PUSAT BADAI
(Translator : Zerard)

“GGRROROB!”
“GBBBR! GKORGGBG!”
Gerutu, umpatan menggema melalui ruang makam. Permaisuri mendengar semua itu dari tempat dia terbaring di lantai, terbalut dengan gaunnya sendiri yang koyak. Dia mencoba untuk melihat, namun kegelapan, keremangan, dan miasma yang mengambang membuatnya semua menjadi sulit.
Wajahnya membengkak, pengelihatannya buram dikarenakan air mata, dan hidung dan mulutnya begitu kering hingga terasa panas.
Sudah sewajarnya, setelah siksaan yang dia terima, pikirnya. Dia pasti terlihat begitu menyedihkan.
Pikiran itu membuat hidungnya gatal dan air mata yang mengancam untuk menetes kembali. Kemudian air mata itu keluar, bersama dengan isak sedu: niatan untuk menahan mereka telah sirna dari pikiran gadis itu.
Apapun yang menunggu dia berikutnya, tentunya tidak akan lebih baik dari apa yang sudah. Pikiran itu membuatnya takut. Ketika dia memikirkan kemungkinan mengerikan, keji itu, bahkan rasa dingin akan batu kotor tempat dia berbaring sama sekali tidak terasa.
“GOROGGBO! GROG!”
“GGGGOROGB!”
Pada altar, seekor goblin menggunakan pakaian mewah sedang meneriakan sesuatu.
Pakaiannya adalah apa yang sering di gunakam oleh pengguna sihir. Keseluruhan tubuhnya di lapisi oleh banyak tato geometris—mereka adalah “tangan”—dan dia adalah pemimpin goblin.
Sang permaisuri mendapati dirinya merinding pada pikiran bahwa tidak lama lagi dirinya akan di siksa, di perkosa, di nodai hingga ujung kematian. “Heek... Eek...!”
“GGBGOROGOBOG!”
“GOR! GBOGOGB!”
Para goblin mulai tertawa pada anak kecil menyedihkan ini. Mereka bukan terhibur karena adik dari raja ini telah dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Tidak, mereka hanya menikmati kenyataan bahwa seseorang yang tersedu dan ketakutan jauh lebih menyedihkan dari mereka.
Jika para goblin mengetahui siapa gadis itu, mereka tentunya akan memperlakukan gadis itu jauh lebih buruk. Para goblin sama sekali tidak menyembunyikan rasa iri ataupun dengki mereka. Sang gadis sangat memahami bahwa dia telah masuk ke dalam lubang hitam di mana tempat nafsu amarah monster ini tidak terkendali.
Tidak ada bantuan.
Tidak ada keselamatan.
Semua telah sirna, semua telah tercuri darinya, semua punah.
Akan tetapi, para goblin masih hendak untuk mengambil sisa terakhir dari apa yang dia miliki.
Mereka nggak pernah puas. Aku yakin.
Dia dapat meminta maaf, menangis dan memohon, namun itu tidak akan cukup bagi mereka, bahkan jika dirinya mati.
Satu-satunya cara mereka mungkin akan teralihkan adalah jika mereka telah lelah dengan dirinya, atau melupakan dirinya, atau  ketertarikan mereka telah terpancing oleh korban menyedihkan lainnya.
“Ooh... Ah... Ergh...”
Pada itu, dia telah bertekad, paling tidak, untuk tidak memohon ampunan. Bukan karena keinginan untuk melawan para goblin ataupun harga diri. Itu hanya karena dia tidak ingin begitu merendah, dan karena dia tahu bahwa memohon ampun pada mereka sama sekali tidak ada gunanya.
Dia mengetahui: para goblin akan mencuri tekad itu juga dari dirinya, dan kemungkinan hanya dalam hitungan menit.
“GGBGBG!”
“GRB!”
Pemimpin goblin mengangkat tongkatnya—adalah sebuah tangan yang di keringkan—dan mengayunkannya, memberikam bawahannya semacam perintah. Terdengar sebuah langkah kaki basah yang cepat seraya monster kotor mendekat, penuh akan ketamakan.
Wajah akan ibu dan ayahnya yang telah tiada terngiang pada wajahnha. Kemudian dia melihat kakaknya.
Apakah marah kepadanya? Sang gadis berpikir. Mencemaskannya? Sang gadis hanya dapat mengandai.
Yang hanya dia inginkan, adalah untuk pulang kerumah.
Namun itu tidak akan terjadi. Tidak tanpa keajaiban...
*****
“Saya mencoba menginvestigasi kuil, tetapi tato mereka adalah jenis yang tidak pernah saya lihat.”
Elevator membawa para petualang turun dengan senyap. Jika bukan karena perasaan mengambang di bawah kaki mereka, mereka tidak akan pernah menyangka bahwa mereka sedang berada di dalam kotak yang bergerak.
High Elf Archer mengernyit dan menjentikan telinganya, setelah menerima nasehat dari Lizard Priest. “Telan.” Sang archer mematuhi, dan rasa tidak nyaman pada telinganya menghilang.
“Akan tetapi, saya sangat percaya bahwa mereka mempunyai pembaca mantra di antara mereka.”
“Goblin shaman, kan?” Priestess berkata.
