PERTANDINGAN PENENTUAN 
VS  
(Translator : Ridho. H)


Bagian 1
Hari itu tengah malam ketika Ikki bertarung melawan Ayase. Sebuah siluet kecil dapat terlihat di dalam hutan dimana Ikki biasa berlatih. Siluet tersebut mengayunkan sebuah katana yang samar-samar memantulkan cahaya bulan.
Malam itu malam yang tidak berangin, sehingga suara tebasan pedang tersebut dapat terdengar. Itu adalah wujud indah dalam pelatihan, seolah wujud itu sedang menari.
Namun pergerakannya tiba-tiba saja berhenti.
“Stella?”
Siluet itu… Kurogane Ikki berbalik ke arah pintu masuk seraya menyeka keringat dan bertanya. Dia merasakan suatu kehadiran disana; seperti yang diharapkan, disana berdiri seorang gadis berambut merah mengilap. Siluet itu adalah Stella Vermillion.
Dia mengernyit sedikit,  kemudian balik bertanya.
“Kamu masih mikirin hal itu? Kalau kamu gak hati-hati itu bisa ngaruh ke pertandingannmu besok loh.”
Pertandingan yang Stella maksud adalah duel dengan Kuraudo. Setelah pertandingan Ikki dengan Ayase berakhir kemarin, Ikki dan Stella telah mendengar semuanya dari Ayase. Dari awal sampai akhir, dan apa yang terjadi dua tahun lalu.
Bagaimana Ayatsuji Kaito, sang Samurai Terakhir telah dikalahkan.
Dan setelah mendengar semuanya, Ikki dengan tegas menjanjikan Ayase kalau dia akan berduel dengan Kuraudo dengan mempertaruhkan dojo. Besok… sebuah pertarungan yang lebih sulit akan menunggu. Oleh karena itu keputusan terbaik saat ini adalah beristirahat. Ikki juga memahami hal itu, tetapi dia tidak dapat tenang.
“…Itu mukul kamu banget, ya?”
“Oh, ya… bagiku, Kaito-san udah kayak idolaku.”
Bagi Ikki yang diabaikan oleh orang dewasa di rumah Kurogane, orang-orang seperti Kaito yang menguasai ilmu pedang sudah seperti guru baginya. Dengan menyaksikan pertandingan mereka, dia mencuri, menganalisis, dan berlatih dengan teknik mereka berulang kali. Jadi ketika mendengar peristiwa masa lalu Kaito dari Ayase adalah sebuah kejutan baginya. Dilanda penyakit, dan melaksanakan pertandingan tanpa sihir… dengan kata lain, dalam pertarungan yang tidak seimbang, sehingga tidak heran dia dihabisi.
“Sesuai pikiranku, Kurashiki-kun bukan sekedar berandalan.”
“Kamu gugup?”
“…Iya, karena dia lawan yang kuat.”
Kurashiki Kuraudo, kartu as Akademi Donrou. Seorang murid tahun ketiga. Dia adalah peringkat kedelapan di festival sebelumnya. Informasi mengenai sosok sepertinya dapat ditemukan dengan mudah kalau dicari. Device-nya adalah Orochimaru[1], sebuah pedang gergaji dengan kemampuan meningkatkan panjangnya. Device itu mematikan. Kuraudo dapat menghunuskan Device-nya kepada lawannya secepat peluru bahkan dari jarak yang jauh, dan misalkan serangannya dihindari dia masih dapat merobohkan seluruh ring. Dan juga kalau lawannya mendekat, dia dapat menyusutkan Orochimaru menjadi sebuah pedang pendek dan menaklukkan lawannya dengan rentetan serangan.
Dengan bilahnya menyerupai tulang ular, Noble Art Kuraudo memiliki kekuatan mutlak yang tidak terbatas pada jarak dan juga tidak memiliki titik buta. Dia hanya perlu melancarkan serangan ofensif sederhana berdaya besar. Perubahan jangkauan senjatanya yang konstan akan sulit dihadapi bagi pendekar pedang seperti Ikki, yang terspesialisasi dalam pertarungan pedang.
Meskipun dia dipanggil ‘Penghancur ilmu pedang’, dan sesuai dengan nama panggilannya, kemampuannya adalah musuh alami bagi pendekar pedang. Selain itu dia juga mengalahkan Kaito. Jadi Ikki memiliki firasat kalau Kuraudo memiliki hal lain yang disembunyikannya.
“Tapi, itu sesuatu yang aku ngerti.”
Semenjak dia merasakan aura barbar dengan ekspresi beringas Kuraudo di restauran. Namun itu bukanlah alasan kenapa Ikki tidak dapat tenang.
“…Stella. Habis kamu dengar ceritanya Ayatsuji-san, pendapatmu gimana?”
“Dia berurusan sama pembawa masalah, dan aku ngerasa kasihan sama dia.”
“Itu doang? Aku…”
“Gak usah diomongin.”
Stella menyelanya dan bergumam.
“Mungkin, kita mikirin hal yang sama. Makanya kamu bilang gitu, kan?”
“Kayaknya… Yeah, benar. Aku tahu Stella bakal ngerti.” 
Wajah Ikki mendongak riang. Dia senang kekasihnya memikirkan hal yang sama dengannya.
“Tapi yang manapun yang benar, harusnya itu gak jadi masalah, kan? Apa yang harus kamu lakuin tetap sama.”
“Yeah, itu benar.”
Mengangguk, Ikki sekali lagi mengayunkan pedangnya dalam  kegelapan.
…Tubuhnya sekarang sudah baik-baik saja. Juga tidak ada masalah dengan organ vitalnya. Yang tersisa sekarang hanya tinggal menunggu. Setelah besok, semuanya akan menjadi jelas.
—Hal yang Ayase belum juga menyadarinya, peristiwa yang terjadi dua tahun yang lalu.

Bagian 2    
Besoknya di sore hari, Ikki dan Stella menuju bekas gedung dojo  Ayatsuji dengan dipandu oleh Ayase.
“Jalan ini, ngembaliin beberapa kenangan.”
Ikki bergumam seraya memandang rumah-rumah berjajar yang familiar.
“Kalo dipikir-pikir, Kurogane pernah nantangin dojo sekali ‘kan?”
“Ya. Tapi aku pulang pas dibilangin mereka gak ngelakuin hal kayak gitu lagi.”
“Itu pas kamu masih SMP ‘kan? Kamu pergi ke banyak tempat dan ngedatangin banyak dojo.”
“Pasti karena sisi liarku dulu. Selama aku ada waktu, aku bakal berkeliling negeri dan nyari tantangan.”
”Niat banget. Tapi Kurogane-kun, bukannya itu bahaya? Seorang anak SMP nantangin berbagai dojo, memangnya kamu gak pernah dihajar masa gara-gara kelakuanmu  itu?”
“Pernah. Bahkan aku pernah  dikeroyok sama murid-murid disana sampai aku sekarat. Tapi aku gak bisa apa-apa soalnya aku ngelakuin hal yang kasar dengan nantangin dojo mereka. Si penantang gak bisa komplain soal tantangan yang dikasih ke mereka, begitu aturannya.”
Itu benar. Dia tahu itu berbahaya, dan jumlah setiap kali dia hampir mati tidak dapat dihitung dengan jari. Namun pada saat itu, dia hanya ingin menjadi kuat tidak peduli apapun resikonya. Karena para orang dewasa enggan membantunya sama sekali, dia hanya ingin mengalami semuanya, menyerap semuanya, dan mendapatkan semua kekuatan yang dia temukan.
Namun tetap saja, aku tidak melakukan hal seperti menyergap murid dan memaksa menantang dojo ketika aku ditolak.  
Selagi mengenang, ketiganya meninggalkan jalan raya dan memasuki sebuah gang sebelum jalan berliku. Sebelumnya mereka telah melewati rumah terpencil yang dikelilingi tembok-tembok tinggi.
“Ini rumahku… dulunya.”
Namun sekarang, tidaklah pantas untuk menyebutnya rumah samurai yang ditinggalkan. Ubinnya berserakan, kayu yang menyangga gerbangnya busuk dan jatuh. Area di sekitarnya dipenuhi puntung rokok, dus-dus makanan ringan, dan plastik. Tembok putihnya sekarang memiliki gambar graffiti.
“Gambarnya jelek banget. Aku dengar ada orang yang pintar bikin graffiti tapi ini, beneran hancur.”
“…Kupikir bukan bagian itu yang harusnya ngagetin kamu… Joroknya.”
Ayase memandu mereka kesini dengan ekspresi sedih, seolah dia sedang menutupi perasaan kecewanya. Tempat berharganya dirusak sedemikian rupa, tentu saja dia akan.
Aku harus mendapatkanya kembali.
Ikki memutuskan sendiri hal itu, dan mengeluarkan sebuah pedang kayu dari tasnya.
“Benar, aku bakal terus jalan dan nantangin pemilik dojonya. Gak ada cara lain ‘kan?”
Setelah mendengar apa yang terjadi dua tahun lalu, Ikki mengira kalau taktik Kuraudo sebenarnya sederhana. Tentu saja, dengan menyerang para murid untuk mendapatkan hak menantang dojo tidaklah sederhana, tetapi pada akhirnya, semuanya direncanakan dengan matang yang menghasilkan duel yang disepakati kedua belah pihak. Dengan kata lain, baik benar atau salah, semuanya ditentukan dengan duel. Jadi apabila tiga orang yang datang pasti akan dianggap sangat kasar. Itu adalah sebuah penghinaan terhadap Kaito.
“Ikki banget, ya.” 
