BADAI

(Translator : Zerard)


“Eek!” Priestess menjerit berguling berguling masuk ke dalam semak-semak seraya rahang makhluk liar menerjangnya. “Eee-yaahh...!’ Dia mengayunkan tongkat derik, dan taring menggigit tongkatnya dengan keras.

Liur menjijikkan menciprat dalam tetesan di wajahnya, membuat dirinya bergetar ketakutan. Monster yang ada di hadapannya melotot marah dan memiliki ukuran tubuh yang besar, benar-benar anjing dari neraka. Tidak akan ada harapan bagi korban yang tergigit oleh warg ini.

“Ooh... H-hggh...!” Priestess mengerahkan segenap tenaga dan menendang udara dengan kakinya yang kurus, melakukan apapun untuk mencegah taring itu datang seraya mereka semakin mendekat. Kaki warg, yang lebih besar dari leher Priestess menekan tubuh langsingnha, cakar menusuk ke dalam daging lembutnya. “Ahh... Ahh...?!”

Berkat baju besinya, ini tidak sakit, setidaknya tidak terlalu. Walaupun begitu, paru-paru dan perutnya masih tertekan, dan sebuah rintihan memaksa keluar dari mulut Priestess. Dia berusaha bernapas, pandangannya semakin buram. Di suatu tempat di belakang warg, dia dapat melihat pohon hitam sebuah hutan. Benar, tatapan gadis itu bagaikan rontaan seekor mangsa binatang yang sedang di tekan di atas bumi, menunngu untuk di makan—makhluk yang menyedihkan.

Namun Priestess siap dan juga cerdas. Dia tahu bahwa dia hanya membutuhkan sebuah kesempatan sekejap.

“GARW?!”

Sedetik kemudian, warg menjerit seraya dia menerima tendangan dari samping dan terlempar dari Priestess.

“Kamu nggak apa-apa?”

“Y-ya!” Priestess batuk beberapa kali namun dapat menenangkan pernapasannya, dan ketika dia mendengak ke atas, dia melihat seorang petualang. Pria itu menggunakan armor kulit  kotor dan helm baja yang terlihat murahan. Di tangan terdapat pedang dengan panjang yang aneh, dan pada lengan, sebuah perisai bundar. “Ada satu lagi, pak Goblin Slayer...!”

“Aku tahu.”

“GAAWRG!!”

Seraya warg kedua datang berlari, pria itu menghantam hidung binatang itu dengan perisai.

“Hmph.”

Sang monster terjatuh dengan jeritan, dan Goblin Slayer melompatinya seraya menusuk ke bawah, mencabik tenggorokannya.

Goblin Slayer menggunakam perisai untuk menahan makhluk itu pada detik terakhir rontaan kematiannya, kemudian secara perlahan berdiri. “...Mereka menyadari keberadaan kita dekarang.”

“Ya...kemungkinan.”

“Intuisiku sudah menumpul.”

Priestess tidak menjawab, dianberdiri, mengelap lumpur dan kotoran dari semak-semak sebisa mungkin.

Di hadapan mereka terdapat lubang gua yang menganga, yang tampaknya muncul begitu saja di tengah udara kosong di tengah hutan. Pada jalan masuk terdapat menara yang terbangun dari kombinasi beragam sampah dan beberapa tipe tulang—kemungkinan besar termasuk manusia. Aroma dari bangunan itu  tercampur dengan bau akan tai dan kotoran  dari lubang gua ini, benar-benar mengalahkan bau dari pepohonan sekitar.

Bahkan Priestess dapat mengetahui dalam sekilas bahwa ini adalah sarang goblin. “Mereka punya shaman... Dan tempat ini di jaga oleh warg, bukan serigala. Itu artinya sarang ini kemungkinan sangat besar.”

“Ya,” Goblin Slayer berkata muram. “Mereka menunggu kita.”

Tidak perlu di ragukan, kedua petualang itu sedang berburu goblin.

Pertarungan antara kekuatan Ketertiban dan Kekacauan berlanjut tanpa akhir. Berbagai tempat yang dulunya milik Ketertiban telah menjadi tak berpenghuni dan bukan milik kedua sisi tersebut. Di tempat seperti itu, orang-orang membangun desa, mencari lagi tempat unthk di tinggali, dan tentunya mereka bertemu dengan monster.

Seekor atau dua ekor goblin mungkin dapat di usir oleh pria muda dari desa. Sangat sering, terbuai oleh gelombang kepercayaan diri, mereka memutuskan untuk menjadi petualang. Dua musim semi yang lalu, Priestess sendiri telah bergabung dengan pemula bersemangat dalam petualangan pertama mereka.

Mereka pergi, tentunga, untuk membasmi goblin.

Ketika para goblin mulai merepotkan bagi para jagoan lokal, ketika mereka mulai menimbulkan masalah, itulah di mana para petualang masuk.

Sudah tiga tahun semenjak itu... berjongkok di dalam semak-semak, Priestess melihat helm pria itu yang berjongkok di sampingnya. Musim semi ini menjadi tanda tahun ketiganya dia bekerja dengan petualang aneh ini yang di sebut sebagai Goblin Slayer. Priestess sendiri sekarang berumur tujuh belas tahun, dan dia telah tumbuh sedikit—atau itu yang dia kira, namun dia tidak dapat memastikannya.

Aku nggak merasa benar-benar tumbuh.

Dia tersenyum, dan meremas tongkat deriknya, “Apa yang akan kita lakukan?”

“Seharusnya ada wanita yang di culik,” dia berkata, tenang dan santai. “Ayo asapi mereka dan kurangi jumlah mereka.”

“Baiklah, aku akan bersiap!” Priestess mengangguk dan segera merogoh tas perlengkapan petualang, mengeluarkan sebuah palu dan padak dan seutas tali. “Jangan pernah tinggalkan rumah tanpa ini.”

Dia mengikat sarung tangan di sekitar mulutnya untuk menutupi bau, kemudian mendekati jalan masuk gua, berjalan sepelan mungkin. Dia memasang pasak ke dalam tanah dan mengikatkan tali di antara pasak-pasak itu, kemudian secara perlahan kembali ke dalam semak-semak. Seraya dia sibuk dengan ini, Goblin Slayer sedang mengayunkan pedangnya, memotong ranting pohon dan mengumpulkannya. Kemudian adalah giliran dia untuk ke depan jalan masuk, dia mana dia membuang tumpukkan ranting itu.

“Kayu hijau nggak cocok untuk api, tapi asapnya akan cukup untuk kita.”

Uh-huh. Priestess mengangguk dengan senyuman dan memperhatikan Goblin Slayer menyalakan korek. Menggunakan kain berminyak, Goblin Slayer dengan cepat membuat tumpukan ranting itu mengepulkan asap tebal.

Tentunya, sekarang mereka berharap pertolongan angin dan aliran udara; hal terburuk yang dapat terjadi, asap itu mungkin akan menghembus ke arah mereka, membuat segalanya menjadi semakin sulit. Mata berkedip, berair mata karena asap, Priestess mengangkat tongkat dengan gerakan yang tidak asing. “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan kekuatanmu, berikanlah perlindungan kepada kami yang lemah.”

Doanya terhubung langsung dengan surga di atas, dan kekuatan tak kasat mata secara ajaib terbentuk. Sebuah dinding perlindungan melindungi murid taatnya, menghalangi asap dan memaksanya masuk ke dalam mulut gua.

Yang tersisa hanhalah untuk goblin berlari keluar, masuk ke dalam perangkap, dan terbunuh. Adalah pekerjaan sederhana—Priestess dan Goblin Slayer pernah melakukan hal serupa di benteng pegunungan waktu itu.

“Aku ragu asapnya akan masuk sampai ke dalam banget. Kita nggak bisa berasumsi kalau ini akan menetralkan mereka semua... Dan juga di sana ada sandra yang perlu kita pikirkan. Apapun yang terjadi kita harus ke dalam,” Goblin Slayer menyimpulkan dengan suara pelan.

Priestess menyentuh bibir dengan jari gemulainya dan berpikir “Hmm,” kemudian berkata cemas, “Aku harap nggak ada jalan masuk lainnya...”

“Satu atau dua menit lagi, kita akan menyisir mereka. Perhatikan belakangmu.”

“Baik pak, aku akan terus siaga!”

Priestess sangat memahami apa yang harus di lakukan. Priestess membusungkan dada kecilnya dan dengan sigap membenarkan topinya.

Kali ini, hanyalah mereka berdua. Pria itu mengeluh bahwa intuisinya telah memburuk dari sebelumnya, namun kemungkinan itu di sebabkan karena yang lain telah bekerja bersamanya dengan sangat begitu baik. Biasanya satu batang panah dari archer elf mereka akan menumbangkan warg itu, dan party mereka akan masuk ke dalam gua dengan hati-hati. Shaman dwarf mereka akan mengkaji konstruksi tempat ini dan dengan cepat dapat mengetahui apakah tempat ini mempunyai pintu belakang—atau jika para goblin mungkin menggali menembus dinding. Dan jika berhubungan dalam pertarungan, lizardman mereka akan menerjang dengan raungan lantang, lengan kaki, taring dan cakar akan mencabik jalan untuk mereka.

Menghadapi gua ini hanya dengan mereka berdua, menyadarkan mereka kembali betapa mereka sangat berpangku pada kemampuan rekan lainnya.

Tapi... Bahkan  seraya dia meremas tongkatnya, Priestess juga merasakan semburan kebahagiaan dalam hatinya. Begitu banyak yang terjadi akhir-akhir ini yang membuatnya tidak mempunyai kesempatan untuk berburu goblin berdua bersama pria ini. Sudah lama banget.

Entah mengapa ini membuatnya senang dan dia mencuri lirik mengarah pria itu. “Oh...” Itulah ketika dia menyadari sebuah aroma manis. Dia melihat arah aroma itu untuk mendapati kumpulan anggur liar berayun dengan lembut.