“Aku nggak bisa mengetahuinya secara pasti,” Goblin Slayer berkata, menyebabkan Priestess sedikit memucat. Dia sudah melewati titik di mana dia akan menjadi lemas karena ketakutan, namun musuh seperti bukanlah musuh yang harus di hadapi dengan rasa cemas. Dia meremas tingkat dan menarik napas dalam. Kemudian sekali lagi. Mengisi paru-paru dan menghembuskannya.
High Elf Archer menepuk pundak gadis itu yang naik turun.
“...Nggak apa-apa?”
“Ya,” Priestess berkata, tersenyum berani. “Aku baik-baik saja.”
Dia melirik kepada Goblin Slayer, yang sedang berbicara dengan Dwarf Shaman dan Lizwrd Priest. Merencanakan dan mengkalkulasi, tentunya. Hal ini membantunya menjadi sedikit santai untuk melihat mereka terus melakukan pekerjaannya seperti biasa.
“Kurasa kita bisa berasumsi kalau mereka adalah goblin yang sama yang membuat masalah di area sekitar akhir-akhir ini. Dia pasti pemimpin mereka.” Goblin Sllayer berkata.
“Kalau kamu benar soal itu, kalau begitu...mengalahkan pembaca mantranya terlebih dahulu merupakan prioritas,” Dwarf Shaman menjawab dengan belaian pada janggut putihnya.
“Tidak, tetapi saya rasa itu akan tergantung pada jumlah dan perlengkapan musuh kita.” Lizard Priest mendebat. Sang cleric, anggota dari warrior tersohor, para lizardmen, memutar leher panjangnya ke sana dan kemari, tetap siaga. “Apapun itu, bilamana kita di sergap ketika pintu ini terbuka, kita akan menjadi sasaran yang empuk.”
“Kalau begitu, proyektil,” Goblin Slayer mendengus. “Merepotkan.”
“Hei, Telinga Panjang,” Dwarf Shaman berkata muram. “Ada yang bisa kamu dengar dari bawah?”
“Cuma karena aku ini elf bukan berarti aku bisa mendengar segalanya, oke?” High Elf Archer mengernyit dan menutup kedua matanya, telinganya naik dan turun. Semua orang secara insting terdiam. Hanya suara lembut akan napas mereka yang mengisi ruangan.
Setelah beberapa saat, High Elf Archer membuka matanya kembali. “...Hmm. Mereka ada banyak, kayaknya.” Dia berkata, namun dia tidak terdengar begitu yakin. “Lebih dari sepuluh, mungkin? Mungkin bahkan dua puluh. Aku dengar banyak langkah kaki. Tapi aku nggak bisa menebak apa yang mereka gunakan.”
“Ada hal lain yang kamu sadari?” Goblin Slayer bertanya. “Apapun itu.”
“Bukan suara, tapi—” High Elf Archer mengendus. “Ada semacam bau aneh dari bawah.”
“Apa menurutmu itu gas beracun?”
Jawaban dari pertanyaannya datang dari Lizard Priest. “Tidak, saya rasa mereka sedang melakukan semacam ritual. Membakar semacam dupa tentu bukanlah hal yang aneh.”
“Apapun itu, aku berani jamin itu nggak akan bagus buat kita hirup,” Dwarf Shaman berkata. Dia humphhh berpikir kemudian menepuk kedua tangannya seolah seraya sebuah ide terlintas. “Hei, Beardcutter. Apa kamu punya itu—benda itu yang pernah kita pakai sekali? Yang kain sama abu itu yang bisa menyaring udara jelek.”
“Itu improvisasi sekedarnya. Kalau waktu memadai, akan lebih baik untuk mencelupkannya ke dalam antiracun.” Goblin Slayer mengeluarkan sebuah botol dengan benang yang melilit di sekitar leher botol dari dalam tasnya. “Aku lebih memilih untuk nggak menggunakan potion sekarang, tapi kurasa ini waktu yang tepat untuk menggunakannya.”
“Oh,” Priestess berkata, mengangkat tangannya, “Kalau begitu aku saja...!” Party mereka berputar untuk melihat sang gadis. Dia tersipu, masih belum terbiasa menjadi pusat perhatian. “Er, aku Cuma, ahem, pikir mungkin kita bisa buka dengan Holy Lighy seperti yang biasanya kita lakukan...” Dia terdengar pelan semakin lama dia berbicara. “Aku rasa itu menjadi...cara paling aman untuk di coba...”
Goblin Slayer melakukan kalkulasi mental cepat akan sisa mantra mereka. Tiga, dan dan ini berarti menggunakan satu di saat mereka masuk.
Jika sandra masih selamat—dalam arti hidup—tentunya gadis itu akan membutuhkan penyembuhan.
Itu akan menyisakan mereka satu keajaiban lagi. Apakah “satu keajaiban lagi,” atau “satu keajaiban keseluruhan”?
Dia memasukkan potionnya kembali ke dalam tas.
“Tangani itu.”
“Baik!”
Responnya sangatlah sederhana seperti biasa, dan Priestess mengangguk kuat, wajahnya ceria.