 “Aku paham… Tapi Kurogane-kun, tolong hati-hati. Cowok itu… dia beneran kuat. Memang sih waktu itu ayahku lagi sakit, tapi dia masih cukup kuat sampai-sampai aku dan murid-murid lain gak bisa nyentuh  dia. Tapi dia tetap saja kalah…”
“Aku tahu. Lagian dia itu kartu as-nya Donrou. Bukan orang yang bisa kuanggap remeh.”
Ikki menarik nafas dalam sekali.    
“Kalau gitu, ayo.”
Bertekad seperti itu, dia menuju gerbang dan memasuki bekas dojo Ayatsuji.
Di depan gerbang yang rusak dan hampir runtuh, sekitar lima orang, kemungkinan murid SMA sedang berlutut dan mengobrol menggunakan bahasa kasar. Diantara mereka, terdapat bajingan yang mereka lihat di restoran. Tanpa diragukan lagi, mereka adalah antek-antek Kuraudo.
“Permisi, boleh aku minta waktu kalian sebentar?”
“Huh?”
Aku bertanya-tanya kenapa orang-orang seperti ini suka memulai sesuatu dengan ancaman.
“…A-Ah! Kamu si pengecut di restoran—!”
Kelihatannya bajingan itu mengingat Ikki. Dia mengenalinya dalam sekejap.
“Eh? Maksudmu cowok yang sering kamu omongin?”
“Iya, iya. Pengecut itu gak bisa ngomong apa-apa bahkan habis dipukul sama Kuraudo, dia Cuma gemetar doang!”
 “HAHAHA! Tampangnya juga lemah. Dia memang makai seragam Hagun tapi masa sih orang ini beneran Blazer?”
“Nn? Yang dibelakangnya itu Ayase-chan, ya… whoa! Cewek rambut merah itu siapa!?”
Salah seorang anak laki-laki menyadari kehadiran Stella dan seraya menyengir, dia mendekati Stella.
Di sisi lain, Stella menatapnya seolah dia sedang menatap serangga. Percikan-percikan merah mulai menyerbak di udara.
Ah, ini buruk.
Sebelum anak laki-laki itu terpanggang hidup-hidup, Ikki menggenggam bahu anak laki-laki yang sedang mendekati Stella itu. Dia melakukan itu untuk kebaikannya, tetapi atmosfer di sekitar mereka berubah seketika.
“Hey! Maksud tanganmu ini apa?”
“Aku ini lagi nyoba ngindarin kamu dari maut, tapi dengar aku sini. Aku kesini buat nantangin duel Kurashiki-kun. Tolong bawa aku ke dia.”
 Karena hal itu, mata mereka mengerling.
“””HAHAHAHAHAHAHAHA!!!”””
Dan mereka mulai melontarkan tertawaan.
“Hey, hey, hey, kamu serius? Duel? Pengecut kayak kamu? Ini mantap banget!”
“Lagian kamu tahu ‘kan apa arti duel itu?”
“Hihihi! Astaga, ini berlebihan~”
“Kukukukuh… Hey, kawan. Maaf saja tapi Kuraudo gak suka berduel dengan pengecut kayak kamu. Jadi, kenapa gak ngelawan kami aja? Kalau kamu bisa ngalahin bakal kami bawa kamu ke dia—tawaran yang bagus, kan?”
“Haha, kelahi, kelahi! Bakal seru nih!”
Mengatakan itu, salah satu dari mereka memanifestasikan sebuah Device yang tampak seperti sebuah pisau tentara dan menyentuh pipi Ikki dengan sisi bilahnya seraya tertawa.
Terhadap konfrontasi itu, Ikki…
Ah, jadi orang-orang ini murid-murid Donrou, ya…
—Dan kemudian, karena situasi ini menguntungkannya, dia dengan segera menggenggam pergelangan orang itu.
“Aku gak keberatan.”
Dia menunjukkan sebuah senyuman yang tampak jahat.

Bagian 3
“Jadi karena si bangsat rambut coklat itu nyebelin, celananya kurobek jadi dua dan kutinggalin dia di tengah jalan.”
“Gyahaha, seriusan!”
“Gak mungkin~ Kyahaha!”
Di aula bekas dojo Ayatsuji, beberapa anak laki-laki sedang duduk di lantai seraya berceloteh. Topik yang mereka bahas selalu sama. Siapa yang bertarung dengan siapa,  siapa yang selingkuh dengan siapa, siapa yang melakukannya dengan siapa, dan sebagainya. Kuraudo tidak begitu tertarik dengan yang mereka bicarakan jadi dia hanya duduk di sofa, menjauh dari teman-temannya selagi menghisap rokok.
…Orang-orang ini tidak lelah membicarakan hal yang sama setiap harinya.
Mereka adalah rekan sejawatnya, tetapi ini adalah satu-satunya hal yang tidak dia mengerti dari mereka.
Aku lebih memilih berpartisipasi dalam pertandingan seleksi di Donrou dan Hagun.
Setidaknya disana dia dapat bersenang-senang. Selagi menghela nafas dia menghembuskan asap yang membumbung ke lubang di langit-langit dan memandanginya. Langit sore terbentang. Sekarang setelah dipikir-pikir, sudah dua tahun semenjak dia mencuri dojo ini.
Setelah sekian lama, kurasa aku sebaiknya menjualnya.
Selagi dia memikirkan hal itu dengan mengembuskan asap rokok—
“Hey, Kuraudo.”
“Apa? Perutmu mules atau semacamnya?”
“…Kamu ingat cowok yang waktu itu kamu bully di restoran? Kamu ingat yang bareng Ayase-chan?”
“Aah, mereka kenapa?”
“Aku sudah pernah ketemu sama mereka, tapi kemarin aku baru saja ngingat sesuatu.”
Salah satu dari mereka menunjukkan Kuraudo datapad-nya. Disana ditampilkan sebuah artikel berjudul [Pertarungan tak terduga! Kesatria Rank-A ‘Crimson Princess’ dikalahkan oleh kesatria Rank-F ‘Worst One’] dan kontennya berlanjut ke sebuah video. Video itu tentunya, mengenai pertarungan Stella dengan Ikki.
“Kudengar dari temanku di Hagun hari ini kalau nih cowok juga ngalahin si Runner’s High! Dan beberapa orang ngasih dia julukan alay, Crownless Sword King! Mungkin… mungkin kita berurusan sama seseorang yang kuat disini…”
Dia berkeringat dingin setelah mengetahui identitas sejati orang yang dicelanya. Namun bagi Kuraudo—
“…Haha.”
Setelah menyaksikan video itu, dia tersenyum lebar menunjukkan keseluruhan 32 giginya.
“Aku ngerti sekarang. Kupikir dia cuman setingkat Ayase, tapi gak kusangka ternyata dia sekuat itu.”
Kuraudo merasakan temperatur tubuhnya meningkat cepat. Yah, tidak ada yang bisa dilakukan kalau energi yang meningkat ini ingin meledak.
Menarik.
Aku ingin menundanya sampai festival, tetapi sekarang lebih baik kalau dia pergi ke Hagun hari ini. Atau haruskah aku menggunakan Ayase untuk mengajaknya? Selagi dia merencanakan rencana keji itu—
“…Ah?”
Kuraudo mendengar langkah kaki yang mendekati aula dojo selagi berdiri. Suasana sebelumnya hening dan jelas; yang dimaksud dengan jelas, adalah gaya berjalannya elegan. Dibandingkan teman-temannya disini, tidak ada yang dapat melakukan hal itu.
“Haha. Hey, hey, sekarang ini menarik.”
“Eh? Kuraudo, maksudmu…”
Untuk sesaat, langkah kaki itu berhenti di depan pintu. Kemudian pintunya terbuka secara kasar. Tamu yang datang seperti yang Kuraudo perkirakan. Kurogane Ikki, Stella Vermillion, dan Ayatsuji Ayase, ketiganya dari restoran.
“Permisi.”
“Uwah! Berantakan banget. Aku kaget kalian bisa hidup di tempat sampah ini.” 
“S-Siapa kamu ini!”
“Tunggu, yang dari restoran…!”
Teman-temannya resah terhadap tamu-tamu yang tidak terduga itu tetapi Kuraudo hanya duduk di sofa seperti biasa dan menatap Ikki, yang memegang sebuah pedang kayu di sebelah tangannya dan sebuah tas vinil di tangan satunya.
“…Kebetulan banget. Aku baru saja mikir mau ketempatmu.”
“Beneran? Untung saja kita saling ketemu, ya.”
Ikki merasa relaks meskipun dia berada di wilayah musuh. Dia memiliki nyali.
“Jadi, ngapain kamu datang pengecut?”
“Kupikir kamu gak begitu bego buat tahu kenapa aku kesini tapi… aku datang sebagai pengganti. Ngegantiin Ayatsuji-san, aku bakal ngambil lagi dojo ini.”
“Haha! Aku penasaran kamu bakal ngomong apa, tapi sayang~! Aku gak tahu gimana cewek itu nyuci otakmu, tapi dojo ini didapat dengan duel yang bersih dan adil. Kalau kamu pendekar pedang, kamu pasti tahu apa artinya ‘kan?”
“Memang. –Makanya, aku gak Cuma modal minta kalian ngembaliin.”
Mengatakan itu, dia mendekati sofa.
“Kurashiki-kun, aku menantangmu dalam duel.”
Dia mengarahkan pedang kayunya tepat di depan hidung Kuraudo.
“Tantangan dojo, ya?”
“Metode yang sama kayak Kurashiki-kun. Kamu gak bakal lari ‘kan?”
Oh? Jadi kau mengonfrontasiku juga, ya?