Priestess membuka dan menutup mulutnya beberapa kali, mencoba untuk memutuskan apa yang harus di katakan.

“Kenapa?” Goblin Slayer berputar dan bertanya kepadanya, membuat Priestess terkesiap.

“Ka-kalau di pikir lagi,” dia berkata, akhirnya dapat merajut lingkaran kalimat, “mereka akan membuat arak dari panen awal anggur sebentar pagi.” Dia memegang dadanya yang masih berdebar.

“Arak Anggur,” Goblin Slayer mengulangi. “Maksudmu di Kuil Ibunda Bumi?”

“Ya!” Priestess mengangguk cepat seperti anak anjing mengayunkan ekor. Namun pria itu sudah menoleh kembali mengarah sarang, dan Priestess mengikuti, wajahnya memerah. “Itu arak suci yang mereka gunakan pada festival panen. Walaupun, aku akui itu nggak seenak yang seperti mereka buat di kuil dewa pembuat anggur.”

“Begitu?”

“Iya,” Priestess berkata, mencoba untuk tetap cuek. Namun kemudian dia melirik panjang ke samping kembali mengarah Goblin Slayer. “...Apa kamu mau coba kalau nanti sudah siap?”

“Aku nggak keberatan,” dia menjawab pendek. “Tapi hanya setelah kita membunuh goblin.”

“Mereka datang.”

Pada suara pelan peringatannya, Priestess berkata, “Aku siap!” Bibirnya rapat, namun dia tersenyum bagaikan bunga mekar.

Tentunya pada titik ini, kita tidak perlu menjelaskan apa yang terjadi pada para goblin.

Adalah hari yang hangat, sebuah tanda datangnya musim panas.

*****

“Oh, selamat datang kembali!”

“Kamu kembali!”

Suara riang dari Gadis Guild dan Gadis Sapi menyambut mereka seraya mereka membuka pintu Guild. Adalah awal siang hari. Tidak terdapat banyak petualang di sekitar, dan Guild di penuhi dengan aura kelesuan.

Goblin Slayer berjalam sigap ke tengah ruang itu, menarik tatapan dari beberapa petualang yang bberada di sana—berlibur, mabuk, atau seperti dirinya, kembali dari pekerjaan. Tetapi tatapan itu hanya berlangsung sedetik.

“Yo, lama nggak ketemu.”

“Ya.”

“Goblin lagi?”

“Benar.”

“Kamu nggak pernah kepingin berburu yang lainnya sesekali?”

“Nggak.”

“Jangan kamu suruh-suruh gadis itu sampai kelelahan.”

“Nggak akan.”

Suara santai menjawab “dasar aneh.”

Kebanyakan petualang saling mengenal satu sama lain hanya berdasarkan padangan, walaupun mereka bekerja dari kota yang sama. Namun itu adalah cara lain untuk mengatakan bahwa di dalam kota terbesar, setidaknya kamu mengenali satu wajah orang lain. Dan siapa yang tidak akan mengucapkan sepatah kata sambut setelah melihat helm murahan itu? Pria itu hampir tidak pernah melakukan percakapan, namun dia akan menjawab siapapun yang berbicara kepadanya.

Bukanlah perasaan yang jelek.

Seperti biasa, Goblin Slayer dengan rajin membalas setiap suara yang memanggilnya seraya dia berjalan kenuju meja resepsionis.

“Kamu di sini.” Kalimat ini di tujukan kepada sang gadis, teman kecilnya, duduk di samping meja resepsionis.

“Yeah, ada pesanan yang harus di antar.”

Suara pria itu pelan dan lembut, namun Gadis Sapi mengangguk dan tersenyum, mencondongkan tubuh mengarah pria itu, dadanya yang besar tampak jelas. Gelas yang ada di depannya berdenting, menyebabkan riak pada teh yang ada di dalamnya. Gadis Sapi tertawa kecil dan menggaruk pipinya malu, menambahkan, “...Dan setelah aku selesai, aku tinggal sebentar untuk minum teh.”

“Rahasia kecil kita.” Dia tidak malas-malasan. Gadis Guild menyentuh bibir dengan telunjuknya, dan kedua gadis saling cekikikan.

Bulan telah berlalu dengan cepat semenjak pertarungan musim dingin. Gadis Sapi adalah korban seorang gadis yang desanya telah di hancurkan oleh goblin, namun bayang-bayang itu sudah tidak tampak lagi di wajahnya. Setiap kali Goblin Slayer melihat itu, Goblin Slayer akan menghela lega. Gadis Guild juga senang mengetahui temannya aman.

Penting untuk mempunyai teman minum teh, pikir Gadis Guild.

Gadis Guild membersihkan tenggorkannya dengan sedikit batuk, kemudian melirik sembunyi-sembunyi ke belakang Goblin Slayer. “Kejrja bagus di sana. Apakah kalian berdua ada terluka?”

Priestess, berjalan di belakang Goblin Slayer, menggeleng kepala dan menjawab, “Nggak.” Selalu ada nada kasihan dan simpati di dalam suara Gadis Guild ketika berbicara kepada Priestess. Itu karena, pada saat ini, gadis yang masih belia ini (walau baru berumur tujuh belas) berlumur darah dari kepala hingga kaki. Priestess terlihat lelah, namun dia dapat mengumbar sebuah senyum berani. “Kami aman.” Dia berkata.

“Yang benar?” Kali ini adalah Gadis Sapi yang mengernyit mendengar Priestess yang pakiannya blepotan dengan jeroan. “Kamu bisa jujur kok.” Dia memberikan Goblin Slayer tatapan curiga. “Dia ini sama sekali nggak ngerti kalau nggak kamu ucapkan.”

“Hrk,” Goblin Slayee mendengus mendengar itu, namun dia tidak mengatakan apapun. Dan dia-pun terdiam. Gadis Sapim yang mengetahui bahwa ini adalah yang pria itu lakukan ketika pria itu tidak mengetahui harus menjawab apa, tertawa.

Helm Goblin Slayer berputar mengarah Gadis Guild dan secara paksa mengubah subyek pembicaraan. “Aku mau membuat laporanku.”

“Iya, iya, Berburu goblin, kan? Bagaimana?” Gadis Guild juga cekikikan, menyiapkan pena dan kertas seraya dia duduk.

“Ada goblin,” Goblin Spayer mengatakan, seolah itu sudah cukup untuk menjabarkan isi petualangannya. Setelah beberapa saat dia menambahkan, “Dan juga anjing.”

Priestess tersenyum masam dan berbicara dengan keraguan. “Goblin di sarang ini memelihara warg... Seperti yang aku bilang, kami aman.”

“Ukuran sarangnya cukup besar, tapi nggak ada sesuatu yang aneh.” Kemudian dia menambahkan “Goblinnya selalu sama.”

Gadis Guild mengangguk mengikuti, penanya berjalan tanpa suara di atas halaman. Quest membasmi goblin biasa meningkat di musim semi, musim di mana party petualang baru mendaftar. Beberapa dari party itu akan menerima quest di dalam saluran air atau di tempat lainnya, namun kebanyakan dari mereka pergi mengincar goblin. Kebanyakan dari mereka berhasil; beberapa gagal dan berlari pulang ke rumah. Dan beberapa lagi bahkan tidak pernah kembali ke rumah.

Bukanlah hal yang unil dalam perburuan goblin. Namun bagi Gadis Guild, yang melihat langsung cerita ini dari banyak kisah orang, ini adalah waktu yang tidak menyenangkan dalam tahun ini.

Tapi musim semi kali ini cukup tentram, dia berpikir, menghela dalam hati. Itu karena, mereka mulai mendapatkan petualang baru—walaupun hanya sedikit—yang pergi ke lapangan berlatih untuk instruksi dasar. Bantuan dari Pedagang Wanita (dulunya seorang petualang) dan upaya dari banyak petualang lainnya telah membuahkan hasil. Mungkin akan lebih banyak dari mereka yang akan hidup lebih lama sekarang.

Gadis Guild tahu bahwa mengumpulkan banyak individual kecil bersaka dapat menciptakan sesuatu yang besar. Manusia bukanlah elf, dan berpikir jauh ke depan sangatlah sulit bagi mereka, namun mereka tahu bahwa setiap jalan di mulai dengan satu langkah. Dan pembangunan jalan adalah spesialitas seorang manusia, walaupun masih tidak sehebat dengan para dwarf.

Tapi...

Juga tidaklah baik untuk melupakan masa sekarang. Adalah awal musim semi, masa di mana kebanyakan petualang baru mendaftar, walaupun puncak pendaftaran itu sudah berlalu. Kemungkinan sudah tidak ada seorangpun lain yang akan memilih untuk menerima quest goblin.

Terkecuali untuk satunorang.

“...Sepertinya kami harus berharap kepadamu lagi tahun ini.”

“Aku nggak keberatan.” Goblin Slayer berkata, begitu cepat, seperti memotong ucapan gadis itu, “Itu kewajibanku.”

Seraya Goblin Slayer menekadkan misi pribadinya kembali, Priestess berekpresi ambigu. Gadis Guild memperhatikan kedua pasangan itu, kemudian dia berdiri tanpa sepatah kata. Dia mengambil sekantung tas berisi emas dari dalam brangkas dan menimbangnya di atas timbangan. Tas ini berisi dengan koin perunggu, bersama dengan pecahan-pecahan perak, yang telah berhasil di kumpulkan oleh para petani. Beratnya masih sama seperti ketika tas ini di berikan kepada Guild.

Goblin Slayer mengambil uang dan membaginya menjadi dua, memberikan setengah kepada Priestess.

“Hadiahmu.”

“Te-terima kasih!” Priestess menundukkan kepalanya dengan cepat dan mengambil kantung jahit imut dari tasnya. Seraya dia dengan hati-hati memasukkan koin itu, Goblin Slayer dengan acuh melempar kantung miliknya ke dalam tasnya. Helm itu berputar perlahan mengarah Gadis Sapi.

