PERTARUNGAN DENGAN MAKHLUK LIAR
(Translator : Zerard)
Goblin Slayer dan High Elf
Archer sedang menuruni pohon zelkova bersamaan dengan teman mereka yang menaiki
pohon itu dari bawah.
Mereka berkumpul di depan
perbentengan para elf namun secara insting berhenti seketika mendengar suara
pepohonan yang hancur di kejauhan.
“Apa yang sedang terjadi
sih?!” Dwarf Shaman menggerutu.
“Seekor monster yang di
sebut dia-atau-apalah sedang mengamuk,” Goblin Slayer menjawab, sebuah
penjelasan yang tidak dapat menjelaskan apapun. Kemudian dia melihat
sekitarannya. “Bagaimana dengan mereka berdua?”
“Oh ya. Aku menyuruh mereka
untuk pergi ke ruangan belakang dan menunggu di sana.”
Jawaban itu datang dari
Priestess, dengan rambut dan kulit yang masih lemban. Dia pasti datang dari
pemandianndengan terburu-buru. Pipinya tersipu, dan dia menyentuh dada dengan
tangan untuk menenangkan pernapasan.
“Mungkin akan aman di sana,”
dia menambahkan.
“Jadi kita berselisih
jalan.”
Yah,
baiklah.
Goblin Slayer mengambil
kesimpulan dengan cepat.
Tidak ada tempat yang lebih
aman selain di dalam pepohan para elf—bahkan walaupun tidak ada tempat yang
benar-benar bisa di bilang aman. Kenyatan bahwa dia tidak bisa melihat mereka
akan membuat sedikit kesulitan, namun terdapat banyak kesulitan lainnya di
sini. Tidak ada gunanya untuk menambah satu kekhawatiran lagi.
“MBEEEEEEEENEE!!!!”
Makhluk itu melanjutkan
raungannya yang menenggelamkan teriakan para elf, seraya para elf
warrior—pemburu—melompat dari daun ke daun, panah pada punggung mereka.
“Tampaknya mereka akan
melakukan pertempuran,” Lizard Priest berkata, bertopang dagu; hanya dia
seorang diri yang terlihat terhibu dengan keseluruhan keadaan ini. “Saya tidak
mengetahui kekuatan tempur kaum elf. Namun saya tidak meragukan pengalaman
mereka.”
Perang sudah terjadi
semenjak Jaman para Dewa. Seberapa-pun inginnya para elf untuk dapat hidup
damai dan aman, tentunya mereka tidak dapat menghindari pertarungan. Hanya
sedikit sekali kaum elf yang tidak pernah berdiri melawan pasukan Kekacauan
dengan busur di tangan mereka.
“Itu adalah Dia Yang
Menghentikan Air,” High Elf Archer berkata. “kalau kami menembakinya sampai
mati dan makhluk itu menghambar sungai, maka akan jadi masalah besar.”
Dia mengetahui jawabannya.
Bahkan seraya dia mengambil busurnya, dengan santai memuat panahnya, tampaknya
dia sedikit merasa kesulitan untuk bergerak. Telinganya berkedut sekali,
kemudian dua kali, mendengar keseluruhan suara di sekitar.
“Lernaean Hydra.... itu apa
yang kalian manusia sebut.”
“....?” Priestess tercengang.
“Bukannya hydra seharusnya punya banyak kepala.”
“Yang ini masih berumur
muda.”
“Walaupun
makhluk ini sudah ada semenjak aku masih kecil,” High
Elf Archer bergumam cepat.
“Gimana-pun juga, ini
makhluk yang harus di hormati. Kami nggak sanggup menanganinya.”
Aku
sama sekali nggak yakin kami bisa menang. Ucapannya
membuat Priestess mengangguk muram.
“Jadi maksudmu kita harus
mencegahnya mendekati kita, dan membuatnya kembali ke hutan.”
Itu adalah hal yang cukup
sulit, tetapi tetap saja...
Akan tetapi, Priestess,
meremas tongkatnya erat dengan kedua tangan dan berkata dengan penuh keyakinan,
“Kami akan berusaha sebaaik mungkin!”
Seseorang tertawa—tawa
ringan dan santai seolah mereka menikmati semua ini. Lizard Priest melihat
makhluk di kejauhan itu dan berkata dengan riang, “Saya sama sekali tidak
menyangka akan di berikan anugrah untuk berkesempatan untuk menyantap leluhur
para naga besar. Sungguh sempurna!”
“....Jamgan di makan oke?”
High Elf Archer melihat kepadanya seolah tidak yakin apakah Lizard Priest
berumpama; Lizard Priest membuka rahangnya dengan penuh keseriusan. “Nona
ranger, mari kita daki leher monster itu dan benamkan panah di matanya!”
“Sudah ku bilamg, kita nggak
bisa membunuhnya!”
“Apa kamu nggak bisa
menembaknya di kaki, atau mengenai uratnya?”
“...Terkadang makhluk hidup
bisa mati hanya karena kejutan tertembak kan?”
“Tapi,” Goblin Slayer
berkata pelan, memalingkan pandangan dari monster yang mendekat. “Bagaimanapun
juga, kita harus cukup dekat untuk menembakan panah.”
Makhluk itu mulai tampak
dari celah pepohonan yang tumbang.
Monster besar berwarna abu
berjalan dengan kakinya yang sebesar batang pohon, ekor raksasa dan lehernya
menyapu semua pohon ke samping.
Makhluk itu tampak seperti
naga namun bukanlah naga. Tampak seperti kadal namun bukan kadal!
Lizard Priest-pun terkesiap
mengagumi setelah melihat makhluk setengah liar, setengah suci yang konon di
iringi dengan pelangi ini tepat di depan matanya.
“Oh! Apakah ini
Brachiosaurus atau Brontosaurus, atau bahkan Alamosaurus?” dia mengeluarkan
lolongan hewani seraya mempersembahkan doa emosional kepada leluhurnya. “Saya
tidak pernah menyangka akan melihat sesuatu seperti ini di tempat ini...!”
“Lihat. Di sana, di
punggungnya,” Goblin Slayer berkata pelan, dan mereka-pun mematuhi ucapannya.
“Hrm...!” adalah mustahil
untuk mengetahui dengusan siapa yang berasal dari party ini.