Dia hampir sepenuhnya orang yang berbeda ketika mereka pertama kali bertemu. Namun perubahan sifatnya tidak begitu penting… karena ini menarik.
Kuraudo menggenggam ujung pedang itu.
“Haha. Baik. Kuterima.”
Dengan genggamannya, dia menghancurkan pedang kayu itu.
“Biarpun gitu, ini gak bakal sama kayak yang dulu kulakuin. Kamu harus ngelawan tiga puluh orang-orang tolol ini sebelum kamu ngelawan aku. Dimulai dari sana.”
“Aku gak keberatan. Cewek-ceweknya bakalan nonton doang. Pas nantangin suatu dojo, aku harus patuh sama aturan pemilik dojo. Karena itu cara yang benar buat ngelakuinnya.”
“Kelihatannya kamu tahu etika penantang dojo, ya. Oke, tunggu bentar. Aku panggil dulu mereka.”
Kuraudo mengakses fitur kontak datapadnya untuk memanggil teman-temannya di luar tetapi—
“Enggak, itu gak perlu.”
“Huh?”
“Aku punya firasat kamu bakal ngomong gitu, jadi aku sudah lebih dulu numbangin mereka sebelm datang kesini.”
Mengatakan itu, dia memutar tas vinilnya. Datapad-datapad milik Akademi  Donrou berjatuhan berderak ke lantai. Dan diantara mereka, salah satunya mulai berdering. Datapad yang itu adalah, penerima yang Kuraudo panggil.
“Yang tersisa tinggal tujuh orang disini.”
Menunjukkan pialanya, dia membuat senyum menantang kepada Kuraudo.
“S-Si bangsat ini! Berani-beraninya!”
“Bunuh dia—!”
Setelah mengetahui kalau rekan-rekannya telah dilumpuhkan, ketujuh orang itu mulai memanifestasi Device mereka satu-persatu.
Namun Kuraudo menghentikan mereka dan—
“Kalian mundur.”
“Kuraudo?”
“E-Enggak perlu takut! Ayo keroyok dia dan habisi dia!”
“Mundur sana. –Kalian ngalangin aja.”
“Hii—!“
Rekan-rekannya menelan ludah dan memucat. Mereka menjadi tertekan karena kemarahan yang tampak di mata Kuraudo.
Aku mengerti, bahkan kalau mereka menyerangnya secara bersamaan, itu bahkan tidak akan menjadi hiburan baginya.
Kalau begitu itu hanya akan membuang-buang waktu.
“Ganti aturannya. Duelnya antara kamu dan aku, pertarungan dengan senjata asli.”
Menyatakan itu, Kuraudo mengeluarkan Device-nya, nodachi putih Orochimaru.
Biasanya, itu terlarang bagi murid kesatria mengeluakan kemampuan mereka di luar Sekolah. Namun ada beberapa pengecualian. Satu, ketika mereka tidak sengaja terlibat dalam suatu insiden. Dan juga, di dojo pribadi dimana pemiliknya mengizinkannya. Sekarang situasinya karena memenuhi syarat. Ikki tidak memiliki alasan untuk menolaknya.
“Kusampaikan rasa terima kasihku karena mau menerimanya, Sword Eater.”
Membalas, Ikki juga memanifestasikan Intetsu-nya dan memasang kuda-kuda. Untuk sesaat, Kuraudo merasa merinding.
—Dia mengerti, ini adalah masalah besar. Perasaan ini, sudah lama dia tidak merasakannya semenjak sang Samurai Terakhir.
Pendekar pedang memang yang terbaik. Ketegangan yang kurasakan ketika menghadapi mereka berbeda dibandingkan bertarung dengan orang-orang bodoh.
Sebuah tatapan tajam. Ujung pedang mengilap di hadapannya. Ini membuatnya merasakan sebuah ketegangan yang tidak dapat ditahan. Perasaan seperti ini, dia tidak pernah mendapatkannya bahkan di festival.
Kuraudo melampiaskan semuanya dalam stimulasi itu, dan—
“Baik, ayo!”
Dengan kemarahan itu, dia menebas Ikki.

Bagian 4 
Pertama-tama, Kuraudo melesat ke depan untuk menutup jarak. Dia menjejak lantai dengan kakinya yang diperkuat secara sihir dan mendekati Ikki.
“Haha!”
Langsung saja. Dia mengayunkan bentuk nodachi pedang gergajinya di tangan kanannya yang merobek udara. Dia sepenuhnya lengah dan dan bercela. Sebuah gaya pedang yang kasar dan ceroboh. Serangan itu sangat mudah dihindari. Meskipun demikian, dia tidak memiliki cukup pengetahuan mengenai bagaimana menangani sebuah nodachi, dia mengayunkannya secepat kilat dengan hanya kekuatan lengannya.
Dibandingkan menebas, itu tampak lebih seperti menghujamnya.
Sebuah gerakan yang ceroboh, tetapi ayunannya tajam.
Sekali, dua kali, tiga kali. Intetsu terus menangkis serangan yang mengakibatkannya mulai berderak. Lengan Ikki menjerit kesakitan. Bahkan sikunya terasa menusuk.
Kekuatan yang luar biasa! Seolah dia adalah binatang buas. Ayunannya seperti hewan buas liar yang memamerkan taringnya. Tanpa logika, tanpa teori, tanpa kecerdasan, dia mengungguli kekuatan pria pada umumnya hanya dengan kekuatan brutalnya.
Namun pergerakan lengan semacam itu akan membebani dia sehingga pemulihannya akan terlambat.
Setelah menerima serangan sebanyak tiga kali, Ikki memundurkan tubuhnya berganti menyerang Kuraudo. Serangan Kuraudo meleset. Kurado yang mengayungkan nodachi-nya dengan satu tangan memiliki ruang terbuka di dadanya.
Disana—
Alasan Ikki menghindari ayunan Kuraudo dengan jarak sejengkal rambutnya adalah untuk serangan balik. Ikki menyerang Kuraudo. Namun— tato tengkorak di dada Kuraudo tampak seperti sedang tertawa.
“—!?”
Apa yang Ikki rasakan adalah benturan. Bilah baja menghentikan Ikki tepat waktu sebelum dia dapat menyerang balik.
“Haha, sayang!”
Sang makhluk buas tertawa, menjulurkan lidahnya. Tentunya, itu bukan suatu kesalahan. Padahal pemilihan waktu Ikki sempurna. Lawannya yang dapat menangkis dalam waktu seperti itu, itu bukanlah hal yang mungkin dilakukan bagi refleks manusia normal.
Kecuali Kuraudo telah memprediksi serangan baliknya dan merencanakan bertahan dari awal.
…Tidak bukan itu… Itu tidaklah mungkin dia… Namun itu…
Tiba-tiba, kemungkinan yang sangat buruk terbersit di benak Ikki.
“Ha! Haha-!”
Namun dia tidak memiliki waktu untuk berpikir keras. Kuraudo mendorong Ikki bersama dengan Intetsu-nya dengan hanya hantaman satu tangan dari nodachi.
Karena itu, jarak pertarungan berubah dari sepanjang pedang menjadi sepanjang tombak. Pedang mereka tidak akan menjangkau satu sama lain. Apakah dia mengatur ulang jaraknya?
Tidak, salah.
“Kejar dan bunuh, Orochimaru!”
Itu masih dalam jangkauan Orochimaru. Nodachi Kuraudo memanjang seperti seekor ular dan mengejar Ikki dengan niat membunuh.
“…!”
Ikki secara refleks menangkisnya dengan Intetsu. Namun—
“HAHA! Aku belum selesai!”
Serangan Kuraudo masih belum berakhir. Nodachi-nya segera mengecil dan kemudian dia mengubahnya menjadi cambuk untuk menyerang Ikki, sekali lagi bilahnya memanjang. Saat ini, jarak mereka adalah jarak yang hanya serangan dari Sword Eater yang dapat sampai, pertarungan yang berat sebelah. Ikki tidak memiliki pilihan selain memasang kuda-kuda bertahan untuk menghadapi serangan-serangan darinya.
“Kuh!”
Genggaman Ikki sedikit demi sedikit melonggar selagi menghadapi gempuran serangan-serangan jarak jauh dari pedang putih gergaji itu.
Tangannya hampir menyerah.
“Yeah! Ayo Kuraudo—!“
“Jadiin dia tumpukan kotoran!”
Para pendukung Kuraudo bersorak seraya mengangkat tangan mereka. Di sisi lain, Ayase yang memihak Ikki berwajah pucat.
“Kalau kayak gini pertahanmu bakalan hancur! Kurogane-kun, ambil jarak!”
“Itu gak berguna. Kalau Ikki mundur nodachi itu cuman bakal memanjang jadi percuma saja memperlebar jarak. Malahan, itu bakal merugikannya.”
“Kuh, maksudnya situasinya gak bisa jadi lebih buruk?”
“Ya. Tapi… Ikki bukan tipe orang yang cuman duduk manis ngebiarin itu terjadi!”
The Crimson Princess yang dengan tegas menjanjikan hal ini. Tentunya, karena dia adalah gadis yang paling tahu kalau Worst One adalah yang terbaik.
Ikki yang hanya dapat bertahan tiba-tiba mencondongkan tubuhnya. Menggunakan kakinya, dia mendorong seluruh tubuhnya ke depan. Tentunya Kuraudo tidak akan membiarkannya semudah itu. Jarak ini sempurna untuknya, sebuah pertarungan berat sebelah dimana Ikki tidak dapat menyerang. Jadi dia mengayunkan pedangnya untuk melindungi diri dari jarak itu.
