HIDUP BARU
(Translator : Hikari)
Ini
adalah sebuah tempat yang dingin. Tempat yang dingin, hening, dan sepi. Tempat
yang hampa, gelap dan menyedihkan.
Pada
pusatnya, adalah aku. Apakah aku sedang berdiri atau duduk? Yang mana atas dan
mana bawah? Aku tidak tahu.
Siapa
aku?
Tanyaku.
Tapi tidak ada jawaban. Aku bahkan tidak tahu apakah aku bertanya dengan
bersuara atau hanya memikirkannya saja. Aku hanya berada di situ, dalam
kesunyian.
Aku
ingin bertemu orang-orang. Siapapun boleh. Apapun boleh. Aku hanya ingin
bertemu seseorang. Dalam kegelapan pekat ini, aku terus mengharapkan itu.
Aku
ingin bertemu.
* * *
*giii*
Dengan suara jerit kematian melengking, monster bersisik hijau yang kutebas
akhirnya jatuh. Seekor lizardman. Biasanya dalam gim-gim fantasi, makhluk ini
biasanya ada ras monster yang sering kita lihat. Tubuh setinggi 2 meter dan
kaki tangan yang mirip manusia, tubuh mereka ditutupi sisik-sisik hijau dan
mereka masih memakai armor besi atau kulit di bagian atas. Mereka juga membawa
pedang atau senjata mirip tombal.
Kemampuan
fisik mereka luar biasa, memiliki kecepatan selayaknya seekor makhluk buas.
Senjata mereka berbahaya tapi bahaya yang sebenarnya berasal dari serangan ekor
mereka. Dalam kekuatan penuh, itu bahkan dapat menghancurkan sebuah batu.
Menebas
lizardman ini, dan menghembuskan napas, aku menaruh pedang mithrilku kembali ke
sarungnya. Suara berakhirnya pertarungan dan suara dari sungai terdekat
mencapai telingaku. Pepohonan yang tumbuh lebat dan aliran dari gunung yang
membawa hembusan angin dingin. Ini akan menjadi tempat yang sempurna untuk
berkemah kalau bukan karena para monsternya. Sekalipun kami dekat dengan ibu
kota, jumlah monsternya masih sangat banyak. Dan, mungkin karena efek dari
pertempuran besar yang terjadi di tempat ini 2 tahun yang lalu, para monster di
sini cukup kuat dibanding yang lainnya di benua Imnesia. Bahkan para lizardman
memiliki kemampuan fisik yang jauh melampaui sesamanya di area-area terpencil.
Sama halnya untuk monster lain seperti goblin. Meskipun, biasanya, para monster
bahkan tidak datang mendekat ke tempat-tempat seperti ini di mana manusia
berkumpul.
"Seperti
biasanya, kemampuanmu luar biasa."
"Padahal
aku merasa bisa mati kapan saja." (Renji)
Sementara
aku menghadapi seekor lizardman dalam pertarungan satu lawan satu, Feirona,
yang ada di sebelahku menghadapi goblin-goblin di sekitar dan mengatakan itu
padaku. Rambut emasnya melambai di tengah angin, benar-benar pria yang luar
biasa tampan. Elf bertampang rupawan ini, memiliki kemampuan untuk menghadapi
lima goblin tanpa kesulitan sama sekali.
Dan
dari belakangnya, seseorang yang cantik dengan rambut sewarna madu dan seorang
gadis cantik lainnya yang bertelinga anjing dan berambut perak berjalan dalam
jarak dekat. Si gadis berambut perak tidak terlihat terganggu oleh apapun tapi
yang satu lagi terlihat memerosotkan bahunya sedikit.
"Ada
apa, Nona Francesca?" (Renji)
"Tidak
ada apa-apa, hanya……"
"Saat
Francesca baru berpikir untuk menggunakan sihirnya, pertempuran sudah selesai
sama sekali."
