SESI SESUDAH, KAIL SKENARIO 

Hadiah dan Petualangan Selanjutnya

(Translator : Zerard)


Kreak, kreak. Bahkan roda gerobak kosong mengeluh seraya roda itu berputar di jalan.

Gadis Sapi berjalan dengan tangan di belakangnga, memperhatikan pria itu menarik gerobak.

Dia bilang dia mau bantu, tapi...

Pria itu tidak mengatakan membantu apa, atau di mana. Tidak sepatah katapun. Hal ini membuat gadis penasaran apakah dia harus menyetujuinya begitu saja. Mungkin pamannya memanglah benar untuk mencemaskan keadaan Gadis Sapi.

Kalau aku tanya, dia akan jawab...

Atau seperti itulah apa yang wanita itu katakan kepadanya, namun hal itu membutuhkan keberanian untuk di utarakan.

Bahkan walau hanya berjalan selangkah di belakang pria itu membutuhkan semacam keberanian. Berjalan dengan santai hanyalah sebuah bukti dari kepercayaan tidak berdasar bahwa tanah akan berada di sana menyambut kakinya.

Seseorang harus memiliki kepercayaan seperti itu, atau seseorang itu tidak akan pernah dapat bergerak. Gadis Sapi mengingat samar tawaan tentang sesuatu seperti itu di masa dulu.

Punggung pria itu seraya dia berjalan tanpa suara tampak begitu dekat namun begitu jauh dengan sang gadis, dan Gadis Sapi melirikkan mata menuju langit seolah ingin mengalihkan perhatiannya.

Begitu biru. Langit musim panas, biru dan putih, cukup untuk memukaunya.

Jauh di atas luasnya cakrawala, seekor burung, seekor elang, berputar perlahan.

Adalah tidak biasa, dia berpikir, dia tidak pernah melihat elang terbang sejauh ini sebelumnya. Dia mengingat samar bahwa elang lebih suka dengan pegununggan.

Munngkin dia hanya tidak pernah menyadarinya. Seberapa sering dia menatap langit  dalam kehidupannya?

Langit selalu berada di sana, akan tetapi, dia begitu jarang untuk melihatnya. Sangatlah aneh.

“Huh...?”

Tiba-tiba dia menyadari bahwa pria itu sedang tidak menuju kota, tetapi menuju tepian. Dengan cepat dia memperpendek jarak yang ada di antara mereka, dan dengan menahan diri namun juga rasa cemas, sang gadis bertanya, “Kita nggak...pergi ke kota?”

“Nggak.”

Langkah bimbang yang telah dia beranikan untuk ambil telah bertemu dengan tanah keras di bawah kaki. Dia menghela napas lega.

“Tapi kita butuh gerobaknya?”

“Ya.”

Langkah kedua, aman. Gadis Sapi merasa dia seperti sedang bergantung pada sebuah akar pohon di tepi jurang curam.

Bukan berarti aku tahu rasanya seperti apa sih...

Gadis Sapi tertawa sendiri. Jika salah satu dari mereka akan mengalami situasi seperti itu, maka itu adalah pria itu.

Tidak lama kemudian, pria itu berhenti.

Mereka telah tiba pada sebuah gubuk tua di tepi sungai, sebuah tempat yang tampak sudah berada di sana yang entah dari kapan. Arunika menyinari mereka, namun entah mengapa tampak tak cerah dan hening. Roda air yang berdecit telah rusak, dan tidak ada asap yang mengepul dari cerobong

Sebuah gubuk. Tempat ini, dan hanya tempat ini saja seolah seperti terkoyak dari sebuah gambar.

Pria itu berpikir sejenak, kemudian berjalan menuju pintu, memberikan pengetuk perunggu beberapa ketukan. Dia menunggu, namun tidak ada jawaban, oleh karena itu dia membuka pintu dan berjalan menumu ruangan dalam yang redup.

Buku terhambur menghalangi bahkan pada pintu masuk; dia merajut jalannya di antara buku-buku melewati ruangan.

Gadis Sapi berdiri di pintu, tidak yakin apa yang harus di lakukan, namun akhirnya, dia memberanikan diri dan berbicara.

Langkah ketiga.

“...Di sini?”

“Iya.”

“Permisi,” Gadis Sapi berkata ragu, kemudian mengambil kangkah hati-hati ke dalam.

Interiornya—bagaimana untuk menjabarkannya?

Adalah seperti bangunan terkutuk, sebuah rumah yang di tinggalkan... Atau rumah seorang wizard.