Seekor ular putih membelah angin selagi mengejar Ikki. Itu adalah peringatan yang akan membuka tengkorak Ikki. Namun Ikki telah mempelajari apa yang akan terjadi. 
Ikki dengan gesit menghindari bilahnya, dan melesat menuju lawannya untuk mengalahkannya.
“Dia berhasil…!”
Ayase yang melihat pemandangan mengesankan itu mengepalkan tinjunya. Namun—
“Haha!”
Namun Sword Eater bukanlah seseorang yang begitu lembut sampai-sampai dia membiarkan lawannya mendekat setelah serangannya dihindari. Orochimaru yang telah kehilangan targetnya untuk sesaat mengubah arah, dan sekali lagi berbalik menyerang Ikki.
“P-Pedang itu bisa ngelakuin hal itu juga!?” 
Ayase berteriak.
Keistimewaan Orochimaru bukanlah kemampuannya yang dapat memanjang tetapi fakta karena pedang itu dapat bergerak sesuai perintah majikannya. Seolah pedang itu memiliki pikirannya sendiri, pedang itu mengejar Ikki. Setelah mendapati Ikki menghindarinya, Orochimaru mengarah ke punggung Ikki. Hasilnya, Ikki tidak akan dapat lari dari kekalahan.
“Aa, kalau itu Kurashiki-kun, aku tahu dia bakal ngelakuin hal itu.”
Namun disana hanya ada satu ruang.
“Ap—“
Ikki menyamping dengan gerakan minimal dan menghindari bilah yang mengejarnya.
Itu benar, Ikki tidak hanya bertarung secara defensif. Dia tidak senaif itu. Ada skema yang lebih rumit dalam pertarungan ini. Ketika dia menghindari serangan Kuraudo dengan celah sempit, dia sebenarnya menganalisis dan mengunci pergerakan Kuraudo, tindakan, dan pola kombinasi, semuanya selagi dia mendekati orang bernama Kurashiki Kuraudo.
Perfect Vision.
Kekuatan Worst One yang bahkan mengalahkan kekuatan Invisible Hunter. Kekuatan membaca tindakan seseorang dan dengan pengetahuan itu, melancarkan serangan balik akurat. Serangan balik yang dilepaskan setelah membaca serangan Kuraudo mungkin merupakan serangan tercepat yang bisa dilakukan sebuah pedang Jepang— sebuah tusukan.
Sebuah tusukan yang mengincar diantara kedua mata. Kuraudo sepenuhnya terbuka terhadap serangan kejutan itu. Tidak mungkin dia dapat memutar pedangnya atau mengindari serangan yang akan datang pada titik ini. Itu bukanlah hal yang dapat dilakukan seorang manusia.
Tepat sasaran. Serangan Ikki mendarat di dada Kuraudo.
Itulah yang seharusnya terjadi. Namun sebelum kena, sosok yang ada di hadapan Ikki tiba-tiba menghilang.
…Huh!?
Apa yang terjadi? Apa dia kehilangan targetnya? Dia tidak mengerti. Apakah dia baru saja kehilangan Kuraudo bagaikan kabut?
Tidak, bukan seperti itu. Indra-indra Ikki segera membunyikan alarm bahaya. Bunyinya sangat menyakitkan.
Bahaya, Bahaya, BAHAYA, BAHAYA—!
…Dia menunduk.
Tepat sebelum serangan itu mengenainya, Kuraudo merendahkan tubuh bagian atasnya ke belakang sampai hampir menyentuh lantai. Seolah dia sedang mengejek Intetsu tepat di atasnya, dia mendongak dan…
“HA—HA!”
Dia menyerang Ikki dengan Orochimaru.
“Ugh—!”
Ikki menangkis serangan itu dengan Intetsu tepat sebelum mengenai lehernya. Karena serangan itu terlalu berat, bahunya terdislokasi, tetapi dia tidak membiarkan serangan itu lepas. Ekspresinya menjadi suram. Alasannya karena dia dalam posisi yang merugikan.
Sesuai perkiraanku… orang ini…!
Kuraudo berdiri terhadap momentum serangan itu, dan sekali lagi memulai serangan bertubi-tubinya.
Pernapasan Ikki sangatlah kacau dibandingkan ketika dia menghindar beberapa saat yang lalu. Dia tidak mampu bergerak lebih jauh lagi dari sini. Dia menaikkan Intetsu dalam rangka untuk menangkis serangan yang datang dari nodachi.
Namun momen ketika pedang mereka seharusnya bersilangan— dengan satu kedipan, nodachi Kuraudo menghilang.
Ini—
—Ini buruk!
Ikki, meskipun dengan bersusah payah, melemparkan tubuhnya ke belakang dengan segenap kekuatannya. Tepat pada saat itu, sebuah kilat muncul di ruang yang baru dia masuki. Udara juga tercabik-cabik.
“!”
Karena dia tiba-tiba melompat ke belakang, kuda-kudanya sepenuhnya menjadi hancur tetapi dia dapat menanganinya dengan memijakkan kakinya dan memulihkan keseimbangannya. Ayase dan Stella yang mengamati perubahan tersebut baru saja menahan nafas mereka.
Seragam Ikki— di area abdomen, terdapat robekan besar. Itu berarti kalau Ikki tidak melompat mundur tadi, mereka akan melihat isi perutnya berceceran.
“Haha! Bagus sekali bisa kamu hindarin.”
“…Ap-Apa itu… barusan…!?”
“Kurogane-kun!”
“Yeaaaaaaaah!”
“Dia seharusnya terbelah dua ‘kan?”
 “Yeah, seperti perkiraanku dari Kuraudo! Orang ini jago juga!”
“Habisi dia!”
Terheran dan bingung. berharap dan berdoa. Ada energi yang bertentangan dari kelompok yang bersorak di dua belah pihak. Namun Ikki tidak memiliki waktu untuk meladeni semua itu.
“…Begitu, jadi ini.”
Apa yang dialaminya membuatnya mengerti. Sebuah kemungkinan tak terpikirkan sejak Kuraudo menghindari serangan balik sempurna pertama Ikki. Namun kemungkinan terburuk itu sebenarnya, adalah kenyataan.
“Jadi ini kekuatanmu yang ngalahin sang Samurai Terakhir.”

Bagian 5   
“Ada satu hal yang kukhawatirin sejak aku tahu gimana Kaito-san dikalahin sama Kurashki-kun dua tahun lalu dari Ayatsuji-san. Kenapa Kaito bisa sampai kalah telak? Bahkan meski dia lagi sakit, dia itu seseorang yang hebat di dunia perpedangan, sang Samurai Terakhir. Pertandingannya harusnya gak bakal berat sebelah. Harusnya ada alasan yang masuk akal.”
Dan itu adalah faktor yang Ikki sadari terhadap kekuatan Kuraudo.
 “Dan sekarang itu sudah kukonfirmasi.”
Menghindar dan bertahan menghadapi serangan-serangan yang dilesakkan di waktu sempurna. Menghilang bagaikan kabut dan menyerang dari hampir semua sudut. Semua hal ini dikarenakan oleh sebuah kemampuan tertentu.
“Kamu ini ngomong apa sih? Memangnya ada triknya!?”
Ayase segera menanyakan maksudnya. Baginya, ini mungkin jawaban kenapa ayahnya dikalahkan secara telak dua tahun lalu.
Apakah Kuraudo melakukan semacam trik? Namun Ikki menyangganya.
“Enggak, gak ada trik apa-apa.”
“Haha, kelihatannya kamu sudah nyadar… Ayo bilang, biar kudengar jawabanmu.”
Kuraudo, yang memasang senyum lebar, meminta Ikki mengungkapkan identitas sejati kekuatannya.
“Itu sesuatu yang Kurashiki-kun dapat dari awalnya: sensitivitas refleksif.”
“Sensitif… refleksif.”
“Ikki,itu… bukannya sama aja kayak refleks yang semua manusia punya?”
“Itu setengah benar, setengah salah. Kalau dijelasin pakai kata-kata memang benar gitu, tapi efisiensi, dan kecepatannya terlalu bagus. Aku ngomongin soal waktu yang diperlukan manusia buat nyelesaiin proses sensorik, kayak ‘ merasakan’, ‘memahami’, dan ‘merespon’. Buat orang-orang kayak kita, ketiganya makan waktu sekitar nol koma tiga belas detik. Mereka bilang atlet lari punya waktu nol koma lima belas detik. Dan gak peduli seberapa banyak kamu berlatih, ini batasan yang gak bisa dilewati bahkan koma sedetik doang. Itu hal yang umum. Tapi… Kurashiki-san yang baru aja ngindar dari serangan balikku, kelhatannya dia ngelakuin hal yang kubilang itu dalam waktu sekitar nol sampai lima detik atau lebih rendah.”
“”—!?””
Stella dan Ayase menjadi terdiam terhadap fakta itu. Yah, jelas saja dia terkejut. Waktu reaksi bagi Ikki dan Stella sekitar 0.13 detik. Panca indra Kuraudo sangat melampaui batasan manusia. Dengan kata lain, waktu yang dibutuhkan bagi dan Stella untuk menampilkan suatu tindakan, Kuraudo dapat melakukan sekitar dua atau tiga tindakan dalam jangka waktu yang sama.
“Dan dengan kecepatan reaksi yang gak masuk akal itu, dia bisa ngindain serangan-serangan kita yang mungkin kelihatannya mustahil dihindarin tepat waktu, atau dia bisa ngubah arah serangannya tepat sebelum beradu dengan serangan kita dari sudut yang sepenuhnya berbeda. Alasan kenapa pedangnya kelihatan kayak tiba-tiba ngilang sebenarnya karena hal itu.”