Ah,
aku mengerti, jadi dia khawatir apakah dia tidak ada gunanya. Dia sama sekali
tidak perlu merasa begitu, sejujurnya. Yah, karena kami bertarung bersama
sebagai kelompok bagaimanapun juga. Kurasa dia pastinya merasa rendah diri
melihat dia tidak dapat berkontribusi banyak dalam kelompok.
"Goblin
terakhir." (Mururu)
"Hm?"
(Francesca)
"Kau
dapat menghancurkan keseimbangannya. Itu membantuku." (Mururu)
"Uu……Mururu-chan."
(Francesca)
Merasa
tersentuh, Nona Francesca memeluknya dari belakang. Karena perbedaan tinggi
badan mereka, kepala Mururu benar-benar terbenam dalam dada Nona Francesca.
Yah, itu tidak terlihat mesum seperti kedengarannya meski begitu. Walau begitu,
itu memang menyulitkan untuk pria sepertiku untuk melihat mereka secara
langsung, sih. Mururu, tetap saja memperlihatkan raut tidak peduli di wajahnya
seperti biasa.
Mengalihkan
pandanganku dari mereka, aku berlutut di dekat bangkai lizardman itu. Memotong
tangan kanannya dari pergelangan sebagai bukti kekalahan, aku memasukkannya ke
dalam tasku. Pada saat yang sama, aku juga memungut sebilah pedang bermata satu
yang terbuat dari semacam tulang binatang. Karena ini terlihat seperti pedang
yang langka, mungkin bisa dijual cukup tinggi.
"Mereka
kelihatannya semakin akrab seminggu ini ketika aku tidak ada." (Renji)
"Yah,
mereka sama-sama wanita bagaimanapun juga. Itu tadinya membuatku kesulitan,
sebagai satu-satunya pria, hanya sendirian saja, kau tahu." (Feirona)
Dia
berkata begitu, tapi kurasa dia tidak begitu dipersulit oleh hal tersebut. Bibirnya
mengendur menjadi seulas senyum tipis. Serius, orang-orang ini benar-benar
mulai menjadi akrab antara satu sama lain semalam satu minggu terakhir ini. Aku
sangat iri.
"Aku
akan mencuci tanganku." (Renji)
"Ya,
tapi jangan pergi terlalu jauh." (Feirona)
Kenapa
aku diperlakukan seperti anak kecil?
Aku
meninggalkan area tersebut dan pergi untuk membasuh tanganku di sungai. Air
yang jernih terasa dingin dan membuat sendi-sendi jariku sedikit nyeri. Mengerutkan
wajah sedikit, aku berhati-hati mencucinya dan menghilangkan darah yang
menempel di tanganku.
"Ada
apa? Kenapa begitu pendiam hari ini?" (Renji)
[Tidak
ada apa-apa.]
Saat
aku memanggil partnerku yang ada di dalam kantung, suaranya jelas menandakan
bahwa dia marah. Inilah suaranya yang biasa tapi akhir-akhir ini seperti ini
selama beberapa hari terakhir. Dia tidak mengatakannya terang-terangan tapi
kurasa itu karena menggunakan pedang Mithril lagi.
"Jangan
mengambek seperti itu, ayolah." (Renji)
[Aku
tidak ngambek.]
Sebuah
balasan cepat pun muncul. Karena suaranya yang cukup mirip anak kecil, aku
malah jadi tersenyum. Aku penasaran apakah aku bersikap kekanakan-kanakan
berpikir bahwa Ermenhilde benar-benar imut?
Selesai
mencuci tanganku, aku kembali berdiri. Hasil perburuan hari ini adalah 5
lizardman, 20 goblin. Ini cukup bagus, tapi membagi hadiahnya untuk empat
orang, jumlahnya tidak akan banyak. Berapa tahun yang kuperlukan untuk melunasi
hutangku pada Utano-san kalau seperti ini? Pendapatanku selama seminggu ini hanya
4 emas dan sekitar 10-an koin tembaga.