Sekilas semuanya tampak aneh dan di luar nalar, herba dan obat tertumpuk di segala penjuru. Tidaak ada tempat untuk melangkah—sangatlah cukup untuk membuat sang gadis berpikir apakah mereka masuk ke dalam gudang.

Pria itu berhalan di antara hamburan dengan begitu percaya diri, sebuah tanda bahwa ptia itu pernah ke tempat ini beberapa kali sebelumnya. Gadis Sapi berusaha sebaik mungkin untuk mengikuti pria itu, berusaha untuk tidak membuat pakiannya tersangkut pada apapun.

Gadis Sapi berhasil selamat melintasinya, dan mereka tiba pada sebuah ruang terbuka di tengah semuanya. Di sana terdapat sebuah meja dan kursi, tampak tak tersentuh untuk alasan yang misterius.

Terdapat beberapa botol kosong bergelimpangan di sekitar perabotan.

Pria itu melirik meja, kursi, dan botol. Kemudian dia menggelengkan kepala.

“Aku akan mengambil beberapa benda dari sini,” dia berkata pelan. “Apa yang ku butuhkan.”

“Apa nggak masalah?” Gadis Sapi bertanya, yang di mana pria itu menjawab dengan, “Ini hadiahku.”

Dengan itu, langkah ke empat.

Gadis Sapi membantu dia, mengangkat beberapa benda sihir aneh keluar.

Dia tidak pernah melihat buku sebanyak ini dalam satu tempat. Dalam sesaat, dia berpikir untuk mencoba membacanya, namun buku-buku itu terlihat mahal, oleh karena itu dia mengurungkan niatnya.

Buku-buku, tertumpuk di keseluruhan lantai, tidak pada rak buku, terselimuti oleh debu; dia menghembuskan napas keras pada buku yang dia pegang di tangan. Dia tidak tahu cara yang baik untuk merawat buku, namun buku ini tercium sedikit apek, jadi mungkin buku ini perlu untuk di keringkan.

“Apa yang akan kamu lakukan dengan semua ini?”

Pada pertanyaan kelimanya, pria itu menjawab,  “Aku akan meminta Guild untuk mendonasikannya pada kuil Dewa Pengetahuan atau semacamnya. Kemudian siapa yang membutuhkannya bisa membaca buku ini.”

“Kedengarannya ide bagus,” Gadis Sapi berkata, mencoba untuk memeriksa apakah dia akan menempatkan kakinya di tempat yang aman. “Aku yakin pasti akan membantu, maksudku, buku penuh tentang bermacam hal, kan?”

“...” Pria itu mengangguk, dan kemudian menjawab, “Ya.”

Sepanjang pagi, Gadis Sapi tengah berpikir betapa senangnya dia datang kemari.

Ruangan sempit ini begitu penuh dengan bermacam barang. Hanya menyingkirkannya saja merupakan pekerjaan serius. Mengorganisirnya merupakan pekerjaan berat lainnya. Dan memuat semua itu ke gerobak, masih pekerjaan besar.

Di kala mereka telah selesai, matahari telah melewati puncaknya, dan Gadis Sapi bernapas berat dan mengelap keringat dari alisnya.

“Wow! Kayaknya kita dah kelewatan buat makan siang...” Lelah adalah lain cerita, namun kerja keras yang panjang telah membuat perutnya menjadi kosong. Dia menggosok perutnya pelan. Bagaimana keadaan pria itu? Dia memiringkan kepalanya. “Seharusnya aku bikin bekal makan siang untuk kita.”

“Begitu.”

Gadis Sapi berbicara pelan, ucapan itu di tujukan kepada dirinya sendiri, hingga membuatnya terkejut setelah mendengar jawaban pria itu. Gadis Sapi membuka mulut untuk berkata Bukan itu maksudku, dan kemudian dia menyadari bahwa pria itu tengah menatap ke bawah. Dan ketika Gadis Sapi menyadarinya, dia menelan liur.

“Maaf soal tadi.”

“Ng-nggak, nggak usah di pikirkan.”

Langkah ke enam yang tidak dia sadari telah dia ambil juga bertemu dengan tanah keras—atau paking tidak, itu yang dia rasakan.

Terkejut, Gadis Sapi menggerakkan tangan dari perut ke dadanya. Dia setengah memeluk dirinya sendiri.

“...Kalau kamu minta, aku akan membuatkannya untukmu, oke?”

“Baiklah.”

Mendorong gerobak, mereka berdua mulai berjalan.

“Apa yang akan kita lakukan?” Gadis Sapi bertanya, dan pria itu menjawab, “Pertama, aku akan mengantarkan buku ini ke Guild.”