“Sangat baik sekali. Nona Priestess akan membuat pertaruhan pada pembukaan kita, sementara saya, saya rasa, saya akan berada di baris depan.” Lizard Priest membuat gerakan aneh pada kedua telapak tangannya, terlihat begitu girang. “Syukurnya , saya telah dapat menyimpan keajaiban yang saya minta dari leluhur saya. Bagaimana dengan anda, master pembaca mantra?”
“Coba ku lihat... aku masih punya dua mantra—nggak, tiga, tapi..” Dwarf Shaman merogoh isi dalam tas katalisnya seraya dia berbicara dan kemudian menyeringai. “Gimana, Beardcutter? Kamu mau apa?”
“Sumber cahaya,” dia menjawab tanpa berpikir. “Sisanya terserah kamu.”
“Siap. Kalau begitu terserah aku.”
“Dan aku akan lakukan apa yang selalu aku lakukan,” High Elf Archer berkata, mengikat ulang busurnya dan merasakan berapa panah tersisa yang dia miliki. “Kamu bilang proyektil. Itu artinya menembak. Aku akan terus bantu. Siapa tahu si dwarf jatuh atau yang lainnya.”
“Aku nggak bakal jatuh.” Dwarf Shaman berkata, melotot kepada sang archer. “Selama nggak ada si datar yang kesandung di atas badanku!”
Huh! High Elf Archer menjadi merah dan melotot membalas, dan kemudian mereka berdebat seperti biasanya.
Lizard Priest, merasa ini adalah pemandangan yang menyenangkan di balik keadaan yang menyelimuti mereka, memutar kedua mata di kepalanya. “Setelah itu, kuncinya adalah...fleksibilitas.”
“...Maksudmu bukan untuk bertindak secara acak kan?” Priestess berkata dengan senyum sedih.
“Nggak.” Goblin Slayer menjawab, menggeleng kepalanya. “Fleksibilitas adalah sesuatu yang nggak dapat di lakukan goblin.”
*****
“O Ibunda Bumi, yang maha pengasih, dengan belaian tanganmu, bersihkanlah kami dari segala korupsi!!”
Dengan itu datanglah Purify.
Sebuah angin suci menghembus tempat itu dari kotoran dan polusi; doa Priestess, di rapalkan dengan suara lantang, menembus pintu elevator seperti sebuah keajaiban.
“Aku sudah membersihkan miasmanya!”
“Bagus!”
Para petualang melompat masuk ke dalam ruangan, yang sekarang telah bersih dari kabut yang mencekik. Alarm berkarat yang dulunya adalah sebuah jebakan, berdenting sekali dan kemudian terdiam.
“GGOBOGOB?!”
“GORO?! GOBOGOR?!”
Racauan para goblin, sebuah kata yang kemungkinan adalah seruan hina, terdengar di kegelapan. Dwarf Shaman, yang dapat melihat di kegelapan mengernyit dan dengan segera mengambil arang dari tasnya.
“Usung obormu, berikan kami cahaya, will-o-the-wisp, membara di malam! Onibi, aku memanggilmu, berikanlah sedikit cahaya kepadaku!”
Dia melempar arang ke udara, di mana arang itu meledak dengan sendirinya menjadi api biru keputihan. Sesuatu yang dia panggil bersama dengan Control Spirit bersinar terang di dalam dungeon.
Ruangan yang teriluminasi ini ternyata adalah sebuah ruang makam dalam makna sesungguhnya. Sepasang pintu di kejauhan pastilah elevator menuju bagian paling bawah yang di tuju para petualang. Terdapat tanda-tanda akan pertarungan sengit di keseluruhan ruangan batu remang ini, bersama dengan baja hancur, armor rusak, dan kepingan tengkorak dalam pakian hitam.
Jika ini  adalah penjelajahan dungeon normal, tempat ini tentunya akan menjadi sebuah tempst akan kekhidmatan mutlak.
Namun sekarang, tempat ini di tinggali oleh goblin. Jantung dari tempat dungeon ini penuh bertumpuk tinggi dengan sampah goblin, kotoran, dan sisa makanan.
Di keseluruhan dinding sekitar adalah mereka yang kencoba dungeon ini tanpa rencana, atau mungkin telah kalah oleh para goblin....
“Mengenaskan sekali...” Priestess berkata, secara reflek menutup mulut dengan tangan setelah melihat kengerian ini. Goblin Slayer mendengus pelan.
Beberapa mayat menggantung di sana, tersangkut oleh kail daging yang terbenam dalam daging mereka. Sangatlah mudah untuk membayangkan bahwa di gantung dengan kulit mereka adalah siksaan tingkat terakhir dari kisah yang tak di  ceritakan.
“GOROBG!”
“Ohh... Ah...”
Pada saat itu, di antara teriakan kebingungan para goblin, sebuah desahan kecil, pelan, dapat terdengar. Adalah tawanan—sang permaisuri, di atas altar.
Seekor goblin berpakaian dengan mewah, tampaknya pemimpin mereka, sedang menjambak rambut gadis itu dan mengangkat sang gadis.
Dia masih hidup!
“Satu tongkat. Lima pedang, lima pentungan, dua tombak, tujuh busur, nggak ada hob—semua dua puluh!”