Tidak
akan masalah kalau kami hanya berburu monster, tapi membayar penginapan, makan
dan memperbaiki serta perawatan perlengkapan juga membutuhkan uang.
"Nona
Francesca, apa kau sudah menenangkan diri?" (Renji)
"Ah,
ya. Renji-san, apa kau juga baik-baik saja?" (Francesca)
"Sudah
seminggu. Aku benar-benar tidak apa-apa. Terima kasih telah
mencemaskanku."
"Tidak,
kau tidak perlu berterima kasih… …"
"…
…berat." (Mururu)
Dekat
dengan dada Francesca yang malu-malu, Mururu mengeluarkan suara letih. Yang
dimaksud dengan 'berat', apakah itu berat tubuh Francesca atau hanya dadanya?
Setelah berganti perlengkapan di ibu kota, Nona Francesca tidak lagi mengenakan
pelindung dada kulitnya. Sebagai gantinya dia sekarang berpakaian lebih mirip
seorang penyihir.
Jubah
biru gelap, dan di baliknya dia mengenakan blazer sewarna serta blus putih. Di
bagian bawah dia mengenakan rok panjang dan kaus kaki selutut. Pakaian ini
nampaknya hanya dibuat agar terlihat bagus tapi bertolak belakang dari
ekspetasiku, itu ternyata memiliki pertahanan sihir yang tinggi. Yah, kalau itu
cocok dengannya dan juga memberikan pertahanan yang bagus, tidak ada yang bisa
memprotesnya kurasa.
Satu-satunya
masalah, kalau harus kukatakan, adalah dada montoknya yang tadinya ditekan oleh
pelindung dadanya kini benar-benar terlepas. Pandanganku akan secara otomatis
berakhir di sana sesekali. Seberapa luar biasanyakah itu sebenarnya?
"Sejujurnya,
sebenarnya aneh bagaimana kau bisa pulih dari luka-luka itu hanya dalam waktu
seminggu." (Feirona)
"Tidak
sepertiku, aku kenal seorang Sage yang sangat ahli." (Renji)
Setelah
mendapatkan perawatan, satu-satunya alasan aku tetap tertidur adalah karena
kelelahan. Selain dari itu, aku bisa bergerak bebas bahkan sejak hari pertama.
Mengumpulkan
hasil perburuan hari ini, aku mulai bersiap untuk kembali dengan Feirona.
Matahari masih tinggi tapi aku tidak mau terluka lagi gara-gara terlalu
memaksakan diri.
"Tapi
tetap saja, kau jelas terlihat lebih bersemangat setelah datang ke ibukota.
Dulu saat kita pertama kali bertemu, kau selalu terlihat kehabisan
energi." (Feirona)
"Ada
banyak hal terjadi. Aku, yah, sedang membutuhkan sejumlah uang." (Renji)
Terus
terang, bukan hanya 'sejumlah' uang. Anggaplah 1 koin tembaga senilai seribu
yen, aku saat ini berhutang sekitar 10.000.000 yen. Sesuai dugaanmu, aku belum
mengatakan pada siapapun kalau memiliki hutang yang sangat besar. Bagaimanapun,
itu akan sangat tidak keren. Bahkan kupikir orang-orang akan melihatku dengan
aneh.
10
koin perak. Kalau hutang itu dibuat hanya agar aku bekerja lebih keras, kurasa
aku sekarang sedang menari-nari di telapak tangan Utano. Yah, aku pasti
berpikir terlalu jauh.
"Kita
sudah akan kembali?" (Francesca?
"Hm,
yah. Hari ini, Souichi dan Yayoi-chan juga akan sampai di ibukota
lagipula." (Renji)
"Sang
Pemberani?"
"Ya,
dia. Tidak sepertiku, dia adalah pahlawan yang sebenarnya."
