SETELAH SESI, KAIL SKENARIO
Akhir Dari Suatu Pertarungan, Bayang-Bayang Pertarungan Lain
(Translator : Zerard)
Bumi bermandikan merah semakin gelap seraya menangkap cahaya terakhir senja. Angin yang mencambuk dataran gersang berhembus dingin dan membawa aroma kematian dan karat, dan udara yang terbakar oleh sihir.
Tuhan, serakah sekali.
Sang monk berjongkok di antara beberapa tombak yang di tancapkan di tanah untuk menghentikan kuda, memeriksa sekelilingnya dengan acuh. Lahan ini telah berdenging dengan kericuhan akan pertarungan belum lama ini, namun sekarang semua telah menjadi hening—peraduan pedang, kuda yang meringkik, rapalan dan seruan perang, kematian… Ketika suara terakhir akan megahnya pertarungan dan keadaan telah memudar, hanya kesepian yang tersisa.
Sang monk merasa ini sangatlah mengganggu.
“Master monk, di sana rupanya kamu.”
Suara itu sungguh suatu kejutan, walaupun suara langkah kaki itu telah terdengar di telinganya.
Sang jendral memiliki rambut emas pudar yang terikat, dan walaupun armor knightnya sudah tua, wanita itu sendiri masihlah muda. Dia adalah yang bertanggung jawab atas salah satu benteng kecil di sini pada perbatasan dan memerintahkan beraneka ragam prajurit dan tentara bayaran.
Pada saat ini, dia sedang bersandar pada pedang tipisnya seolah pedang itu adalah sebuah tongkat berjalan; namun hingga sekarang sang monk masih dapat melihat wanita itu mengayunkan senjatanya dari punggung kuda. Sang monk mendengar bahwa wanita itu adalah seorang bangsawa, dan dia percaya bahwa kekuatan yang wanita itu tunjukan akan membuat leluhur wanita itu bangga.
“Ternyata anda menjadi sangat menawan.” Sang monk berkata.
“…Apa itu sarkas?”
“Humor adalah salah satu dari sekian bakat saya, tetapi saya tidak akan pernah menggunakannya dalam konteks penampilan wanita.”
Sang jendral mengedipkan mata kanannya bingung.
Mata lainnya telah hilang dari wajahnya yang menawan; dari tubuhnya yang elegan, sebuah lengan dan sebuah kaki telah terkoyak. Tubuh sempurnanya telah cacat. Hasil dari pertarungan intens, atau mungkin harga dari pertarungan itu.
Perbannya terwarnai dengan goresan hitam akan darah, dan napasnya sangat pendek dan sakit.
Tetap saja, dia telah terbiasa dengan pertarungan; dia telah selamat dan dia masih berada di sini. Jika itu tidaklah cantik? Maka apa lagi?
Sang jendral mengernyit di bawah swastika, dan kemudian batuk sekali. “Mengumpulkan tubuh-tubuh itu akan membutuhkan waktu. Maafkan aku karena kamu harus menunggu. Apa kamu bisa menangani pemakamannya?”
“Tentu saja, tentu saja.”
Sang monk muda berdiri, terlihat ceria. Noda akan darah terciprat pada pakaiannya, namun tampaknya dia tidak mempedulikan itu.
“seperti apakah proses pemakaman yang anda inginkan?”
“Apa yang kamu lakukan di sektemu?”
“Kepercayaan kami mengajarkan bahwa jika mayat telah terpapar dan kembali pada pencipta, maka suatu hari ia akan terlahir kembali sebagai seseorang yang lebih kuat.”
“Maksudmu… Bangkit kembali?” Dia mengernyit seolah terasa asing dengan kata itu, atau paling tidak, merasa tidak nyaman. “…Kami akan menggali lubang dan melemparkan tubuh musuh ke dalamnya. Aku mau kamu mengucapkan doa saat kamu membakar mereka.”
“Baiklah, baiklah.”
