AKAN SEBELUM PETUALANGAN DIMULAI

(Translator : Zerard)


Lebih mudah untuk bergerak di banding dengan gaun, namun dia merasa malu dari cara pahanya terlihat di balik rok ketika dia berlari. Seperti kala dia mencoba untuk berlari di lorong, yang di mana saat ini dia merasa kesulitan dengan pakaiannya sekarang.

Dia berlari melintasi lorong panjang, berlari di atas karpet dan mendorong pintu berat di bagian ujung lorong. “Kaka— Maksudku, Yang Mulia! Saya datang membawa laporan!”

“Ah, ada apa kali ini? Batu api surgawi? Konspirasi dari kultis jahat? Atau mungkin seekor naga mendarat di halaman depan?”

“Yang Mulia.” Kardinal berambut merah, berdiri di samping pria kurus kering di meja, menyela banjiran proklamasi itu. Seorang abdi berambut perak yang bimbang berdiri di samping pintu masuk kantor menggelengkan kepalanya lelah. Bahkan pria tampan muda, yang di puja para wanita di istana bak singa emas, tidak dapat menyembunyikan rasa lelahnya.

Permaisuri—sekarang seorang murid dari Ibunda Bumi—tidak dapat menahan seringainya seraya dia bertanya, “Semua baik-baik saja?”

Membuatnya baik-baik saja seharusnya tugas seorang raja,” penguasa muda berkata dengan napas dalam. Kemudian dia melihat penuh kebanggan kepada adik perempuannya, yang tetap cerah dan ceria walaupun pengalaman mengerikan yang pernah di alaminya.

Tentu saja, itu mungkin hanyalah sebuah kedok. Gadis itu hanya bertingkah riang untuk mencegah kakaknya supaya tidak khawatir. Namun kenyataan bahwa dia berpikir untuk melakukan itu adalah bukti bahwa dia telah tumbuh.

Atau mungkin bimbingan dari Ibunda Bumi telah membantunya. Sang raha memberikan doa pendek, hening terima kasih kepada para dewa dan mengangguk.

“Baiklah. Biarkan aku mendengar apa yang Kuil Ibunda Bumi ingin katakan.”

“Baik. Saya tidak dapat memastikannya sebelum di sesuaikan antara kalender kita dan milik Dewa Pengetahuan, namun...”

“...ini seperti akan menjadi musim dingin panjang yang tidak biasa.”

“Jadi menurutmu ini lebih dari sekedar cuaca buruk.”

“Angin berhembus dari gunung utara lebih dingin dari biasanya... dan tidak ada tanda akan ini di saat musim panas juga.”

“Jadi sekarang bencana alam...”

“...Saya lebih khawatir tentang perdagangan,” sebuah suara pelan namun jelas berkata seraya sang raja bersandar pada kursinya, yang menyebabkan kursi berdecit.

“Hmm?” Mata permaisuri melebar dengan rasa terkejut yang dapat di pahami.

Di sudut ruangan, pada sebuah meja yang telah di pesan untuk pengunjung dan yang saat ini penuh bertumpuk tinggi dengan kertas, duduk seorang pedagang wanita yang permaisuri tidak kenali. Wanita itu mengingatkan permaisuri kepada seorang gadis ningrat yang pernah dia lihat sebelumnya di pesta dansa beberapa bulan yang lalu, apakah benar...?

“Dengan semua orang yang menolak untuk berjualan karena takut paceklik, dan hanya menimbun apa yang mereka miliki, uang dan persediaan akan berhenti bersirkulasi...”

“...dan secara efektif menciptakan paceklik, maksudmu. Itu masalah yang tidak mudah di selesaikan.”

Pedagang wanita berlanjut berbicara, percakapan bisnis dengan kakak permaisuri, sang raja. Mungkin wanita itu dapat di percaya. Sang permaisuri melirik mengarah kardinal, yang mengangguk sekali.

Bagus, kalau begitu.

Pola pikirnya cukup sederhana: seorang teman dari kakaknya adalah teman dia, dan hanya itu saja.

“Kurasa ini artinya kita lebih baik mengirim seorang petualang. Kita akan membutuhkan seorang scout. Yang terbaik yang bisa kita temukan.”

“Saya akan cari.”

Percakapan berlangsung sangat cepat hingga orang luar mengira mustahil untuk menyumbang suara, namun permaisuri tidak ragu untuk menambahkan pertanyaan. “Apa kita tidak bisa mengirim tentara?”

“Tentara itu untuk bertarung dalam perang, bukan untuk mengintai sektor terlarang di perbatasan utara,” sang raja berkata dengan setengah tersenyum.

“...Dan menggerakkan militer akan melibatkan banyak uang, menghabiskan dana untuk segalanya dari membentuk pasukan hingga memberi makan mereka sampai beres-beres setelahnya.” Penjelasan tambahan dari Pedagang Wanita mengundang mmm dan sebuah anggukan dari Yang Mulia.

“Kalau kamu mulai berpikir kalau kamu bisa menyelesaikan segala masalah hanya dengan menyuruh tentara, prajurit dan warga akan sama-sama menderita.”

Tidak ada sihir yang dapat menghasilkan suplai prajurit tak terbatas. Itu di mana petualang masuk. Seperti itulah bagaimana dunia bekerja, akan bagaimana seharusnya bekerja.

“Walaupun sayangnya, seseorang pasti akan lelah... Baiklah, sekarang.” Sang raja menoleh kepada Pedagang Wanita, yang berpaling mengarah rak buku dan menemukan daftar petualang tahun ini. Apakah ada seseorang dekat ibukota yang dapat mereka kirim ke pegunungan utara? Seorang pencari ahli, gesit dan kuat dan berbakat dalam bertahan hidup...

“Aduuuuh, tinggi sekali persyaratannya.”

“Sepertinya ada satu, Yang Mulia, tetapi...” Wajah cemas tersirat di wajah Pedagang Wanita seraya dia menggerkkan jari elegannya di atas lembaran. “...Mereka sangat keras kepala, dan saya tidak tahu apakah mereka akan menerima.”

“Tulis sebuah kontrak, kontrak panjanh yang cukup mengisi satu ruangan jika perlu, dan kirim ke mereka. Janjikan mereka harta apapun yang mereka inginkan saat questnya berakhir, jika perlu.” Sang raja terdengar putus asa. “Kalau mereka benar mencintai petualangan, itu seharusnya sudah cukup.”