Setidaknya,
dia bukanlah jenis orang yang hidup dalam hutang. Aku bahkan tidak bisa
membayangkan dia menjalani hidup sepertiku. Yayoi-chan mungkin akan
menghentikannya sebelum dia jatuh dalam hutang bagaimanapun juga. Sepertinya,
Mururu tidak berminat dengan hal ini karena dia hanya bermain-main melemparkan
bebatuan ke sungai. Setidaknya, bantulah kami mengepak.
"Makan
siang hari ini…."
Mungkin
karena dia menyadari pandanganku, dia berbicara. Tidak dapat memahami apa yang
dia maksud, aku mengikuti arah pandangannya ke sungai hanya untuk melihat dia
membunuh ikan-ikan dengan batu. Sebenarnya seberapa bagus penglihatan
dinamiknya, si serigala ini!?
Karena
akan sayang sekali membiarkan ikan-ikan yang dia bunuh itu hanyut terbawa arus
sungai, aku melepaskan sepatu bot dan menggulung celana panjangku.
"Ada
apa?" (Francesca)
"Yah,
aku tidak ingin Mururu masuk ke dalam air dalam udara sedingin ini." (Renji)
Berkata
begitu, aku memasuki sungai. Karena suhu air dingin yang intens, kakiku
berhenti bergerak begitu aku memasuki sungai.
"Apa,
apa kau tidak apa-apa?" (Francesca)
"Di-i…
…Dingin‼" (Renji)
"Sudah
jelas. Sekarang sudah [bulan kesembilan]… …setelah terluka, apa kau berniat
untuk masuk angin kali ini?" (Feirona)
[Ya
ampun.]
Sambil
mendengarkan komentar letih Feirona dan Ermenhilde, aku cepat-cepat
mengumpulkan ikan yang mengambang di sungai. Hanya Nona Francesca yang
mengkhawatirkanku. Sementara itu, Mururu membunuh lebih banyak ikan dan dia
bahkan sepertinya tidak peduli tentangku.
Meskipun
ikan-ikan menjauh di sekitar karena aku memasuki sungai, dia masih membunuhi
mereka tanpa kesulitan dengan mata bengong seperti itu. Pada saat aku selesai
mengumpulkan semua ikannya, Nona Francesca dan Feirona selesai mengepak.
"Bagi
beberapa denganku, ya." (Renji)
"Baiklah."
(Mururu)
[….haah.]
"Aku
akan menyalakan api, jadi cepatlah ke sini dan hangatkan dirimu."
(Feirona)
Keluar
dari dalam sungai, saat aku mencoba membasuh bau ikan dari tanganku, Feirona
berkata begitu padaku. Ini hal yang tidak bisa dielakkan. Seluruh tubuhku
sangat kedinginan.
"Kau
perhatian sekali. Rekan yang bisa dipercaya adalah hal terbesar yang bisa
dimiliki seseorang." (Renji)
"Jangan
asal bicara." (Feirona)
"Tidak,
aku sebenarnya serius, kau tahu."
Feirona
mengumpulkan dahan-dahan dan Nona Francesca menyalaka api dengan sihir. Begitu
aku menyeka dan menghadapkan kaki dan tanganku ke api, hanya itu saja
sepertinya telah menghangatkanku.
"Fuu…."
"Ikannya,
apa kau akan memasaknya?" (Mururu)
Dengan
suara *plop*, Mururu duduk di
sebelahku. Tidak lama kemudian, Nona Francesca dan Feirona juga duduk di
sekitar api.
"Ini
sedikit terlambat tapi ayo kita makan siang, bagaimana?" (Renji)
"Ya!"
Nona
Francesca membalas cukup senang. Dia benar-benar kegiatan luar ruangan seperti
ini. Tidur di tenda, menyiapkan api unggun, masak dan memakan hewan serta ikan
yang ditangkap segar-segar dari alam liar, dsb. Tidak sepertinya dikesankan
penampilannya, dia sangatlah apa adanya.
Tersenyum
kecil melihat reaksinya, Feirona mulai bersiap memasak ikan tersebut.