“Apa yang akan kamu lakukan? Pulang?”

“Hmm...” Gadis Sapi tampak berpikir sejenak, memainkan jemarinya. Bahasa tubuh gadis itu menunjukkan begitu banyak apa yang dirinya ingin katakan.

Goblin Slayer memperhatikan dia dari dalam helmnya.

Akan tetapi, pada akhirnya, Gadis Sapi menelan apapun yang hendak dia katakan, dan menghela napas. “Nggak, kurasa nanti.” Dia menggeleng kepala, kemudian tersenyum. “Aku mau berbelanja. Sepertinya semuanya sudah kembali; kenapa nggak kamu coba sapa mereka?”

“Begitu.” Kepalanya berputar mengarah rumah makan. “Akan ku lakukan.”

Gadis Sapi mengangguk, kemudian menunjuk jari kepadanya. “Dan pastikan kamu kasih kesempatan gadis itu untuk ganti bajunya!”

“Hrk...”

Sang “gadis” yang di maksud mendengak ke atas dari tasnya dengan sebuah jeritan ketika dia menyadari bahwa dia menjadi topik pembicaraan. “Oh, aku nggak apa-apa kok...!”

“Saya tidak setuju; saya rasa anda akan merasa jauh lebih nyaman setelah anda mengganti baju anda dengan yang bersih.” Gadis Guild berkata dengan nada wanita bisnis. Kemudian dia menoleh kepada helm baja itu. “Menurut saya, Hal itu juga berlaku untuk Goblin Slayer terhormat kita di sini...”

“Tapi kamu nggak akan pernah tahu kapan goblin akan muncul.” Jadi aku nggak bisa ganti. Tidak ada yang bisa di lakukan untuk merespon deklarasi acuh itu selain helaan.

Akan tetapi, Priestess, mengendus lengan dan kerahnya sendiri, ekspresinya menjadi muram. “U-um, apa...? Apa aku bau?”

Gadis Sapi mengangguk serius. Tanpa di tahan, tanpa ampun. “...Sedikit.”

“Sudah ku duga...” Priestess, sedikit kesal, menggantungkan kepalanya lemas.

Ketika Goblin Slayer melihat itu, dia menghela panjang. “Gantilah. Aku duluan dan tunggu kamu.”

“Baik, pak...” Priestess, masih tampak kacau, berdiri dari kursi dan berlari ke atas tangga menuju ruangannya.

Goblin Slayer memperhatikan dia pergi, dan kemudian juga ikut berdiri. “Kalau begitu, aku pergi,” dia berkata, dan setelah beberapa saat berpikir, dia menambahkan, “Aku akan kembali saat makan malam.”

“Oke.” Gadis Sapi tersenyum kepadanya, dan kemudian dia berjalan menuju rumah makan sesigap seperti dia masuk Guild. Rekannya, trio aneh itu, tampak sedang menikmati makan siang di dalam bar. Tidak lama Priestess akan bergabung dengan mereka dalam pakaian bersih, dan percakapan ramai dan ribut tentunya akan berlangsung.

Aku penasaran apa yang dia bicarakan. Gadis Sapi mencoba untuk membayangkan sebuah percakapan yang mustahil untuk dia ikuti, kemudian dia menggelengkan kepala perlahan. Berpikir bahwa ini tidak ada gunanya.

Beberapa menit berlalu. Gadis Guild mengetuk laporan yang telah selesai di atas meja, meluruskan halaman, kemudian menganggkat bahunya. “Beberapa hal tidak pernah berubah.”

“Iya.”

Para gadis saling bertukar oandang, berbagi senyuman yang mengatakan, Mau bagaimana lagi?

Yah, biarkan yang lain menikmati rumah makan mereka—para gadis akan mempunyai pembicaraan mereka sendiri, hanya mereka berdua.

“Mau segelas teh?”

“...Iya, tolong.”

*****

Penjelasan Goblin Slayer kepada yang lainnya: “Ada goblin.” Setelah beberapa saat berpikir, dia menambahkan, “Dan anjing.”

Priestess tersenyum muram. “Goblin di sarang ini memelihara warg... kurang lebih, kami aman.” 

“Mm, sungguh hal paling merepotkan untuk di lakukan.” Lizard Priest memuat sebongkah keju ke dalam rahang, menelannya bulat-bulat. “Andai saya berada di sana, saya akan merobek rahang akan warg itu dan mencabik-cabik mereka untuk anda.”

“Kalian lizardmen ini, barbarik banget sih,” High Elf Archer menyela.

“Saya tidak mengerti maksud andak” Lizard Priest membalas. “Tidak ada ras lainnya di dunia ini yang beradab seperti kami.” Dia menjilat ujung hidung dengan lidahnya.

“Menurutku kalian penghuni hutan nggak punya hak untuk mengkritik orang lain tentang menjadi barbarik. Ranting patah, lenganmu hilang, iya kan?”

“Kamu nggak sepintar seperti yang kamu kira,” High Elf Archer membalas Dwarf Shaman, tekinga panjangnya menengang ke belakang. “Itu Hukum dari jaman dulu banget!” Mereka bahkan akhir-akhir ini sedang membahas untuk menghilangkan hukum itu seutuhnya!”

“’akhir-akhir’ kamu atau kami?”

“Yah, itu baru... Huh?” High Elf Archer mencoba menghitung dengan jarinya namun kemudian memiringkan kepalanya bingung, “Kapan ya itu?”

Dwarf Shaman mengangkat bahu, Lizard Priest memutar matanya riang, dan Goblin Slayer tetap diam.

Party mereka duduk pada meja bundar, meja yang kurang lebih sudah menjadi tempat pribadi mereka selama dua tahun terakhir. Priestess menyipitkan matanya melihat pemandangan yang akrab ini seolah ini terlalu menyilaukan baginya. Ketika dia menjadi petualang, dia tidak pernah menyangka semuanya akan berubah seperti ini—dengan banyak arti akan kata seperti ini.

Dia melirik ke samping, menyadari petualang di sini dan di sana menggunakan beragam macam perlengkapan. Party yang saling bertatap muka, masih berdiskusi apakah mereka harus berpetualang masuk ke dalam saluran air atau mengumpulkan herba.

“Kalau begitu, gimana kalau reruntuhan? Aku dengar ada banyak slime di saja.”

“Mana mungkin kita bisa atasi itu. Aoa kamu nggak tahu seberapa bahayanya makhluk ngesot itu?”

“oh, iya... Mungkin saluran air lebih baik.”

Priestess tersenyum mendengar percakapan itu, hanyansedikit, agar tak seorangpun menyadari. Dia mengenali beberapa orang dari tempat lapangan kkatigan. Dia berharap segalanya berjalan lancar untuk mereka. Dengan tulus, dia berharap.

Kurasa nggak semuanya akan selalu berjalan lancar, tapi...

Dia membisikkan doa pribadinya untuk mereka kepada Ibunda Bumi. Untuk menjadi Pen-doa adalah untuk selalu berdampingan dengan Kematian, dan Priestess mendoakan mereka seraya mereka bersiap berangkat pada salah satu petualangan pertama mereka.

“Jadi, gadis kecil.”

“Ya?” Priestess menjerit seraya Dwarf Shaman menyela doanya. Dia memegang topinya agar tidak terjatuh?

Dwarf berjenggot itu menuangkan anggur ke dalam gelas, meneguknya, dan bersendawa sebelum dia berkata, “Agar kamu tahu saja, bisnis kami semua sudah selesai dengan kuil Ibunda Bumi.”

Dwarf Shaman menghiraukan sang elf yang menjepit hidung dan berucap “Ugh” di sampingnya seraya Dwarf Shaman terus meneguk gelasnya. Priestess mendapati gelas itu telah kosong sekarang, dia mengambil kendi anggur dan menuangkangnya untuk Dwarf Shaman. “Terima kasih banyak,” Priestess berkata. “Maaf aku sudah merepotkan kalian...”

“Oh, nggak sama sekali,” Dwarf Shaman membalas, semangatnya tinggi dan wajahnya merah. “Apapun untuk anggur yang enak.”

“Astaga, kalian dwarf ini. Membiarkan pemberi questmu melayanimu? Sudah gila kamu,” High Elf Archer berkata, namun Priestess tersenyum samar dan menuangkan anggur ke dalam gelasnya sendiri: “Aku nggak keberatan kok... Dan cuma ini yang aku bisa lakukan.”

“Kami nggak terlalu banyak ngapa-ngapain. Cuma beberapa hari menjaga taman.” High Elf Archer meneguk tipis anggurnya, telinganya berkedut. “Lain cerita kalau naga yang muncul, tapi musang dan gagak?”

“Ya, tapi aku Cuma bisa minta bantuan orang yang benar-benar ku percaya...” Seraya dia berbicara, Priestess menegok kepada Goblin Slayer, yang sedang memasukkan anggur melalui celah helmnya. “...Dan meninggalkan pria ini sendirian itu bukan hal yang bagus.”

Ini bukanlah Priestess memberikan mereka bertiga quest selagi dirinya pergi dengan Goblin Slayer. Lebih tepatnya Priestess adalah sebagai penyambung—atau lebih sederhananya, hanya sebuah kontak, karena untuk questnya sendiri secara teknis telah di terbitkan oleh Guild. Dia tidaklah lebih dari seorang perwakilan, namun itu tidaklah penting sekarang. Kuil di mana dia tumbuh, telah meminta permohonan benerapa orang untuk melindungi taman anggur mereka, sementara di waktu yang sama sebuah quest berburu goblin muncul. Kenyataan bahwa Priestess tidak mengabaikan quest goblin itu walaupun keterlibatanannya pada kuil adalah mungkin tanda akan pengaruh pria itu.

“Waktu itu berbahaya, tapi ya memang selalu seperti itu.” Seperti itulah komentar dari subyek pembicaraan mereka. Goblin Slayer sendiri. “Aku nggak keberatan pergi sendiri.”