Salah satu petualang yang menggunakan armor kulit kotor dan helm yang terlihat murahan; pada lengannya sebuah perisai bundar kecil, dan pada pinggulnya, adalah sebuah pedang dengan panjang yang tidak boasa.
Goblin Slayer, yang melempar obor dari tangan kirinya masuk ke dalam ruangan, dengan cepat menilai situasi.
“Seperti yang kita perkirakan. Seekor shaman adalah—“
“Tidak...!” Priestess menyela.
Kegembiraannya mengetahui keselamatan permaisuri telah menghilang; sekarang kedua matanya terbuka lebar. Dia sedang memperhatikan dengan seksama pada goblin dengan tongkat, dan tato di keseluruhan tubuhnya.
Apakah rasa takut? Pengalaman waktu dulu? Tidak. Sebuah rasa menggelitik tajam menjalar pada lehernya.
Sebuah wahyu!
Priestess menafsirkan wahyu dari Ibunda Bumi yang maha pengasih dengan benar dan berteriak, “Itu priest!”
Rasul akan dewa Kekacauan yang keji! Seorang yang tidak berdoa kepada dewa yang adil dan baik!
“GROB! GOROBGGRB! GOROBG!!”
Seolah merespon kepada Priestess, doa goblin menggema di dalam ruangan. Dia mengayunkam tongkatnya dan meracau dalam bahasa anehnya, dan debuan sinar bura, dan jahat mulai berkumpul di sekitar altar.
“Si bajingan itu....!”
Adalah mustahil bagi High Elf Archer untuk membiarkannya begitu saja: dia melepaskan panahnya pada goblin, artinya untuk mengalahkannya sebelum dia mempunyai waktu untuk bereaksi—namun panah itu memantul.
“Mustahil...! Protection?!”
Sang goblin priest memberikan mereka seringai jahat, dan tampak sebuah dinding pucat putih di sekitarnya.
Goblin Slayer memgetahui kekuatan dari cahaya itu. Dia telah memanfaatkan kekuatan ini lebih dari sekali.
Tentunya bukanlah dia tidak memikirkan kemungkinan ini. Pertarungannya dengan goblin paladin pada gunung bersalju telah hampir satu tahun berlalu, namun dia masih dapat mengingatnya dengan jelas.
Tapi seekor goblin yang memiliki kepercayaan?
Di seluruh dunia, terdapat beberapanhal yang dapat lebih di percaya di bandingkan dengan goblin dan agama.
Sekarangndia menjentikan lidahnya setelah menyadari dia telah membuat asumsi ini tanpa sadar.
“Kalau begitu, coba ini!”
Tidak ada sedikitpun keraguan dalam ucapan atau tindakan Goblin Slayer. Dia tidaklah cukup bodoh untuk membuang keuntungan dari sebuah kejutan.
Tidak lama setelah dia berbicara, dia melemparkan sebuah pisau tajam ke dalam kegelapan.
Pisau itu, dengan mata pisau yang bengkok seperti ranting patah, terbang pada satu sisi.
“GOBO?!”
Pisau itu melintas dengan suara yang seperti dengungan lebah, hingga mengenaik seekor goblin archer yang berada di luar dinding perlindungan. Darah hitam goblin menciprat ke dalam cahaya remang; mayat tak berkepala itu kini lunglai dan terjatuh.
Sementara itu, kepalanya, berguling ke sebuahnsudut ruangan, di sana untuk membusuk selama beberapa ratus tahun ke depan.
“Satu! Habisi pemanahnya. Kita harus bersama melakukan ini!”
“Ha-ha-ha! Baiklah!”
Sembari dia berteriak, Goblin Slayer menarik sebuah benang yang dia ikatkan pada pisaunya; sementara itu, Lizard Priest terjun masuk ke medan perang.
Lizardman yang tangguh adalah master dari pertarungan tangan kosong.
“O sayap maha tajam velociraptor, robek dan cabik, terbang dan berburu!”
Namun dia tidak perlu untuk terus bertangan kosong: katalisnya, sebuah taring pada tangannya, mengembang dan tumbuh hingga dia memegang sebuah pedang yang terasah.
Kemudian Lizard Priest, bernapas keras dengan semangat akan pertarungan, berdiri tegak dengan kaki yang terbuka lebar, napasnya mengalir deras dari rahangnya.
“GOROBG!”
“GOROOBG?!”
“Eeeeyah!!”
Dari barisan belakang mereka sendiri, para goblin archer melepaskan tembakan serentak, namun Lizard Priest menepisnya dengan ekornya dan melancarkan sebuah tendangan. “Panah goblin bagaikan sebuah siraman musim semi!”
Dia melanjutkan dengan menggunakan Swordclaw, satu pada masing-masing gangannya, untuk memenggal goblin terdekat.
Satu, dua. Goblin yang paling berani—atau lebih tepatnya, yang di dorong ke depan oleh mereka yang berada di belakang—kehilangan kepalanya. Siapa yang hendak sukarela menantang makhluk mengerikan ini? Akan lebih mudah untuk mengincar gadis cleric kecil itu yang berdiri di belakang, atau elf yang bersamanya.
“GGBGR! GOROGOBOGOR!”
Sang goblin priest jahat meneriaki pengikutnya seraya mereka mundur kemudian memberikan perintah baru kepada pemanahnya.