“Haha… hahaha… HAHAHA! BINGO!”
Kuraudo membuka matanya lebar-lebar selagi tertawa tergila-gila.
Ya, gaya berpedangnya bukanlah seni. Itu kebrutalan murni. Dan dengan kebrutalan itu, sang Sword Eater menginjak-injak semuanya.
Karena kecepatan reaksinya berdasarkan pada seluruh olahraga dan tindakan. Tidak peduli seberapa banyak seseorang berlatih, atau seberapa banyak membenahi kuda-kudanya, itu tidak penting seberapa banyak pengalaman seseorang, semuanya menjadi tidak berdaya di hadapannya. Tidak peduli seberapa banyak serangan kejutan absurd yang diarahkan padanya, dia dapat menanganinya setelah melihatnya. Tidak peduli bagaimana seseorang menyerangnya secara ceroboh, dia dapat secara instan mengubah pertahanannya. Hal itu memungkinkannya melihat tindakan irasional lawannya seperti pilihan antara batu, kertas, guntiing, sebelum dia memutuskan akan mengeluarkan apa; itulah keistimewaan sebenarnya dari Sword Eater.
Teknik dan pengalaman, skema dan taktik, suatu mimpi buruk yang menjadikan semua ini tidak berguna. Refleks manusia super, dan kemampuan reaksi yang terlahir dari hal itu, mengombinasikan keduanya sehingga menciptakan perhitungan marginal.
“Kamu yang pertama nyadar Marginal Counter dalam pertemuan pertama! Kupuji kamu, Worst One! Sesuai dugaanku, kamu yang terbaik. Terus kenapa? Bahkan kalau kamu tahu cara kerjanya, apa kamu bisa ngelakuin sesuatu terhadapnya?”
“….”
Mendengar itu, ekspresi Ikki mengerut. 
Ya. Perfect Vision-nya menjadi tidak ada artinya dihadapan permainan batu, kertas, gunting dimana lawannya dapat melihat gerakannya berikutnya. Dan Ittou Shura hanya memperkuat kemampuan fisiknya dan bukan kecepatan transmisi otaknya. Dengan kata lain, itu seperti yang Kuraudo katakan. Ikki tidak memiliki rencana mengatasi Marginal Counter itu.
“Haha. Kamu gak bisa, iya ‘kan. Marginal Counter-ku bukan seni. Itu spesialisasiku. Aku gak main curang atau semacamnya… Dan bukan cuman itu kelebihan Marginal Counter-ku.”
Mengatakan itu seperti melolong, dia menyerang. Dan apa yang Ikki temukan sebuah serangan yang seolah membidik dua area dalam waktu bersamaan.
“Hebigami[2]!”
Seolah menggigitnya, ayunan di tangan kanannya menyerang sisi kanan dan kiri selagi menghampirinya. Sebuah serangan ilusi, tidak masuk akal yang datang dengan tangkas dan kecepatan yang mungkin mustahil untuk dihindari, menyerang dua sisi di waktu bersamaan.
Bahkan kalau dia dapat bertahan terhadap salah satu serangan, serangan yang lainnya akan mengenainya. Maka dia hanya memiliki satu hal untuk dilakukan. Ikki menggunakan semua kekuatannya untuk melompat ke belakang dan mencoba menghindarinya. Diserang dari dua sisi bukanlah masalah kalau dia dapat menjauh dari jangkauannya.
“Gak mungkin kamu bisa ngelakuin hal yang sama kedua kalinya ‘kannnnnn!?”
Bilah Orochimaru memanjang dan segera mengejar Ikki. Tidak ada artinya lagi perbedaan jarak. Bilah gergaji datang baik dari kanan dan kiri dan bersilangan di tubuh Ikki.
—Namun tepat pada saat itu, Ikki mengambil tindakan. Dengan suara berdesing, suara kedua pedang beradu bergema dan percikan yang mengandung mana berterbangan. Dengan Intetsu yang Ikki miliki di tangan kanannya, dia mementahkan Orochimaru yang datang dari kanan. Namun itu… sebuah kesalahan! Refleks Ikki tidak cukup cepat untuk dapat menangkis serangan kedua yang datang dari kiri! Bilah gergaji datang dari kiri menghantam tubuhnya.
Bilah gergaji itu mencabik daging dari tubuhnya yang melayang di udara, dan lantai menjadi bersimbah darah… itulah yang seharusnya terjadi.
“Apa?”
Namun itu tidak terjadi. Yang keluar bukanlah darah melainkan percikan. Kenapa? Jawabannya karena tangan Ikki yang berhasil menahan Hebigami.
“Kamu—!”
Setelah menyadarinya, Kuraudo memekik. Ikki tidak menggenggam gagang , melainkan pangkal bilahnya dan dengan demikian mengurangi jangkauannya.
“Itu benar, kodachi[3] teknik…! Seperti yang kuharapkan dari Ikki!”
“Kurogane-kun bisa makai Kodachi?”
“Dia bisa ngajarin Shizuku yang makai device berbentuk Kodachi, jadi jelas dia bisa!”
Ikki suka membagikan pengetahuannya, mengetahui sifatnya, Stella yakin. Dan tebakannya tepat. Ikki tidak hanya mahir dalam ilmu pedang, dia juga menguasai panahan, pergulatan, tangan kosong, dan masih banyak lagi. Dia bahkan dapat meningkatkan kekuatannya meskipun hanya sebentar. Dia berlatih mati-matian dan menggunakan semua waktunya sehingga tubuhnya dapat beradaptasi terhadap semua gaya tersebut. Karena dia sangat menyadari fakta kalau dia lebih lemah dari siapapun. Dan dia saat ini mengeluarkan semua yang telah dia pelajari.
Fakta kalau dia dapat melihat posisi sang Hunter setelah dihujani oleh anak-anak panahnya adalah buktinya. Itu adalah gambaran terhadap pertahanan dan penyerangannya yang berlaku juga dalam pertandingan kali ini.Karena jangkauannya lebih pendek, teknik kodachi memiliki lebih sedikit pola serangan, tetapi karena teknik itu dapat membuatnya memutar pedangnya lebih cepat, dia berhasil menangkis serangan untuknya. Ikki, memanfaatkan pertahanannya, membelokkan serangan berkecepatan tinggi Kuraudo.
“Artinya bukan cuman kamu yang bisa ngubah jangkauanmu.”
Ikki, setelah bertahan melawan Hibegami dengan Intetsu segera melangkah masuk dan mulai menyerang balik.
“Haha.”
Kuraudo tertawa setelah melihat Ikki menantangnya, terlepas dari fakta kalau Ikki telah menyaksikan kecepatan serangan yang mengagumkan. Meskipun ini hanya satu perubahan kecil, bagi seorang kesatria sihir yang sangat mengandalkan mana, ini adalah kesempatan sekali seumur hidup. Kuraudo memuji Ikki untuk itu. Namun—
Itu karena kecapakannya dia dapat mengubah gaya berpedangnya menjadi teknik Kodachi. Namun pada akhirnya, jangkauannya tetaplah pendek. 
“HAHHAAA—!“
“Ap-!”
Untuk sesaat, Ikki termasuk salah satu yang menonton, Stella dan Ayase kehilangan kata-kata.  Serangan seperti ular yang ditujukan kepada Ikki setelah dia melancarkan serangan baliknya—memiliki empat kepala! Mustahil menghindari empat serangan sekaligus.
Dia masih dapat lebih cepat—
Sebuah serangan kejutan penuh. Namun Ikki tidak kehilangan ketenangannya dan mencoba menangkis semua serangan itu, yang datang untuk memenggal kepalanya dan mengincar rusuk kirinya, dengan teknik Kodachi.
Namun itu masih belum cukup. Kuraudo melancarkan serangan beruntun kepada Ikki. Ikki hanya dapat menangkis dua. Dua sisanya menebas Ikki di dadanya berbentuk salib.
“Arghhhhh!”
“Ikki!”
“Kurogane-kun!”
“…A-Aku gak pa-pa, aku masih bisa bertarung.”
Darah bersimbah di lantai. Lukanya mungkin mencapai tulang dada. Namun Ikki menempatkan kekuatannya di lututnya dan menolak untuk menyerah. Dia melanjutkan menatap lawannya di hadapannya.
“Oh! Kamu ngindarin luka fatal dengan makai momentum serangan pertama dan kedua yang kena untuk bergerak mundur. Nekat juga, ya…? Tapi semuanya selesai disini!”
Kuraudo memanjangkan Orochimaru, yang sekarang berlumuran darah, bagaikan cambuk.
“Bisa apa kamu di jarak itu? Kujadiin kamu daging dincang!”
Dia menyerang dari jarak dimana dia dapat menyerang, dan menebas luka Ikki.

Bagian 6
Awalnya ketika Ikki menangkis Orochimaru, Ayase mengira dia dapat memenangkan ini. Ketika dia mementahkan Hebigami dengan teknik Kodachi, dia mengira ‘dia bisa melakukan ini!’ Namun setiap kali Sword Eater meningkatkan itensitas serangannya, ekspetasinya dan hipotesanya semakin menurun. Bagaikan sebuah mimpi buruk.
Ikki yang sekarang dapat berhadapan dan melawan setiap kandidat festival di Hagun. Dia adalah  Crownless King yang bahkan dapat mengalahkan Crimson Princess tanpa mendapat luka satu pun. Meskipun begitu Ikki—
Dia tidak dapat melakukan apa-apa… bahkan di jarak dekat.