“Sudah ku bilang, aku nggak akan membiarkan kamu sendiri!” Priestess berkata, mengacungkan jari di udara dengan nada menegur. “Pergi sendiri itu mustahil dan berbahaya; itu menurutku.”

“Hrm.”

“Kamu sendiri bilang kalau quest solo yang kamu ambil akhir-akhir ini sangat sulit bagimu.”

“Benarkah?”

“Pastinya!”

“Begitu.”

Priestess bergumam sesuatu dengan nada marah, namun akhirnya menyimpulkan dengan senyuman dia ini terlalu. Jika grup ini sudah sangat terbiasa dengan argumen antara High Elf Archer dan Dwarf Shaman, perdebatan Priestess dan pria ini kurang lebih sama dengan itu.

“Saya akui, proses pembuatan anggur sungguh sangat menarik,” Lizard Priest berkata dengan seringai, mengetuk cakarnya di atas piring kosong. “Dari tempat saya berasal, kami biasanya menunggu anggur untuk terjatuh ke dalam sumber air atau semacamnya dan menjadi anggur dengan sendirinya.”

“Kami menggigit dari buah lokal,” High Elf Archer menambahkan dengan anggukan. “Dan kurasa kami juga membiarkan anggur jatuh ke sumber air, dan menunggu sampai anggurnya terfermentasi... Terkadang kami malukan hal sama dengan madu.”

“Biarkan waktu berlalu: pembuatan anggur yang khas sekali dengan elf.”

“Kalian dwarf punya fire wine kalian kan?”

“Benar banget,” Dwarf Shaman berkata bangga, menepuk keras perutnya. “Alchemist mungkin punya penyulingan mereka sendiri, tapi punya mereka nggak ada apa-apanya dengan punya kami.”

Tentunya sekarang kita tidak perlu membahas betapa cerdasnya para dwarf dalam bekerja dengan tangan mereka. Seperti nyanyian para elf akan busur dan keajaiban hutan mereka,  para dwarf bangga akan presisi mekanikal mereka. Adalah hampir sama pentingnya dengan makanan dan anggur enak, Dwarf Dhaman bergumam, membelai jenggot dengan seringai. “Aku nggak keberatan ngerasain anggur baru kalau itu sudah siap.”

“Iya, tentu saja. Kalau perutmu bisa tahan dengan apa yang kami buat.” Pipi Priestess memerah di saat dia berbicara. High Elf Archer bertanya apa yang membuatnya malu, namun Priestess hanya memberikan jawaban tak pasti.

Hmm. Helm Goblin Slayer miring ke satu sisi, dan dia berkata pelan, “Jadi kamu melakukan ini setiap tahun.”

“Kamu harus lebih sering memperhatikan apa yang terjadi di sekitarmu, Orcbolg.” High Elf Archer berkata dengan helaan lelah, menegok kepadanya. “Jadi apa kamu melakukan ini tiap tahun?”

“Dengar, cok...” Dwarf Shaman berkata dengan lototan mata, namun High Elf Archer hanya menjentikkan telinganya.

“Ayolah, tahun kemarin kita ada di rumahku di waktu seperti ini, dan tahun sebelumnya juga, kita ada di kota air kan?”

Itu sangatlah akurat. Musim panas adalah berkelana bagi mereka selama dua tahun terakhir; mereka tidak pernah menghabiskan musim di kota perbatasan. Tidaklah mengejutkan jika tidak semua dari mereka tidak mengetahui tentang panen awal anggur dan arak yang terbuat dari anggur itu.

Satu-satunya yang menjadi alasan i i adalah petualang dengan helm baja murahan yang telah tinggal di kota ini selama tujuh tahun.

“Itu bukannya karena aku nggak terlalu memperhatikan,” dia berkata seperti sebuah alasan. “Aku Cuma sibuk.”

“Sibuk berburu goblin...” Priestess berkata, menatap pria itu. “Kan?”

“Ya.”

“Aduh!” Dia melemas di kursi, terlihat cemberut, walaupun dia tidak merasakannya. Dia-pun memalingkan pandangannya dari pria itu, namun kemudian melirik kembali dari ujung sisi matanya, memanyunkan bi irnya. “Arak yang di buat dalam panen festival itu—kami membuat itu juga, tahu?”

“Aku nggak tahu.”

“Aku akui, rasanya nggak sebanding dengan arak dari kuil dewa pembuat anggur...” Priestess masih sering tersipu di kala dia mengingat tarian persembahan, doa keberkahan, yang di mana dia ikuti di tahun sebelumnya. Seragam yang dia gunakan sangatlah menonjol, walaupun Priestess mengingat bahwa dia mendapatkan beberapa pujian bagus dari itu...

“...Pokoknya!” dia berkata, menggelengkan kepala. “Jangan sampai kamu lupa janjimu.”

“Nggak akan.”

Jawaban itu berasal dari Goblin Slayer yang ingin memuaskan Priestess, yang mengambil gelas dengan tersenyum. Mereka sedang merayakan selesainya petualang mereka masing-masing. Ya, ini barulah lewat tengah hari, namun tidak ada larangan bagi semua orang untuk bersantai sedikit. Adalah menyenangkan untuk dapat menikmati makanan lokal yang tidak asing, meminum beberapa anggur, dan berbincang dengan rekanmu.

“Ahem, pelayan!” Lizard Priest memberikan sinyal dengan menepukkan ekornya ke lantai di kala rekannya sudah tenang.

“Saya datang!” pelayan padfoot datang berlari, dan Lizard Priest memgangguk.

“Saya memesan satu piring keju kembali. Satu—apa itu tadi namanya? Yang ada isi-isinya.”

“Ah, keju isi krim.” Sang pelayan menjentikkan telinga dan cekikikan. “Siap datang—dan saya akan tambahkan sedikit ekstra, saya traktir!”

“Hoh-hoh, sangat saya hargai!” Lizard Priest meraung, membuat gerakan tangan aneh.

“Jangan di risaukan,” Padfoot Waitress berkata dengan lambaian tangan menyudahi.

“Dan anda, tuanku Goblin Slayer,” Lizard Priest berkata ringan seraya dia memperhatikan gadis itu pergi. “Ada beberapa jejak kecil di sekitar luar kebun anggur. Apa pendapat anda?”

“Goblin.” Dia menjawab segera. “Apa kamu melihatnya langsung?”

“Benar,” Lizard Priest seraya meregangkan leher panjangnya. “Saya kira itu mungkin hanyalah ulah dari anak yang jahil, namun saya tidak dapat memastikannya.”

“Begitu,” Goblin Slayer mendengus, kemudian menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya. “Apa kamu memberi tahu yang lain?”

“Seseorang dari kuil dan Master Pembaca Mantra.” Lizard Priest menoleh mengarah di mana High Elf Archer dan Priestess sedang berbincang, seakrab seperti dua bunga mekar. Selalu sulit bagi mereka untuk mengatakan apakah High Elf Archer “semuda seperti keliahatannya,” namun Priestess memiliki ekspresi yang sepantasnya di miliki oleh gadis berumur enam atau tujuh belas tahun. Kuil Ibunda Bumi telah, sepengetahuan mereka, menampung gadis itu sebagai yatim piatu dan membesarkannya. “Dan kalau itu ternyata salah, saya tidak ingin menbuat gadis itu cemas.”

“Aku mengerti.” Goblin Slayer mengangguk tanpa ragu. “Aku akan lihat.”

Lizard Priest mengangguk juga. Dia tidak menyinggung masalah ini kembali.

“Ini dia—terima kasih sudah menunggu!” Padfoot Waitress berkicau seraya dia meletakkan tumpukan keju di depan Lizard Priest. Keju itu penuh sesak dengan krim yang telah di jejali ke dalamnya.

Lizard Priest melahapnya dalam sekali telan dan berkumandang, “Ah, madu manis!”


Hari berikutnya, hujan turun dari subuh hingga senja. Hujan itu begitu kebat menghantam atap dan jendela dari langit yang kusam.

“Apa kamu benar mau pergi? Kamu nggak lihat cuacanya?” Gadis Sapi bersandar pada tepi jendela, dan melihat keluar, melirik dari balik pundaknya. Kenari bergantung dalam sangksr di sampingnya, memberikan cuitan menyetujui.

“Ya,” dia membalas singkat, melakukan pemeriksaan cepat pada perlengkapannya. Helm dan sarung  tangan dalam keadaan bagus. Pengencang pada sabuknya aman, setiap hari dia akan mulai dengan patroli di sekeliling kebun, dan dia sudah berada di luar kehujanan untuk melakukan itu, oleh karena itu dia basah kuyup dari kepala hingga kaki. Akan membutuhkan waktu dan upaya untuk dapat mengeringkan semuanya, minyaki,  dan memasangnya kembali.

Tentu saja, semua perkengkapannya sangat murah. Dia tidak mengetahui seberapa besar perbedaan yang akan tampak dengan perlengakapan mahal, itu berasumsi jika dia menggunakannya dengan benar. Yang dia ketahui adalah bahwa perlengkapan murahnya ini telah menyelamatkan nyawanya berkali-kali. Dia perlu merawatnya.

Gadis Sapi pernah mendengar pria itu mengatakan ini, ksrena itu dia tidak merasa mengganggu pria ini seraya Gadis Sapi memperhatikan pekerjaan yang sedang terjadi di depannya.

Tapi perlengakapan atau tanpa perlengakapan—cuaca ini.

“Kamu bisa lakukan besok kan? Atau menunggu sebentar; mungkin hujannya bakal berhenti.”

“Nggak.”

“Hmph,” Gadis Sapi menggerutu, frustrasi mengetahui upaya untuk membujuk pria itu gagal. 

Dia ini keras kepala banget.