Punggung Mokle Mubenbe setidaknya
lima belas meter di atas tanah. Setiap kali makhluk iti mengamuk, cuatan yang
berbentuk seperti kipas di punggungnya mengeluuarkan suara keritik.
Namun tidak hanya itu saja.
Di antara punggungnya
terlihat bayangan yang menggeliat.
Bayangan itu berpegangan
terhadap sesuaty, mengayunkan lengan mereka dengan murka dan mengoceh.
“Apa itu...pelana?”
High Elf Archer berkedip, terkejut
melihat sesuatu yang tidak seharusnya.
“Goblin?!”
Goblin, menunggangi punggung
Mokele Mubenbe, liur menjijikkan terbang dari mulut mereka seraya mereka
berteriak.
High Elf Archer mengingat
mereka.
Mereka adalah makhluk menjijikkan
yang pertama kali menyerang mereka di kebun, dan kemudian kemarin di sungai.
“Goblin rider...” Suara
Priestess merinding melihat sesuatu yang sulit di percaya.
Cukup masuk akal untuk
melihat goblin berada di punggung serigala abu-abu. Bahkan kuda atau keledai
tidak akan begitu mengejutkan.
Tetapi—tetapi—oh benar.
“Apa mereka goblin...dragoon...?”
“Mereka sepertinya nggak
terlihat memegang tali pelana,” Goblin Slayer berkata datar, mengungkapkan
fakta sederhana.
“Benar,” Lizard Priest
menyetujui. “Tetapi, walaupun bahkan seseorang yang tidak mengetahui cara mengendalikan,
tetap dapat menaikii kuda... Saya rasa itulah apa yang saat ini kita saksikan.”
“Bagaimana menurutmu?”
“Para rider itu sama sekali
tidak membuat saya gentar. Tetapi...” Lizard Priest memegang rahang dengan
tangan dan memutar mata, memperhatikan monster itu dengan seksama. “Mereka
berkata jika anda ingin menghentikan jendral, maka anda wajib membunuh kudanya
terlebih dahulu. Karena itu, saya rasa jika anda ingin menghhentikan kuda, maka
anda hharus membunuh jendralnya terlebih dahulu.”
“Aku siap untuk itu.” Goblin
SlYer meliriknsingkap ke atas, mengarah balkoni ruangan tempat mereka tinggal.
“Bagaimanapun juga, aku akan membunuh semua goblin. Nggak ada alasan untuk
membiarkan mereka hidup.”
“Biar aku yang tangani!”
High Elf Archer berkata, dengan segera mengangkat tangan. Suaranya bersemangat,
seraya dia mengusung belatinya mengarah Mokele Mubenbe dan para goblin di
punggungnya. “Jujur saja, aku sudah mulai merasa jenuh dengan goblin, “Kemarin,
hari ini... Du rumahku pula!”
Goblin Slayer mengangguk.
Kemudian dengan pelan dia menepuk pundak High Elf Archer. Telinganya berkedut.
“Kami akan menahan makhluk
ini, apapun nama monster itu, kalian berdua, bantu aku.”
“Oke.” Dwarf Shaman berkata.
“Tentu saja,” Lizard Priest
menambahkan,
High Elf Archer masih merasa
kaku setelah pundaknya di tepuk.
Apakah penilaian Goblin
Slayer pada situasi seperti ini....? Tidak.
Semenjak dia mulai mengenal
pria ini membiarkan seseorang melakukan sesuatu dalam setahun terakhir, adalah
selalu karena berdasarkan pemahaman situasi yang terperinci. Terdapat alasan
mengapa mereka mempercayakan petualang aneh nan janggal ini untuk memimpin
regunkecil mereka.
“Um, bagaimana denganku...?”
Priestess bertanya bimbang.
Instruksi Goblin Slayer tidak
sedikitpun mengandung kebimbangan. “Persiapkan P3K. Kalau membunuh makhluk itu
di larang, aku rasa itu artinya makhluk itu juga nggak boleh di lukai.”
Dan dengan itu rencana
mereka terbentuk.
High Elf Archer mengambil
busurnya dan mulai mencari kesempatan untuk melancarkan serangan kejutan,
sementara Dwarf Shaman mmenggapai tas katalisnya. Lizard Priest mengambil
beberapa taring dan mulai berdoa, dan Priestess mendekap tongkatnya dan memohon
kepada Ibunda Bumi.
Goblin Slayer baru akan
memulai persiapannya ketika...
“Hei, kalian semua! Apa yang
kalian lakukan?”
Suara tajam terlontar
mengarah mereka. Sang elf dengan pelindung kepala berkilau, yang telah
mengelilingi desa, datang mendekati mereka dengan penuh keringat, terlihat
cemas dan khawatir. Kemungkinan, dia telah mengevakuasi para wanita dan
anak-anak yang berada di luar.
“Oh, hei mas. Sudah, jangan
khawatir.” High Elf Archer menyeringai dengan santai. “Kami sudah terbiasa
dengan yang seperti ini.”
“Tapi...!”
“Ini,” Goblin Slayer
berkata, memotong ucapannya, “adalah pekerjaanku.”
Dengan deklarasi pelan
terakhir itu, Goblin Slayer menarik pedang, memutarnya dengan pergelangan
tangan.
Adalah goblin yang mereka
hadapi.
Jawaban itu sudah sangatlah
jelas.
“Membasmi goblin adalah
pekerjaanku.”
*****
Pepohonan tumbang. Lolongan
terdengar.
Binatang liar muncul,
taringnya mencabik ke segala arah, berusaha membunuh siapapun dan apapun yang
berada di depan matanya; binatang itu sama sekali menghiraukan goblinnyang ada
di punggungnya.
Jika tujuan iblis kecil ini
adalah untuk sekedar menaiki monster ini dan menungganginya dengan liar, maka
mereka telah berhasil melakukannya.
Namun seolah mereka masih
menganggap monster ini sebagai tunggangan mereka, mereka terus menahan tali
kendali dan meracau tidak karuan. Walaupun tidak peduli seberapa banyak ceracau
yang di keluarkan, semua tidak akan mengubah apapun.
Mokele Mubenbe bukanlah
makhluk semacam itu.
“GKO! GRRB!!”
“MBEEEEEEMMMMBEE!!”
Namun tetap saja, makhluk
itu mengancam rumah para elf.
