SEKALI LAGI, AKU INGAT

(Translator : Elsa)


Hajime dan Kaori menengok ke atas, menuju ke arah kapal-kapal yang berlayar. Bahkan di Bumi sekalipun, kapal layar keluaran awal tidak dapat menyamai besarnya skala kapal-kapal ini.

Tidak kurang dari 300 meter panjangnya, dan sebesar bangunan 10 lantai, hanya beberapa bagian dari kapal yang dapat dilihat dari daratan. Pada seluruh badan kapal, dekorasi-dekorasi menakjubkan terpasang. Meskipun telah berkarat, dekorasi ini masih memberikan kesan kuat yang membuatmu ingin mengaguminya. Di atas kapal kayu, Hajime yang juga ahli membuat dekorasi yang seperti itu, dengan segan merasa terkesan oleh karena tingkatan pengerjaan detail dekorasi kapal mereka ini. Dia tidak bisa tak mengagumi waktu dan usaha yang dituangkan para pengrajin saat membuatnya.

Sembari memeluk Kaori, Hajime melompat menggunakan ‘Void Grip’ dan mendarat pada beranda di puncak kapal mewah tersebut. Kemudian, tentu saja, lingkungan sekitar mereka mulai terdistorsi. 

“Lagi? … Kaori, tetaplah waspada. Pasti akan terjadi sesuatu.”

“Un. Sejauh ini terlihat baik-baik saja bagiku.”

Hajime merasa bahwa respon santai Kaori ini tidak sesuai untuk orang yang sedang berada di tengah-tengah penaklukan Dungeon Agung. Sudah terlihat jelas untuk beberapa lama bahwa perasaan tegang Kaori telah berkurang secara tajam. Meskipun masih memperlihatkan senyuman, Hajime bisa tahu bahwa senyuman itu berbeda dari biasanya. Dia yakin Kaori tidak melakukan itu dengan sengaja, tetapi perilaku barunya yang tidak fokus ini tidak bagus untuk situasi mereka saat ini. Seharusnya, setidaknya ia perlu menahan perasaannya sampai penjelajahan [Reruntuhan Bawah Laut Meljeene]  ini selesai; Hajime berpikir demikian sembari menggaruk-garuk pipinya dengan tajam.

Hajime melakukan penyelidikan singkat terhadap lingkungan yang berubah. Kali ini, tampaknya mereka berada pada puncak kapal mewah yang berlayar di lautan.

Sekarang adalah malam hari, ditemani oleh bulan purnama yang bersinar di angkasa. Kapal mewah ini bersinar dengan kilauan-kilauannya; pada geladak kapal terdapat bermacam-macam penataan santapan bermodel buffet, dengan barisan orang-orang yang berbincang sambil membawa makanan yang terlihat lezat pada salah satu tangan mereka.

“Ini pesta… bukan?”

“Haa, ini sungguh menyilaukan mata. Apakah kita salah paham mengenai konsep Meljeene?”

Hajime dan Kaori berdiri di atas beranda yang terangkat (mungkin tempat yang hanya boleh dimasuki oleh kru kapal) sambil menunduk ke arah geladak kapal yang besar sekali. Mereka mencoba memahami perbedaan membingungkan antara pesta menyenangkan ini dan pemandangan mengerikan yang mereka saksikan sebelumnya.

Kemudian, tidak lama setelah Hajime dan Kaori memutuskan untuk beristirahat sebentar, pintu yang berada di belakang mereka terbuka, dan beberapa pelaut yang sedang mengobrol keluar dari situ. Daripada kehilangan kesempatan ini ketika sedang beristirahat, mereka memutuskan untuk membaur dengan para pelaut dan mendengarkan percakapan.

Dari mendengar cerita-cerita para pelaut, mereka tahu bahwa pesta laut ini tampaknya diadakan untuk merayakan akhir peperangan. Perang yang telah berjalan selama bertahun-tahun. Perang yang bukannya berakhir melalui penyerangan dan pemusnahan ini telah terselesaikan dengan menandatangani perjanjian perdamaian. Para pelaut tampak senang, dan jika lebih diperhatikan, mereka bisa melihat bahwa di geladak kapal itu tidak hanya ada manusia, tetapi juga iblis dan makhluk setengah manusia. Tanpa pembedaan ras, mereka semua mengobrol dengan bebas.

“Ada zaman semacam ini, ya?”

“Ini pastinya adalah pencapaian yang hebat bagi mereka, orang-orang yang berusaha untuk mengakhiri perang. Meskipun aku tidak tahu berapa tahun telah terlewati sejak akhir perang, tentunya tidak semua perasaan dendam telah hilang; namun mereka masih tetap bisa tertawa dengan bebas…”

“Tentunya orang-orang yang ada di bawah sana itu sama dengan mereka yang berusaha melakukan yang terbaik untuk mengakhiri perang. Semua orang itu berbeda. Terlihatnya pemandangan seperti ini bukan berarti semua orang mampu tertawa bersama secepat ini.”

“Itu benar…”

Terbawa suasana dan raut wajah cerah orang-orang, rasa waspada Hajime dan Kaori juga secara naluriah berkurang. Selang beberapa saat, mereka melihat seorang pria tua menaiki panggung yang disiapkan di geladak kapal. Terdapat rasa hormat pada mata orang-orang di bawah situ ketika menyadari kehadiran pria tersebut di panggung. Seketika, mereka berhenti berbincang untuk memperhatikan pria tua itu. 

Terdapat pria lain yang kelihatannya adalah asisten yang berdiri dekat dengan si pria tua, tetapi entah kenapa dia menggunakan tudung kepala dan mencoba menyatu dengan latar belakang panggung. Melihat keadaan, Hajime berpikir bahwa penampilan pria ini agak tidak sopan… namun kelihatannya tidak ada orang yang mempedulikan pria berjubah ini.

Akhirnya, ketika seluruh suara obrolan telah mereda, si pria tua memulai pidatonya.