Ketika Gadis Sapi bertanya apakah ini untuk pekerjaan, pria itu menjawab bahwa ini bukan untuk itu. Ketika sang gadis bertanya apakah ini harus di lakukan hari ini, pria itu menjawab bahwa ini adalah darurat. Gadis Sapi mempertimbangkan beberapa hal untuk meyakinkan pria ini tetap tinggal, namun pada akhirnya dia hanya menghela.nbukanlah tugas yang mudahnuntuk merubah pikiran pria itu.

Setidaknya aku tahu itu.

“Oke, yah, kalau begitu tunggulah beberapa menit. Aku akan bungkuskan kamu bekal atau sesuatu.”

“...Hrm.”

Pria itu menggerutu pada perubahan tiba-tiba itu dan tangannya berhenti bekerja. Gadis Sapi menjauh dari jendela dan mengintip ke dalam helm pria itu.

“Atau kamu juga nggak bisa menunggu selama itu?”

“...Aku bisa.” Dia menarik napas penuh pikiran, kemudian helmnya menggangguk perlahan. “Tolong.”

“Ya. Satu bekal siap datang.” Suara gadis itu terdengar sedikit empati dari yang dia inginkan. Gadis Sapi berusaha menutupi itu dengan  segera berlari menuju dapur.

Tapi...

Gadis Sapi merasa dia tidak mempunyai banyak waktu untuk di habiskan. Gadis Sapi meraih celemek yang menggantung di sekitar, mengikatnya seraya dia berusaha berpikir apa yang harus di masak.

“Roti lapis aja deh.” Bisa di bilang bukan masakan, namun ini adalah tepat ketika seseorang itu sedang terburu-buru.

Gadis Sapi tidak mengetahui sejak kapan orang-orang menggunakan roti panggang sebagai pengganti piring, namun menggabungkan beberapa lapis roti bersama dan memakannya adalah sebuah tradisi yang tampaknya sudah ada dari jaman dahulu sekali. Dan hari ini hujan. Adalah mustahil untuk bisa mendapatkan roti dari toko roti di kota. Mereka menyimpan roti di dalam lemari khusus untuk saat seperti ini.

“Walaupun ini nggak sebanding dengan roti yang masih segar dari panggangan sih.”

Dia menusuk roti itu, membakarnya hingga garing kehitaman, mengangkatnya, memotongnya menjadi beberapa bagian, dan mengoleskannya dengan mentega. Beberapa lapis keju tipis, dan jadilah.

Coba aku bisa tambahkan telur atau sesuatu...

Tetapi, sayanganya ada hujan ini. Dan ayam betina kemungkinan juga belum bertelur. Kamu tidak akan bisa mendapatkan keranjang penuh telur setiap hari. Ayam betina itu telah di rawat dengan baik hingga Gadis Sapi ingin pria itu merasakan telurnya, namun tidak ada waktu untuk menggorengnha juga...

Oke kalau begitu harus di ganti!

Gadis Sapi bergerak cepat, menumpuk dua atau tiga lapis daging asin di atas keju.

“Daaaaan apa lagi ya...”

Roti lapis itu masih terlihat sedikit menyedihkan. Gadis Sapi mengobrak-abrik lemari, mengambil sedikit herba kering, mengeluarkan botol acar. Terdapat resiko akan adanya kejanggalan warna dan rasa, namun konon orang bilang bahwa variasi adalah bumbu kehidupan.

🎵...”

Gadis Sapi bersiul nada kecil. Adalah sederhana, namun makanan tetaplah makanan. Menyenangkan untuk di buat—bersiul gembira. Dia memotong acar dengan piawai, mencincang herba, dan membiarkan intuisi membimbingnya seberapa banyak yang harus di taruh di atas daging.

Akhirnya, satu lapis roti bermentega lagi, dan selesailah.

Gadis Sapi mendengus puas, kemudian membagi roti lapis yang dia buat menjadi tiga dan membungkusnya dengan kain. Kemudian dia menambahkan sebotol anggur yang di encerkan dengan air dan—

“Selesai!”

“Hei.”

“Eek?!”

Dia melo pat mendengar suara tiba-tiba itu, menekan dadanya seraya dia berputar. Pria itu pasti telah masuk dari pintu belakang. Pamannya, perlengkapan hujannya penuh tetesan air dan matanya terbelalak.

“Pa-paman! Aduh, kamu kagetin aku saja...” Masih dengan tangan di dadanya yang besar, Gadis Sapi berkata, “Gimana? Apa hujannya akan berhenti?”

“Kayaknya hari ini nggak akan berhentu,” pamannya menjawab, “Kita nggak bisa mengeluarkan sapinya. Aku harap anginnya nggak bertambah kuat.”

“Huh, oke...” Gadis Sapi mengernyitkan alis, melirik keluar melalui jendela. Pamannya benar; hujan tampaknya semakin deras. Langit begitu gelap, dan dia dapat mendengar suara gemuruh halilintar di atas. Akan tetapi, konon musim panas biasanya datang setelah badai.

“Yah, mau gimana lagi.” Gadis Sapi berkata. Cuaca adalah satu hal yang tidak akan berubah tidak peduli seberapapun kamu memikirkannya. Ini semua bergantung pada dadu dewa. Gadis Sapi mengambil bungkusan kain dan memberikannya kepada pamannya: “Ini, makan siang.”

“Oh, terima kasih.” Dia mengambil bungkusan itu dan mengikatnya di pinggul, di balik mantel hujannya. Kemudian dia melirik pada dua bekal yang tersisa di dapur dan mengernyit. “...Dia pergi keluar juga ya?”

“Oh, iya,” Gadis Sapi berkata dengan anggukan. “Tapi kayaknya bukan untuk petualangan.”

“Pastinya untuk menyibukkan diri...” Gadis Sapi memahami maksud ucapan pamannya dan menatap ke lantai. Pamannya menatap gadis itu untuk beberapa saat, kemudian menghela. “...Seharusnya kita masih punya mantel lama itu.”

Gadis Sapi mendengak, bingung, namun pamannya, masih bertampang tidak semangat, melanjutkan dengan acuh: “Kasih pinjam dia.”

“Paman yakin?”

“Kurang lebih dia itu seperti menjual tubuhnya sendiri kan?” pamannya berkata, terdengar aneh. “Bukannya bakal buruk untuk pekerjaan dia kalau dia sampai demam.”

“Iya, benar..,!” Gadis Sapi mengangguk cepat, wajahnya riang. “Terima kasih Paman!”

Gadis Sapi bergegas me umu dapur, melambai kepada pria itu di mana dia menunggu dengan sabar dalam ruang makan, dan pergi menumu ke dalam kamar pamannya. Terdapat mantel kulit tua yang menggantung dari sebuah paku di dinding. Mantel ini memiliki beberapa tambalan, namun mantel ini masih dapat menghalau hujan.

Gadis Sapi mengambilnya, namun ketika dia kembali ke dapur, pamannya sudah tidak berada di sana—mungkin dia menghilang ke suatu tempat di karenakan malu. Pria itu yang satu-satunya masih di sana, duduk di kursi. Gadis Sapi menggigit bibir, namun kemudian dia menyerahkan mantel itu kepadanya bersama dengan bekal.

“Ini, untukmu!”

Pria itu tampak bingunh—walaupun dia tidak dapat melihat wajahnya—namun, setelah jeda hening beberapa saat , dia hanya berkata, “Apa ini?”

“Paman bilang dia kasih pinjam ke kamu.” Pastikan kamu bilang terima kasih ke dia nanti.

“Mm,” dia membalas. “Aku punya mantel hujan sendiri...” dia menambahkan pelan, namun pada akhirnya, dia mengangguk menuruti. “Baiklah.”

Fisik paman sedikit lebih kecil dari dia. Terlebih ketika dia masih mudah. Namun mantel bertudung ini berukuran besar. Mantel ini tua, kering, dan mulai retak di beberapa bagian, namun ini masih layak di gunakan.

“Wow, pas banget.” Gadis Sapi menepuk kedua tangannya bersama. Dia sedikit khawatir mantel ini tidak cukup dengan helm pria itu.

Gadis Sapi memperhatikan pria itu mengikat bekal di sabuknya, kemudian kantung peralatannya, dan kemudian sang gadis tersenyum kepadanya. “Baiklah, hati-hati, di sana basah banget, jadi jangan sampai kepeleset.”

“Ya,” dia membalas dengan anggukan. Goblin Slayer mengambil beberapa langkah, kemudian berjalan menuju pintu. Dengan tangan di gagang, dia berputar menoleh kepada sang gadis. “Aku akan kembali malam nanti.”

Oke. Gadis Sapi mengangguk, masih tersenyu,. “Aku tunggu.”

Pintu terbuka, kemudian dia menghilang di balik tetesan hujan, dan pintu tertutup.

“Baiklah,” Gadis Sapi berkata dengan anggukan kecil dan kembali kepada rutinitasnya.

*****

Menarik mantel hujan yang basah di sekitar pundaknya, Priestess mendengak menatap langit. Hujan telah turun sepanjang hari, deras dan keras, tetesan besar menghantamnya tanpa henti. Tetesan mengalir dari topinya; mantel hujan yang dia gunakan sudah mencapai batasnya dan mulai merembes masuk ke dalam pakaiannya.

Musim panas seharusnya sudah dekat, namun hujan ini telah menghisap panas dari dalam tubuhnya hingga dia merasakan kedinginan dan uap putih menyembul dari napasnya. Untuk saat ini, Priestess mencoba untuk tetap rapat dengan dinding kota agar terlindung di bawah atapnya.

Bayangan sosok manusia dapat terlihat di balik kelambu hujan. Ketika dia menyadarinya, wajah Priestess berubah menjadi senyuman bagaikan matahari terbit di balik awan.

“Pak, Goblin Slayer, selamat pagi!”

“Ya,” dia berkata. Pria itu menggunakan mantel hujannya sendiri. “Maaf—aku telat.”

“Nggak apa-apa, aku juga baru sampai...”

“Begitu?”