Pergi ke sana. Tembak barisan belakang mereka yang empuk.
Namun para pemanah, telah mengamati kehancuran dari rekan mereka, tidak bergerak. Bahkan, mereka mencoba untuk memaksa masuk ke dalam dinding Protection.
“GOROBG!”
“GOBOGOROB?!”
Sang goblin priest, murka, menendang pemanahnya dari balik pelindung—secara harfiah.
Tidak lama kemudian, salah satu dari monster bodoh telah terkena panah High Elf Archer tepat di matanya.
“Gampang banget!” Telinga panjangnya menjentik bangga seraya dia mengamati sasaran berikutnya.
Untungnya, terdapat begitu banyak tubuh dan jeroan untuk di pijak. Bukan berarti dia senang untuk menginjak mayat.
High Elf Archer membuat satu loncatan anggun secara terus menerus, melepaskan panah bermata kuncup di tengah udara secara beruntun. Panah itu menyerang goblin priest yang berada di altar, namun pelindung tak kasat mata itu tidak bergeming.
Pelindung itu begitu keras. High Elf Archer mengernyit. Adalah mustahil makhluk liar seperti ini bisa setaat seperti gadis kecil party mereka.
“Bereskan mereka—aku akan melindungi kalian!” dia berkata.
Jika dia tidak dapat menghabisi pemimpin mereka, maka dia akan mengganti fokusnya. Seraya dia menarik panah berikutnya, dia menendang dinding untuk melakukan lompatan dinding.
Untuk merespon itu, Goblin Slayer mengangkat perisai dan bergerak maju. Dia membiarkan Lizard Priest yang meraung sebagai sebuah pengalih, sementara dia mendekati altar di mana para pemanah berdiri. “Saat ini empat. Enam belas lagi. Lima dari mereka pemanah...!”
“GGOBOGOG! GOBOROOBG!!”
“GOROB!”
Sang priest, tidaklah buta untuk tidak menyadari Goblin Slayer yang mendekat. Dia mencetuskan perintah kepada spearmennya, yang mencoba menjaga para petualang agar tidak semakin mendekat.
Goblin Slayer tidak mempunyai waktu untuk bertarung adu pedang. Dia hanya menebas pisau lemparnya pada tombak musuh.
Mata pisau itu tersangkut pada batang tombak, yang menyebabkan tombak itu patah. Mata hina goblin terbelalak terkejut.
Goblin Slayer tidak melepaskan senjatanya dan menghantamkan perisainya ke depan.
“GOROOOGB?!”
“Lima.”
Ujung yang di asah dari perisai memecah belah tengkorak goblin. Dia menendang makhluk itu yang terhuyung ke belakang, mengayunkan tangannya untuk mengambil tombak yang berada di lantai.
“Enam!”
“GOOBOGORO?!”
Dia menarik perisai dari tengkorak goblin kelima, menggunakan momentum itu untuk melancarkan tombak menuju leher goblin ke enam. Dia melepaskan batang tombak yang berlumurkan cipratan darah dan menarik pedangnya.
“Empat belas lagi!”
“GOROBG!!”
Sang goblin priest, alih-alih menyalahkan pilihan perintahnya yang buruk, malah mengumpat kebodohan bawahannya.
Para archer menoleh ke sini dan ke sana, mencoba untuk memutuskan apakah akan mengicar elf, lizard, atau manusia itu. Salah satu dari mereka dengan bimbanh menyiapkan panahnya, kemudian mengimgat suatu fakta bahwa ada seorang dwarf yang melindungi gadis manusia itu, dan membidikan panah mengarah tempat itu.
“GORG?!”
Akan tetapi, dalam sekejap, sesuatu menembus lehernya, dan dia mati tersedak oleh darahnya sendiri. Lengannya melemas dan tembakan panah itu melenceng, memantul di lantai dengan arah yang menggelikan.
Adalah mustahil untuk bisa melarikan diri dari bidikan seorang elf. Sekarang tersisa empat goblin archer lagi.
“Ho! Nggak jelek, Telinga Panjang!”
Ngomong-ngomong soal Dwarf Shaman, dia memang benar melindungi Priestess, seperti yang di lihat goblin itu. Tangannya berada di dalam tas berisikan katalis bahkan seraya dia melancarkan serangan sengit dari kapaknya untuk mencegah goblin mendekat.
Syukurnya, Beardcutter telah menangai sebagian dari para pemegang tombak. Goblin dengan pentungan dan pedang masih dapat dwarf itu tangani.
“GGOROGB?!”
“GOOBG?!”
Satu goblin, dan kemudian goblin lainnya. Goblin Slayer, Lizard Priest, High Elf Archer, dan Dwarf Shaman masing-masing menumbangkan para monster satu persatu.
“..........”
Namun Priestess, mengawasi baris depan dari belakanh, tidak dapat mengenyahkan perasaan dari bulu kuduk di belakang lehernya yang berdiri lagi.
Apa sih yanh membuat perasaan aneh ini...
Hanya dia seorang diri yang mempunyai kesempatan untuk mengevaluasi apa yang terjadi dengan tenang. Adalah perannya untuk memanfaatkan itu.