Sang monk mengikuti fase sang jendral seraya mereka mendekati barisan tombak yang tertancap di tanah. Sebuah serbuan dari pasukan berkuda telah membuat beberapa dari batang tombak itu patah, seperti mulut yang kehilangan giginya. Seraya mereka berjalan di atas bayangan yang tidak sama rata, sang monk berkata, dengan begitu santai seolah mereka sedang membicarakan cuaca. “Mereka berkata bahwa barang siapa yang tidak melakukan apa yang sanggup mereka lakukan, niscaya kemalangan akan menimpa mereka…. Heh-heh.”
“Aku sama sekali tidak punya perasaan jelek dengan pekerjaanmu, monk. Salah satu dari kalian bahkan mengunjungi rumahku dulu sekali.”
Bahkan adik kecil sangat menyukai pria itu.
Hal ini memprovokasi sebuah “Oh-ho.” Dari sang monk. Dan kemudian dia bertanya. “Dan bagaimana dengan goblin? Ada banyak sekali di medan perang hari ini. Apa anda ingin mengadakan upacara pemakamam untuk mereka juga?”
“Sayangnya, iya.” Sang jendral berkata lelah. “Goblin atau bukan, kita tidak boleh membiarkan mereka berubah menjadi undead.”
Mereka sedang pergi menuju salah satu sudut dari lahan gersang yang tampak begitu gelap seolah segalon tinta telah tertumpah di atasnya.
Adalah sebuah lubang tempat di mana tubuh di lempar. Semua monster—Makhluk Tidak Berdoa. Dengan pengecualian seperti dark elf. Makhluk Tidak Berdoa tidak pernah membawa tubuh rekan mereka yang telah mati. Ini di karenakan mereka berpikir bahwa rekan mereka yang mati akan menjadi hantu dan kembali bertarung sekali lagi.
Adalah Mereka Yang Berdoa yang mengambil kembali mayat rekan mereka. beberapa melakukan ini sebagai latihan di banding alasan sentimental yang tidak berguna—namun tidak seorangpun dapat hidup tanpa merasa sentimental.
Seseorang tentunya mempunyai rasa suka dan tidak suka, pikir sang monk. Akan tetapi, di saat kehancuran hantu undead adalah salah satu kegemaraan baginya.
Dengan pikiran ini, dia melihat ke bawah pada tumpukan tubuh kecil yang menjijikkan.
“Serdadu Kekacauan ada banyak sekali.” Dia berkata.
“Yeah.” Sang jendral membalas. “Dan di sini aku kira… Aku kira Demon Lord sudah di kalahkan lima tahun yang lalu.” Terdapat sedikit rasa lelah pada helaan wanita itu. “Kamu tahu, terkadang….terkadang, aku pikir pasti sangatlah mudah untuk hidup dengan membenci apapun yang tidak sama denganmu.”
Sang monk tidak yakin apakah yang di maksud wanita itu adalah mudah secara mental atau secara fisik. Namun kedua hal itu sama sekali tidak ingin di gubris oleh sang monk. Mereka berdua menatap pada makam penuh akan demon, naga jahat, serangga bermutasi, hantu, dan goblin. Sang monk merasa bahwa wanita itu akan lebih senang jika membahas masalah militer saja.
“Apa anda masih memburu orang-orang sesat itu?” dia bertanya, mengganti subyek.
“Kami menemukan beberapa dari mereka. walaupun aku dengar masih ada beberapa serangan goblin teratur di bagian barat.”
“Barat…” Sang monk memutar matanya menuju cakrawala dan cahaya terakhir akan matahari terbenam. Di belakangnya, sebuah malam mulai mengalir di langit, yang masih terwarnai dengan cahaya samar akan matahari. Bintang-bintang akan muncul sebentar lagi, dan bulan kembar akan mulai menunjukkan dirinya dalam remangnya cahaya.
“Saya sama sekali tidak mempunyai ketertarikan untuk menjadi petualang. Saya tidak mempunyai banyak edukasi. Benci berkebun, dan pastinya saya tidak akan menjual diri saya sendiri. Seberapa jauh perbedaan jalan di antara seseorang seperti itu untuk menjadi bandit kecil?”
“Heh-heh. Tentunya merupakan hal yang baik bagi seseorang untuk menemukan jalannya sendiri untuk hidup.”
