acuh merogoh isi dalam tas, mengeluarkan empat kantung kecil emas, dan menggesernya ke samping. Kantung itu berdenting seraya tergeser di atas meja.

Tidak lama kemudian, penjaga toko menghela. “…Kamu ini sama sekali nggak bisa bernegosiasi tua. Terdapat garis tipis di antara dermawan dan di manfaatkan.”

“Kamu dan aku bukanlah teman atau rekan,”Goblin Slayer berkata pelan, hembusan napas mengepul dari dalam helmnya. “Tapi aku memintamu untuk melakukan apa yang aku nggak bisa lakukan. Sudah sewajarnya kalau kamu memiliki harga untuk itu.”

Penjaga toko dengan kerchief abu-abu memplajari helm baja yang terlihat murahan dengan campuran keseriusan dan kelelahan. Akhirnya dia berkata, “Sepanjang tahun ini dan nggak ada kabar sedikitpun darimu—ku kira kamu sudah benar-benar lepas dari kami. Ketika akhirnya kamu muncul, dan inilah yang kamu lakukan… sumpah, cuma Burglar kamu yang dapat memproduksi murid sepertimu.”

Apakah itu kekesalan atau kekaguman yang di deteksi Priestesss dalam bisikan itu? Dia tidak yakin. Namun juga, kalimat itu—dan cara dia bmengucapkannya—terdengar seperti dirinya sendiri ketika dia berbicara kepada Goblin Slayer.

Penjaga toko menggeleng kepala dari samping ke samping, mengambil kantung-kantung kecil itu, dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian tatapannya berputar mengarah sang gadis. “Lebih baik kamu perhatikan benar-benar, gadis muda. Pria ini mungkin terlihat nggak ada apa-apanya, tapi dia adalah seorang petualang tingkat Silver. Dia akan sangat membantumu sebentar lagi.”

Untuk pertama kalinya semenjak dia datang, ekspresi Priestess terlihat melemas dan dia cekikikan. Ya, dia berkata, dia mengetahui itu.

“Bagus, bagus.” Pria dengan kerchief abu-abu menjawab, menepuk dadanya yang sekarang penuh dengan koin. “Sebuah permintaan dari master ini, kita akan upayakan sebaik mungkin untuk memenuhinya.”

Goblin Slayer juga melakukan sesuatu semenjak pertama kali mereka tiba—dia bergerak tidak nyaman. “…Jangan panggil aku master.”

Dari suara pria itu sendiri, Priestess mengetahui.

Dia merasa malu.

*****

“Phew…”

Luar, langit begitu jernih dan biru seolah ketika kamu baru bangun dari sebuah mimpi, atau melompat keluar dari permukaan air. Priestess mendapati dirinya sendiri membuat suara lega dan menghirup panjang udara. Sangatlah menyesakkan di dalam—bukan hanya karena ruangan, namun juga perbincangan. Dia sangat paham bahwa tempat seperti itu bukanlah wilayahnya. Bukanlah kebencian yang dia rasakan melainkan keasingan. Itu bukanlah tempat untuk dirinya---sebuah kebenaran yang dia pahami, walaupun itu bukanlah rasional.

“Tempat… Tempat apa tadi?” Dia menoleh ke belakang dan hanya melihat sebuah toserba. Hanya itu. Namun itu tidak akan terlihat sama lagi bagi dirinya.

“Sebuah tempat berkumpul untuk pelari. Petualang bawah tanah.” Ucapan Goblin Slayer datar, sangat singkat. Dia tidak menoleh ke belakang namun hanya berjalan ke depan dengan sigap, meningglkan Priestess untuk bergegas mengejarnya.

“Bawah tanah…” dia terkesiap. “Maksudmu, mereka belum mendaftar dengan Guild?”

“Ya.”

Priestess tidak begitu memahami ini. Itu artinya mereka pergi tanpa bukti identitas yang di tawarkan oleh Guild Petualang, tanpa jaminan tentang quest, tanpa apapun. apapun terkecuali diri mereka sendiri—benar-benar posisi yang sulit.

“Itulah mengapa mereka menggunakan tanda dan ritual—untuk memastikan siapa kamu dan untuk melindungi diri mereka sendiri.” Dia masih terdengar datar, namun tampaknya dia membaca pikiran sang gadis.