Ya. Priestess menbalas dengan anggukan, semangat kembali ke dalam dirinya. Dia mulai berjalan, memimpin di depan.

Dan walau gadis itu merasa riang. Orang ini hanya selalu berbicara tentang goblin, goblin, dan goblin lagi, tampak tertarik dengan kebun anggur. Kebun anggur itu sendiri berada di Kuil Ibunda Bumi, rumah Priestess! Bagaimana mungkin hati gadis itu tidak riang gembira? Setiap langkahnya begitu riang, bahkan walaupun langkah itu di atas genangan.

Seraya mereka berjalan ke kuil, Priestess berputar untuk melihat helm baja itu. “A-aku penasaran kenapa tiba-tiba kamu tertarik dengan kebun anggurnya?” Priestess sedikit kesal di karenakan dia tidak bisa menahan suaranya yang sedikit pecah, namun kurang lebih dia terdengar normal. Namun kemudian dia menepukkan kedua tangannya. “Oh! Mungkin ini ada kaitannya dengan janji untuk mencoba anggur kami?”

“Nggak,” Goblin Slayer membalas, namun setelah beberapa saat berpikir, dia mendengus pelan. “...Iya.”

“Mantap... Hee-hee!” Priestess menambahkan riang “Begitu, begitu” pada dirinya sendiri seraya mereka berjalan. Jalan kota terisi dengan batu ubin besar, namun satu langkah keluar gerbang, maka itu berubah menjadi jalan tanah. Yang bisa di bilanh, sekarang menjadi jalan lumpur, lu,pur hitam yang menempel di sepatu mereka, terlontar hingga mendarat di pakaian mereka.

Priestess mendapati dirinya terpesona dengan cipratan lumpur hitam pada sepatu putihnya dan menundukkan kepalanya malu  karena berpikir seperti itu. Dia menggerakkan jempolnya tidak nyaman, merasakan decitan air yang menyelinap ke dalam sepatunya.

Aku harus mengeringkannya nanti...

Dia tidak benci menyisihkan waktu untuk mencuci; bahkan dia menyukainya. Namun dia khawatir bahwa dia akan terlihat menyedihkan barusan, dan pikiran itu menbuatnya tersipu. Ya, dia kedinginan, namun panas di wajahnya tidaklah di inginkan...

“...Kamu mau masuk?”

“Huh?”

Ketika dia menyadari arti dari pertanyaan itu, wajahnya semakin memanas.

Mantel hujan Goblin Slayer tentunya sangat usang, namun mantelmini cukup besar. Priestess cukuplah kecil hingga mantel ini dapat menutupi mereka berdua. Benar, memang tidak akan melindungi kepalanya, namun setidaknya mencapai sekitar pundaknya...

“Oh, ng-nggak. Terima kasih tawarannya. Um...” Dia kemudian membayangkan dirinya berada di dalam satu mantel hujan bersama pria itu dan dengan segera memberikan lambaikan tangan menolak cepat, di iringi dengan gelengan kepala, membuat air terbang dari rambut emas yang basah miliknya. “Aku sudah terlanjur basah kuyup!”

“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk sebelum terdiam kembali. Ini adalah sikap normal pria itu; ini tidak mempunyai arti khusus, dan Priestess menatap lantai tanpa mengatakan apapun. Priestess terlalu berlebihan berpikir, tidak lebih. Namun—bagaimana dia harus mengatakannya?

...Kembali ke kuil seperti itu bersakanya...

Akan memalukan. Itulah kata yang tepat.

Bagi Priestess yang tidak mengetahui bagaimana wajah ibunya—kuil itu adalah rumahnya. Para cleric yang melayani di sana adalah ibunya, kakaknya, adiknya. Karena itu dia yang datang berbagi mantel dengan seorang pria, walaupun pria itu dari partynya...

Ya memang seperti itu. Nggak yang aneh kok!

Priestess sudah mencemaskan mereka ketika dia pergi untuk menjadi petualang. Dia tidak ingin memberikan mereka ide aneh lainnya.

Di dalam dada kecilnya, jantungnya berdebar seperti lonceng yang berdenting cepat, dan dia bergegas berjalan ke depan.

Tidaklah begitu jauh dari kota menuju desa. Mereka melintasi hujan, dan tidak lama kemudian bentuk dari sebuah bangunan—walaupim tidak sebesar kuil Dewa Hukum—menjulang di balik kegelapan.

Dan ketika mereka berdiri di depannya, tiga sosok tidak asing muncul.

“Maaf kami telat...”

“Oh, kalian datang! Kenapa lama bsnget, Orcbolg?” walaupun dengan tudung mantelnya yang basah kuyup, High Elf Archer jingkrak-jingkrak , seperti anak kecil kegirangan. Di setiap lompatan dan lambaiam, air terbang dari tangan dan rambut, namun sang elf tidak mempedulikan itu. Dia menyeringai seolah dia sedang bermaim di dalam air dan tampak berdansa di tengah hujan.

“”Hati-hati, Papan. Nanti kamu melempem.”

“Hujan itu berkah dari surga. Tapi kalian para dwarf mana tahu soal itu, kalian kan hidup di bawah tanah.”

“Tuhan...” Dwarf Shaman, memeganh payung kertas minyak merah, menghela. Dia memegang kantung berisi katalis berhaga di depannya, menjaganya agar tidak terkena hujan.

Priestess memperhatikan payung itu, menghela napas kagum. “Payung itu berguna banget...”

“Mm, payung ini membutuhkan satu tangan berharga milik seorang petualang. Seingatku payung ini semacam komoditas di sekitar sini.”

“Ya, kami sedikit menganggapnya sebagai barang mewah.”

Huh. Ketika dia mendengar itu, High Elf Archer berkata, “Itu sudah ada semenjak aku kecil—bentuknya nggak banyak berubah.”

“Memangnya apa yang di gunakan elf untuk di jadikan payung, daun?”

“Aku dengar ya!” dan sang elf dan dwarf kembali berdebat.

Lizard Priest berdiri diam di samping mereka, menyipitkan mata karena hujan.

Goblin Slayer menyadari. “Hujan,” dia berkata sederhana.

“Mm, sungguh waktu yang tidak tepat,” Lizard Priest menjawab pelan. “Tidak baik untuk mencari jejak. Jejak itu akan menghilang.”

“Tapi gerombolan itu pasti datang,” Goblin Slayer berkata. “Setidaknya nggak hari ini.” Mereka bersuara cukup pelan hingga tertutupi oleh hujan, dan Priestess tidak mendengar mereka. High Elf Archer mungkin mendengar jika dia sedang memperhatikan, namun telinganya sedang menegang ke belakang seraya dia sedang bertengkar dengan Dwarf Shaman.

Mungkin hal kecil ini adalah kebaikan hati dari sang dwarf, namun Priestess tidak mengetahui itu. Priestess tidak mengetahui apapun tentang perhatian tiga pria itu untuk dirinya. Dia hanya mendengar kalimat berikutnya.

“Kamu mau menggunakannya?” Goblin Slayer bertanya, menandakan mantel hujan yang mengelilingi tubuhnya. Mereka berdua tidak akan muat tentunya, namun mantel ini cukup besar untuk di gunakan Lizard Priest sendiri.

Sang lizardman, masih berdiri menahan dingin tetesan hujan, memutar mata di kepala. “Ha-ha-ha-ha, Hujan sangatlah sering di kampung saya, dan tidaklah dingin.” Tetapi. Dia membuat gerakan tangan bersama, menghentikan Goblin Slayer yang hendak memberikan mantelnya. “Mantel itu di berikan kepada anda. Biarkanlah diri anda yang menggunakannya, tuanku Goblin Slayer.”

“Begitu.”

“Ooh, coba lihat!” Pinta High Elf Archer, yang mendengar percakapan dengan pendengaran tajamnya. Dia meraih kerah mantel hujan. “Huh. Apa ini? Apa ini baru? Baru buatmu maksudku.”

“Ya,” Goblin Slayer menjawab, mengangguk. “Ini sudah usang tapi masih bagus.”

“Hoh? Masa? Coba ku lihat. Elf itu nggak bisa bedakan mana yang bagus dan jelek,” Dwarf Shaman bergumam, memprovokasi dengusan dari High Elf Archer. Dwarf Shaman mengikuti alur jahitan mantel dengan jarinya, dan tidak lama kemudian, dia mengeluarkan gumaman lain. “Hoh. Benda kuat. Nggak mencolok, tapi bermanfaat. Aku suka.”

“Ya,” Goblin Slayer berkata, mengangguk. “Aku juga pikir begitu.”

“...” Priestess berdiri, memperhatikan mereka. Dia tidak tahu mengapa, namun dia ingin menghela. Mungkin di karenakan debaran jantungnya telah memberikannya sesuatu yang samar dan tidak pasti.

Apapun itu, dia tidak dapat menepis perasaan bahwa pria itu tampak seperti anak kecil yang memamerkan perlengkapan hujan barunya.

*****

“Oh, akhirnya kamu datang! Ayo, jangan berdiri di sana saja; ayo bantu!” suara seorang wanita yang terdengar cerah bagaikan matahari menyambut mereka.

“Ah, iya! Aku datang bu...!” Priestess mendengak dan melihat seseorang berlari melintasi hujan. Pakaiannya kotor, bukti bahwa dia telah bekerja keras, dan dia menggunakan mantel hujan tebalnya sendiri. Seperti yang Priestess ucapkan, adalah tidak sulit untuk membedakan pelayan lain dari Ibunda Bumi melalui seragam mereka, tetapi...

“Hmm...”

...tidak ada yang bisa menyalahkan gumaman pelan dari Goblin Slayer.

Wanita ini mempunyai kulit gelap seperti anggur masak, dan rambut hitam tebal yang tergerai di balik topinya. Di tambah lagi matanya, sepasang hijau jamrud, dan sangatlah jelas bahwa wanita ini bukan berasal dari sekitar sini. Dia adalah manusia, ya, namun manusia mempunyai bermacam tipe. Wanita itu kemungkinan salah satu dari orang-orang itu yang berkelana melewati gunung selatan...