Raksasa itu menghancurkan
hutan, semakin mendekati deea.
Kalau
mereka menunggangi itu masuk ke dalam desa...!
Namun para elf melintasi
pepohonan mencoba untuk mengawasi keadaan, tidak dapat berbuat banyak. Mereka
memanggil peri bumi dan pohon untuk membantu mereka, melontarkan pelindung
dalam jalan lintasnya. Mokele Mubenbe menghancurkannya dengan mudah, namun itu
lebih baik daripada tidak sama sekali.
Hampir tidak ada elf yang
menembakkan panah mengarah makhluk suci itu.
Atau, setidaknya begitulah
seharusnya...
“Hmm—yah...!”
High Elf Archer, bergerak
layaknya hembusan angin, adalah sebuah pengecualian.
Dia meluncur di antara
ranting-ranting, berayun pada sebuah akar, melontarkan dirinya ke udara, dan
kemudiam, dengan gerakan elegan, menerbangkan panah bermata kuncup.
Panah itu melintasi udara
namun terpantul setelah mengenai sirip punggung Mokele mubenbe.
“...Grr.”
Musuhnya bergerak lebih
cepat darinyang dia perkirakan.
Para elf yang merupakan
seniornya, mengutarakan kemarahan mereka atas tindakan gadis elf muda ini,
namun High Elf Archer tidak teralihkan oleh kesalahannya. Dia menjilat bibirnya
dan kemudian melompat dari tanah, kemudian dari batang pohon, dan dalam sekejap
mata, dia bergerak dengan cepat kembali.
Dia menyusul monster abu-abu
itu tanpa kesulitan, yang di mana dia meloncat ke atas ranting-ranyi, memegang
lumut yang menempel pada batang pohon.
“Aku tahu ini nggak terlalu
sopan, tapi... Yah!”
Menggunakan tangan dan kaki,
dia melontar ke depan, menjaga sikap tenangnya, seraya pada taangan sebelahnya,
dia menggenggam busur dan memuat panah ke dalam mulutnya. Dia menarik tali
busur ke belakang dengan giginya dan menembakkannya.
“GOORB?!”
Terdengar jeritan.
Panah bermata kuncup telah
terbang melintasi sela-sela sirip punggung Mokele Mubenbe dan menusuk salah
satu goblin rider tepat di matanya, dia menggeliat dan menjerit hingga terjatuh
dari punggung monster itu dan terlumat.
“Dia pergi ke sana!”
“Hmm!”
Adalah Lizard Priest yang
merespom teriakan yang terdengar panik dari High Elf Archer. Dia memijakkan
kedua kakinya di bumi, membentangkan lengannya, dan memblokir jalan lintas
Mokele Mubenbe.
Makhluk liar yang mengamuk
sedang berjalan melintasi hutan tepat mengarah dirinya, akan tetapi, tidak satu
sisik-pun yang merinding: tidak satu otot-pun yang berkedut.
“Sungguh musuh tangguh dan
sepadan. Dapatkan kita bertarung di sini dan sekarang?”
Rahang besar lizardman
terbuka menyeringai, dan tawa liar terlontar dari dalamnya.
Sungguh suatu kehormatan
jika dia dapat meraih kemenangan! Dan jika dia harus gugur dalam pertarungan
ini, setidaknya dia dapat mengulur waktu untuk temannya. Dia tidak terlalu
mempedulikan akan bagaimana dadu berguli. Dia membulatkan tekadnya dan akan
melangkah maju.
Hanya sedikit lizardmen yang
di berkahi sebuah kesempatan untuk berhadapan dengan leluhur psra naga besar
sebagai perwakilan teman-temannya.
Luar biasa!
Lizard Priest menarik napas
dalam, mengisi paru-parunya dengan udara basah hutan, dan berpikir jernih akan
kematian. Seperti lizardman lainnya, dia menganggap kematian dalam sebuah
pertarungan adalah kehormatan tertinggi, karena seperti mereka, dia berharap
untuk dapst menjadi jiwa yang dapat pergi dengan gagah berani menuju laham para
naga di tengah perputaran roda kehidupan.
“Iiiiiiiiioiiiiiiiyyyyaaaahhhhhhhhh!!”
Meminjam tenaga leluhurnya,
Dragon Roar Lizard Priest terbang dari mulutnya layaknya napas api. Udara panas
yang di keluarkan dari paru-parunya membuat tempat sekitar bergetar dan
menggelegar seolah terlontar keluar dari dunia.
“MOOOOOOOOBMMBE!!” Mukele
Mubenbe melolong membalas. Makhluk itu menginjak tanah dengan kaki belakangnya
seolah menantang lizardman yang berdiri di depannya, yang tengah menahan kaki
depannya.
Adalah mustahil untuk
mengatakan apakah makhluk besar dan agung ini terintimidasi oleh Lizard Priest.
Namun apapun itu, sang petualang telah berhasil menarik perhatian makhluk itu
terhadap tantangan darinya.
Kedua kaki depannya yang di
angkat, turun menghujam mengarah Lizard Priest seperti palu kembar...
“Minum tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkan parz roh
menuntunmu! Bernyanyi dengan lantang, melangkah dengam cepat, dan pada saat
kamu tertidur mereka akan melihatmu. Semoga sebotol fire wine menyambutmu dalam
mimpi!”
Monster itu terhuyung dan
tersungkur. Kakinya menghantam bumi, melontarkan lumpur, jauh dari Lizard
Priest.
“Hmm! Puji Tuhan.”
“Anggap saja seri dan
lanjutkan Scaly!”
Adalah mantra Stupor. Dwarf
Shaman, yang muncul di samping Lizard Priest tanpa di sadari olehnya, memegang
sebuah kendi anggur pada sebelah tangan yang membuatnya dapat menggunakan
sihir.
Mereka mungkinlah berada di
desa para elf, di pertengahan hutan para elf, namun para peri masih mempunyai
ikatan yang kuat terhadap para dwarf. Dan kepada Dewa.
“MOKEEEEEKKKELE...”
Mokele Mubenbe, yang telah
terpengaruh mantra yang tidak kecil, menggeleng kepalanya tidak pasti.
“Baiklah, semuanya kelihatan
bagus, Beardcutter!”
“Baik.”