Sebuah pertarungan sedang berlangsung di sekitarnya, dan dia seorang diri yang berdiri di sana memegang tongkat. Dia berusaha dengan sangat untuk menjauhkan pikiran itu dari hatinya.
Sang goblin priest mengayunkan relik di tangannya, memberikan perintah—jika memang bisa di sebut seperti itu—kepada pengikutnya.
Dia memberikan permaisuri tawanan itu satu tendangan keras, dan kemudian sekali lagi, sebagai bentuk balasan tentang apa yang sedang terjadi.
Priestess tidak dapat membayangkan goblin itu mempunyai hati di sini. Tidak dapat mempercayai bahwa goblin itu benar-benar berdoa kepada dewa di surga, atau apapun yang persis seperti itu.
Terus kenapa protection itu nggak menghilang?
Apakah Priestess harus percaya bahwa dewa jahat begitu belas kasih? Mustahil.
Untuk sebuah keajaiban... Untuk sebuah mantra... seseorang harus membayar ganjarannya. Berikan sesuatu sebagai harga tukar karena telah memutar logika dunia itu sendiri.
Bisa jadi jiwa, yang terkikis oleh doa; bisa jadi sebuah mantra yang mempengaruhi ingatan; sebuah katalis; untuk satu kesehatan.
?
Tiba-tiba, Priestess melihat ke bawah pada genangan darah yang ada di kakinya. Kilasan mengiang di kepalanya.
Dia mendengak dan berteriak: “Pak Goblin Slayer—dia tumbal hidup...!”
Hanya itu yang di butuhkan.
Helm Goblin Slayer bergerak bahkan seraya dia menyayat leher goblin yang ada di depannya.
Garis merah menjalar di lantai, tampak jelas di antara darah hitam para goblin. Garis merah kehitaman membentuk sebuah pola yang berpusat kepada altar.
Semua terlihat begitu tidak asing bagi pria itu.
Dia sendiri pernah membantu hal ini di kebun lebih dari sekali.
“Dia mengambil darah mereka!” (TL note: saya tidak tahu kata apa yang tepat untuk menggantikan ucapan Goblin Slayer ini yang mana dia berkata “ He’s bleeding them!”)
Benar: sumber darah itu berasal dari mayat goblin—dan tubuh para petualang yang menggantung di dinding.
Sudah cukup buruk mereka di siksa semasa kehidupan. Dan sekarang para goblin akan terus di renggut kepemilikan mereka bahkan setelah mereka mati.
Darah menetes dari mayat-mayat, mengalir menuju altar, di mana ini membawa kekuatan pada dewa kejahatan.
“GOROGBG! GOROBOGO!!”
Sang goblin priest tertawa keji. Pandangan Priestess menjadi merah dan dia merasakan sesuatu yang panas.
Ini nggak bisa di maafkan. Dari mana pikiran itu berasal?
Dari dalam pikirannya, dia melihat... Dia melihat rekannya dari petualang perdananya.
Bagaimana mungkin akan adanya ampunan bagi siapapun jika mereka menjadi bulan-bulanan para goblin bahkan setelah mereka mati?
“Aku akan melakukannya!” dia berteriak, mengangkat tongkat deriknya. Para petualang semua melirik mengarah dia dan kemudian mengangguk.
“Atasi!” Goblin Slayer berteriak, dan Lizard Priest meraung, “Janganlah anda bimbang!”
Seekor goblin archer mencoba untuk memuat panah ketiga, namun sebelum dia dapat melakukannya, tubuh raksasa Lizard Priest melambung di udara. Dia jendarat dengan ekor yang mendentum lantai dan menghantamkannya kepada sang archer, menghancurkan monster itu menjadi dua.
“Ha-ha-ha-ha-ha-ha! Ketahuilah, wahai kalian, para hama: kalian tidak akan dapat melarikan diri!!”
“GOROBOGO?!”
“GBBGOR!”
Dua pemanah yang tersisa melemparkan busur mereka dan mencoba untuk lari. Adalah keputusan yang sangat bijak untuk seekor goblon—atau itu yang seharusnya, jika tidak ada musuh yang berada tepat di belakang mereka.
“Tiga belas... Empat belas!!”
Dalam waktu kurang dari dua tarikan napas, para goblin mendapati kepala mereka terbuka menjadi dua daan otak mereka menciprat ke lantai batu.
Goblin Slayer memberikan pentungan di tangannya sebuzh ayunan santai untuk membersihkan jeroan yang menempel.
“GOROBGOR?!”
“GRR!”
Lima goblin serdadu yang masih selamat mulai mendekat pada tengah ruangan. Sang goblin priest meneriaki mereka dari belakang, namun mereka tidak merasa mempunyai kewajiban untuk mendengar goblin seperti dia. Para goblin, masing-masing mengutamakan diri mereka sendiri pada pertarungan yang akan berlangsung, mengangkat senjata mereka dan menyerang Priestess.
Sama sekali tidak terbesit di pikiran mereka untuk menyandra gadis itu. Mereka hanya ingin balas dendam, mereka ingin mengambil gadis iti dan melukainya sebagai bentuk balas dendam.
“...!”
Priestess, menegang, menatap pada musuh yang mendekat. Dwarf Shaman menyelipkan dirinya di antara mereka, dan dari kejauhan, High Elf Archer membidik.