“Tuan-tuan yang terhormat, Anda semua yang mengharapkan kedamaian, jiwa-jiwa pemberani yang berlari ke medan perang mengorbankan hidupnya, adalah pembawa pesan kedamaian. Hari ini, di tempat ini, saya benar-benar merasakan bahwa merupakan keberuntungan besar bagi kita semua untuk bisa bertemu, bersama di tempat ini. Perang itu telah dimulai sejak lama, bahkan bagi generasi saya. Akan tetapi, kita mampu berdiri bersama-sama dengan damai setelah mengakhiri perang tersebut. Dapat menyaksikan mimpi seperti itu menjadi kenyataan… hati saya masih bergetar.”

Semuanya mendengar dalam diam saat pria ini berbicara. Ketika pidato ini berlanjut, peristiwa seperti keraguan, pertemuan yang tak disengaja, serta pengalaman menjadi batu loncatan menuju kedamaian. Pria ini membicarakan tentang mereka yang sering sembrono pada usaha untuk menyelesaikan peperangan, dan teman-teman yang tercerai berai di tengah peperangan ini… saat pidato berlanjut, mata mereka semua mulai melihat ke arah kejauhan, mendambakan orang-orang yang mereka rindukan dan menyembunyikan embun di ujung mata mereka, menahan keinginan untuk membiarkan air mata mereka mengalir.

Tampaknya pria tua ini adalah raja para Manusia. Di antara manusia, bahkan pada tahap awal peperangan, kelihatannya terdapat pergerakan di balik layar demi kedamaian. Kini orang-orang mengangguk untuk menunjukkan rasa hormat.

Akhirnya, sepertinya pidato ini berakhir. Sang Raja masih cukup bersemangat setelah pidatonya berakhir, suasana pada geladak kapal pun demikian. Akan tetapi, Hajime terserang oleh firasat buruk. Ada sesuatu yang terasa ganjil; dia telah melihat raut wajah yang diperlihatkan oleh sang raja di suatu tempat sebelumnya.

“-dan demikianlah, satu tahun telah berlalu sejak penandatanganan perjanjian perdamaian … … Itu semua bodoh sekali.”

Bereaksi pada ucapan sang Raja, selama beberapa detik kerumunan tersebut terlihat bingung; Hajime mengira dirinya telah salah dengar. Mereka semua menatap satu sama lain dalam kebingungan. Sementara itu pidato berapi-api sang Raja berlanjut.

“Ya, itu benar-benar bodoh. Melihat binatang dan orang-orang tak percaya membicarakan tentang masa depan dan bertukar minuman, menggelikan. Apa Anda sekalian memahaminya, Tuan-tuan? Itu benar, saya membicarakan tentang Anda sekalian.”

“Apa-apaan yang kau katakan itu Aleist?! Sial, apa salahnya berkat- gaah!?”

Bersamaan dengan perubahan mendadak Raja Aleist, salah satu iblis yang gelisah berdiri di hadapannya. Kemudian, iblis ini mencoba menanyai Raja Aleist… hasil yang tak terduga adalah sebuah pedang yang tumbuh dari dadanya.

Pria ras Iblis yang tertusuk melihat ke belakang hanyauntuk disambut oleh ekspresi terkejut para manusia. Melihat wajah mereka, kita bisa tahu jika mereka semua memang benar-benar terkejut. Dengan ekspresi akhir-nya yang dipenuhi ketidakpercayaan, pria ras Iblis ini ambruk.

Jeritan-jeritan terdengar dan seluruh penghuni geladak kapal pun dipenuhi kegemparan. “Yang Mulia!”, tangis beberapa pria dan wanita saat mereka berlari menuju tubuh ambruk pria ras Iblis.

“Ya, Tuan-tuan, sesuai pernyataan saya tadi, saya benar-benar gembira bisa membawa semuanya bersama-sama malam ini. Kita akan menciptakan sebuah negara yang bebas dari ras-ras yang ditinggalkan oleh dewa, tempat di mana semuanya bisa setara dan sederajat.”

Sejak zaman Permulaan hanya ada satu Dewa, ‘Ehito-sama’. Mereka yang meninggalkan-Nya, dengan bodoh menyembah dewa yang salah, orang-orang yang ingkar terhadap Dewa seperti itu tidak diperbolehkan untuk pergi! Semua akan berakhir hari ini! Satu-satunya jalan menuju kedamaian adalah menghancurkan mereka yang tidak percaya! Maka dari itu, hari ini, saat kita menyapu bersih para pemimpin yang tak percaya pada-Nya, saya tidak bisa tak bersukacita! Sekarang, pelayan Dewa, sampaikan penghakiman pada orang-orang ini menggunakan palu keadilan! Aah! Ehito-sama, tolong awasi kerja keras kami!”

Tertawaan Raja Aleist bergema dengan kencang ketika dia jatuh berlutut dan menatap ke atas menuju angkasa. Pada saat bersamaan, Raja memberi tanda pada prajurit yang telah berpakaian seperti pelaut untuk mengelilingi pesta geladak kapal sepenuhnya.

Posisi geladak kapal ini ada di tengah-tengah kapal, di antara tiang kapal raksasa dan bangunan utamanya, dengan tinggi 10 lantai dari depan ke belakang. Jika dilihat, para prajurit memenuhi bangunan di beranda dan tiang kapal, tertata agar mereka dapat berfokus ke arah target yang ada di bawah mereka. Di laut, tidak ada tempat bagi mereka untuk kabur, keuntungan geografis sepenuhnya berada di sisi prajurit. Hajime pastinya sudah menyadari ini, tetapi raut wajah putus asa para pimpinan negara menunjukkan bahwa mereka baru saja menyadari itu. 

Seketika, seluruh sihir akhirnya dilepaskan dan membombardir dek kapal. Meskipun para penumpang mati-matian melawan balik, mereka berada pada posisi yang dirugikan… Itu adalah pembantaian massal berat sebelah, karena mereka yang melawan akan dibantai.

Mereka yang berlari kabur menuju bagian dalam kapal, kebanyakan terbunuh saat masih berlari. Dek kapal telah berubah sepenuhnya menjadi lautan darah saat itu juga.

“Ugh”

“Kaori…”

Kaori menutup mulutnya menggunakan salah satu tangannya untuk menahan rasa mual ketika ia bersandar di tepi tangga. Pemandangan ini amat mengerikan, jadi masuk akal bila Hajime mengulurkan tangan dan menawarkan bantuannya.