Sekarang Goblin Slayer, yang
telah menunggu di akar dari pohon besar di belakang mereka, bergerak beraksi.
Dengan cepat dia mengeluarkam sebuah benda yang terlihat seperti telur,
melemparkannya dengan satu gerakan lihai.
“MOLLLLKEEEEEEL?!?!”
Benda itu mengenai monster
itu tepat di wajahnya, membuatnya terbangun dan menjerit meronta kesakitan.
Telur itu terisi penuh
dengan bubuk perih yang terbuat dari campuran cabai dan serangga yang telah di
haluskan. Terkena dengan itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan.
Sekarang tidak dapat
melihat, dan masih belum dapat berpikir jernih, Mokele Mubenbe mulai mengamuk
liar. Lehernya, tanduknya, ekornya, cuatan pada punggungnya, semua bergerak
kesegala arah secara bersamaan, layaknya sebuah angin topan. Jika seseorang
denggan ceroboh berusaha mendekatinya, maka orang itu akan terlempar ke
belakang.
“Jadi apa yang akan kita
lakukan?” Priestess bertanya dari sampingnya, ekspresinya tegang. Tentunya dia
merasa gugup. Akan tetapi, Goblin Slayer tampaknya tidak merasa terganggu oleh
tatapannya yang bertanya.
“Kita sudah merenggut
kemampuannya untuk berpikir,” dia menjawab tenang. “Sekarang, kita habisi dia.”
Dia mengangkat satu tangan
ke atas kepalanya.
“Jatuhkan.”
“Um, kamu yakin? Apa nggak
masalah?”
Di atas mereka, Gadis Sapi
melihat dari ujung balkoni yang menggantung dari pohon besar, sangat terlihat
ragu.
“Nggak masalah.”
Oke.
Dia mengangguk, masih tidak sepenuhnya yakin, kemudian mengambil
sesuatu yang tergeletak di lantai.
Benda itu cukup besar dan
berat, bahkan dengan ototnya yang terbentuk karena melakukan pekerjaan kebun,
benda itu cukup berat baginya.
Dia melihat mengarah Gadis
Guild yang berada di seberangnya, bersyukur bahwa mereka berdua.
“Oke, aku ambil bagian
sini...”
“Baiklah, aku sebelah sini.
Kasih aba-aba dan kita angkat.”
“Mm. Oke... Sekarang!!”
Kedua gadis itu mengangkat
benda itu dari lantai, kemudian melemparkannya: benda itu hampir bisa di
jabarkan sebagai gumpalan banyak tali.
Untuk lebih spesifiknya,
adalah gumpalan ikatan kulit yang di kerjakan Goblin Slayer sebelumnya.
Benda itu mengjantam tanah
dengan pantulan tinggi, membelit seperti makhluk hidup.
“Kalian berdua, tetap di
sana.”
Sebuah suara membalas dari
atas: “Kamu baik-baik saja?” Namun
dia melambaikan tangan seolah ingin mengatakan mereka untuk mundur dan kemudian
mengangkat jatring itu ke punggungnya. Lizard Priest mengambil salah satu ujung
yang menggantung dengan penuh rasa tertarik.
“Dan apa yang akan kita
lakukan dengan ini?”
“Kita akan melemparnya,”
Goblin Slayer berkata. “Dan kita belitkan kaki makhluk itu.”
“Belitkan? Apakah anda
berpikir itu akan cukup?”
“Kalau nggak cukup, aku akan
memikirkan cara lain.”
“Sangat logis.”
Kedua warrior itu berlari
dengan lincah, menjaga jarak dengan sempurna.
“Oh-ho,” kata Dwarf Shaman. Melompat
kembali dari titik pengintaiannya, High Elf Archer mengeluarkan suara kagum
“Huh!”
Satu langkah, dua, tiga.
Seraya mereka memperkecil
jarak, Goblin Slayer dengan santai dengan santai melemparkan jaring.
Tentu saja, Mokele Mubenbe
tidak semudah itu terjerat. Makhluk agung nan suci ini menginjak jaring dengan
kakinya yang besar. Hentakkannya membuat ikatan itu berguncang.
Jaring yang memantul
mengenai kaki monster itu. Ujung lainnya juga tersangkit di pepohonan dan
membuatnya semakin membelit.
“Ho!” mengamati keadaan,
Lizard Priest membelai rahangnya menghargai dan memutar matanya. “Sungguh
rencana yang baik sekali.”
“Masih belum pasti.”
“Tetapi, walaupun kita tidak
melakukan apapun lagi, jaring tersebut tentunya akan semakin membelitnya.”
Dengan
pengelihatannya yang terhalang, monster itu meronta tidak karuan, melolong dan
menggetarkan tanah. Namun setiap kali makhluk itu melakukannya, jaring itu
semakin menjerat ranting-ranting dan semak-semak.
Semakin kuat dia
berusaha untuk melepaskan diri, semakin berat batu yang terikat di jaring akan
memperlambat pergerakannya…
“MBEMBEMBEMBE?!?!”
Akhirnya,
makhluk itu pun mencapai titik letihnya.
Tubuh raksasa
Mokele Mubenbe, dengan semua empat kakinya tertahan, sekarang mulai terhuyung.
Dan sekali
gerakan itu terjadi, maka tidak akan ada yang dapat menghentikannya.
Tidak ada yang
dapat monster itu lakukan terkecuali terjatuh.
Mokele Mubenbe
tersungkur di tanah dengan benturan yang menggetarkan bumi.
“…Ka-kamu
menjatuhkannya…?” Priestess bertanya, tertegun.
“Secara harfiah,
iya.”
Kabut deb
mengisi udara, dan jeritan monster menyedihkan dapat terdengar.
Goblin Slayer
menggeleng kepalanya mengarah cleric muda itu, dan gadis itu memberikan
anggukan kecil. Kemudian dia meremas tongkatnya, memejamkan mata, dan dengan
cepat menyebut nama Ibunda Bumi, dan mulai berdoa—untuk semua goblin yang telah
mati.
“….Kamu puas?”
“Ya.” Dia
mengangguk. “Aku akan menanangi P3K!”
“Baiklah.”
“Kurasa aku akan
ikut dengan kamu saja.” Dwarf Shaman berkata, menepuk perutnya yang menyebabkan
riak pada roh yang ada di dalam kendinya. “Kalau makhluk itu kelihatannya akan
menimbulkan masalah lagi, aku bakal pakai Stupor lagi.”