Untuk hidup dalam kebebasan, tidak terkait dengan apapun, adalah juga benar-benar tidak terlindungi dari apapun. hak untuk sekedar berjalan merupakan kewajiban untuk menerima bahwa kamu mungkin akan mati di alam liar tanpa ada seorangpun yang menemukanmu. Mungkin itulah yang membuat seseorang menjadi gelandangan, seorang bajingan.

“Artinya tempat seperti ini itu ada, dan beberapa orang hidup seperti ini.” Goblin Slayer berhenti di depan Priestess, yang menegang seolah takut. Ucapannya datar seperti biasa, akan tetapi…

Ini bukan tempat yang bisa di kunjungi seenaknya.

Itu, Priestess pikir, adalah apa yang pria ini maksud.

“Membasmi goblin,” Goblin Slayer berkata, dan kemudian dia terdiam beberapa saat. “Membasmi goblin sendiri bukanlah petualangan.”

“Ya pak” adalah yang hanya Priestess mampu ucapkan.

Priestess berpikir bahwa dia memahaminya, kurang lebih, mengapa pria ini tidak pernah datang ke tempat ini hingga sekarang. Mereka berjalan sedikit lebih jauh, hingga Priestess akhirnya dan benar-benar merasa dia telah menjauh dari toserba, dan ketika dia mencuri pandang ke belakang. Dia menarik napas seraya dia melihat bangunan yang menjulang di kejauhan.

“Apa menurutmu…mereka di sana orang baik? Atau…orang jahat?”

“Mereka menerima uang. Terkadang mereka melakukan hal baik untuk uang itu, terkadang buruk. Itu saja.”

Priestess merasa bahwa jalan hidup seperti ini masihlah sangat asing baginya.

“Begitu.”  Priestess merasa tidak yakin jika bisikan kecil itu terdengar pria itu yang di mana kembali berpaling. Pria itu berjalan kembali, langkah, sigap, dan Priestess berlari mengikuti.

“Jadi berikutnya kita…?”

“Mengumpulkan bukti. Itu yang pria itu katakan, dan itulah yang akan kita lakukan.”

“Bukti…?”

“Ya.” Goblin Slayer berkata, namun kemudian dia menghela napas. Hampir terdengar seperti dia tertawa, walaupun begitu kecilnya. “Ini adalah sesuatu yang aku pelajari dari masterku. Aku nggak akan melakukan apapun terhadap mereka.”

“Baik pak!” Priestess mengangguk. Dia merasa seperti beban yang ada di hatinya sedikit terangkat.

*****

“Kurasa aku bicara terlalu cepat.”

Ku kira mengumpulkan informasi itu artinya kita akan mengunjungi gang kotor lain lainnya. Bukan tempat ini…

Priestess kaku, semburan rasa kejut itu membuat dirinya tidak nyaman.

Ruangan itu benar-benar tertata rapid dan bersih. Mejanya bebas dari debu atau makanan. Priestess duduk dengan rapi di salah satu kursi.

Mereka telah meninggalkan kota perbatasan dan berjalan melewati jalan di antara dinding batu dan pagar, melintasi padang penuh akan rumput. Menuju kebun, kebun di mana Goblin Slayer tinggal.

“Begitu?”

“Iya, begitu…”

Goblin Slayer, duduk di sampingnya, sedang berbincang dengan pria paruh baya di seberang dirinya, sang pemilik kebun.

Tentu saja, bukan berarti Priestess belum pernah bertemu pria ini. Priestess telah berbicara dengan pria ini beberapa kali sebelumnya. Pertarungan musim semi pertama setelah dia menjadi petualang—bahkan sekarang teringat jelas di kenangannya. Jadi pria ini bukanlah orang asing, namun dia tidak pernah duduk dengan pria itu berbincang seperti ini.


Urrgh…

Tatapannya bergerakan tidak nyaman, pada akhirnya bertemu dengan Gadis Sapi, yang juga berada di meja. Gadis Sapi terkejut melihat pria itu kembali di tengah hari dan lebih terkejut lagi melihat Priestess bersamanya. Kejutan ketiganya adalah ketika Goblin Slayer memiliki sesuatu untuk di perbincangkan dengan pemilik, Gadis Sapi telah pergi ke rumah utama, menandakan bahwa dia akan membuat teh.