“Huh, jadi kamu pemimpin party gadis kecil kami.” Wanita itu masih muda—mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua dari Priestess—namun sang biarawati tersenyum lebar. “Yah, ngobrolnya bisa nanti! Kita harus bawa anggurnini ke dalam sebelum rusak karena hujan!” Wanita itu terdengar seperti Priestess, walaupun tidak sesopan gadis itu. Dia berlari melintasi hujan, menuju langsung pada kebun anggur. Goblin Slayer mengikutinya, kemudian melirik balik mengarah Priestess.

“Dia salah satu seniorku,” Priestess berkata pelan dan kemudian tersenyum. “Dia orang yang hebat.”

“Aku ketemu dia kemarin, dan wuih asli aku kaget,” High aelf Archer berkata dengan tawaan. “Aku nggak percaya kamu bisa sependiam itu setelah di besarkan seseorang yang berisik seperti dia.”

“Yah, saudari nggak selalu mirip satu sama lain,” Dwarf Shaman mengejek, sama seperti kakak perempuan seseorang yang baru-baru saja menikah.

“Hmph,” High Elf Archer menjawab namun kemudian terdiam; kemungkinan dia juga memikirkan hal yang sama.

“Begitu,” Goblin Slayer berkata, namun dia terdiam kembali. Helmnya menunduk menatap kaki, mengamati semak-semak di balik hujan.

Dia dan Lizard Priest saling mengangguk, kemudian berlari, siaga pada sekeliling mereka. Namun tampak mustahil para goblin akan mengancam tempat ini sekarang.

“...Hujannya semakin lebat ya?” High Elf Archer mengendus, telinga sensitifnya berkedut. Kesensitifan itu sangatlah penting bagi partynya. Dia mungkin saja tidak mendengar percakapan sebelumnya, namun dia tidak akan gagal untuk menyadari para Tidak-Berdoa yang mendekat.

“Benar,” Lizard Priest menjawab pelan, menatap langit. “Dingin dan hujan yang sangat deras.”

Tidak lama, party mereka tiba pada kumpulan dedaunan pendek. Kakak Anggur (TL Note = Sister Grape), biarawati dari sebelumnya, mempunyai payung kulit di tangan dan terlihat cemas. Cleric lainnya—grup yang terdiri dari acolyte muda juga, yang baru belajar—sedang bekerja keras.

Priestess menekan topinya yang berat dengan air dan memanggil, “Bu, apa yang mau kamu minta kami laku—?”

“Hujan tahun ini kayak setan! Ganti payung di anggurnya!” Kakak Anggur berteriak. “Hujan itu bikin jamur, jamur berarti nggak bisa panen, dan nggak ada panen berarti nggak ada arak!”

“Hoh!” Dwarf Shaman berteriak, menutup payungnya sendiri. “Masalah besar. Harus lakukan apa yang bisa kita lakukan.” Dia berlari menuju kebun.

High Elf Archer mengikuti dengan jingkrak lincah. “Ku kira kita di sini untuk menjaga tempat ini. Aku nggak peduli apa yang terjadi sama araknya...” Dia mengangkat bahu. “Tapi juga, rumput dan pohon itu bisa di bilang semacam temanku. Di mana payung barunya?”

“Ada di ember!”

“Aku bantu juga!” Priestess berkata, dan seolah itu adalah sinyal untuk mereka, keseluruhan party bergerak beraksi.

Lain cerita jika anggur tumbuh pada pohon tinggi, namun cabang anggur hanya mencapai setinggi dada manusia. Dwarf memiliki tangan yang lincah, dan pekerjaan ini sangatlah mudah untuk sang shaman; bagi sang elf, tidak di ragukan lagi, tentunya jauh lebih mudah.

“...Hmm. saya pasti bisa.” Akan tetapi bagi seorang lizardman, hal ini sedikit sulit: Gerakan Lizard Priest menjadi lambat di karenakan dingin, dan sangatlah mudah baginya untuk merusak buah itu karena cakar panjangnya. Setelah bersusah payah dengan tugas ini selama beberapa waktu, tampaknya Lizard Priest memutuskan bahwa dia akan lebih baik untuk membantu membawa ember kulit berisi payung itu.

Priestess mondar mandir, melakukan pekerjaan yang sering di bantunya semenjak dia masih gadis kecil... dan kemudian matanya terbelalak lebar. “Kamu sudah tahu cara mengerjakan ini...?”

“Aku nggak pernah berurusan dengan anggur secara terperinci,” Goblin Slayer berkata. “Tapi aku pernah membantu di sekitar kebun.”

Jangan sampai kumpulan anggur itu basah, dan jangan sampai buah berhimpitan. Dia mengambil payung basah itu dan menggantinya dengan yang baru. Angin berhembus; sepertinya badai akan datang.

“Aneh banget,” Kakak Anggur berkata seraya mendekati mereka. “Kita hampir sudah nggak pernah lihat hujan seperti ini di waktu seperti ini.” Dia melihat langit,  cemas. Badai biasanya datang pada pertengahan musim. Musim panas barulah di mulai, dan cuaca ini sangat tidak biasa.

“Apa kamu nggak bisa pakai keajaiban?” High Elf Archer berkata seraya dia menyisir beberapa rambutnya yang menempel di pipi. “Pakai Protection seperti yang selalu kamu lakukan, dan bum, semuanya kering!”

“Kalau kita selalu bergantung pada Dewa untuk segalanya, apa gunanya kita melakukan segala sesuatunya sendiri?” Kakak Anggur berkata, tersenyum lebar penuh akan gigi putih. Dia bahkan tidak berusaha menyisir rambutnya. “Kita memohon pada dewa ketika kita benar-benar membutuhkan. Sekarang, kurasa kami masih bisa melakukan ini sendiri!”

“Biarkan angin dan badai datang!” dia mengumandangkan percaya diri, dan kemudian dia pergi menuju anggur.

“Sungguh,” Lizard Priest berkata, menepis tetesan hujan dengan sisiknya. “Beliau memang sangat supel.”

“Kalau begitu, bagaimana dengan msntra?” Dwarf Shaman menyeringai dan menepuk tas yang dia angkat setinggi jenggotnya dengan bangga. “Ini kan bukan seperti meminta tolong dewa.”

“Pembaca mantra,” Kakak Anggur berkata, matanya melebar. “Kurasa Ibunda Bumi nggak akan keberatan!”

Priestess cekikan sendiri. Kakak Anggur persis seperti yang dia ingat, hangat bahkan di tengah hujan yang lebat ini. Setiap tahun, dialah yang paling bersemangat tentang mencabut anggur dan membuat arak.

Dua tahun berlalu semenjak Priestess telah meninggalkan Kuil Ibunda Bumi. Dia beberapa kali kembali ke kuil untuk membantu ini dan itu, tetapi...

Benar-benar nggak ada yang berubah.

Seperti itulah perasaannya. Beberapa wajah tidak asing berada di sana, beberapa sudah pergi, dan beberapa orang yang baru bergabung. Namun tempat untuk dia dapat pulang, inilah dia.

Seraya Priestess bekerja giat, keringat dan tetesan hujan mengalir di dahinya, Dwarf Sahaman memulai dengan merajut mantra di sampingnya. “O peri angin perawan, berikanlah aku ciumanmu yang paling menawan—berkahilah anggur kami dengan angin berkawan!”

Pusaran angin mulai terbentuk di udara, berdansa di sekitar kebun anggur. Peri yang angin yang lincah menepis tetesan hujan, dan para cleric mendapati diri mereka terhenti memperhatikan para peri.

“Wow.” High Elf Archer bersiul. “Triknya bagus juga untuk seorang dwarf.”

“Saya pribadi tidak dapat mengendalikan angin seperti ini,” Lizard Priest menambahkan, matanya berputar seraya dia menatap langit.

Produksi dari makhluk alam luar ini sangatlah berbeda dengan seni pinggiran jalan. Goblin Slayer sendiri di antara mereka semua menatap langit untuk beberapa detik sebelum dia kembali bekerja tanpa sepatah kata.

Bukanlah karena dia tidak terpengaruh dengan pemandangan itu. Petualangan, misteri dunia, memiliki daya tariknya tersendiri. Tetapi...

“Goblin...?”

Ketika dia menyadari bayang-bayang yang sembunyi di balik hujan, mengintai dari pepohonan.

Bukan, besar tubuhnya nggak sesuai untuk goblin.

Dia merasakan pedangnya di balik mantel seraya dia menyimpulkan. Mereka terlalu ti ggi untuk menjadi goblin namun terlalu pendeknuntuk menjadi hob. Kemungkinan manusia. Kemungkinan orang yang berasal dari kuil, namun sosok itu menghilang ke dalam kabut sebelum Goblin Slayer dapat memastikan.

Apa aku harus mengejar mereka?

Dia mempertimbangkannya, namun kemudian menggelengkan kepala. Mereka bukanlah goblin. Dan hujan masih berlangsung. Dan mereka kekuarangan orang di kebun anggur.

Semua ini memenuhi pikirannya seraya dia berkata pada tetesan yang mengalir di helmnya: “Apa yang harus ku lakukan selanjutnya?”

*****

“Ahhh, tadi itu ngebantu banget. Terima kasih banyak!” Suara bersemangat Kakak Anggur bergema di ruang makan kuil, memeberikan kehangatan ekstra. Tempat ini tidaklah sempit, namun tidaklah sebanding dengan kuil Dewa Hukum di kota air, apalagi kastil kerajaan yang pernah dia lihat.

Namun itu bukanlah berarti kedua tempat lainnya merupakan bangunan yang sia-sia. Otoritas harus di jaga sampai titik tertentu. Seseorang mungkin akan menolak keras, sebagai contoh, menuruti keputusan resmi yang di turunkan oleh priest dengan seragam kumuh. Dan tidak ada satu orangpun yang akan takjub dengan raja berpakaian kumal dan membawa pedang kayu.