“Maaf
merepotkanmu, tapi terima kasih banya!”
Priestess
bergegas, di ikuti dengan langkah kaki berat Dwarf Shaman.
Mokele Mubenbe
mengerang pedih, menggambarkan kecemasaan, namun kemudian datanglah lantunan
penyembuhan Priestess, “O Ibunda Bumi
yang maha pengasih, ulurkanlah tanganmu kepada luka anak ini,” dan luka
makhluk itu pun tersembuhkan.
Kekuatan ilahi
masih terdapat di sini. Makhluk ini, yang lebih mengarah kepada dewa di banding
makhluk liar, seharusnya memahami itu. Oleh karena itu, Mokele Mubenbe menjadi
semakin tenang dan tidak banyak bergerak. Dengan itu Goblin Slayer
menghiraukannya dan bergerak acuh menuju tujuan berikutnya.
Adalah mayat
para goblin yang telah terlumat di balik tubuh monster itu, tentunya tidak ada
seorangpun yang akan merasa kasihan dengan mereka.
“…Hmm.”
Tubuh-tubuh itu
telah menjadi genangan darah, jeroan, dan tulang, dengan sedikit armor kulit di
antaranya. Walaupun bekas senjata mereka sekarang telah rusak untuk di gunakan
olehnya, tampaknya mereka membawa beberapa belati. Paling tidak, persenjataan
itu tidak terbuat dari batu. Senjata itu terbuat dari metal… Baja. Goblin
Slayer yakin bahwa seseorang telah membuat senjata ini.
“…Darimana kamu
mempelajari perangkap seperti itu?”
Suara itu datang
dengan tiba-tiba.
“Itu cara kuno
untuk menangkap buruan besa.” Goblin Slayer menjawab.
Sang elf dengan
pelindung kepala berikilau di sana, datang secara tiba-tiba dan tanpa suara
layaknya angina. Dia memiliki satu dari busur besar para elf yang menggantung
di punggungnya, dan pada pinggulnya sebuah bundalan tali yang tampaknya
terbuang dari akar.
“Kamu lilitkan
di kakinya dan biarkan bebatuan bekerja dengan sendirinya. Tidak di sangka,
kalau kamu sudah mempersiapkan benda seperti itu sebelumnya.”
“Aku sudah
mendengar kisah tentang ‘gajah’ ini sebelumnya.”
“…Apa?”
Sang menekuk
tubuhnya di samping Goblin Slayer, namun Goblin Slayer sama sekali tidak
meliriknya. “Apa ada desa lain di bagian lebih dalam? Termasuk desa yang bukan
milik para elf?”
“Tidak, tidak
ada desa lain. Bahkan pria obat yang datang dari kota berhenti di perbatasan
hutan, walaupun sekarang mereka tidak lagi kemari…” Sang elf menopang dagu
dengan tangannya seraya berpikir. “Sesekali, petualang akan berkunjung kemarin
mencari herba spesial atau kulit dari monster untuk membuat sesuatu, tetapi…
Yang, mereka tidak akan bisa keluar dari sini.”
“Begitu.” Goblin
Slayer menjawab dengan anggukan; dia mengambil pisau di tangannya dan
memasukkannya di dalam sabuk di pinggulnya. “…Begitu.”
“Perasaan, saya
tidak pernah mendapatkan jawaban yang baik.”
“Ayahku adalah
kepala pemburuh di desaku.” Goblin Slayer berkata dengan gelengan kepala, tidak
sedikitpun melihat elf itu. “Itu saja.”
Tidak lama
kemudian, surya terakhir dari swastamita sirna di penghujung cakrawala. Sebagai
penggantinya, bulan kembar berkelip sama menyinari hutan dengan abhati-nya.
*****
Rapat berlansung
panjang.
Bisa di bilang
para elf tidak memiliki batasan umur; adalah mustahil jika salah satu dari
anggota dewa mereka tidak berumur tua.
Warga dari
berbagai macam umur berkumpul, duduk melingkar, dan di sana, di bawah kelipan
cahaya, mereka berdiskusi tentang masa depan desa ini.
Mereka
membicarakan makhluk dewa yang mengamuk, Mokele Mubenbe. Adalah sangat tidak
sopan untuk menjeratnya.
Terdapat
gerombolan goblin yang muncul di dekatnya. Bukankah sudah hal semestinya bagi
goblin untuk berjumlah banyak?
Tidak dapat di
pungkiri bahwa goblin telah menyerang perahu dan petualang. Para elf tidak
ingin manusia untuk datang dan menimbulkan permasalahan di hutan.
Kemudian tidak
dapat di pungkiri bahwa para goblin menunggangi makhluk agung? Apa para iblis
kecil itu memiliki keberanian sebesar itu?
Setiap masukan
mengundang celaan. Bagaimana jika kita melakukan ini? Mengapa tidak melakukan
itu? Mereka saling melemparkan pendapat.
Mari kita
perjelas: para elf tidaklah bodoh. Elf ada ras paling bijaksana, mungkin lebih
cerdas di banding ras lainnya. Yang semakin menguatkan alasan bahwa mereka
harus mempertimbangkan setiap kemungkinan dan perspektif sebelum bertindak.
Mereka memahami
akan kebodohan dari gerombolan itu, semua orang
setuju akan hal itu.
Mungkin mereka
harus mengambil tindakan khusus untuk melawan para goblin ini, tetapi juga,
mungkin rasa takut mereka tidaklah berdasar.
Adalah jelas
bahwa sesuatu yang jahat tengah terjadi, karena paling tidak, seseorang telah
memasoki para goblin dengan persediaan.
Apakah ini
serangan dari Makhluk-Tak-Berdoa lainnya, ataukah mungkin ini hanyalah hasil
pertengkaran antara manusia?
Jawaban
pertanyaan itu sering mengarah pada ancaman dan bahaya yang tak terlihat.
Manusia melempar
batu ke air dan melihat riak, namun sang elf memperhatikan kemana riak itu
pergi. Manusia hampir tidak pernah berpikir untuk sepuluh tahun ke depan, namun
seorang elf dapat dengan mudahnya berpikir untuk satu abad, atau satu milenia
ke depan.