Tampaknya Raja Aleist merasa ingin melakukan perburuan, karena tak lama kemudian dia bergabung dengan anak buahnya untuk mengejar sisa-sisa orang yang telah melarikan diri dari kapal.

Pria bertudung mengikuti sang raja ke dalam kapal. Tepat sebelum melangkah ke dalam situ, dia berbalik dan melihat ke belakang menuju dek kapal. Seketika itu, segumpal rambut perak meloloskan diri dari pinggiran tudung kepalanya dan bersinar terang di tengah-tengah pantulan sinar bulan. Kedua matanya yang tersembunyi bertemu dengan Hajime dan Kaori. Untuk beberapa saat, Hajime mengira bahwa mereka dapat terlihat.

Lingkungan sekitar terdistorsi, sepertinya dungeon hanya ingin menunjukkan peristiwa sebelumnya itu pada mereka, Hajime dan Kaori segera kembali ke puncak kapal mewah yang terlantar.

“Kaori, istirahatlah sebentar.”

“Tidak, aku baik-baik saja. Meskipun pemandangan tadi terlihat intens… tetapi aku berpikir apakah itu adalah benar-benar akhir dari tantangan… kita bahkan tidak melakukan apapun.”

“Aku rasa kuburan kapal ini adalah titik akhirnya. Meskipun kita harusnya dapat menjelajahi lautan di luar dinding pembatas… jika kau memikirkan apa yang normalnya terjadi, orang-orang yang ingin melanjutkan perjalanan ke tengah-tengah laut akan perlu menggunakan kapal ini. Mungkin menyaksikan peristiwa itu sendiri adalah tujuan dari penglihatan kita. Untuk membakar kekejian para dewa ke dalam ingatanmu, agar kau merasa terdorong untuk menjelajahi kapal ini. Itu ide yang kotor, apalagi bagi orang-orang dari dunia ini.”

Orang-orang di dunia ini, meskipun hanya sedikit dari mereka mampu sampai ke tempat ini, diharapkan untuk memiliki kepercayaan pada para dewa. Menunjukkan hasil mengerikan dari kepercayaan mereka… pastinya itu akan menyiksa jiwa-jiwa yang lemah lembut. Selain itu, titik vital pada penjelajahan Labirin ini adalah kekuatan sihir, yang mana memberatkan kondisi mental seseorang. Mengetahui fakta tersebut, bisa diketahui bahwa itu merupakan kebalikan dari Labirin Agung Raisen. Hanya karena Hajime berasal dari dunia lain-lah alasan kenapa dampak dari tekanan mental ini amat kecil.

Hajime dan Kaori memeriksa kondisi geladak kapal dengan raut wajah yang mengindikasikan ketidaksudian, mengingat pembantaian massal mengerikan yang telah terjadi di sini. Akan tetapi, bagi Hajime, wajahnya lebih terlihat seperti mengingat kecurangan dalam pertandingan olahraga.

Telah menemukan solusi, mereka berdua melompat menuju dek kapal dan menginjakkan kaki ke dekat pintu yang dimasuki Raja Aleist entah sejak kapan.

Bagian dalam kapal benar-benar tertutupi oleh kegelapan. Karena di luar cerah sekali, tidak aneh bila terdapat sinar yang memasuki celah-celah kayu yang sudah lapuk. Tetapi entah kenapa, tidak ada cahaya sama sekali. Demi bergerak maju ke dalam kegelapan, Hajime mengeluarkan alat penerangan dari ‘Treasure Box’-nya.

“Penglihatan tadi… Meskipun perang sudah selesai… Aku berpikir, apakah raja benar-benar mengkhianati mereka?”

“Kelihatannya begitu… Tapi, bukankah itu agak aneh? Ketika dia berdiri di atas panggung, orang-orang itu melihatnya dengan pandangan mata yang dipenuhi cinta kasih dan rasa hormat… Jika jauh di lubuk hatimu kau memang membenci para Iblis dan Demi-human/Makhluk setengah manusia, mampukah kau mendapatkan rasa hormat sedalam itu?”

“Itu benar… Berdasarkan cara orang-orang tersebut berbicara padanya, tampaknya ada perubahan mendadak sekitar satu tahun setelah akhir perang… Apa yang bisa terjadi sampai-sampai menyebabkan perubahan pikiran seperti itu?”

“Yah, tak diragukan lagi, mereka bertarung demi dewa mereka, mereka meneriakkannya dengan cukup keras. Mereka mengeluarkan aura seperti orang yang sudah tidak waras lagi.”

“Ya, mereka terlihat seperti Ishtar-san, menyalahgunakan kepercayaan untuk mamandang rendah orang lain. Menyedihkan, bukan?”

Tampaknya, dari perspektif seorang gadis SMA, Pendeta Tinggi Gereja Suci adalah orang yang menyedihkan. Akan tetapi, Hajime hanya memiliki sedikit rasa simpati untuknya setelah mendengar itu. Hajime dan Kaori melangkah ke depan, masih memikirkan peristiwa sebelumnya - sampai mereka menemukan sesuatu yang berkilauan di depan, merespon sinar milik Hajime.

Hajime dan Kaori menghentikan langkah kaki mereka, serta mengamati ketika kilauan cahaya tersebut perlahan-lahan datang mendekat. Semakin dekat, mereka dapat melihat bahwa itu adalah sosok seorang gadis dengan gaun putih yang berkibar. Ia berhenti di lorong di hadapan mereka dan berdiri di sana, sedikit menggoyangkan tubuh  dengan kepala melihat ke bawah.

Kaori dan Hajime merasakan sesuatu yang tidak mengenakkan dan tubuh mereka gemetar hebat. Raut wajah Kaori menjadi sangat kaku, sementara Hajime, memutuskan bahwa seorang gadis biasa tidak mungkin berada di tempat seperti ini, menudingkan Donner ke arah gadis bergaun putih tersebut, berniat untuk membunuhnya.

Seketika, gadis itu runtuh ke lorong dengan bunyi dentuman kecil. Kemudian, dengan posisi yang tidak mungkin bagi sendi-sendi manusia normal, ia mengangkat tubuh seperti laba-laba dan meluncurkan tubuhnya lurus ke arah mereka!