Membersihkan sisiknya, mengeluarkan jeroannya, dia menusuk ikan itu ada tusuk
sate yang dibuat tanpa persiapan. Sementara aku mengagumi kemampuannya, aku
juga membantu persiapan. Meski begitu, yang kulakukan hanyalah meniru apa yang
dia lakukan. Pekerjaan pertama dari pisau besi yang baru kubeli ini adalah
membelah terbuka seekor ikan.
Selesai
dengan persiapannya, sementara ikan tersebut dipanggang di api, aku mencuci
tanganku di sungai. Saat itulah, aku merasakan sebuah tatapan aneh padaku.
[Ada
apa?]
"Tidak,
hanya saja… …"
Aku
melihat ke tempat tatapan yang kurasakan itu berasal, tapi tidak ada siapapun
di sana. Karena kami telah berburu di tempat ini cukup lama, aku tahu tidak ada
apapun di arah tersebut.
Apakah
itu seekor monster?
Adalah
hal yang normal untuk berpikir seperti itu. Karena kami berempat, dia mungkin
melarikan diri. Tanpa memikirkannya terlalu mendalam, aku kembali menuju ke api
unggun.
"Apa
kalian merasakan sesuatu barusan?" (Renji)
"Sesuau?...
….." (Francesca)
"Yah.
Kupikir aku merasakan sebuah tatapan aneh padaku, tapi…."
Berkata
begitu, aku memandang Feirona dan Mururu. Mereka berdua jauh lebih sensitif
daripada aku di area ini, tapi mereka menggelengkan kepalanya.
"Pasti
hanya imajinasiku saja kalau begitu." (Renji)
Ermenhilde
tidak merasakan apapun juga, jadi pasti benar begitu.
Memutuskan
untuk melupakannya, aku memilih hanya untuk memandangi ikan yang sedang dibakar
itu. Untuk beberapa alasan, aku selalu merasa seperti memandangi ikan di
saat-saat seperti ini. Sepertinya itu sama juga halnya untuk Nona Francesca dan
Mururu, jadi ada keheningan total di antara kami berempat. Aku merasa baik
Feirona maupun Ermenhilde menghela napas tapi aku tidak mempedulikannya.
Akhirya
setelah beberapa waktu, ikan-ikan tersebut terpanggang dengan sempurna. Ada 6
ikan. Nona Francesca dan Feirona masing-masing mengambil satu sementara aku dan
Mururu masing-masing mengambil dua. Feiorna meskipun tubuhnya sama besarnya
denganku, ternyata makannya hanya sedikit. Itu luar biasa, sejujurnya,
bagaimana bisa dia sampai seperti itu. Bagaimanapun, selalu lebih baik untuk
tidak makan terlalu banyak. Saat aku menggigit ikan tersebut, karena berasal
dari sungai kecil yang jernih, tidak ada rasa ataupun bau lumpur di dalamnya.
Karena kami baru saja menangkapnya, rasanya juga benar-benar segar. Aku memakan
yang satu ekor dengan sangat cepat.
"Hm?"
[Barusan,
kau juga merasakan energi magis?]
Saat
aku berbalik karena merasakan tatapan itu lagi, Ermenhilde sepertinya juga
merasakan energi magis.
"Ada
apa?"
"Aku
merasakan tatapan itu lagi." (Renji)
Aku
berdiri. Harusnya tidak apa-apa kalau hanya sebuah tatapan, tapi karena
Ermenhilde merasakan energi magis juga, aku harus berhati-hati. Memastikan
pedang Mithril bergantung di pinggangku, aku mendekat ke sungai.
Yang
lain pun, meski mereka tidak meraskan apapun, sepertinya menjadi waspada. Tapi
bahkan setelah menunggu beberapa saat, tidak ada apapun yang terjadi. apakah
ada beberapa penyihir yang bertarung di suatu tempat yang sedikit jauh dari
sini? Sepertinya tidak mungkin. Ermenhilde hanya merasakan energi sihir itu
sekali dan tidak bisa merasakannya lagi. Apa yang terjadi? Aku menggaruk
kepalaku.