Namun untuk Kuil Ibunda Bumi, itu adalah hal yang berbeda. Ruang makan hanyalah sebuah kumpulan dari meja panjang yang di iringi dengan bangku, dan makannyapun tidaklah mewah. Namun makanan ini tetaplah menghangatkan. Ornamen macam apa lagi yang di butuhkan untuk menyampaikan cinta ibu?

“Ajaran kepercayaan lain sangatlah menarik. Terkadang ada beberapa poin yang berseberangan dengan kepercayaan saya sendiri.” Lizard Priest mengambil dengan sungkan (namun masih besar) potongan keju di atas piring di meja. “Walaupun naga besar, yang kami sembah, mengatakan bahwa  pertarungan adalah cara meningkatkan derajat seseorang.”

“Yah, aduh-aduh,” Kakak Anggur berkata dengan tawa kecil. “Kami wanita tahu banget cara melakukan untuk di saat yang di butuhkan!”

Kalimatnya mengandung sebuah arti yang tampaknya di mengerti murid kuil, karena mereka semua cekikikan bersama dirinya. Hanya Priestess yang tersipu dan menatap lantai. Dialah yang menjadi penari dalam festival panen di tahun sebelumnya—namun itu bukanlah satu-satunya yang ada di pikirannya.

Terdapat seseorang orang aneh yang duduk di ujung bangku dan sedikit menarik perhatian para murid. Dia menggunakan armo kulit kotor dan helm yang terlihat murahan. Pada lengan sebuah perisai bundar, dan pada pinggul sebuah pedang dengan panjang yang aneh. Pria itu basah dari kepala hingga kaki belum lama sebelum ini, namu  seseorang telah mengeringkan pria itu dengan sebuah handuk—dia adalah Priestess.

Aha, jadi dia ini yang terkenal itu.

“Dia kelihatan lemah.” “Mustahil untuk melihat wajahnya.” “Tubuhnya bagus juga.” “Tinggi dia berapa ya?” “Suaranya dia pelan banget.”

“Gerakannya lincah banget di kebun.” “Peringkatnya dia apa?” “Kayaknya Silver.” “Wah, itu tingkat tiga. Keren.”

“Apa dia warrior?” “Kelihatannya dia juga bisa jadi scout.” “Coba kamu ajak ngobrol dia?”

Para gadis, tua dan muda, berbisik dengan berisik, menambahkan rasa malu Priestess. “Ughhh...” Jika semuanya berjalan seperti ini, apakah lebih baik tidak berbicara dengan mereka setiap kali dia kembali ke kuil? Ataukah rasa malu ini karena dia sudah melakukan hal yang gila...?

“Eh, aku yakin ya memang seperti ini kalau kamu bawa teman ke rumah.” Akunjuga punya beberapa kerabat. Dwarf Shaman menyeringai menyemangati Priestess. Dia sedang sibuk mengoles mentega pada beberapa roti hitam, mengunyah tanpa mempedulikan seberapa keras roti itu. Dia mencabut remah roti yang tersangkut di jenggot dan melemparnya ke dalam mulut seraya Priestess melihat sang dwarf dengan sedih.

“Aku... Aku tahu maksudmu, tapi... Aku benar-benar, Aku nggak bisa...”

Sedang duduk, mereka berdua bertatapan muka. Dwarf Shaman dapat mengetahui secara sekilas betapa merahnya kulit pucat Priestess.

“Cuekkin aja. Coba lihat aku—aku bertahan saja walaupun kurangnya daging atau ikan.” Dia tertawa pada apa yang dia lihat, menghabiskan gelas anggurnya. “Hoh!” dia berteriak, matanya melebar. “Memang nggak sebanding dengan Dewa Anggur besar, tapi kamu bisa merasakan berkahnya dari Ibunda Bumi.”

“Dan aku sangat tersanjung mendengar ucapanmu,” Kakak Anggur berkata dengan senyuman seperti kucing, menopang dagu dengan kedua tangan dan menoleh ke satu sisi. “Sepertinya saudari kecil kami sudah benar-benar mabuk.”

“Bener banget!” Dwarf Shaman berteriak, tertawa lantang. Priestess berusaha membuat tubuhnya semakin kecil.

“Ahh, rasanya hangat banget,” High Elf Archer berkata, menyipitkan mata seperti kucing yang terguyur hujan. “Hei, Orcbolg.” Dia menjukur dengan siku dan menyikut Goblin Slayer, yang dengan diam memakan roti dan sup.

“Apa?” Goblin Slayer berhenti dengan roti hitam yang masih di celupkan ke dalam sup, helm itu menoleh kepada High Elf Archer.

“Jangan apain aku,” dia berkata, bibirnya manyun kesal. “Apa kamu nggak punya sesuatu untuk di tambahkan dalam percakapan ini?”

“Sesuatu,” Goblin Slayer mengulangi dengan nada pelan. ”Seperti apa?”

Tiba-tiba panik, Priestess berkata, “Nggak, nggak apa-apa...!” Namun suaranya hanya senyaring sayap nyamuk.

Telinga High Elf Archer tentunya mendengar itu, namun dia mengatakan, “Aku nggak dengar.” Kemudian dia berputar mengarah Goblin Slayer. “Maksudku tentang gadis, atau, kamu tahulah, apa saja!”

“Hmm... Baiklah,” dia berkatam namun Kakak Anggur menjulurkan tangan kepadanya.

“Sebelum kamu mengatakan apapun, tolong, biarkan aku berterima kasih padamu.”

“Padaku?”

“Ya, pastinya,” Kakak Anggur berkata, dengan anggun tersenyum dan menundukkan kepala. “Kamu sudah banyak membantu saudari kecil kami. Terima kasih—sungguh.”

Priestess celingak celinguk di antara mereka berdua dan tampak bingung.

“Nggak,” Goblin Slayer berkata debgan gelengan kepala. ”Dialah yang membantuku.”

Priestess tidak dapat mengucapkan sepatah katapun mendengar itu dan hanya menatap bengong pada helmnya.

“Aku berhutang terima kasih kepadanya.”

Tidak dapat menerima ini, Priestess menunduk kembali. Kedua tangannya meremas seragam. Hal ini di sadari oleh High Elf Archer yang cekikikan. Dia melirik kepada Lizard Priest, yang memutar matanya riang di kepala. “Saya bangga dengan kemampuan seni bela diri saya. Namun saya tidak mahir dalam membaca suasana.”

“Nggak kayak si papan ini, setidaknya kamu tahu caranya untuk bisa sopan.”

Telinga High Elf Archer menegang ke belakang, dan di berteriak, “Apa?!” Namun tidak lama inipun berubah menjadi tawa. Para murid mendengarkan, mendengar tawa elf ini yang seperti sebuah lonceng, bergema di ruang makan. Terdapat sebuah kehangatan dalam suaranya yang tampak akan membuat matamu berair; atsmosfir ini terasa begitu nyaman hingga menyerupai kenyamanan Ibunda Bumi.

Kakak Anggur tersenyum dan mengangguk kepada Priestess, yang terus menunduk, tidak mengatakan apapun. “Menyenangkan sekali ya? Padahal Ibu Besar sudah mengkhawatir sama kamu.” Ibu Besar tidaklah “tua.” Priestess mendengak, ketika dia mendengar cinta di balik sindiran kecil itu. “Tapi kamu punya teman yang baik. Bikin hatiku dan beliau lega.”

Priestess merasa bahwa dia akan terbelit mengucapkan kata, namun akhirnya dia berhasil mengatakan “Ya bu.”

Ketika Kakak Anggur melihat itu, wajahnya tampak gembira, dan kemudian berkata ringan kepada pria itu; “Ngomong-ngomong, tuan...Goblin Slayer, kan?”

“Itulah sebutanku.” Di ujung ruangan hangat ini, para petualang yang dengan sunyi melanjutkan makan, terhenti sekali lagi.

“Ada desa perintis di dekat sini di mana ada beberapa goblin di sana. Mungkin kamu bisa memberikan kami beberapa dari saranmu?”

Jawabannya sangat cepat. “Aku pergi.” Dia mendengus. “Kasih tahu di mana tempatnya. Seberapa besar sarangnya?”

“Aduh, kamu ini cepat banget membuat keputusan. Seperti yang di iklankan...” Kakak Anggur melihat kepada Priestess dengan sedikit terkejut. Mulutnya membentuk kalimat. “Selama ini kami pasti kerepotan ya?” Priestess menggeleng kepala merespon. Kemudian dia mengelap kedua mata dengan lengan baju agar pria itu tidak melihat senyumnya,

Dia ininbenar-benar terlalu.

Dengan itu satu hari berlalu.

Pekerjaan mereka berikutnha adalah membasmi goblin yang di singgung Kakak Anggur.

“Lagi?!” High Elf Archer terkejut setelah di beritahukan hal ini, Lizard Priest dan Dwarf Shaman terlihat muram dan dengan cepat berdiskusi dengan Goblin Slayer tentang apa yang harus di lakukan. Sedangkan untuk Priestess, walaupin dia merasa bahwa itu adalah pemandangan riang yang tidak asing, dia mendapati dirinya berkedip dengan cepat. Rasa lelah yang dia rasakan setelah bekerja di tengah badai, kehangatan pada perutnya yang kenyang, suara orang-orang di sekitarnga: semuanya sangat menenangkan dan baik. Dia menguap kecil seraya dia merasakan jam pasir berlalu, dan tidak lama kemudian, dia tertidur.

Adalah hari yang damai penuh kegembiraan kecil. Hari menyenangkan yang membuatnya bersyukur kepada Ibunda Bumi.

Adalah tidak lama setelah itu sebuah rumor mulai menyebar bahwa Kakak Anggur adalah anak dari seekor goblin.