Priestess dapat melihat Lozard Priest juga, dan pria itu sekaligus. Tidak ada yang perlu di takutkan.
Dia mengisi dada kecilnya dengan napas panjang, menghela, dan berteriak: “O Ibunda Bumi yang maha pengasih, dengan belaian tanganmu, bersihkanlah kami dari segala korupsi!!”
Ibunda Bumi yang maha mulia sekali lagi merespon doa taat dari pengikutnya, menyentuh dunia mereka dengan tangan sucinya.
Sebuah gelombang tak kasat mata menyebar keluar dari Priestess seperti sebuah belaian, membanjiri keseluruhan ruangan. Gumpalan darah yang mengalir sekarang berubah tepat di depan mata mereka menjadi air jernih.
Mantra ini di tujukan untuk melindungi, bukan melukai...!
Itulah alasan mengapa Priestess yakin Ibunda Bumi memberikan ijinnya untuk menggunakan ini.
“GGBOGO?!”
Sang goblin priest berteriak terkejut, dan suaranyz terdengar dari balik gelombang pemurni Priestess. Air jernih, tidaak pantas untuk menjadi persembahan kepada dewa kejahatan. Pelindung yang melindungi hilang dalam sekejap, dan goblin priest menjadi terpapar tanpa pertahanan.
“GROBOGOG!”
“Uhh... Ahh...”
Yah, tidak sepenuhnya terpapar.
Priest jahat itu meraih rambut sang gadis yang dia jadikan sebagai tumbal, menggunakannya sebagai perisai daging.
Satu petualang melangkah berani menuju dirinya.
Petualang itu menggunakan armor kulit kotor, dan sebuah helm yang terlihat murahan, dengan perisai bundar kecil pada lengan dan pentungan yang dia curi dari seekor goblin di tangannya
“Hmph.” Goblin Slayer melirik dari balik pundaknya.
Panah High Elf Archer, taring Lizard Priest, dan kapak Dwarf Shaman menghancurkan pasukan goblin.
Priestess dalam kondisi aman.
Goblin Slayer kembali menatap ke depan.
Sang goblin priest, ketakutan, memegang sang permaisuri, bersusah payah berusaha untuk melindungi dirinya sendiri. Sebuah senyum mengejek menggantung pada wajah hinanya.
Goblin Slayer berkata, “Dengan ini dua puluh.”
Dia menendang, menyapu kaki goblin yang berada di atasnya, dan di tempat makhluk itu terjatuh, pentungan menghujam.
Kemudian berakhir.
*****
Dengan pertarungan yang telah selesai, keheningan yang mencekam mengisi keseluruhan ruangan.
Satu-satunya suara yang tersisa di ruangan hanyalah napas lelah, dan gesekan halus dari perlengkapan. High Elf Archer terus memasang panahnya dengan longgar pada busurnya seraya dia memperhatikan sekitar, namun kemudian akhirnya, dia menghela.
“Apa sudah selesai...?”
“...Sepertinya,” Priestess berkata, kedua rekan itu berbagai hela napas lega. Kemudian Priestess berjalan mendekati altar.
Apa yang bisa ku ucaapkan kepadanya?
Tidaklah jauh, namun pertanyaan itu membuat perjalanan ini terasa begitu jauh.
Apakah Priestess harus merasa senang mengetahui gadis itu selamat—artinya setidaknya dia masih memiliki kehidupannya?
Apakah dia harus marah karena gadis itu telah mencuri baju besinya?
Keduanya terasa tidak cukup tepat baginya, dan dia telah mencapai gadis itu tanpa mendapatkan jawaban.
“...Oh.”
Priestess dapat melihat rasa bingung dirinya sendiri yang terpantul pada mata yang menatap kosong kepadanya.
Gadis itu tidak bisaa di sebut beruntung. Akan tetapi, adalah karena dia telah terpilih untuk menjadi tumbal hiduplah dia masih bisa berada di sini. Terluka dan hancur, bajunya robek, namun tidak di penuhi oleh kotoran.
Bahkan hingga saat ini, Priestess masih tidak dapat mencari kata yang tepat. Dia melihat ke sini dan ke sana seolah mencari jawaban.
Kemudian dia menemukan sesuatu.
Bagian kecil dari baju besi yang telah di curi goblin dari seorang petualang kemudian di buang kembali. Benda itu tertumpuk di antara tumpukan sampah: sebuah baju besi murahan yang dapat di beli di manapun.
Benda itu mungkin telah di perbaiki berulang-ulang, begitu sering hingga mungkin akan lebih baok jika membeli baju besi yang baru. Dia akan mengenali ini di manapun juga: ini adalah miliknya.
“...!”
Priestess meraihnya dan menariknya mendekat, dan kemudian dia meraih tubuh langsing permaisuri ke dalam pelukannya juga.
“Syukurlah...” dia berbisik, suara itu teremas keluar dari dalam dirinya.
Apakah dia merasa senang karena mendapatkan baju besinya lagi, atau gadis itu? Bahkan dirinya sendiri tidak yakin. Namun dia ragu jika penyebabnya adalah salah satu dari itu. Jika dia mendapatkan kembali baju besinya, namun permaisuri di temukam mati, atau jika gadis itu selamat dan baju besinya hilang, dia tidak dapat mengenyahkan pikiran yang akan menyengat hatinya itu.