Ketaketaketaketaketaketaketaa!

Tertawaannya yang aneh itu menggema ke seluruh lorong. Mata-mata yang berkilau, seperti yang ada di urban legend, memelotot ke arah mereka dengan mata yang terlihat dari poni rambutnya, ketika Hajime menembak sosok yang mendekat.

“TIDAAAAAAAAAKKKK!!!!”

“Wah!? Tenanglah, Kaori! Jangan memegang lenganku!”

Seakan kisah pada situasi ini sudah bisa diduga, Kaori berpegang erat pada Hajime dan menjerit. Anak yang mendekat ke arah mereka itu mengejek, menertawainya. Hajime yang mencoba menembak anak itu menggunakan Donner, tembakannya meleset karena dipegangi oleh Kaori.

“Kegya!!”

Dalam sekejap, anak tersebut berada di kedua kaki Hajime. Kemudian, bersamaan dengan jeritan anehnya, ia melompat ke wajah Hajime.

Hajime dengan enggan menyerah untuk menembaknya, dan sebagai gantinya melontarkan tendangan ‘sure-kill yakuza-style’ langsung mengarah ke perut anak yang masih tertawa tersebut. Sebagai tindakan pencegahan, Hajime menyelimuti dirinya dengan sihir dan menggunakan ‘Grand Legs’ untuk mengantarkan pukulannya. 

Pada saat Hajime menendang perutnya, anak itu terbang terlempar ke dinding, sebelum memantul beberapa kali dan terhenti di ujung lorong. Kini posisi tubuhnya terlihat semakin aneh, dan perlahan menghilang, seakan meleleh ke dalam kegelapan.

Hajime mengembuskan nafas panjang, kemudian memberikan Kaori yang masih gemetaran dan berpegangan kepadanya itu pukulan kecil di kepala menggunakan tinjunya, Awalnya Kaori mendongak ke arah Hajime, raut wajah ketakutan masih berada di wajahnya. Air mata berpegang erat pada kedua matanya saat bibirnya mengeluarkan jeritan kecil - siapapun bisa tahu kalau gadis ini masih ketakutan.

“Hey Kaori, apa kau kesulitan dengan yang semacam ini?”

“Memangnya ada orang yang tidak kesulitan dengan hal seperti itu!?”

“Tidakkah kau akan baik-baik saja jika hanya menganggapnya sebagai penampakan biasa?”

“…. Gusuu, aku akan melakukan yang terbaik.”

Sesuai janjinya, Kaori memisahkan dirinya dari Hajime, namun tidak melepaskan tangannya dari pakaian Hajime.

Sampai beberapa saat sebelumnya, ia telah mengkhawatirkan tentang apa yang harus ia katakan pada Hajime. Ia tampak lebih pendiam dari biasanya, tetapi kini terdapat sebuah keinginan kuat yang mendiami kedua matanya. Ia pasti tidak akan membiarkan dirinya terpisah dari Hajime! Itu adalah bentuk keputusasaan yang secara bersamaan menjadi wujud cintanya pada lelaki tersebut.

Ketika Kaori selesai mengumpulkan ketetapan hatinya, pintu lorong yang berada di hadapan mereka terbuka dan memperdengarkan suara yang kencang. Di sisi lain pintu tersebut terdapat noda-noda darah yang tak terhitung jumlahnya di lantai, dan ketika melihat ke atas, mereka melihat kepala seorang wanita berambut panjang yang basah kuyup sedang tergantung di langit-langit, menunduk ke arah mereka. Pada saat yang sama, mereka mendengar suatu suara dan menoleh hanya untuk disambut oleh seorang pria tanpa kepala yang menyeret sebuah kapak di belakangnya.

Hajime kembali melontarkan tendangan yakuza-nya menuju pria tanpa kepala itu, dan menyiapkan pistolnya sebagai tindakan lanjutan, tetapi tidak perlu. Pria tanpa kepala itu sudah mati dikarenakan oleh tendangan Hajime.

“Jangan lagi… Aku ingin kembali sekarang… aku ingin bertemu Shizuku-chan~”

Saat mereka melanjutkan perjalanan semakin ke dalam kapal, fenomena aneh menjadi semakin dan semakin kejam. Hal ini membuat Kaori seperti kembali menjadi anak kecil, berpegangan pada punggung Hajime dan menolak untuk keluar dari sana.

Sejak kecil, Kaori sudah mengagumi Shizuku sebagai ksatria dan pelindungnya, kapanpun ia memasuki rumah hantu atau ketika ia harus menghadapi Kouki dan teman-temannya. Namun, perasaan itu tidak pernah melampaui batas hingga menjadi ‘yuri’.

Meljeene, penemu [Reruntuhan Dasar Laut Meljeene], tampaknya berusaha memojokkan mereka secara emosional. Hajime, telah selamat dari jurang, sudah memiliki pengalaman dikelilingi oleh kegelapan dan tidak begitu merasa kesulitan menghadapinya. Akan tetapi, dia bisa memahami bagaimana sulitnya bagi orang berkondisi psikis normal. Namun, dia tidak bisa membayangkan Tio atau Yue terisak oleh karena kejutan-kejutan semacam itu.

Itu terjadi hingga beberapa saat lalu ketika Kaori, sambil setengah menangis-setengah menggoda melangkah keluar dan mulai menangkis rasa takutnya menggunakan sihir penyembuhannya. Melihat perubahan perilakunya yang mendadak itu membuat Hajime ingin meluruskan, “kemana perginya aura gadis kecil yang tersesat dan ketakutan tadi?” saat melihatnya. Ketika melanjutkan perjalanan, Kaori mulai kembali goyah, tetapi bersama-sama, pada akhirnya mereka sampai di gudang kapal.

Mereka melangkah melewati pintu-pintu berat yang terbuka. Mereka melanjutkan perjalanan menuju bagian belakang kapal, bergerak ke kargo yang terbuka lebar. Tetapi, sebelum mereka sampai jauh ke dalam, pintu-pintu di belakang mereka tertutup dengan sendirinya dan memperdengarkan suara ‘boom!’ yang cukup keras.