Perfect Vision kalah melawan Marginal Counter. Dengan Ittou Shura, Marginal Counter menjadikan semua pergerakan terbaca, jadi tidak ada gunanya menggunakannya. Sebaliknya, justru akan menjadi hal yang fatal kalau dia melakukan hal tersebut.
Ittou Shura adalah sesuatu yang Ikki gunakan dengan memanfaatkan semua resolusi dan determinasinya. Kalau dia mencobanya pada akhir usahanya, dia akan kehilangan seluruh kekuatannya. Dia tidak dapat menghentikannya secara setengah-setengah, atau juga melakukan semacam koordinasi seperti menahan diri dan memanjangkan waktu penggunannya sedikit. Dan kalau lawannya dapat membuat dua sampai tiga tindakan mengubah gaya bertarungnya menjadi defensif, mengalahkan lawannya dalam waktu satu menit akan sangat mustahil.
Dia sepenuhnya… kehabisan pilihan…
Yang dapat dilakukannya hanyalah terus bertahan melawan Orochimaru dan Hebigam selagi berdiri di atas genangan darah dengan nafas tersengal-sengal. Sebuah pertarungan yang benar-benar berat sebelah.
Ayase menelan ludah seraya menggigit bibir bawahnya dan melihat sosok Kuraudo terus menyerang Ikki bertubi-tubi. 
…Kuat! Pria ini, dia tidak dapat dikalahkan.
Jadi ini tingkat nasional! Dalam delapan besar festival terakhir, ini adalah kekuatan sesungguhnya dari Sword Eater.
Apakah ada monster sepertinya yang mendaftar di Seven Stars…!?
Ikki tidak dapat melihat kemenangan. Tidak ada jalan keluar terlihat. Dia mengubur semua taktik dan teknik yang ditujukan kearahnya selagi mencela.
Sebelum itu, Ikki terus terluka selama waktu berjalan. Dia terus bertahan melawan Orochimaru dan Hebigami dari waktu ke waktu dengan observesi akutnya dan teknik Kodachi yang melemah seiring waktu, dan jumlah serangan yang tidak dapat dihindari atau ditangkis meningkat. Dan setiap kali itu terjadi, pedang gergaji mencabik lengan dan pahanya. 
 Kalau seperti ini—
Ayase tidak mampu lagi menanggungnya. 
“Vermillion-san! Tolong hentiin pertandingannya! Kalau kayak gini, Kurogane-kun bakalan hancur!”
“Kalau kuhentiin sekarang kamu gak bakal dapat dojo ini lagi.”
“Aku gak peduli! Kurogane-kun lebih penting!”
“Itu benar sih… Tapi tetap, enggak.”
Ayase terkesiap terhadap perkataan Stella, yang sedang menyaksikan kekasihnya dibantai sedikit demi sedikit seraya menyilangkan lengannya seolah itu bukan apa-apa.
“Kenapa!? Kamu pacarnya ‘kan? Terus kok bisa-bisanya kamu ngomong kayak gitu!? Atau ada suatu cara buat mutarbalik situasi ini?”
“—Enggak mungkin. Kalau itu aku dia bisa kujauhin dengan apiku, tapi Ikki gak punya pilihan itu. Dia gak punya metode buat nyerang dari jarak jauh. Dan selain itu, satu-satunya metode serangannya, pertahanan dan serangannya Cuma bisa dari jarak dekat sebagai pendekar pedang, yang sayangnya dia juga gak bisa ngelakuin itu dari jaraknya itu… Situasinya kayaknya gak ada harapan. Jujur aja, aku gak ngira kalau cowok tengkorak itu ternyata kuat banget.”
Balasan yang Stella utarakan begitu tenang. Namun dilihat lekat-lekat, kuku jarinya menusuk kulit putihnya di tangannya yang menyilang. Sebuah tetesan darah menodai seragamnya. Dia menahan diri, hasrat untuk menyerbu saat ini juga.
“Predikat terbaik ke delapan negeri ini bukan candaan. Harus kuakui habis ngeliat ini. Cowok itu kuat. Kalau kayak gini Ikki bisa-bisa kalah.”
“Aku gak ngerti… padahal kamu ngerti hal itu kamu tetap gak mau ngentiin dia!?”
“Gak mungkin aku bisa ngelakuin itu.”
“Kenapa!?”
“Karena Ikki… kelihatannya dia lagi bersenang-senang.”
“Eh?”
Ayase memandang Ikki, setelah dipikir-pikir, apa yang sebeneranya Stella katakan? Dan dia pun terkejut.
Dia… menyengir?
Ikki memiliki senyum di wajahnya. Dan itu bukan senyumannya yang biasa dan polos. Melainkan binatang buas yang memamerkan taringnya.
“Kalo dipikir-pikir, dia tersenyum kayak gitu pas ngadapin Katharterio Salamandra-ku.”
“K-Kenapa? Meski dia mungkin bisa terbunuh? Darahnya banyak banget… kenapa?”
“Bukannya karena itu menyenangkan?”
Dia tidak mengerti. Dia belum mencapai tingkat itu. Namun, Stella mengerti. Dan mungkin, ayahnya juga.
“…Hey, kak. Setelah denger ceritamu, ada satu hal yang aku dan Ikki belum kita tahu. Kita masih belum puas.”
“Belum… puas?”
“Apa sang Samurai Terakhir benar-benar nyesal?”
“…H-Huh? Kamu ini ngomong apaan? Itu, bukannya sudah jelas!”
Ayase tiba-tiba menjadi bergairah terhadap perkataan Stella yang tidak terduga.
“Kalau saja, kalau saja cowok itu gak muncul, maka kita bakal terus hidup damai dan ayahku gak bakal jatuh koma! Dojo kita gak bakal dicuri! Murid-muridnya juga gak bakalan menderita juga! Cowok itu, dia ngancurin kehidupan damai kami! Itu, jelas ngebuat ayah nyesal.”
“Tapi itu menurut kakak doang ‘kan?”
“Ap—“
“Coba pikirin baik-baik. Seorang pria yang dulunya dipuja di dunia perpedangan, dia bahkan dipanggil sang Samurai Terakhir karena ambisi besarnya… orang kayak gitu, apa dia beneran bahagia sama kehidupan dimana dia gak bisa makai pedangnya, dan bakal menua sebagai guru? Apa itu benar-benar keseharian yang mau dia jalani selamanya? –kalau itu aku, aku pasti gak sanggup nahannya.”
“—!“
“Memang, pertarungannya gak seimbang. Dan cara yang cowok tengkorak itu ambil buat nantang ayahmu gak direkomendasikan sama sekali. Tapi, ada orang yang sampai sejauh itu cuman buat nantang ayahmu… Sebagai seorang pendekar pedang, bukannya itu sesuatu yang harusnya disyukuri?”
Tidak mungkin… Itu pasti tidak mungkin. Lagipula, ayahnya selalu tersenyum. Dia memiliki mata ramah, dan mewariskan ilmu pedangnya kepada generasi berikutnya—
[Ini pertarungan ayah! Jangan ikut campur!]
“—!!!“
Tepat pada saat itu, sesuatu di dalam diri Ayase, sesuatu yang menggantung selama waktu yang lama jatuh dengan bunyi click. Dan kemudian, dia akhirnya mengerti.
Menjelang pertarungan itu, alasan Kaito tampak menakutkan, dan kenapa dia terdengar seperti iblis yang bahkan Ayase tidak pernah lihat atau mendengarnya seperti itu, ketika Ayase mencoba menghentikan duel. Kenapa dia bersikeras melanjutkan duel dengan hasil akhir yang sangat jelas.
Dia tidak menyadarinya sampai sekarang, dia tidak menyadari perasaan sejati ayahnya.
Untuk waktu yang lama, dia mengira Kaito menerima duel yang tidak diinginkannya karena dia terpaksa, dan itu membuatnya menyesal karena dikalahkan.
Namun, itu salah! Benar-benar salah!
Memang, dia bermaksud bertarung untuk anak asuhnya yang terluka. Dia ingin bertarung untuk melindungi tempat tinggal putrinya.
Namun, itu belum semuanya!
Bahan bakar yang menjalankan Kaito kembali, itu adalah perasaan yang lebih sederhana daripada etika atau moralitas, itu merupakan sesuatu yang murni.
Dia ingin bertarung.
Dia ingin bertarung dengan lawan di hadapannya.
Dia ingin mengalahkan pria hebat di hadapannya.
Itu hal yang sesederhana insting hewan liar untuk bertarung. Karena dalam pertarungan itu, Kaito-san yang digerogoti penyakitnya, adalah momen yang sudah dinanti-nantikannya. Dia sangat menginginkannya meskipun jiwanya melayang, sebuah momen bergairah.
…Aaah… jadi begitu.
—Maaf.
Kata itu, itu bukan sesuatu yang dikatakan untuk kami.
Kalau dia yang sekarang, dia bisa mengerti. Kata-kata itu bukan diperuntukkan kepada Ayase atau anak-anak asuhanya, dia mengatakan hal itu kepada Kuraudo. Tidak peduli apa alasannya, ada seorang anak laki-laki yang ingin menantang fosil hidup berpenyakitan sepertinya. Namun dia gagal menunjukan kepadanya semua aliran pedang-tunggal Ayatsuji. Jadi dia meminta Kuraudo memaafkan kelemahan dirinya.
…Benar-benar, pak tua bodoh itu.
Untuk mengatakan kata-kata yang mungkin menjadi kata-kata terakhirnya kepada lawannya. Dia selalu mengira dia orang yang lebih pintar. Namun apa? Dia berubah menjadi seorang egois idaman! Hampir seperti anak laki-laki yang benci kekalahan.