Dan pergilah dia, dan dia menuangkannya ke dalam cangkir teh, yang sekarang tersaji di depan Priestess. Priestess mengambil cangkir the yang mengepul ke bibir dan meniupnya. Adalah aneh,: ini terasa seperti teh yang di tawarkan Gadis Guild di Guild.

Mungkin dia menggunakan daun yang sama.

Adalah pikiran yang berlalu begitu saja bagi Priestess, namun seraya itu melintas, dia menyadari Gadis Sapi cekikikan. Dia ini benar-benar terlalu kan? Tampaknya dia hendak berkata, dan itu membuat Priuestess semakin santai, dan dia mulai tersenyum,

“Jadi sarannya…adalah supaya kamu memusnakan kebun ini dan mengubahnya menjadi lahan?”

“Bisa di bilang iya. Hancurkan pagar lama dan dinding batu itu, dia bilang. Bangun sesuatu yang baru, dia bilang.” Sang pemilik tampak seperti akan meledak. Dia sepertinya tidak penasaran mengapa Goblin Slayer menanyakan ini. Mungkin ini terlihat normal baginya… Atau iya? Priestess tidak tahu. “Harga yanf dia tawarkan nggaklah jelek. Dan aku bukan pria muda lagi. Kalau aku nggak menyewa bantuan seseorang, aku nggak bisa lihat kebun ini bisa berlanjut terus.” Jadi akhirnya aku harus tetap mengganti sesuatu adalah apa yang tampak dia ingin katakana. Dia mengernyit. “Tapi aku ini memang pria tua. Yang sudah terpaku pada jalannya. Untuk melakukan Sesuatu yang benar-benar bari sekarang—aku nggak punya hati untuk melakukannya.”

“Begitu,” Goblin Slayer berkata, dan melirik keluar jendela. Atau lebih tepatnya, Priestess mengira pria itu melakukan. Dia tidak dapat mengetahui secara pasti kemana pria itu menatap berkat helmnya. Priestess mengikuti tatapannya (atau asumsi kemana tatapannya), yang di mana menatap mengarah kebun yang membentang, sapi-sapi dengan rajin mengunyah rumput. Adalah bukan kebun yang besar, namun adalah kebun yang terawatt rapi, sebuah tempat untuk di banggakan, Priestess pikir.

Goblin Slayer tampak merasa sama, karena ketika dia berbicara kembali, dia masih terdengar sopan dan santun. “Dan sepertinya akan membutuhkan banyak bantuan orang untuk mengubah tempat ini jadi lahan juga.”

“Aku akui, beberapa dari ini secara pribadi aku nggak menyukai idenya. Pedagang itu bilang dia akan mencari orang untuk melakukan semua pekerjaannya.”

Sang pemilik bisa saja mengambil uang dan menerima bantuan, dengan nurut mengubah kebunnya menjadi lahan, dan menjalani hidupnya. Benar, benar, itu akan menjadi kehidupan yang mudah. Dia akan mempunyai banyak pembantu, dia bahkan tidak perlu bekerja sendiri lagi. Dia dapat sekedar duduk dan menikmati masa tuanya.

 “Tapi aku beri tahu ya,” dia berkata, “Aku mungkin kelihatan nggak ada apa-apanya, tapi aku ini seorang petani kecil, pemilik tanah ini.” Sebuah nada menegur terdengar dalam nadanya. Adalah dia yang melindungi lahan ini, adalah dia yang memanen lahan ini—ini adalah tanahnya. Siapapun yang dia sewa sebagai pembantu atau mengubah keseluruhan lahan ini menjadi sawah panen, adalah dia yang akan membuat keputusan untuk tanah ini.

“…” Di bawah helmnya, Goblin Slayer menarik napas, dan menghelanya kembali. “Aku percaya padamu.”

Hanya tiga kata itu, namun jawaban dia tampak memuaskan sang pemilik, yang mengangguk perlahan. Kemudian, wajahnya masih tegang, dia berkata, “Si anjing tua itu bahkan bilang kalau dia mempunyai tawaran pernikahan untukmu..”