“Pii!?”

Kaori mengeluarkan suara yang aneh karena bunyi yang mengejutkan ini, dan Hajime mulai khawatir apakah ia menyimpan baik-baik percakapan penting mereka dalam pikirannya, mengenai apa yang akan ia lakukan setelah menyelesaikan labirin ini. Ini bukanlah pertama kalinya pemikiran seperti ini melewati kepalanya.

Namun, Hajime hanya mengembuskan nafas dan mulai mengusap-usap bahu Kaori dengan tenang. Sayangnya, efektivitas ‘taktik’ ini terganggu ketika sebuah kabut tebal perlahan-lahan mulai menghalangi jarak pandang mereka.

“Ha-Ha-Ha-Ha-Ha-Hajime-kun!?”

“Kau mulai tertawa seperti seorang turis asing yang ceria. Jangan khawatir, lakukan saja seperti biasanya. Kau akan baik-baik saja jika menghancurkannya dengan sihirmu.”

Ketika Hajime menjawab demikian, mereka mendengar dentingan sesuatu saat suara tersebut mencabik angin sekitar dan terbang ke arah mereka. Hajime bergerak bagai sambaran petir dan menghalangi serangan yang ditujukan ke lehernya menggunakan lengan kirinya. Ketika Hajime menurunkan lengan kirinya, mereka dapat melihat benang sangat tipis yang tersangkut di situ. Tidak mempunyai waktu untuk memperhatikan, tak lama kemudian terdapat dentingan-dentingan berkelanjutan yang dihasilkan angin yang terpotong saat panah melambung ke arah mereka dari segala arah.

“Datang sejauh ini hanya untuk jebakan? Menjijikkan! Memang ciri khas liberator-liberator sialan itu!”

“Datanglah, Pelindung Cahaya. Absolute Light/Cahaya Absolut!”

Hajime dibuat terkejut selama beberapa detik. Namun, karena yang datang menyerang hanyalah senjata-senjata sederhana, Kaori mampu menghadangnya menggunakan sihir pelindung. Namun tidak lama, kabut yang ada di hadapan mereka mulai bergerak memutar dengan hebat dan sebuah badai ganas melanda Hajime dan Kaori.

“Kya!?”

Kaori terbawa ke dalam badai, sosoknya yang menjerit itu menghilang memasuki kabut. Hajime, menunjukkan wajah masamnya saat mencoba mencari Kaori menggunakan kemampuan persepsinya. Sayangnya, tampaknya kabut itu memiliki fungsi system sensing/sistem penginderaan, mirip dengan bagian dalam [Lautan Pohon Haltina]. Demikianlah, Hajime dengan cepat kehilangan jejaknya.

“Cih. Kaori, jangan bergerak!”   

Dengan muka masam, Hajime memanggil Kaori. Tetapi bukannya Kaori, yang datang malah seorang ksatria pembawa pedang panjang yang merobek kabut di hadapannya. Menggunakan teknik yang tak biasa, dia menerjang dengan ganas dan mengayunkan pedang ke arah Hajime.

Menangkis serangan dengan tenang menggunakan Donner,  Hajime menyerang musuh berukuran besar ini di bagian dada menggunakan Schlag, kemudian menembakkan sebuah peluru sihir ke perutnya dengan Donner. Sebuah lubang membuka pada perut prajurit tersebut, dan dia pun menghilang ke dalam kabut tanpa suara.

Akan tetapi, segera setelahnya, jajaran ahli pedang dan ksatria berkekuatan abnormal menyerbu dari dalam kabut. Petarung-petarung ini membawa senjata yang variatif, dan menggunakan kabut untuk melancarkan serangan ke Hajime secara bergantian, serta menghilang perlahan dalam kabut tiap sekali serangan.

“Sial, merepotakan sekali…”

Sembari memuntahkan kata-kata kasar, Hajime membentangkan peluru-peluru sihir merah di sekitar tubuhnya seperti satelit, dan juga mengaktivasi ‘Lightspeed/Kecepatan Cahaya’ , dengan tangkas merapikan daerah sekitarnya. Tidak dapat mendengar suara Kaori adalah suatu kekhawatiran baginya.

Beralih ke sudut pandang Kaori, dengan hilangnya Hajime dari pandangannya, ia kesulitan untuk berlagak berani. Kaori sangat tidak bisa mengatasi perasaan ngeri, dan akan kesulitan melewati situasi sulitnya sendiri, bahkan di saat-saat normal. Tetapi kini tubuhnya terasa ingin membeku, hanya karena rasa takut ditinggalkan sendirian. Tambahkan rasa rendah diri-nya yang tinggi, meskipun tidak bisa mengakuinya, pada akhirnya semua yang ingin dilakukannya hanyalah meringkuk dan menangis.

Kaori menasihati dirinya sendiri, ia tidak boleh ketahuan sedang gemetar ketakutan seperti ini, dan memaksa tubuhnya untuk kembali berdiri. Sesaat setelah dapat kembali berdiri tegap, ia merasakan tangan seseorang di bahunya. Hajime sering menyemangatinya dengan menepuk-nepuk bahunya. Dikuasai kebahagiaan, Kaori melihat ke belakang dengan gembira.

“Hajime-ku-“

Namun, ketika menoleh, Kaori menyadari ada yang aneh dengan tangan yang berada di bahunya itu. Lebih tepatnya, tangan tersebut rasanya terlalu kurus dan dingin. Kaori bergidik ngeri saat intuisinya memperingatkan bahwa yang ada di belakangnya itu bukanlah Hajime. 

Jika bukan Hajime, siapa sebenarnya ini? Berlanjut menggerakkan kepalanya, kini seperti mesin berkarat, Kaori melihatnya. Mata, hidung, mulut… dan ada lubang-lubang lain. Itu adalah wajah seorang wanita yang terwarnai kegelapan segelap jurang.

“Fuwah~”

Semangat Kaori hilang seketika, dan insting defensif menyebabkan dirinya tidak sadarkan diri.

Dalam 2 menit yang Kaori butuhkan untuk bangkit dan pingsan, Hajime telah menghancurkan 50 ‘hantu’ petarung. Ini hanya estimasi kasar dengan dasar ‘membunuh satu hantu veteran tiap 2-3 detik’.