Ketika mereka melewati gerbang kota, petualang di sekitar akan melirik mengarah mereka dan kemudian memalingkan pandangannya kembali. Seolah, walaupun mereka sedang melakukan sesuatu yang aneh, orang-orang menolak untuk menyadari mereka. Gadis Sapi tidaklah merasa senang jika orang lain berpikir seperti itu, namun entah mengapa, ini tidaklah terlalu mengusiknya.

Kenapa ya.

Anehnya, dia sendiri tidak merasa yakin. Namun ini bukanlag perasaan yang buruk.

Akhirnya, mereka telah tiba pada Guild Petualanh, dan dia menempatkan gerobaknya di tempat yang tidak akan menghalangi jalan.

“Aku akan pergi melapor di resepsionis kalau aku sudah selesai.” Dia berkata. Kemudian helmnya miring berpikir, dan dalam nada tenang mengkonfirmasi, pria itu berkata, “Kamu bisa makan di rumah makan.”

Alih-alih senang, Gadis Sapi merasa ini cukup lucu, dan tertawa. “Nggak apa-apa,” dia berkata, dan kemudian, cemas jika makna kalimatnya tidak tersampaikan, dia menambahkan, “Nanti kita makan di rumah sama-sama, ya?”

Pria itu terdiam.

Gadis Sapi merasa dia sudah megambil langkah terlalu jauh.

Namun dengan pelan pria itu berkata, “Begitu.”

Jawabannya merupakan satu kata yang sama seperti biasa, namun bagi Gadis Sapi ucapan itu begitu penuh makna. “Aku senang kamu mau.”

“Benarkah?”

Iya, benar. Kemudian Gadis Sapi mengulangi: Benar banget. Pria itu mengangguk.

“Kalau begitu, aku akan kembali secepatnya.”

“Iya.”

Dan kemudian Gadis Sapi memperhatikan pria itu seraya pria itu menghilang memasuki bangunan Guild.

Gadis Sapi dapat merasakan senyum yang bersemi pada wajahnya seraya pria itu melewati pintu berayun.

Gadis Sapi duduk pada gerobak, merasa melayang. Dia menopang sikunya pada lutut dan dagu pada tangan. Dia membiarkan kakinya menjuntai dan memandang kota. Riuh para petualang yang datang dan pergi. Berbagai macam warga kota. Pemandangan biasa.

Namun seperti langit. Seberapa sering dia benar-benar memperhatikan ini?

Tentunya, ada setidaknya beberapa orang di sekitar sini yang memakan makanan yang datang dari kebunnya. Pikiran itu memberikannya rasa kegembiraan. Itu membuatnya merasa bahwa hanya dengan membantu paman dengan pekerjaannya telah memberikan ini makna.

Tiba-tiba, Gadis Sapi mendengar napas mendesah.

“Wah, wah....?”

Terhanyut dalam pikiran, Gadis Sapi tidak menyadari pemilik suara itu mendekatinya.

“Lama...tidak, bertemu.”

“Oh!” Gadis Sapi berdiri dengan cepat. Adalah seorang wanita cantik, sang witch. “Iya, lama nggak ketemu!” Gadis Sapi melompat turun dari gerobak dan memberi salam. Gerakan itu sangatlah tiba-tiba dan lebih berenergi dari apa yang Gadis Sapi inginkan. Merasa malu, dia tersipu, dan sebuah tawaan terumbar dari dalam tenggorokan Witch.

“Ada...urusan...apa, yang membuatmu, datang, kemari, hari, ini...?”

“Oh, uh...” Gadis Sapi menatap udara kosong, mencari jawaban. “Aku lagi membantu... Membantu dia.”

Kami membawa ini ke Guild.

Witch menyipit melihat itu dan membelai buku yang ada di atas gerobak. “Ah...”

“Aku nggak tahu banyak tentang ini. Tapi kurasa ini berharga, kan?”

“Ya, benar... Untuk, mereka, yang...menginginkannya.”

Bagi orang-orang itu, ini sangat berharga. Witch berbisik, kemudian pipinya tersenyum.

Huh? Gadis Sapi merasakan sesuatu, memiringkan kepala penasaran. Apa iya? Mungkin?

“...Hari ini lagi senang?”

“Heh, heh.” Witch berkedip, alis panjangnya bergetar. Bibirnya bergerak sedikit, seolah sedang merapal kalimat mantra rahasia. “Aku, akan...pergi...’kencan.’”

“Wow,” Gadis Sapi menghela, dan Witch menutup mulut gadis itu dengan tangan seolah merasa malu.

“Sampai, jumpa.”