“Apa?” seseorang berkata, di iringi dengan dentingan sebuah cangkir the—apakah Priestess atau Gadis Sapi? Gadis Sapi, setidaknya berdiri dari kursinya. Matanya terbuka lebar dan suaranya terisi dengan apa yang tampaknya adalah rasa kaget, atau kebingungan, atau sekedar kekesalan sederhana. “Apa-apaan? Aku nggak ada dengar soal itu.”

“Karena aku menolak tawarannya,” paman berkata datar. Dia mengangkat cangkir dari the hitam dan meminumnya. “Kita bukan bangsawan. Kita nggak memikirkan orang lain demi bisnis.”

Mungkin bukanlah itu apa yang ingin di dengan Gadis Sapi. Masih berwajah merah, dia mengayunkan lengannya tanpa arah, membuat suara semacam desahan. Priestess, sekarang menjadi tidak nyaman, terus mengarahkan matanya ke bawah di selingi dengan beberapa lirikan pada Goblin Slayer. Dia tidak dapat melihat ekspresi pria itu—apa yang pria itu pikirkan? Bagaimana yang dia rasakan tentang ini?

“…” Goblin Slayer mendengus pelan, kemudian terdiam. Priestess tida melihat dia mengangkat cangkir yang ada di depannya, namun dia menyadari bahwa cangkir pria itu telah kosong,

“Pak Goblin Slayer…?”

“Ya.”

Adalah jawaban terpendek. Datar, tenang—cara pria itu selalu berbicara ketika dia sedang memfokuskan perhatiannya pada sesuatu. Terdengar sebuah bunyi seraya dia mendorong kursinya dan berdiri dengan gerakan acuh.

“Aku pergi untuk berpikir,” dia berkata kepada Gadis Sapi. “Bisa aku tinggalkan dia bersamamu?”

“Huh? Oh…” Gadis Sapi terkejut, namun dia mengangguk. “Yeah, Aku…aku nggak keberatan.”

“Permisi.” Goblin Slayer menundukkan kepala. Priestess ingin mengatakan sesuatu, namun dia tidak dapat membentuk kata, dan pada akhirnya, dia tetap diam. Sedangkan untuk pria itu, dia melakukan gerakan lagi dengan helmnya, kemudian menoleh kepada sang pemilik kebun. “Terima kasih. Kamu sudah banyak membantuku.”

“Begitu…?” Suaranya ambigu, sama sekali tidak mempunyai ekspresi seraya dia meletakkan cangkirnya di atas meja. “Senang kalau itu benar…”

“Ya, pak… Ini sangatlah informative. Sangat.” Dan dengan itu, Goblin Slayer berjalan sigap keluar ruangan tanpa sedikitpun melirik ke belakang. Dia membuka pintu rumah utama, kemudian menutupnya.

“……”

“Ha-ha…”

Priestess dan Gadis Sapi melihat pintu, kemudian saling bertukar pandang, dan kemudian mereka berdua saling berbagi eskpresi lelah.

*****

Sasaran mereka adalah kebun. Goblin Slayer menyimpulkan, namun kemudian dengan cepat dia menggeleng kepala. Dan kemungkinan besar, ini hanya sebagian dari rencana mereka.

Angin berhembus melintasi rumput di kakinya, kemudian bertipu melewati batu dinding dan menuruni jalanan. Goblin Slayer memutar kepala, memperhatikannya pergi, kemudian mendengak ke langit. Dia dapat melihat burung terbang melintasi langit biru tinggi di atas. Dia menyipitkan mata di hadapkan cahaya yang masuk ke dalam helmnya.

Segalanya tampak berputar di sekitarnya, menarik dirinya dan melontarkannya kembali. Dia tidak pernah merasakan bahwa situasinya sekarang buruk. Bagaimana mungkin? Ini hanyalah…

Melawan goblin di dalam gua sempeti jauh lebih sederhana. Dia mendapati lebih sering berpikir seperti itu. Mungkin, pada akhirnya, dia memang tidaklah cocok untuk ini.