Itulah mengapa dia memeluk mereka berdua.
Dia tidak tahu bagaimana mengumbar semua menjadi kalimat. Namun tidaak di ragukan lagi.
“Ooh, ah... Ah...!” Adalah yang permaisuri dapat katakan. Dia memeluk Priestess dan menangis.
“Nggak apa-apa,” Priestess menenangkannya. Dia mengelus pu ggung permaisuri seraya gadisnitu mengulangi “Aku takut sekali. Maafkan aku.”
Goblin Slayer memperhatikan ini dengan lirikan menyamping kemudian menghela napas.
“Oh-ho,” Lizard Priest berkata, memutar mata seraya dia mendeteksi suara. “Apakah kita perlu merasa lega?”
“...” Goblin Slager berpikir sejenak kemudian mengangguk pelan. “Ya. Karena dia terlihat sedikit kurang stabil. Maksudku gadis itu.”
“Yah, kalau dia merasa lebih baik sekarang, kurasa nggak perlu tanya kenapa.”
“Namun jika seseorang di perkenankan bertanya, maka saya akan menyarankan ini.” Leher Lizard Priest berputar, dan dia menunjuk pada sebuah pola yang terukir di lantai.
“Bagaimana menurut anda?”
“Kurasa tempat ini pasti di tujukan untuk membangkitkan kembali semacam dewa kejahatan.”
Alur itu menciptakan sebuah polah geometris rumit nan aneh dan terlihat jelas bahwa itu adalah variasi dari sihir. Namun juga, jika ruangan makam ini adalah jantung dari dungeon ini, mungkin mereka bermaksud untuk memanggil beberapa pengikut.
“Jadi pekerjaan kita selesai, kan?” High Elf Archer berkata, telinganya turun melemas lelah. “Kita bisa keluar dari sini?” Dia melirik mengarah Priestess.
Namun Goblin Slayer menggelengkan kepalanya. “Nggak. Masih ada goblin yang tersisa di atas kita. Kita harus membunuh mereka semua.”
“Ugh,” High Elf Archer terdengar begitu jijik, namun Lizard Priest tertawa, “Perjalanam pulang yang sungguh menantang.”
“Ya mau gimana lagi,” Dwarf Shaman menambahkan, meneguk segelas anggur. Priestess masih mendekap sang permaisuri, yang akhirnya menjadi lebih tenang.
Oleh karena itu, apa yang terjadi bukanlah karena kewaspadaan siapapun.
Sebut saja jika kamu menginginkannya, lemparan sebuah dadu.
Adalah jalannya kemungkinan angka yang terkadang muncul.
“G...”
Sang goblin priest masih bernyawa, walaupun dengan tengkorak kepala yang hancur. Otaknya terisi dengan pikiran yang lebih keji dan mengenaskan dari sebelumnya, dan dia menjulurkan tangan meraih relik, benda sihirnya.
“GOR...B...”
Sang priest memiliki satu ide egois di dalam pikirannya: Setelah semua yang sudah aku lakukan, mereka gagal menyelamatkanku.
Ya, adalah keegpisan. Bikanlah kepercayaan. Benar ataunsalah, bukanlah sebuah pikiran yang di persembahkan kepada dewa.
Oleh karena itu hanya ada satu jawaban.
“GOROBOG?!”
Itu meledak keluar.
Seperti benih pada musim semi. Seperti tunas yang menembus bumi.
Punggung goblin membengkak dan meledak seraya mencoba untuk menerobos jalannya masuk ke dunia.
Terciprat dengan darah dan jeroan goblin, menyebar seperti bunga yang mengerikan, adalah tangan berjari lima yang menjijikkan.
“Hrm...”
“Ap...?!”
Para petualang tertegun oleh pemandangan yang begitu tidak suci hingga mereka perlu memeriksa diri apakah mereka masih waras.
Goblin Slayer dalam sekejap siap untuk bertarung, dan Dwarf Shaman meraih tasnya. Dalam sesaat, High Elf Archer mengambil beberapa sisa dari panahnya.
Namun Lizard Priest—dan Priestess. Mereka berdua paham tentang apakah itu.
Tubuh goblin yang kejang-kejang menjalar di atas altar, merayap melintasi kotoran.
Adalah sebuah lengan pucat.
Sebuah lengan yang lebih besar, lebih lebar, dari sebuah pohon.
Sebuah lengan yang muncul dari udara kosong, sebuah lengan yang berdenyut dengan cakar yang meremas mengerikan.
Jari-jemarinya, ternoda dengan darah goblin, menjulur seperti ular yang mengincar mangsa.
Kekaguman? Terror? Adalah mustahil untuk mengetahuinya.
Namun Priestess tidak akan membiarkan mereka mengancam sang gadis yang di dekap di dadanya.
Dia mendekap permaisuri semakin erat seraya bibirnya yang gemetar merangkai kata.
“Tangan greater demon...!”
Kemudian sebuah ledakan akan ketajaman yang luar biasa, dan priestess kuda menjerit menahan rasa sakit yang tak terbayangkan.