Dengan lambaian anggun, wanita itu berjalan, pinggul bergoyang. Di kejauhan adalah seorang petualang pengguna tombak.

Wanita yang beruntung...

Walaupun Gadis Sapi harus mengakui bahwa dia tidak memahami penuh mengapa dia berpikir bahwa Witch adalah wanita beruntung.

“Aku selesai.”

“Oh, oke.”

Mereka pergi, dan pria itu kembali. Gadis Sapi mengangguk dan berjalan memutar ke balakng gerobak.

Gadis Sapi mulai menurunkan buku-buku. Pria itu mengambil tumpukan buku itu sendiri dan meletakkannya.

“Jadi kemana mereka mau mendonasikannya?”

“Aku nggak tahu,” dia berkata datar. “Mereka bilang akan menyimpannya di sini dan kemudian memutuskannya.”

“Huh,” sang gadis berkata. “Ya,” pria itu berkata.

Gadis Sapi menumpuk buku-buku, menurunkannya dari gerobak, dan memberikannya kepada pegawai Guild. Kemudian dia melakukannya lagi.

Tiba-tiba, sang gadis mengira bahwa dia mengendus semacam aroma wangi.

Aroma akan apel. Paling tidak itu yang dia kira.

Karena itu, dia berhenti dan menarik napas dalam, mengelap keringat dari dahi, dan tanpa berpikir panjang, dia menyuarakan pertanyaan.

“Aku nggak ada lihat wanita itu akhir-akhir ini?”

Pria itu berhenti bergerak. Apakah ada yang salah? Gadis Sapi memiringkan kepala, dan kemudian helm baja itu bergerak.

“Maksudmu apa?” pria itu bertanya.

“Itu loh, yang kerja sama kamu.” Gadis Sapi menatap langit, hampir merasa tidak yakin tentang apa yang dia ucapkan. Sangatlah biru hingga menyengat matanya. “...Wizard itu.”

Pria itu tidak menjawab dengan segera. Dia menumpuk beberapa buku, meletakkannya, menyerahkannya kepada pegawai Guild, kemudian menumpuk buku lagi, menaruhnya, dan menyerahkannya juga.

Gadis Sapi menunggu dengan sabar. Dia sudah mengambil begitu banyak langkah sekarang. Dia yakin bahwa langkah kali ini akanlah aman.

Ketika pada akhirnya jawaban pria itu datang, jawaban itu sangatlah rancu dan terlalu singkat. “Kurasa dia pergi ke suatu tempat yang sangat jauh. Kemungkinan dia nggak akan pulang.”

Gadis Sapi hanya menjawab, “Yang benar?”

Gadis Sapi membayangkan hal terburuk, namun entah mengapa dia menolak menyuarakan bayangannya.

Ketika pria itu melihat sang gadis terdiam, pria itu berhenti bekerja. Dan kemudian, dengan nada yang sangat lembut, dia berkata, “Aku yakin dia nggak mati.”

Pada saat itu—jika sang gadis tidak keliru—sang gadis bersu pah bahwa dia mendengar pria itu tertawa dengan begitu pelan.

Gadis Sapi merasa semacam lega melihat itu dan menghela napas. Tidak mati. Itu sangatlah bagus.

Masih tidak yakin mengapa dirinya bertanya tentaang wanita itu, Gadis Sapi melanjutkan kalimat berikutnya. “Apa kamu rindu dia?”

“Aku nggak tahu.”

Jawabannya singkat.

Ketika pria itu menumpuk buku dan membawa buku terakhir, dia akhirnya menghela napas. Kemudian, dengan helm yang masih di kepala, dia menatap lantai, berpikir. Dan akhirnya menggelengkan kepala dari samping ke samping. “Aku nggak tahu, tapi...bisa di bilang, mungkin iya.”

“Begitu,” Gadis Sapi berkata, dan kemudian sang gadis berbisik kembali, “Begitu,” dan mengelap keringatnya.

Mereka menyerahkan buku terakhir kepada pegawai Guild, dan kemudian mereka berdua berjalan pulang.

Pria itu menarik gerobak seraya mereka menjalani jalanan mengarah kebun, yang di mana tampak terasa begitu panjang namun begitu dekat.

Terlebih, masih ada beberapa muatan yang ada di dalam gerobak. Adalah tugas sang gadis untuk mendorongnya dari belakang.

“...Mau gantian?”

“Nggak,” pria itu berkata seraya dia menarik pegangan besi. “Ini pekerjaanku.”

“Oh yeah?”

“Menurutku.”

Kemudian tidak ada lagi percakapan, dan mereka berdua fokus berjalan dalam keheningan.