Dia mendengus pada ide dangkal itu. Segalanya adalah tergantung pada lakukan atau tidak lakukan—Bisa atau tidak bisa tidak ada sangkut pautnya dengan ini. Itu saja.

Dia berusaha menaga kesiagaan biasanya seraya dia mulai berjalan menuju kebun dengan langkah acuhnya. Seraya dia berjalan, tenggelam dalam pikiran, para sapi mendekati sosok armor tidak asing itu. Memberikan masing-masing dari mereka elusan di hidung, dia mendapati sebuah tempat yang cocok dan duduk. Memikirkan keseluruhan permasalahan saja tidak akan menyelesaikannya, jadi ini adalah waktunya untuk mengorganisir apa yang dia ketahui. Goblin Slayer mengambil sebuah ranting kayu dan mulai menggores tanah.

Mereka mengincar kebun. Namun mengapa?

Dia menggambar sebuah garis, kemudian sebuah lingkara pada ujungnya, dan kemudian menambahkan sebuah lingkaran kecil di samping. Dia menggambar kota dan jalanan, kebun dan garis yang melambangkan dinding batu dan pagar, sebaik dia dapat mengingat semuanya.

Hancurkan pagar, runtuhkan dinding batu, datarkan kebun—ini akan membuat kebun ini telanjang. Tapi apa tujuannya?

Sasaran mereka adalah kebun.

Hal itu, setidaknya, dia yakin. Adalah jelas bahwa ini semacam siasat untuk tujuan itu. Mungkin ini terlihat sedikit paranoid, namun terkadang seseorang perlu sedikit paranoia. Banyak para bajingan dapat memberi tahumu bahwa kesiagaan berlebihan telah menyelamatkan nyawa mereka.

Namun Goblin Slayer mendengus pelan. Dia tidak dapat menjabarkan diagramnya lebih jauh lagi.

Ini tidak akan berakhir jika dia melindungi kebun. Ini tidak akan berakhir jika dia membunuh goblin. Ini bahkan tidak akan berakhir jika dia menghancurkan sarang.

Berpetualang itu…sedikit sulit.

“Wah, ternyata Goblin Slayer. Lagi senang berbicara dengan dirimu sendiri?”

Suara jernih, jelas itu datang dari atas kepalanya. Hrk, dia mendengus dan mendengak untuk melihat kilau armor dari Knight Wanita. Di belakang wanita itu adalah Heavy Warrior, bersama dengan anggota party lainnya, Bocah Scout, Gadis Druid, dan Half Elf Light Warrior. Itu artinya…

“Petualangan?”

“Er, nggak, Cuma lagi menuju kota air. Yang lain akan bertemu dengan kami, dan kami akan bergabung.”

Goblin Slayer mengorek ingatannya dan menyimpulkan bahwa “yang lain” pasti adalah Spearman dan Witch.

“Jadi lagi apa kamu? Hei…apa ini?”

“Peta,” dia berkata seraya Knight Wanita menjulurkan lehernya untuk melihat. Goblin Slayer menunjuk salah satu lingkaran kecil dengan ranting di tangan. “Aku nggak mengerti kenapa musuh akan menyerang di sini,” dia mendengus. “Walaupun ini pernah terjadi sebelumnya.”

“Ya sudah jelas karena ini kastil percabangan.” Dia berkata seolah itu begitu sederhana. Knight Wanita membusungkan dadanya yang tertutupi armor dengan bangga, seolah ingin mengatakan, Masa kamu nggak tahu itu?

“Kastil percabangan.”

“Uh-huh. Mereka terkadang menyebutnya kasstil pendukung, tapi poin utamanya adalah, sebuah benteng untuk melindungi kastil utama,terkadang mereka membangun kastil sederhana selama pengepungan kastil.”

“Hmm,” Goblin Slayer membuat suara berterima kasih atas perspektif lain ini dari seseorang yang tidak di sangka. Kastil percabangan—adalah istilah yang menarik. Sebuah ekspresi dari sebuah lahan yang dia tidak ketahui sama sekali. Dia memfokuskan konsentrasinya.

Akan tetapi, Knight Wanita, tampak tidak emnyadari itu seraya dia terus berkata. “Kamu nggak bisa menghiraukan cabang dan menyerang benteng utama. Tapi di saat yang sama, saat kamu mencoba menyerang kastil pendukung, kamu juga akan mendapatkan kepungan dari kastil utama juga.”