Manusia mengejek
mereka karena ini, dan itu membuat para elf lambat, pengecut, bahkan bodoh
untuk bertindak—namun justru inilah tanda akan ke aroganan manusia.
Dan dengan
banyaknya sesi tumpahan pikiran berlanjut.
High Elf Archer,
yang tidak memiliki kesabaran dalam hal seperti ini, pamit dengan cepat.
Bermandikan
udara malam, dia menguap lebar.
Terdapat sebuah
ranting di pepohonan besar. Dia melompat dari balkoni ruang tamu mereka,
berjalan ke ujung ranting.
Dia menikmati
semua suara dedaunan yang bergemerisik, melayangkan pikirannya hingga ke ujung
langit seraya dia menatap bintang dan dua bulan.
Ini merupakan
tempat terbaik untuk bersantai dan menikmati apa yang dunia telah tawarkan.
Aku tahu apa yang pasti dia akan bilang, jadi apa
gunanya berbicara?
Akan tetapi
bagaimana-pun hasil dari dewan para elf, High Elf Archer sangat memahami akan
kemana Orcbolg akan pergi. Goblin, goblin, goblin, goblin.
High Elf Archer
adalah pembelot yang telah meninggalkan hutannya, preman yang di masa mudanya
telah menembakkan panah mengarah makhluk agung. Dia tidak memiliki kewajiban
untuk menuruti dewan para tetua. Tentunya. Kemungkinan. Dia berpikir.
High Elf Archer
tersenyum memikirkan ini, memperhatikan seekor burung yang terbang melintasi
langit malam.
Yang di mana….
“Atana.” Dia
yang ku kasihi.
Dia mendengar
sebuah suara layaknya music, walaupun tidak ada satupun daun atau ranting yang
terusik. Suara itu tenang, tidak memarahi, namun High Elf Archer dengan cepat
melepaskan burung yang kakinya telah di ikatkan dengan tabung kecil olehnya.
Burung itu
terbang dengan begitu berisik, setelah beberapa saat menghilang di jendela dari
lorong tempat di mana rapat dewan sedang berlangsung.
“Ettobo no norokotan nokatamu lanachisafu.” Memanjat pepohonan lagi? Kamu ini…
“Ara, iana, yujuretto bonettadasen.” Oh? Biar begitu, kamu sendiri juga di sini mbak.
High Elf Archer
memiringkan kepalanya ke belakang untuk melirik elf lainnya dan menyeringai.
Gaun silver anggun yang menutupi tubuh indah mengisi pemandangannya yang
terbalil. Kakak perempuannya berjalan tanpa suara di atas ranting; High Elf
Archer membenarkan posisinya dengan gerakan yang lincah.
“Onii, etsuka nedigiaku?” Bukannya kamu seharusnya berada di rapat dewan?
“Awachisekami, inatagamashijo.” Aku serahkan sama yang lebih tua buat menanganinya.
Sang elf dengan
mahkota bunga menggeleng kepalanya elegan, sebuah ekspresi melankolis tampak di
wajahnya.
Adalah sangat
jelas bahwa dia juga, telah melarikan diri dari para dewan. Dia adalah anak perempuan
dari kepala desa, seorang permaisuri para elf, akan tetapi, bahkan dia pun
masih terlalu muda untuk di ijinkan berbicara di dalam rapat.
Karena bagi para
elf, senioritas tidak dapat di bantah. Yang semakin menguatkan alasan mereka
akan bagaimana cara mereka memperhatikan sikap dari para makhluk fana sebelum
menjatuhkan hukuman kepada mereka.
“…Iromutsuki?” Kamu
mau pergi?
“Oisedianekoettsuo?” Aku nggak bisa membiarkan permasalah ini kan?
Tidaklah jelas
apakah dia bermaksud tentang goblin, atau Goblin Slayer. Bahkan walaupun
kakaknya ingin bertanya, kemungkinan besar jawaban yang akan di dapatnya
hanyalah senyum ambigu yang tidak berniat untuk menjawab. Mungkin dia sendiri
tidak mengetahui jawabannya.
“……Onurettakau?” Kamu mengerti?
Itulah mengapa
sang elf dengan mahkota bunga harus bertanya.
Dia tidak
memahami apa yang di pikirkan adik kecilnya, apa yang membuatnya menjadi
petualang. Bahkan seorang high elf-pun tidak dapat membaca pikiran orang lain.
“Hito nio numuuuya, oyoniakijimu.” Umur manusia itu pendek.
Ranting itu
tidak berdersik seraya dia berjalan, seolah dirinya merupakan bagian dari pohon
besar itu sendiri. Seolah dia adalah dedaunan yang tumbuh darinya.
“Uamisetiku, inuoyukatatamagisofu.” Seperti bintang berkelip, tidak lama bagi mereka untuk
padam.
Sang elf
menunjuk bintang yang membanjiri langit malam seraya dia berbicara. Surge yang
berkilau tampak begitu jauh, tak dapat di raih. Gerbang hujan. Angin yang
membara.
Adik kecilnya
tertawa kecil melihat gerakan kakaknya, yang terlihat seperti sedang berusaha
meraih apa yang tidak dapat di jangkau, dan kemudian adik kecilnya menjulurkan
lengannya sendiri mengarah langit.
“Oyonurueettakau, amaseen.” Aku mengerti mbak.
High Elf Archer
membuat lingkaran kecil di udara dengan satu jarinya.
“Jadi aku
pikir…” dia berkata riang, kembali berbicara bahasa umum.
Mengapa para elf
selalu terpaku akan keindahan? Apakah bukti akan keanggunan? Ataukah karena
gadis ini telah melarikan diri dari hutan, membuatnya tidak tahan dengan ruang
lingkup kerja kaumnya?
“Mungkin hidup
pria itu akan berjalan sampai lima puluh tahun, enam puluh, tujuh puluh.
Entahlah. Bisa saja berakhir besok.” Dalam cahaya rembulan, semnyumnya membuat
dia tampak begitu muda dan tidak berdosa. “Jadi kenapa tetap bersamanya? Aku
punya waktu untuk mendengarkannya.”
Adalah seperti
meminum segelas anggur.
Seperti mimpi
yang berlalu.
Bukankah para
High elf abadi?