Namun… tetap saja.
…Kalau begitu ayahku… pada akhirnya bahagia?
Pada saat itu, sebuah suara keras dan berdentang berbunyi sepanjang aula.

Bagian 7
Suara dentuman yang teramat nyaring tiba-tiba terdengar, dan aula mendadak sunyi.
“Haa, haa! Haa!”
Dalam kesunyian itu, Ikki terengah-engah. Darah mengucur dari banyaknya luka yang didapatkannya sehingga dia terus-terusan kehilangan energinya. Namun— Ikki bukan satu-satunya yang terengah-engah. 
“Ugh! Haa, haa, haa.”
Meskipun Kuraudo masih belum mendapatkan luka satupun, dia juga terengah-engah. Pertandingannya tampak berat sebelah, tetapi kenapa dia selelah Ikki?
Jawabannya, Stella segera mengetahuinya.
“Itu dia! Jadi itu kelemahan Marginal Counter…!”
“Eh? Kamu ini ngomong apa Vermillion-san?”
“Coba lihat baik-baik muka cowok tengkorak itu, kamu bakal ngerti.”
Diberitahukan seperti itu, Ayase menatap wajah Ikki. Dia berkeringat banyak, dan dari dagunya, tetesan keringat jatuh.
“…Aku ngerti. Staminanya!”
“Ya. Itu sederhana banget setelah kupikir-pikir. Marginal Counter ngebuat dia bisa ningkatin kecepatan tindakannya, tetapi sebagai gantinya konsumsi staminanya gak main-main. Ikki ternyata sudah nyadarin hal itu dan ngulur waktu selagi berjaga-jaga supaya gak terluka lebih banyak, dalam rangka nguras habis staminanya.”
Sebagai konfirmasi terhadap hal itu, Kuraudo tiba-tiba mengernyit.
Raut itu…! Ini seharusnya kesempatanku, sebelum bajingan itu menyadari kondisi daya tahan tubuhnya.
Meskipun dia sudah setengah terbunuh dan hampir kesulitan menggenggam pedangnya, dia segera menemukan kelemahan Marginal Counter milik Kuraudo. Sebagai hasilnya, energi Kuraudo hampir sepenuhnya habis.
Ya, tepat yang seperti Stella katakan. Ikki bukanlah orang yang hanya duduk manis selagi diserang. Di dalam pikirannya, ada banyak sekali metode yang dapat diterapkan kepada lawan-lawannya.
Kuraudo mendapatkan ketenangannya ketika dia mencoba memikirkan berapa banyak perencanaan penyerangan dan pertahanan yang dia miliki.
Di sisi lain, Ayase merasa takjub terhadap Ikki.
“Seperti yang diharapkan dari Kurogane-kun! Dia bahkan bisa ngelakuin itu di tempat pedangnya gak sampai ke lawannya! Kalau kayak gini, dia mungkin bisa menang…!”
Namun ketika Ayase mengayungkan tinjunya dengan kemungkinan yang berbalik, Stella menunjukkan ekspresi rumit.
“…Mungkin, mungkin enggak.”
“Eh? Maksudmu gimana?”
“Taktik daya tahan tubuh ini rencana terakhirnya.  Dia gak punya pilihan lain yang memungkinkannya ngubah jarak. Itu saja. Dan Ikki juga mulai kehabisan stamina. Dia hampir mencapai batasnya. Dalam pertarungan ini, kemungkinannya kalah jauh lebih besar.”
Itu hanyalah hal terakhir yang dilakukannya dalam situasi tanpa harapan itu. Jadi itu bukanlah sesuatu yang memiliki banyak peluang baginya. Satu-satunya hal yang dapat dikatakan adalah—
“Yah, gak peduli menang atau kalah… serangan selanjutnya mungkin bakal jadi yang terakhir.”
Begitulah kebenarannya.
“…Bajingan ini… kepala batu pasti ada batasnya…”
“Haa, haa… sayangnya, aku benci banget kalah… Dan… sudah lama sejak aku mati-matian kayak gini… Ini menyenangkan… bakal rugi kalau segera berakhir.”
“Haa… haa… haa… menyenangkan, ya? Hahahaha! Kamu juga ya, kepalamu segila ini juga, ya!”
“…Itu, aku bisa ngomong yang sama ke kamu.”
“…Yeah, tapi ini waktunya untuk ngakhiriinnya.”
Kuraudo memperbaiki pernapasannya, dan meluruskan punggungnya. Dan dia menaikkan Orochimaru.
“Yang selanjutnya bakal ngabisin kamu.”
Dia mendeklarasikan itu kepada prajurit yang berlumuran darah, yang berdiri di hadapannya. Dengan serangan berikutnya— dia mungkin membunuh.
Dan menerima tantangan maut itu, Ikki menaikkan bibirnya.
“—Yeah, benar tuh. Aku juga mikir gitu.”
Dia membidik pedang hitam di depan matanya, mengarahkan ujungnya tepat ke dada Kuraudo. Kedua kesatria bertukar janji menggenggam nyawa satu sama lain, dan kemudian—
“Terakhir, boleh aku nanya sesuati?”
“Apa?”
Sebelum pertandingan berakhir, Ikki menanyakan sesuatu yang harus ditanyakannya kepada Kuraudo tidak peduli apapun yang terjadi.
“Master pedang yang kita kagumi… apa dia tersenyum sama kayak kita sekarang?”
Terhadap pertanyaan itu, mata Kuraudo melebar.
“…Haha, jangan nanyain sesuatu yang udah jelas.”
Dia membalas secara blak-blakan.
“Gak mungkin seseorang yang dipanggil sang Samurai Terakhir gak nikmatin pertandigan kematian yang seru kayak gini.”
 “…Apa itu benar.”
Dia ingin mengetahui hal itu. Dan dia juga ingin mendengar jawabannya. Ikki mengatakannya.
“Makasih.”
Dia melesat selagi memamerkan taringnya.

Bagian 8
Seraya darah berjatuhan dari luka-luka di sekujur tubuhnya, Ikki melompat dengan postur pendek.
Tubuhnya yang bersimbah darah dalam keadaan setengah mati, setengah hidup. Namun kecepatannya  melesatnya saat ini adalah yang tertinggi semenjak pertandingan dimulai, hampir secepat angin.
Kuraudo tidak menyesal telah memuji Ikki. Kemudian, dia juga harus melepaskan semuanya tanpa keraguan. Dia memutuskan untuk mencurahkan seluruh jiwanya dalam serangan selanjutnya, dan mengecilkan Orochimaru menjadi seukuran pedang satu tangan.
Mengecilkan jangkauannya, tetapi memprioritaskan kecepatan. Sebuah serangan cepat penuh terkandung dalam hal ini. Memanfaatkan Marginal Counter, sebuah teknik pamungkas yang hanya dapat digunakan oleh Sword Eater dilancarkan.
“Yamata no Orochi[4]—!”
Sebuah serangan cepat penuh. Dan di waktu yang sama ketika dia mengayunkan pedangnya, delapan kepala muncul sebagai serangan! Cahaya redup berwarna putih tulang, kedelapan kepala ular itu menuju ke kesatria berambut gelap selagi memamerkan taringnya.
Namun, meskipun itu adalah kenyataan. Tetap saja.
Worst One tidak berhenti. Tanpa secuil pun keraguan, dia melesat mendatangi delapan kepala ular yang datang. Dengan posisi pedang sejajar dengan bidang pandangnya, dan dengan ujungnya mengarah tepat ke dada Kuraudo, dia menerjang tanpa ada sedikitpun niat bertahan.
Apa itu serangan bunuh diri? Apa itu serangan penghabisan?
Salah!
…Tidak! Ini adalah—
Dari posisi pedangnya yang sejajar dengan bidang pandangnya. Dan dari matanya yang memancarkan cahaya menyilaukan. Kuraudo merasakan tubuhnya menggigil.
Dia mengetahui hal ini. Di masa lalu, ada waktu sesaat dimana dia merasakan sensasi sama. Itu adalah, menjelang pertandingannya dengan Ayatsuji Kaito. Menjelang detik-detik terakhir. Pada waktu itu, Kaito yang hampir mati mencoba melakukan sesuatu. Sama seperti Ikki saat ini, dia juga memiliki posisi pedang seperti itu, dan dia menerjang meninggalkan seluruh pertahanannya.
Kuraudo selalu merenungkan hal itu sampai hari ini. Perasaan itu. Namun dia jelas merasakan tepat pada saaat itu, sensasi itu.
Bahaya.
Dari pria yang setengah mati, seorang pria yang dapat pingsan kapanpun, dia merasakan rasa takut dari dalam dirinya. Dan saat ini, ini adalah perasaan yang sama—ada karena hal itulah ini!
Menarik!!!
Kuraudo tidak menghentikan pedangnya. Bahkan pada saat ini, dia dapat menghindarinya dengan Marginal Counter-nya. Namun, dia tidak melakukannya. Dia menghadapinya secara terang-terangan.
Tentu akan kulakukan…!!!
Kuraudo selalu menantikan ini. Dia ingin melihat kelanjutan duel itu, meskipun itu sudah tidak mungkin lagi. Mungkin, kalau mungkin Kaito sembuh. Mungkin Ayase juga akan menguasai ilmu pedangnya sepenuhnya dan datang menantangnya. 
Dengan harapan itu di pikirannya, dia selalu menunggu di tempat ini. Itulah kenapa dia tidak akan berhenti. Tidak ada alasan baginya untuk berhenti.
“Ini sebanding dengan penantianku! Dua tahun ini—!!!“
Segera setelahnya, kedua sosok itu menerobos, dan darah segar melayang di udara.