Ketika berpikir bahwa Hajime telah mengalahkan semuanya, seorang pria bertubuh besar pembawa pedang besar keluar dari kabut, bersiap menyerangnya secara langsung dan melakukan satu ayunan yang memamerkan kekuatan hebat tersembunyi-nya.

Hajime menangkis serangan itu dengan garakan tubuh yang minimal. Tetapi itu semua belum berakhir. Si petarung melemparkan pedang besarnya ke ke udara menggunakan lompatan dari gebrakan ke tanah dan bergerak untuk menyerang kembali.

Hajime membalas dengan mengaktivasi ‘Vajra’. Dia menghentikan serangan menggunakan lengan mekanik-nya dan melompat menuju pedang besar, melepas paksa pedang itu dari tangan musuh, setelah itu mengurung musuh menghadap tanah. Kemudian, dengan gerak tangkasnya, dia mengangkat pistol dan menembakkan sebuah peluru sihir langsung ke kepala pria itu.

Pada saat bersamaan dengan perginya kepala pria itu, kabut-kabut yang menyertainya mulai menghilang.

“Kaori! Kau di mana?”

Hajime memfokuskan seluruh panca inderanya untuk mencari hawa keberadaan Kaori. Namun, bahkan tanpa melakukan itu, Kaori dapat ditemukan dengan mudah.

“Aku di sini, Hajime-kun.”

“Kaori, apa kau baik-baik saja?”

Hajime mengembuskan nafas lega saat melihat Kaori berjalan ke arahnya sambil tersenyum. Di saat Kaori sampai di sisi Hajime, ia merapatkan tubuh padanya sambil menunjukkan senyuman indahnya.

“Tadi… sangat menakutkan…”

“Begitukah?...”

“Un. Karena itulah aku ingin dihibur.”

Saat berkata demikian, Kaori melingkarkan lengannya ke leher Hajime dan memeluknya. Dari jarak dekat, terlihat bahwa hidung mereka sangat dekat, Kaori mencari lokasi bibir Hajime dengan kedua matanya dan mulai semakin mendekat…

*thunk*

Bersamaan dengan munculnya suara tersebut, moncong Donner bertemu dengan pelipis Kaori.

“A-apa…?”

Kaori terlihat kebingungan saat Hajime menyipitkan matanya yang terlihat brutal dan mengarahkan hawa membunuh padanya.

“Apa? Tentu saja aku akan membunuh musuh-musuhku, tanpa mempedulikan penampilan mereka” dan tanpa keraguan sedikitpun, Hajime menarik pelatuknya.

*Clang-clang*

Terdapat suara pisau yang menabrak tanah keras; pisau tersebut terjatuh dari tangan Kaori ketika ia ditembak. Ia berniat untuk menusuk punggung Hajime saat memeluknya. Dengan langkah kaki yang kuat, Hajime mendekati Kaori yang pingsan.

Terbangun, Kaori mulai berbicara pada Hajime dengan suara yang terdengar ketakutan dan gemetar.

“Hajime-kun, kenapa kau melakukan hal seperti itu!?”

Namun Hajime hanya merespon dengan kembali menembakkan peluru sihir ke arah Kaori.

“Jangan berani-berani berbicara menggunakan suara Kaori! Jangan menghina tubuh Kaori dengan menggerakkannya! Apa kau kira aku tidak bisa mengetahui kebenarannya? Kau bukan apa-apa kecuali sampah yang merasuki tubuhnya.”

Mata Sihir Hajime telah mengungkap bahwa ada seorang hantu wanita yang merasuki Kaori.

Karena kenyataan telah membongkar kebohongan Kaori yang sampai beberapa detik lalu gemetar ketakutan di tanah, sekejap ia mengubah ekspresi wajahnya dan tertawa mengejek.

“Nyahahaha, kau mengetahui kenyataannya pun bukan masalah besar. Kau tidak bisa melakukan apa-apa… tubuh gadis ini sudah menjadi milikku!”

Saat berkata demikian, Kaori yang dirasukinya itu berdiri dan mendorong Hajime ke tanah.

“Tunggu, apa yang kau lakukan? Perempuan ini kekasihmu! Apa kau berencana untuk menyakitinya!?”

“Diam! Kau membuatku sakit kepala. Bukannya aku sudah bilang jangan bergerak? Aku tidak akan menyakiti Kaori, peluru-peluru sihir ini hanya akan melewati tubuhnya, dan satu-satunya yang akan menderita hanya kau.”

“Jika aku menghilang, jiwa perempuan ini akan hancur berkeping-keping! Apa kau benar-benar tidak ada masalah dengan itu!?”

Pada kata-kata itu, Hajime sedikit memiringkan kepala sambil berpikir. Meskipun peluang bahwa perkataannya itu bukan gertakan cukup tinggi, tidak ada cara untuk memastikan kebenarannya.

Kebanyakan orang mungkin akan terjebak oleh rasa bimbang pada situasi seperti ini. Apakah Kaori yang telah dirasuki itu mengharapkan hal ini terjadi? Ia memberikan tertawaan seperti kucing lagi sambil mengisyaratkan Hajime untuk minggir. Melihat ini, Hajime memberikan jawabannya.


Zupan~! Zupan!

Itu adalah sepasang peluru sihir. Raut wajah Kaori yang telah dirasuki itu terlihat terlalu terkejut, sehingga sulit untuk mengetahui apakah ia merasa sakit atau tidak. Tak lama kemudian, raut wajahnya berubah, menjadi terlihat putus asa ketika berteriak ke arah Hajime dengan suara yang terdengar marah.

“Apa kau gila!? Apa kau tidak memedulikan apa yang akan terjadi pada perempuan ini!?”

“Diam kau, tumpukan sampah! Jika aku tidak menyerang, maka tubuh Kaori akan terus kau rasuki. Namun, selama kau tidak terbunuh maka jiwanya tidak akan hancur, kan? Sampai kau ingin meninggalkan tubuhnya, semua akan baik-baik saja jika aku hanya menyiksa tanpa membunuhmu.”