“Situasi berbahaya.”

“Mm.” Knight Wanita mengangguk. “Jadi banyak strategi yang mempertimbangkan jalan terbaik untuk menyingkirkan adanya bala bantuan.”

Sebagai contoh, kamu mungkin menawarkan perdamaian sebagai ganti untuk perubuhan kastil percabangan…

Wanita itu berbicara pertempuran militer dengan fasih, akan sebuah cerita yang tergambar dari pertarungan sesungguhnya—semacam hal yang seorang knight seharusnya ketahui. Goblin Slayer tidak mengetahui apapun tentang masa lalu wanita itu, namun knight pengembara atau knight errant masihlah seorang knight.

“Begitu.” Adalah ucapan Goblin Slayer seraya dia mengangguk dan mencoba memaksa semua ini masuk ke dalam kepalanya. Dia sama sekali dia mempunyai kecerdasan untuk mengingat semua ini sekaligus. Namun dia selalu dapat mencoba untuk mengingat.

“…Bukan, Aku tahu apa ini—ini peta kebun ini kan?”

“Hrgh?!” Knight Wanita hampir tersedak ketika dia mendapati ceramahnya di sela oleh Heavy Warrior, mengintip dari balik pundak wanita itu. Knight Wanita itu menatapnya dengan lototan seraya dia berkata, masih terkejut. “Ap--? Tapi—Hei! Apa yang aku bilang masuk akal kan?! Itu masuk akal sekali!”

“Dengar, jangan terlalu menggebu begitu…”

 “Tunggu,” Goblin Slayer berkata. Dia benar-benar merasakan rasa hormat murni, dan dia berupaya untuk bernada sopan. “Sebenarnya… Tadi itu sangat bermanfaat. Aku menghargainya.”

“Tuh, kan!” Knight Wanita mengendus penuh kemenangan pada hasil dari dukungannya, sementara Heavy Warrior hanya menghela. Pria itu merasa bahwa ini adalah permasalahan yang selalu terjadi pada para knight—atau mungkin knight ini saja.

Goblin Slayer memberi salam kepada mereka berdua dan party mereka, dan kemudian—mungkin dia merasa bahwa ini adalah hal yang benar untuk di lakukan—menundukkan kepalanya. “Maafkan aku. Aku nggak bermaksud untuk menghabiskan waktu kalian selagi kalian lagi dalam perjalanan.”

“Aw, nggak usah di pikirkan.” Heavy Warrior melambaikan tangan dan menyeringai. “Berusaha menyimpan waktu di saat kamu sama sekali nggak mempunyainya, itulah di saat kamu akan kehilangan sebagian besar dari semuanya.”

“Begitu?”

“Pastinya. Tergantung dari waktu dan situasi tentunya.”

“Begitu.”

Dan kemudian, setelah percakapan singkat ini, Heavy Warrior dan partynya berlanjut berjalan di jalanan kembali.

Perjalanan menuju kota air. Beberapa hari akan di butuhkan untuk pergi ke sana dan kembali lagi. Apa yang akan di lakukan di sana—Goblin Slayer memikirkan itu semua.

Apa yang harus dia lakukan? Bagaimana dia harus bertindak?

Heavy Warrior pernah berkata—kapan itu?—bahwa dia berharap kalau dia adalah raja. Benar, Goblin Slayer sekarang dapat melihat betapa sulitnya posisi itu. Bukanlah sesuatu yang dapat di tangani hanya dengan menghancurkan goblin yang ada di depanmu. Kamu harus melihat lebih, mengetahui lebih, berpikir lebih, dan membuat keputusan tegas.

“…Berpetualang itu sulit.” Seraya Goblin Slayer berjalan pada langkah sigapnya, dia berpikir tentang apa yang ada di dalam kantungnya.

Tangannya selalu di sana. Selalu. Dan dengan tangannya, dia dapat membuat rencana.

Pada saat ini, kebanyakan dari rencananya tidaklah begitu petualangan sekali.

Jadi apa yang harus dia lakukan?

Menjadi seperti bajingan—itulah jawabannya.