Bagi mereka,
hidup para makhluk fana seperti bintang yang berkelip. Mereka dapat mendambanya
namun tidak dapat menyentuhnya. Dan jika mereka menyentuhnya, maka panas akan
membakar mereka.
“Bukannya itulah
gunanya teman?”
“…Perpisahan
akan membawa kesedihan.” Sang elf dengan mahkota bunga berkata. Dia memberikan
gerakan seolah melemparkan semua bintang yang telah di kumpulkannya.
“Aku nggak terlalu
memikirkannya,” High Elf Archer berkata, sedikit memalingkan pandangannya.
“Bukan masalah besar.”
Nadanya acuh,
dan kemudian, dia mengangkat kakinya mengarah langit.
Dan dengan
mudahnya, tubuhnya terlontar di udara—
“Si dwarf pernah
bilang sama aku.”
--namun kemudian
dia menggapai ranting dengan begitu lincahnya, membiarkan momentum
menggiringnya. Dia melakukan salto di udara dan mendarat tepat di samping
kakaknya.
“Dia bilang
mabuk itu adalah bagian dari kenikmatan minum.”
“Aku paham.”
Helaan kecil terlepas dari bibir sang elf perawan. Dia melihat kepada adik
kecil tersayangnya seperti burung yang berkicau kepada rembulan malam. “Kamu
selalu seperti ini. Tidak peduli apa yang aku ucapkan, kamu tidak pernah
mendengarku.”
“Oh? Kalau
begitu itu membuatku berbeda denganmu? Nona-yang-melarikan-diri-dari-dewan.”
“He-he.” High
Elf Archer tertawa kecil, seperti kicauan burung. Kemudian dia menyipit mata
layaknya seekor kucing, menyeringai kepada kakaknya.
“Aku sama sekali
nggak mengerti apa sih yang kamu lihat dari elf-sok-serius seperti dia.”
“…Kamu sendiri
juga sama saja.” Kakaknya menegur tidak
menyetujui, memberikan adiknya satu pukulan yang cukup keras di dahinya.
Seperti saat
mereka masih kecil—seribu tahun lebih yang lalu, ketika mereka masih seorang gadis
kecil.
“Aduuuhhh,” High
Elf Archer berkata, berpura-pura terluka. Namun kemudian dia berpikir.
Sejak kapan
semua itu di mulai? Ketika dia dan kakaknya menjadi sama tinggi?
Sejak kapan
semua itu di mulai? Ketika kakaknya dan sepupunya mulai menjalin rasa satu sama
lain?
Sejak kapan
semua itu di mulai? Ketika dia mulai menginginkan untuk tidak jadi adik elf
dari kakaknya, dan ingin menjadi elf untuk dirinya sendiri?
Dan sekarang
kakaknya akan menikah. Dia tidak akan lagi menjadi kakak perempuan satu-satunya,
namun dia akan menjadi seorang istri dan penguasa.
Baru beberapa
tahun berlangsung semenjak dia mulai berkelana, mengikuti arus dedaunan yang
terbawa oleh aliran air. Akan tetapi, semua itu terasa bagaikan ingatan dari
seribu tahun yang lalu.
“Apapun yang
kamu lakukan, kembalilah dengan selamat…. Karena kami akan menunggumu.”
“…Iya.” High Elf
Archer menjawab dan mengangguk.
*****
“…Dan apa tadi
yang sebenarnya akan kita lakukan?”
Sang elf dengan
pelindung kepala berkilau adalah sebuah gambaran dari kekesalan seraya dia
menduduki kursinya dengan elegan. Figurnya merupakan sebuah keanggunan,
layaknya ukiran-ukiran mitos. Angin membelai rambutnya, dan dia menggerainya ke
samping dengan kesal. Kenyataan bahwa gerakannya yang sederhana terisi penuh
dengan keeleganan, membuktikan makhluk macam apakah para elf itu.
Duduk di
depannya pada balkoni bermandikan cahaya bulan adalah beberapa kendi anggur dan
piring yang penuh dengan kentang goreng.
“Apa maksudmu,
apa?” Dwarf Shaman berbicara di antara lingkaran orang-orang, membelai
jenggotnya dan terdengar seolah dia tidak berpikir bahwa keadaan ini
membutuhkan penjelasan apapun. “Di hari terakhir dari kehidupan seseorang, dia
dan pria lainnya harus berkumpul dan minum-minum, bodoh.”
“Upacara
pernikahan tinggal beberapa hari lagi, dan terlebih lagi, saya seorang anggota
dewan.”
“Para elf nggak
bakalan menyadari perbedaan beberapa hari dari seribu tahun, dan siding dewanmu
tetap akan jalan, mau kamu ada di sana atau nggak.”
“Tuhan. Kalian
para dwarf memang benar-benar tidak tahu diri.”
“Dan kalian para
elf selalu saja rindu pada pepohonan hutan—padahal kalian sendiri sudah hidup
dalam hutan!” Dan itu akan memakan waktu kalian seumur hidup, walaupun kalian nggak
akan menyadarinya.
Sang elf
tampaknya terlihat tercengang dengan celotehan Dwarf Shaman. Dia mengernyit
alisnya dan menunjukkan ekspresi frustrasi, yang menyebabkan Lizard Priest
memutar matanya.
“Yah, seseorang
memang benar meminum anggur sebelum pergi bertempur,” Lizard Priest berkata.
“Anggap saja dari sudut pandang anda bahwa cara kami adalah untuk menyemangati
para roh, jika anda berkenan.”
“Ataukah
mungkin, para elf tidak mempunyai adat seperti itu?”
Sang elf dengan
pelindung kepala berkilau mengatakan bahwa mereka memilikinya.
“Karena itu,
saya mengajak anda, tetapi…apa anda benar-benar akan pergi?”
“Tentu saja.”
Jawabnya, cepat
dan pasti, tentunya berasal dari Goblin Slayer.
Helm baja yang
terlihat murahan, armor kulit yang kotor, senjata dan perisai yang petualang
itu saat ini sedang letakkan—dengan ini semua, Goblin Slayer mengangguk.
“Ini menyangkut
para goblin. Aku nggak akan membiarkan satupun dari mereka untuk hidup.”