Di jalanan, mereka melalui beberapa petualang yang menggunakan berbagai macam perlengkapan. Seorang gadis muda dengan rambut silver terikat, berlari mengikuti partynya, dan kemudian seorang warrior muda.

Petualang pengguna tombak berjalan, terlihat mengintimidasi dan berwibawa, di temani oleh seorang witch yang memegang tongkat kuno dengan penuh perhatian.

Dia dan Gadis Sapi berjalan perlahan pada arah berlawanan, langkah demi langkah.

Matahari telah terbenam sekarang, dan jalanan kembali menuju kebun, walaupun tidak panjang, terlukis oleh merah padam.

Sudah berapa tahun semenjak mereka terakhir berjalan bersama seperti ini?

Kalau di pikir lagi...

Sesuatu seperti itu pernah terjadi. Sebuah kenangan yang begitu kecil hingga dia hampir tidak dapat mengingatnya sampai detik ini.

Aku ingat kita pernah main lompat tali sama-sama.

Sebuah lagu anak kecil yang tidak dia nyanyikan sejak dahulu sekali, melantun di bibirnya.


Dewa, dewa!

Lemparlah dadu dan bermain.

Lempar satu dan aku akan menenangkanmu,

Lempar dua dan aku akan tertawa denganmu,

Lempar tiga dan aku akan memujimi,

Lempar empat dan aku akan mentraktirmu,

Lempar lima dan aku akan berdansa untukmu,

Lempar enam dan aku akan menciummu,

Lempar tujuh dan...


“Lempar tujuh dan...?”

Butuh beberapa saat bagi sang gadis untuk menyadari suara datar pria itu.

“Lempar tujuh dan apa?”

Gadis Sapi menatap malu pada tanah—walaupun pria itu tidak dapat melihatnya—dan tertawa. “...Aku nggak ingat.”

“Begitu.”

“Lagu yang aneh ya? Dadu kan cuma punya enam sisi.”

Kamu bisa lempar dua dadu, tapi kalau gitu, kamu nggak akan dapat satu.

Gumam sang gadis hampir seperti sebuah cara baginya untuk mengganti subyek, namun pria itu menjawab, “Kamu benar.”

Gadis Sapi mencuri lirik kepada pria itu; pria itu tampak seperti sedang menatap langit seraya dia menarik gerobak.

“.......”

Entah mengapa, pemandangan pria ini membuat Gadis Sapi memikirkan pagar kebun yang sudah di perbaiki.

Iya, itu masuk akal.

Gadis Sapi tidak menyadarinya kala itu. Mengapa itu telah menarik perhatiannya?

Pada awalnya, Gadis Sapi mengira bahwa paman yang telah melakukannya. Namun sang gadis telah banyak melihat pekerjaan pamannya dan sudah terbiasa akan itu. Dia hampir tidak pernah menyadarinya.

Pria muda ini dengan canggung mengikis kayu, mencoba menyelesaikan sesuatu sebelum senja.

Apakah semacam mainan? Pedang kayu? Sesuatu yang lain? Ingatannya sudah buram sekarang. Namun gambaran tidak asing itu kembali terngiang, dan Gadis Sapi menyipitkan mata dan tertawa.

Entah mengapa, swastamita terlihat begitu samar. Muatan pada gerobak berdecak dan bergerak seraya roda menginjak batu di jalanan.

Semua benda yang ada di gerobak adalah barang yang tidak di ketahui oleh Gadis Sapi, namun pria itu berkata bahwa dia akan membawanya ke gudangnya. Asumsi Gadis Sapi bahwa ini akan berlangsung hingga malam hari, dan dia akan membantu pria itu.

Jika bangunan tua itu mampu menampung beberapa benda milik pria itu, maka itu adalah hal yang bagus, pikir Gadis Sapi.

Jika mereka bekerja hingga malam, tentunya mereka akan kelaparan. Mereka perlu untuk makan.

Sang gadis akan memanaskan sebuah rebusan, dan kemudian dia dan pria itu dan pamannya, semua dapat makan bersama.

Itu adalah sebuah ide yang bagus bagi dirinya.

“Oke deh,” Sang gadis berkata, menambah tenaga ekstra dalam mendorong gerobak. “Kalau kita melakukan pekerjaanku, maka aku yang akan tarik.”

Dan kamu yang bantu. Pria itu terdiam beberapa saat, namun kemudian dia menjawab, “Baiklah.”

“Uh-huh.” Sang gadis mengangguk dan kemudian memberikan mengangguk kembali.

Kebun sudah berada tepat di depan.