Dalam
pandanganku adalah sungai jernih, pepohonan dan angin dingin yang sama. Tidak
ada perubahan. Kenyataannya, aku merasa akulah yang aneh.
"Yah,
mau bagaimana lagi."
Aku
hanya harus menghadapinya saat sesuatu terjadi. berpikir begitu, aku kembali ke
dekat api. Saat aku melakukannya, Feirona dan yang lain juga menurunkan
penjagaan mereka dan kembali fokus dengan makanan mereka.
"…
…Oi, satu ikanku hilang." (Renji)
"ngu,
mugugu."
Saat
mengalihkan pandanganku, si cebol yang duduk di sebelahku mulai mengunyah ikan
di mulutnya dengan kecepatan tinggi. Itu etika yang buruk, tapi bukan itu
masalahnya bukan itu. Ada tiga tusuk yang berserakan di depannya. Aku
memanggilnya tapi dia panik dan mengalihkan tatapannya menjauh.
"Oi,
Mururu. Aku tidak akan marah, jadi lihatlah ke arahku." (Renji)
"nn…
…kau tidak akan marah?" (Mururu)
"Mungkin."
Saat
aku berkata begitu, dia memalingkan wajahnya lagi. Bocah ini.
Nona
Francesca dan Feirona terus menyantap ikan mereka dengan senyum simpul. Yah,
aku memang memakannya satu, jadi kurasa itu tidak masalah. Mendadak, aku
kembali merasakan tatapan itu. Aku berbalik lagi.
[Lagi?]
"Sekarang
ini benar-benar terasa aneh."
Feirona
berdiri dan mulai memeriksa perlengkapannya. Nona Francesca cepat-cepat
menyelesaikan makannya dan melakukan tindakan yang sama. Hanya Mururu, yang
senjatanya adalah tubuhnya sendiri, tetap sama. Dia masih menikmati rasa
ikannya. Saat makan malam, aku pasti akan menyambar sebagian makanannya, aku
memikirkan hal kekanakan semacam itu. Tapi tetap saja, kenapa Feirona dan
Mururu masih tidak merasakan itu. Itu yang lebih mengkhawatirkanku.
"Kurasa
tidak ada pilihan. Ayo seberangi sungai."
Padahal
rasanya dingin sekali. Yah, setidaknya sungai ini tidak dalam.
* * *
Berjalan
selama beberapa saat setelah menyeberangi sungai, ada sebuah tebing yang tinggi
di sana. Mungkin 30 meter tingginya. Dan di atasnya tidak ada apapun selain
padang yang luas. Tidak ada bunga maupun pohon, hanya tanah kosong. Setelah
dipanggil ke dunia ini, di sinilah pertama kalinya kami mengalahkan seorang
keturunan Dewa Iblis. Mungkin karena dampaknya, tempat ini menjadi sebuah area
yang mati. Dan kalau kau berjalan melintasi dataran itu selama hampir seminggu,
kau akan mencapai Kota Taktik.
Yah,
kesampingkan itu, ada sesuatu yang tadinya tidak kulihat di tebing ini. Meskipun
kami telah datang ke sini beberapa kali sebelumnya. Itu adalah sebuah gua.
Ukutannya kira-kira cukup untuk dimuati seekor ogre untuk memasukinya…. …sebuah
gua setinggi 5 meter. Aku pun menelengkan kepala dengan kebingungan sambil
melihat pintu masuknya.
"Memangnya
ini ada di sini sebelumnya?" (Renji)
"Tidak,
sepertinya tidak ada." (Francesca)
Sambil
menatapi peta di tangannya, Nona Francesca berkata begitu padaku. Itu hanyalah
sebuah peta sederhana, tapi jika sebuah gua berada sedekat ini dengan ibu kota,
seharusnya tercantum dalam peta tersebut. Itu artinya ini adalah sebuah gua
yang baru saja dibuat, tapi kami juga baru saja ke sini beberapa hari yang
lalu. Apakah gua memang semudah itu dibuat?