“Setidaknya menurutku, walaupun sulit. Tapi itu lebih baik dari pada di manja dan semua kemauanmu di turuti…” Terdapat sebuah senyum tipis pada paras wanita itu, dan kemudian dia mengernyit kesakitan. Sang monk melirik mengarahnya.
“Anda kenal beberapa orang seperti itu?”
“Tipe yang berpikir adalah aneh jika tidak di ajari cara melakukan sesuatu dengan aman atau terperinci walaupun mereka tidak mengatakan apapun.”
“Rasanya itu seperti bahwa mereka itu layak di perlakukan seperti itu oleh mereka,” wanita itu berbisik. Sang monk tidak dapat membayangkan kenangan apa yang membuat wanita ini berkata seperti itu.
“Aku tidak mau orang berpikir kalau aku seperti mereka,” sang wanita berkata, “Karena itu aku datang ke sini.”
Kemungkinan mbakku juga.
Sang jendral menatap di kejauhan, jauh melintasi lahan rusak ini, dan matanya memantulkan cakrawala. Dia pasti telah menjalani hidupnya terus mencari tempat di mana dia dapat tinggal.
Sang monk mengangkat dagu dan seolah ingin memastikan perjalanan wanita itu, dan mengatakan. “Dunia ini semakin tumbuh tidak teratur.”
“Ya, dan bukannya itu hal yang bagus?”
“Benar, ya, benar sekali.”
Mereka berdua saling bertukar pandang, dan kemudian tertawa terbahak-bahak.
Kedamaian dan harmoni adalah hal yang baik. Mereka tidak akan pernah mencoba untuk menghancurkannya.
Tetapi mereka menyadari bahwa dalam pertarungan, kedua hal tersebut hidup.
Apapun yang akan di lontarkan oleh pasukan Kekacauan pada mereka, mereka akan menghadapinya dan membantainya.
Mereka memiliki kehendak bebsa, yang dapat menentukan tindakan mereka.
Itu adalah hak mutlak yang mereka miliki, bahkan sebagai pion, yang tidak akan dapat di renggut dari mereka oleh dadu Takdir ataupun Kemungkinan.
Apapun yang tertera pada akhir dari jalan yang mereka pilih, selama itu adalah pilihan yang mereka buat, maka itu adalah sebuah berkah dari para dewa.
Lagipula, kecantikkan sang jendral tentunya akan jauh lebih mekar dalam suburnya lahan pertarungan di bandingkan terkekang dalam sebuah plot ibukota. Sang monk akan sangat membenci untuk melihat wanita itu di petik oleh seorang makhluk yang sama sekali tidak menghargai dirinya, dan sang monk sangatlah bahagia mengetahui bahwa wanita itu tidak memilih jalan itu.
Walaupun dia dan sang jendral wanita hanya secara kebetulan berjalan pada jalan yang sama melintasi kehidupan dalam waktu singkat, sang monk tetap saja mengharapkan kebahagiaan wanita itu untuk ke depannya.
“Mungkin kita harus memulai upacaranya. Entah itu di kubur ataupun di bakar, semua kehidupan akan kembali menjadi abu.” Sang monk mulai menuruni lubang.
Sang jendral, melihat ke bawah mengarahnya, bertanya. “Master monk, kemana kamu akan pergi setelah pertempuran ini telah selesai?”
“Hmm. Saya hanya mengikuti kemana angin berhembus dan ke arah mana kaki menuntun saya, tetapi…” dia menoleh pada matahari seraya dia berkata. Hampir tidak tampak lagi sepercik cahaya yang datang dari matahari, hanya terdapat lapisan cahaya tipis yang tampak di cakrawala. Bagi sang monk, cahaya itu bagaikan sebuah menara yang berdiri di ujung dunia, dan dia menganggap itu adalah hal yang bagus. “Saya rasa perbatasan barat berkemungkinan besar akan memberikan saya kegembiraan yang besar.”
Dan kemudian lizardman priest muda itu memutar matanya bahagia.
1 Comments
Mantap
BalasHapusPosting Komentar