Wanita hantu itu pun kehabisan kata-kata mendengar ucapan Hajime. Ketika melihat mata Hajime, ia ditusuk-tusuk oleh hawa membunuh yang berhuni di situ.

“Aku akan membuatmu menyesal telah menyentuh hal yang ‘istimewa’ bagiku. Meskipun kau adalah musuh, aku tidak akan membunuhmu. Aku tidak akan membiarkanmu merasa lega oleh karena kematian. Aku akan membuatmu tidak bisa kabur dari tubuh Kaori meskipun kau menginginkannya. Aku akan memaksamu untuk menderita sampai kau menjadi gila oleh karena rasa sakit itu.”

Sihir merah mengalir keluar dari tubuh Hajime, rambut putihnya terbawa pusaran arus tersebut, dan perlahan-lahan mulai bergerak kesana kemari di dalam kekuatan aliran sihir. Tidak ada amarah, rasa haus darah, maupun kegilaan di matanya. Mata Hajime terlihat seperti serpihan beku es.

Hajime mengamuk, lebih dari sebelumnya. Dia tidak akan puas hanya dengan mumbunuh musuhnya kali ini - mereka harus mengalami kekejaman seperti di neraka yang terdalam.

Hantu yang merasuki Kaori itu terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dia menguji amarah sesuatu yang seharusnya tidak boleh diganggu. Baru sekarang ia merasa tatapannya terjebak dalam mata Hajime. Inilah ketika ia sadar apa yang telah dibangunkannya – monster yang kau harap tidak akan pernah kau temui.

Dengan mulut Donner yang lagi-lagi tertekan di dahinya, wanita hantu ini memohon dengan bersungguh-sungguh agar dilepaskan. Meskipun permohonnya itu hanya dapat memberinya izin untuk menghilang satu detik lebih cepat, ketika membayangkan apa yang monster ini akan lakukan dalam satu detik saja sudah seperti sebuah berkat. 

Ia hanyalah hantu biasa. Meskipun tampaknya jiwanya yang tersisa lebih hebat dari penampakan-penampakan lain yang telah mereka temui, di hadapan aura ini, semua itu bukanlah apa-apa. Se-mengerikan itulah amarah beku yang ditunjukkan Hajime.

“Akuinginmenghilang! Akuinginmenghilang! Akuinginmenghilang! Akuinginmenghilang! Akuinginmenghilang!”

Isak tangis hantu tersebut bergema semakin keras ketika jari Hajime bergerak untuk menarik pelatuk pistolnya, ketika tiba-tiba tubuh Kaori mulau bersinar. Itu adalah kilauan sihir pemulihan ‘Ten Thousand Heavens’ yang mengembalikan semua status abnormal, yang sudah Kaori siapkan sebelumnya sebagai tindakan pencegahan menggunakan ‘Delayed Invocation’.

Sembari dibuat kebingungan oleh rasa lega yang sulit dipercaya, hantu itu mendengar suara dari dalam dirinya.

“-Tak apa, aku akan menguburkanmu dengan benar.”

Bersamaan dengan kata-kata ini, cahaya putih bersih bersinar semakin kuat. Hantu itu merasa takut ketika cahaya itu membungkus tubuhnya, menariknya dengan lembut bersamanya ke surga. Namun, ketika berangsur-angsur dibawa pergi ke dunia yang selanjutnya, kesadarannya mulai kabur saat dihadapkan oleh perasaan damai dan lega.

Dengan satu tepukan, Kaori mengantar hantu tersebut ke surga dan perlahan-lahan membuka kelopak matanya yang gemetaran. Hajime, masih berbaring di bawah Kaori yang berposisi duduk seperti sedang menunggang kuda, melihat lurus ke kedua mata Kaori. Sejak Kaori mulai bersinar, hawa keberadaan hantu yang semakin kabur itu terpantul pada Mata Sihir Hajime. Untuk saat ini, Hajime melepaskan hawa membunuhnya dan terfokus untuk memastikan bahwa hantu tersebut telah benar-benar lepas dari diri Kaori. 

Wajah mereka berdua sangat dekat, dan dengan Hajime berbaring di bawah Kaori, tatapannya dipenuhi perasaan lega dan khawatir saat memfokuskan matanya dengan dengan seksama ke pupil mata Kaori. Pemandangan ini cukup untuk menggerakkan hati siapapun.

Munurunkan kepala dengan lembut, Kaori menempelkan bibirnya ke bibir Hajime. Itu hanyalah pertemuan yang singkat, tetapi bagi Kaori itu masihlah ciuman pertamanya yang berharga.

Sekujur tubuh Hajime membeku oleh karena keterkejutannya. Agar yakin bahwa Kaori telah dilepaskan, Hajime telah menggunakan hampir dari seluruh konsentrasinya untuk memeriksa gadis itu. Dengan pikiran yang terganggu, tentu tidak mungkin baginya untuk menghidar dari sebuah ciuman.

Setelah beberapa saat, Kaori dengan perlahan melepaskan bibirnya.

“Apa yang kau…?”

“Mungkin itulah jawabanku?”

“Jawabanmu?”

“Un. Kenapa aku mengikutimu? Kenapa aku ingin terus-menerus mengikutimu? … Inilah jawabanku untuk pertanyaan Hajime.”

Saat berucap demikian, Kaori tersenyum ke arah Hajime. Itu adalah senyuman yang selalu dilihatnya, hangat bagaikan sinar mentari. Sejak datang kemari, matahari tersebut telah tertutupi oleh awan dan tertawaan palsu, tetapi kini kembali bersinar sekali lagi.

Sebenarnya Kaori masih memiliki kesadaran ketika dirasuki, meskipun rasanya seperti melihat dunia luar sembari terjebak dalam ruang kaca. Ia masih bisa melihat Hajime dalam keadaan mengamuk yang belum pernah terlihat sebelumnya, mengatakan hal seperti Kaori adalah orang yang ‘istimewa’ baginya. Ucapan itu telah mengalir masuk, menembus hantu tersebut dan sampai ke hatinya.

Melihat Hajime yang seperti itu, kesedihan tak tertahankan telah bangkit dalam dadanya. Akan tetapi, pada saat bersamaan Kaori merasakan semangat dan rasa gugup yang sama dengan ketika ia pertama kali menyatakan perasaan pada Hajime.