Atau
mungkin——
[Aku
bisa merasakan energi magis. Ini sama dengan yang sebelumnya.]
"Jadi
memang benar. Ermenhilde, apa kau bisa mengenalinya?"
[Tidak
bisa. Ini terlalu lemah… …tingkat yang sangat rendah, kemungkinan.]
Aku
menepuk pelan Ermenhilde dalam sakuku.
[Ini
bisa saja perangkap. Kau tetap akan pergi?]
"Kita
akan pergi?" (Mururu)
Mendengar
suara Ermenhilde, tiga orang lainnya langsung melihat ke arahku. Aku tidak lagi
menyembunyikan suara Ermenhilde dari yang lainnya. Itu adalah semacam bukti
kepercayaanku. Reaksi dari setiap orang itu menyenangkan untuk dilihat. Meski
begitu saat ini karena dia sedang ngambek, Ermenhilde tidak banyak bicara.
Sebenarnya seberapa bencinya kau melihatku menggunakan pedang lain?
Tapi,
kini sesuai situasinya, dia tidak lagi ngambek. Mendengar suara Ermenhilde,
Mururu bertanya padaku untuk mengkonfirmasinya.
"Dalam
hal ini tergantung suara terbanyak, 'kan?" (Renji)
"Kaulah
pemimpinnya, Renji." (Feirona)
"Aku
sudah mengatakan ini sebelumnya tapi sejak kapan sih, itu ditetapkan!?"
(Renji)
Sambil
berbicara seperti itu, aku mengeluarkan sebatang obor dari dalam tasku,
membasahinya dengan minyak dan meminta Nona Francesca untuk menyulutnya. Ini
akan berbahaya tapi rasa penasaranku menang. Aku penasaran dengan tatapan yang
hanya aku yang bisa merasakannya. Dan untuk beberapa alasan, bahkan sekarang
pun, aku tidak merasakan bahaya sedikit pun. Jika kita mengandalkan intuisiku,
kita seharusnya baik-baik saja. Aku berpikir demikian tanpa maksud apapun.
"Hmm
kalau begitu, ayo pergi. Bagaimana?" (Renji)
"Ya."
Saat
aku mengatakannya dengan ringan, Nona Francesca juga menyetujuinya. Kami
berjalan beriringan dengan aku berada di depan, kemudian Mururu, Francesca dan
Feirona di paling terakhir. Aku memegangi obor dan Nona Francesca menggunakan
sihirnya untuk menerangi tempat ini juga.
Bagian
dalam gua tidak begitu terasa tidak nyaman dan udara sepertinya juga keluar
masuk dengan baik. Mungkin ini terhubung dengan suatu tempat di bagian lain.
Gua ini sepertinya telah digali dengan sangat seragam dalam bentuknya.
Biasanya, sebuah gua lebih tidak rata dan kasar. Lubang yang dibuat sebaik ini
bukanlah sesuatu yang terjadi secara alamiah. Ini pasti digali dengan sihir.
Sementara
aku berjalan sambil membuat teori itu, Nona Francesca menjerit kecil dari
belakang. Di saat yang sama, Mururu mengeluarkan suara *gueeh* yang sangat
tidak kewanitaan. Suara mereka berdua bergema di dalam gua.
"Ada
apa?" (Renji)
"Ada
serangga. Tapi aku sudah membunuhnya."
"Baiklah."
Jika
ada beberapa perangkap di depan, suara kami pastinya telah menginformasikan
keberadaan kami. Aku menaruh tanganku pada gagang pedang Mithril. Sepertinya
Feirona berpkiran sama karena aku dapat merasakan dirinya menjadi sedikit lebih
tegang.