Bagian 9
Cipratan darah melambung tinggi sampai mencapai plafon— adalah darah Kuraudo. Terdapat sebuah guratan miring besar di dadanya, dimulai dari bahu kanan sampai ujung kiri area abdominal. 
Dan bagi Ikki, dia tidak menerima luka.
Kenapa? Yamata no Orochi bukanlah sesuatu yang memungkinkannya bertahan atau menyerang. Kenyataannya, Ikki menerima kedelapan taring ular di tubuhnya. Namun kenapa dia tidak terluka?
Alasannya, Ayase segera menyadarinya.
…T-Tak perlu diragukan lagi… itu…
Di masa lalu, Ayase telah sekali menyaksikan teknik itu. Ketika Ayase memutuskan untuk memasuki Akademi Hagun, itu adalah teknik rahasia pedang tunggal Ayatsuji yang ayahnya tunjukkan padanya.
Pada saat itu, ketika Ayase menyerang ayahnya dengan Hizume, dia memang mengenai tubuhnya. Namun, dia tidak sanggup melukainya. Balasannya, itu adalah seperti ketika dia memotong kelopak sakura yang menari di udara. Ayahnya mengatakan ini—
—Sebuah serangan balik akan datang terlambat kalau penggunanya menggunakan pedang untuk menahan serangan balik tersebut untuk melancarkan intersep.
Karena setiap kali bergeser demi menghindari serangan lawan, pemegang pedangnya juga akan bergeser dari posisinya dalam jarak serangan proporsional. Kemudian apa yang seharusnya dilakukan dalam rangka melancarkan serangan balik sempurna?
Kaito memberikan jawaban terhadap pertanyaan itu. Yang harus dilakukan adalah dengan menerima serangan lawannya dengan tubuh dan menangkisnya tanpa menggeser pedang lawannya bersamaan area yang ingin diserang.
Kuda-kuda yang berfungsi untuk menghindari serangan lawannya dengan menerima kemungkinan pergerakan paling minimum, mengabaikan segalanya seraya merasakan semua kehadiran di sekitarnya.
“Teknik rahasia akhir aliran pedang tunggal Ayatsuji, Ten’I Muhou[5]!”
Namun kenapa Kurogane dapat menggunakannya? Bahkan Kaito saja hanya menggunakan teknik super rahasia ini di depannya sekali, jadi kenapa—
“—Ah”
Kemudia dia mengingat apa yang Ikki katakan di restoran.
“Itu semua karena kerja kerasnya Ayatsuji-san. Meski sendiri, kurasa kamu gak akan nyadarinnya, kamu bakal nguasain teknik itu ketika waktunya tepat.”
 Ikki tidak pernah mengatakan yang tidak diyakininya. Ayase yang telah mendapat pelatihan darinya sangat memahami ketulusannya. 
“Enggak mungkin, dia sudah tahu dari dulu sekalinya…!”
Blade Steal.”
“Eh?”
“Gaya berpedangnya Ikki. Dia bisa nyuri rahasia terdalam suatu aliran pedang setelah ngamatinnya. Ini juga terjadi padaku.”
Ya, pada saat itu, Ikki telah lebih dulu menyaksikan aliran Ayatsuji. Tujuan yang dicapai Ayase dengan ceroboh, sebuah ilmu pedang yang dilatihnya secara putus asa untuk mengejar ayahnya, tidak tercapai.
Mengonfirmasikan itu, Stella menunjukkan pandangan senang. Karena dia mengetahui kalau ini adalah senjata rahasia Ikki. Dia tidak akan puas, meskipun telah memiliki begitu banyak kekuatan. Menumpuk kekuatan dan teknik meskipun itu hanya akan sedikit membantunya, dan menggunaknnya, dalam rangka mencapai tahap baru. Ambisi tak terhentikan adalah yang membuat Worst One menjadi sang Crownless Sword King. Itu adalah esensi sejati Kurogane Ikki, kekasih sang Crimson Princess.
“…Astaga, orang itu pantas, beneran.”
Stella menggumamkan itu dalam nada sangat rendah. Namun pada saat itu,
“—AAAAAH!”
Sesuatu yang orang-orang disana tidak percayai terjadi. Kuraudo, selagi menanggung luka fatal itu melolong seperti mahkluk buas gila dan memperbaiki kuda-kudanya, menolak membiarkan tubuhnya jatuh. Banyaknya darah dari lukanya mengenang di kakinya dan membentuk kolam. Namun meskipun demikian, Kuraudo tidak membiarkan lutunya membengkok, dan dia tidak menerima kekalahannya.
Dia masih berdiri.
Terhadap hal ini, bahkan Ikki menyembunyian kekagetannya. Namun—
“…Aku paham. Jadi ini yang guru tua itu mau pakai.”
Tidak ada semangat bertarung membara di mata Kuraudo.
“Haha… Mantap…”
Melepaskan kerinduan bertarung yang ditahannya sejak dua tahun lalu, dia tertawa ceria. Dan kemudian, dia sekali lagi mengarahkan perhatiannya kepada Ikki setelah mengangkat tubuhnya yang bersimbah darah.
Worst One—namamu?”
“Kurogane Ikki.”
“Kurogane… Kita lanjutin ini di Seven Stars Sword-Art Festival.”
Mengatakan itu, dia berjalan menuju pintu keluar dojo. Kelihatannya dia tidak berniat bertarung lagi. Karena itu, Ikki bertanya.
“Kurashiki-kun, dojo ini—“
“Serah mau kamu apain. —Soalnya gak ada alasan aku nunggu lagi.”
Begitulah jawabannya.
“T-Tunggu Kuraudo!”
“Hey kalian! Kita balik!”
“Y-Yeah.”
Antek-anteknya mengikuti Kuraudo dan satu-persatu meninggalkan dojo. Dan saat mereka semua telah sepenuhnya pergi.
“Whoa! Pegangan, Kuraudo!”
“Seseorang cepat panggil ambulan!”
“Tunggu bentar! Bakal kuantar kita ke Sekolah.”
“Kuraudo! Pegangan—!“
Ikki melenyapkan Intetsu dengan sebuah helaan.
“Gak ngebiarin lawannya ngeliat kelemahannya… Dia lumayan kepala batu juga.”
“Sama kayak kamu ‘kan?”
“Uwaah!”
Karena tiba-tiba didorong, dia terjungkang ke belakang.
“K-Kamu ngapain, Stella!”
“Jangan sok keren gitu padahal kamu saja hampir gak bisa berdiri.”
“Uuu.”
Memang, Ikki yang sekarang hampir tidak bisa berdiri sendiri, maupun berjalan. Karena keadaannya disadari, dia memalingkan wajahnya.
“Kamu nyadar, ya…”
“Jelaslah! Astaga, dihajar habis-habisan kayak gini setiap hari! Kalau kamu punya teknik luar biasa itu terus kenapa gak kamu pakai lebih cepat!”
“Jangan nanya hal yang mustahil. Itu serangan rahasia sang hebat Samurai Terakhir. Enggak mungkin aku bisa pakai seenaknya tanpa ada persiapan. Kalau aku gak mancing Kuraudo buat nguras staminanya, bisa-bisa aku jadi daging cincang.”
“Kalau gitu setidaknya usahain biar gak terluka separah ini!”
Mengela nafas, Stella melemparkan tasnya kepada Ayase.
“Kak, aku ngebawain peralatan P3K buat jaga-jaga, bisa gak kamu hentiin pendarahannya ? Cewek dari dojo kayak kamu harusnya bisa ngelakuinnya ‘kan? Sementara itu aku bakal manggil seorang guru buat ketemuan, kita gak bisa naik kereta dengan keadaan penuh darah kayak gini ‘kan?” 
“Y-Ya, aku tahu.”
Menjawab, Ayase mengambil tas itu. Di dalamnya,  terdapat peralatan pertolongan pertama seperti perban, cairan disinfektan, dan sebagainya. Sebelumnya Stella selesai memanggil sekolah untuk mencapatkan mobil, dia seharusnya bisa menyelesaikan sedikit perawatan. Ayase perlahan memulai perawatannya, dan selagi melakukannya…
“Kurogane-kun… Makasih.”
Dia menggenggam erat tangan Ikki dan mengucapkan rasa terima kasihnya sepenuh hati.
“Karena kamu, aku akhirrnya ngerti yang ayahku rasakan… Aku kira aku yang paling ngerti dia, tapi kelihatannya aku sama sekali gak tahu apa-apa soal dia.”
“Itu gak benar.”
“Eh?” 
“Alasan aku bisa menang hari ini itu berkat Ayatsuji-san bisa ngingat secara sempurna ajaran Kaito-san. Kupikir, selain Ayatsuji-san, orang lain gak bisa ngelakuin itu. Kamu yang paling ngerti dia. Soalnya kamu penerusnya sang Samurai Terakhir.”
“…”
Apakah benar seperti itu? Ayase tidak mengetahuinya secara pasti. Namun, dia, berdoa semoga itu terjadi.
“Kalau gitu aku harus jadi lebih kuat. Cukup kuat sampai aku bisa dengan bangga nyebut diriku penerusnya, cukup kuat buat ngalahin tuh cowok seorang diri.”
Mata Ayase tidak lagi sembap seperti sebelumnya. Dia mungkin tidak akan pernah lagi kehilangan jalannya. Karnea dia telah menemukan tempatnya, tempat yang dapat dibanggakannya.
Ikki menunjukkan senyuman kelegaan terhadap Ayase.
“Bakal kunantiin itu.” 
Dia berdoa agar impian gadis itu kelak menjadi kenyataan.