Jika ingin menjelaskan, itu adalah rasa egois. Perasaan ingin selalu dimanjakan dan membuat orang tersebut sadar dengan jelas tentang kehadiranmu. Ikut tercampur ke dalam kumpulan gadis yang Yue perbolehkan untuk mengelilingi Hajime, Kaori merasa tidak tahan bahwa ia tidak diperbolehkan menyimpan Hajime untuk dirinya sendiri. Tetapi di saat yang sama, ia bahkan tidak ingin membayangkan masa depan di mana ia tidak berada di sisi Hajime.

Ia ingin membuat mereka sadar bahwa meskipun kemampuannya sangat jauh jika dibandingkan dengan Yue dan yang lainnya, bukan berarti perasaannya pada Hajime tidak sebesar mereka.

“Aku menyukaimu Hajime-kun, bukan, aku mencintaimu. Karena itulah mulai saat ini aku ingin masa depan kita tertaut.”

“Tidakkah itu hanya akan membuatmu merasakan kepahitan di dalam hatimu? Seperti dengan Shia, meskipun Yue tidak ada, bukan berarti aku akan dapat mencintaimu juga.”

“Itu benar. Mungkin terkadang akan menyakitkan…. Aku ingin dimiliki. Aku ingin kau hanya melihat ke arahku. Terkadang aku iri pada Yue dan merasa rendah diri ketika membandingkan diriku dengannya.”

“Jika begitu…”

“Tetapi aku hanya akan menyesal bila aku mengizinkan diriku terpisah darimu sekarang. Aku yakin itu. Bagiku, hanya berada dekat dengan Hajime saja sudah sangat amat menyenangkan…, aku selalu merasa demikian. Suatu hari aku ingin lebih menghilangkan jarak di antara kita, tetapi sudah cukup untuk saat ini.”

Mencubit pipi Hajime dengan kedua tangannya, Kaori tersenyum lembut.

Raut wajah Hajime adalah percampuran dari perasaan kesulitan dan kekaguman, tetapi Kaori telah memutuskannya sendiri, dan bila ia percaya bahwa itulah pilihan terbaik untuk dirinya sendiri, Hajime tidak akan berkata apa-apa lagi. Tiap orang memiliki gambaran mengenai kabahagiaannya sendiri, memutuskan bagaimana kebahagiaan yang benar untuk Kaori adalah hal yang tidak bisa dan tidak ingin dilakukannya.

“… Begitu ya. Jika Kaori tidak ada masalah dengan itu, aku tidak akan membahasnya lagi.”

“Un. Meskipun mungkin aku akan membuat banyak masalah, tolong jangan membenciku, ya?”

“Apa yang kau katakan sekarang? Sejak kita ada di sekolah hingga di sini, kau selalu menjadi pembuat masalah yang parah.”

“Itu tidak benar!”

“Benarkah? Di sekolah dulu kau tidak pernah membaca situasi dan mendekat untuk berbicara padaku seperti bukan apa-apa, tanpa menyadari ‘bom ucapan’ yang kau jatuhkan kemana-mana, dan tidak pernah menyadari bahwa tiap itu terjadi, laki-laki di sekitar kita akan mendidih oleh karena amarah mereka. Dan jangan lupakan ketika seorang gadis berpakaian terbuka memutuskan untuk menghampiri kamar seorang pria di malam hari…”

“Uu, aku ingat, aku hanya ingin berbicara denganmu… Un, sangat memalukan ketika sadar kalau aku datang ke kamarmu dengan berpakaian seperti itu.”

Ketika Kaori menutupi wajahnya yang memerah, Hajime bangun dan mengulurkan tangannya ke atas. Kemudian, dengan sebuah seringai, dia mengusap-usap bahu Kaori dengan lembut. Kemudian, dia mulai berjalan ke arah lingkaran sihir yang bersinar lebih jauh ke dalam gudang penyimpanan ketika kabut telah hilang.

Akan tetapi, Hajime dihentikan oleh Kaori yang memegang erat lengan bajunya. Jika melihat dengan seksama, Hajime bisa tahu bahwa Kaori masih belum stabil. Tampaknya kejadian ketika ia dirasuki tadi telah membuatnya agak mati rasa. Kini ketika tubuhnya sudah dilepaskan, semoga tidak butuh waktu lama baginya untuk kembali ke kondisi normal.

“Ayo kita beristirahat sebentar.”

Hajime menyarankan ini, namun kelihatannya Kaori memiliki ide sendiri dan dengan sebuah senyuman ia melompat ke punggung Hajime.

“… Apa yang kau lakukan?”

“Bukankah lebih baik bila kita bergerak cepat? Aku tidak tahu kapan kekuatan sihirku kembali, dan bila kita berlama-lama di sini pastinya kabut tadi akan kembali, kan?”

Tentu ada kebenaran dalam kata-katanya, jadi Hajime menjawab “apa boleh buat” sambil menggaruk-garuk kepala, dan berjalan menuju lingkaran sihir sementara menggendong Kaori.

Kaori melingkarkan lengannya pada leher Hajime dan melekat ke punggungnya. Meskipun tak berkata apa-apa, Hajime berusaha melakukan yang terbaik untuk mengabaikan kelembutan yang menekan punggungnya.

Kaori mendekat hingga Hajime dapat merasakan nafas panas di telinganya. Bibir yang cukup dekat sampai-sampai hampir mengenai daun telinganya itu terbuka dengan lembut dan suara manis bergetar di dalam kedua telinganya.

“Hajime-kun… Aku ingin bertanya tentang apa yang terjadi sebelumnya.”

“Sebelumnya?”

“Ya. Kenapa kau bisa semarah itu pada saat pertarungan tadi?”

“Saa, kenapa ya aku marah? Aku tidak tahu.”

“Mouu, tolong beritahu aku~”

Menolak untuk menjawab pertanyaannya atau terjebak ke dalam suasana menggodanya, Hajime berlanjut untuk menggendong Kaori seraya bergerak ke depan dengan langkah cepat, serta tanpa keraguan melangkah ke dalam lingkaran sihir.