Kami
tetap tinggal di tempat tak bergerak selama beberapa lama tapi sepertinya tidak
ada perubahan. Sedikit merasa santai lagi, aku melepaskan tanganku dari pedang.
"Apa
tidak ada apa-apa di sana?"
"Ada
serangga…." (Francesca)
"Itu
tidak ada hubungannya." (Mururu)
Suara
Mururu terdengar agak jengkel. Kemungkinan besar, karena terkejut oleh
serangga, Nona Francesca pastinya memeluk lehernya terlalu kencang dari
belakang. Suaranya terdengar seakan tenggorokannya dicekik.
Kami
terus berjalan lebih dalam lagi. Sudah hampir 10 menit menurutku ketika
akhirnya aku melihat sebuah cahaya kebiruan di depan kami.
"Mungkinkah
itu pintu keluarnya?" (Francesca)
"Terlalu
gelap untuk itu." (Renji)
[…
…Ada sesuatu di sana.]
Mendengar
suara Ermenhilde, semua orang menarik senjata mereka. Mururu mengubah tangannya
menjadi cakar.
[Berhati-hatilah.]
"Aku
pergi duluan. Feirona, kuserahkan perlindungan padamu." (Renji)
"Mungkin
akan sulit." (Feirona)
"Mururu,
ikuti aku dengan menjaga jarak sedikit antara kita."
"Baik."
Karena
kurangnya cahaya, pastinya sulit bagi Feirona untuk menembakkan panah.
Kemudian, aku akan mengajak Mururu, yang memiliki kemampuan fisik luar biasa
denganku untuk menuju ke cahaya kebiruan tersebut.
Kalau
ini benar-benar sebuah perangkap, aku seharusnya adalah target yang sempurna
karena aku juga memegangi obor. Aku berkata begitu tapi aku tidak dapat
merasakan keberadaan apapun selain aku. Gua ini sepertinya tidak dihuni. Aku
yakin itu.
Tapi
Ermenhilde bilang ada sesuatu di sana, jadi seharusnya memang begitu. Sambil
bersikap waspada, aku terus berjalan saat gua itu membuka.
"———"
Aku
tercekat.
Di
depanku ada sebuah kristal yang memancarkan cahaya biru. Besarnya sekitar 5
meter. Sebuah kristal mirip permata yang sangat besar, melayang di tengah udara. Tapi bahkan itu bukanlah masalahnya.
Kristal yang mengapung sudah jelas langka, bagaimanapun ini adalah dunia pedang
dan sihir. Aku telah melihatnya beberapa kali sebelum ini juga, tapi——
"Seseorang
tertidur di dalamnya?"
Melihat
seorang manusia tidur di dalam sebuah kristal; ini bahkan pertama kalinya
untukku. Sementara aku masih waspada dengan sekeliling, aku mendekatinya.
Seperti yang Mururu katakan, matanya tertutup seakan sedang tertidur.
Di
dalam cahaya biru itu, seorang gadis, telanjang bulat, sedang tertidur sambil
memeluk kakinya. Itulah kesan pertamaku. Karena aku bisa merasakan energi
kehidupannya, aku tahu dia tidak mati.
"Tidak
apa-apa, kalian semua bisa datang mendekat juga!" (Renji)
Saat
aku berteriak pada Feirona, aku menyerahkan obor pada Mururu.
"Apa
kau bisa mengenalinya?" (Renji)
[…
… …]
Aku
bertanya tapi tidak ada jawaban dari Ermenhilde.
Sementara
merasa takjub, aku perlahan, dengan takut-takut menaruh sebelah tanganku pada
kristal tersebut. Rasanya hangat. Ini tidak memiliki rasa dingin sebuah batu,
sebuah substansi yang anorganik. Terasa hangat, seperti kulit seseorang. Dan——
"———!?!"
Mataku
tiba-tiba bertemu pandang dengan gadis di dalam kristal itu.
0 Comments
Posting Komentar