“Kalau begitu,
apa rencanamu untuk menyerang mereka?” sang elf dengan pelindung kepala
berkilau bertanya dengan rasa penasaran,
menjilat bibirnya untuk melembabkannya. “Jika beasumsikan kalau sarang
goblin itu berada di dalam hutan hujan…”
“Hmm. Kurasa,
lewat daratan atau air,” Goblin Slayer menjawab, melipat lengannya dan
menggerutu. “Bagaimana menurutmu?”
“Saya percaya
bahwa air adalah satu-satunya pilihan kita, nona ranger kita mungkin akan
baik-baik saja, namun saya setidaknya ingin tidak melibatkan cleric kita dengan
kelembaban dari hutan hujan.” Lizard Priest menjawab tanpa ragu. “Wilayahnya
memihak pada musuh kita. Alih-alih melintasi pepohonan, saya rasa akan jauh
lebih baik bagi kita untuk mengikuti sungai.”
“Permasalahannya
adalah perahu.” Goblin Slayer berkata, memikirkan tentang perjalanan mereka.”
Perahu itu sama sekali nggak melindungi kita dari panah. Itu sama saja kita
meminta mereka untuk membalikkan atau menenggelamkan perahu kita.”
“Apakah kita
tidak memiliki waktu yang cukup untuk membuat beberapa peningkatan?”
“Para goblin
sudah mengetahui pemukiman ini. Semakin cepat kita bergerak melawan mereka,
semakin terbatas pilihan mereka.”
“’Serangan yang
cepat lebih baik dari pada muslihat.’ Benar, benar.”
Seraya mereka
duduk dengan bersila, Goblin Slayer dan Lizard Priest dengan cepat meracik
rencana.
Adalah
pemandangan biasa akan hmm dan huh. Lizard Priest menjulurkan lehernya
yang panjang untuk melihat Dwarf Shaman.
“Master pembaca
mantra, apakah anda memiliki trik tersembunyi?”
“Hmm, coba ku
lihat.” Dwarf Shaman menjilat jarinya bersih dari kentang yang terus di
makannya dan mulai merogoh isi tas katalisnya.
Jika di lihat
sekilas, isi tas itu tampak seperti koleksi beberapa sampah; bagi seseoranga
yang tidak memiliki pemikiran terlatih, maka mereka tidak akan pernah menyangka
bahwa benda-benda ini sesungguhnya adalah benda sihir.
Dwarf Shaman
membongkar persediaannya seperti seorang pemain kartu memeriksa kartu yang ada
di tangannya, dan kemudian, dia mengangguk.
“Kemungkinan
yang bisa ku lakukan cuma memanggil roh angin untuk menangkis panah yang terbang
mengarah kita. Sayangnya, roh angina dan aku tidak begitu akur.” Memang benar,
semua empat elemen besar—tanah, air, api, dan angin—di gunakan untuk menempa
baja.
Tetapi tetap
saja kualitas dari hubungan dengan angin merupakan cerita yang berbeda.
“Jika hanya itu
yang kalian butuhkan, mungkin saya dapat meminta bantuan peri,” sang elf dengan
pelindung kepala berkilau menawarkan bantuan, yang di mana Dwarf Shaman menepuk
perutnya dan menjawab bahwa mereka akan merasa bersyukur.
Akan tetapi,
kebalikannya dari sang dwarf yang ceria, sang elf bergumam, “Tidak masuk akal.”
Goblin Slayer melihat kepadanya.
“…Kalau saya
boleh jujur, saya tidak dapat mempercayainya,” sang elf berkata.
“Percaya apa?”
Goblin Slayer bertanya.
Mungkin sang
calon pengantin pada akhirnya sudah mulai menerima pesta kecil-kecilan ini,
karena dia tengah mengisi cangkir tanduknya dengan begitu banyak anggur.
“Ini adalah desa
elf. Apa benar iblis kecil itu benar-benar membangun sarangnya di dekat kami?”
Dia berpikir,
walaupun dia telah melihat para rider itu, telah menyaksikan akan bagaimana
mereka membuat makhluk agung Mokele Mubenbe mengamuk.
“Saya sama
sekali tidak menyangka bahwa mereka akan melakukan tindakan jahanam seperti
itu,” dia berkata.
“Ya,” Goblin
Slayer menjawab. “Aku juga berpikiran sama.”
“Hrm….”
“Goblin memang
bodoh, tetapi mereka tidaklah tolol. Mereka akan datang. Tapi…”
Ini. Dwarf
Shaman menuangkannya anggur. Goblin Slayer menerimanya dan kemudian meminumnya
dengan sekali teguk.
“Apa menurutmu
goblin cukup pintar untuk dapat terintimidasi oleh para elf?”
Inilah maksud
dari semuanya.
Mereka tidak
berpikir ke depan, namun hanya mencoba mendapatkan apapun yang mereka bisa
dapatkan di depan mereka.
Jika mereka di
serang oleh para elf, atau oleh para petualang, mereka mungkin akan melawan,
atau mungkin mereka akan melarikan diri. Jika tidak, itu artinya hanya terdapat
satu kebenaran bagi mereka: Para elf
bodoh itu menjalani hidup yang mudah, karena itu ayo serang mereka dan mencuri
dari mereka, dan perkosa mereka dan bunuh mereka.
Hanya itu.
Kenapa? Karena
para elf selalu membuat kehidupan mereka menjadi tidak nyaman.
Tentu saja
mereka akan membunuh para elf.
Tentu saja
mereka akan memperkosa para elf.
Para goblin akan
mengerahkan segala yang mereka miliki untuk menindas mereka yang mencemooh para
goblin sebagai makhluk lemah.
“Tanpa kamu
sadari, aka nada sebuah sarang di dekat desa. Pertama, mereka akan mencuri
ternak, tanaman, dan perkakas. Kemudian warga. Dan akhirnya, desa kalian.”
“Seseorang tidak
akan pernah memuji goblin, tidak satupun—“ Lizard Priest menggigit bongkahan
kejunya yang berada di dalam barang bawaannya sendiri, menggerakkan rahangnya
ke atas dan ke bawah sebelum mengakhirinya dengan tegukan anggur. “—tetapi
pikiran munafik dan keserakahan mereka tidak dapat di remehkan.”
“Apa kamu
mengagumi keserakahan mereka?” Sang elf dengan pelindung kepala berkilau
bertanya, yang di mana Lizard Priest memberikan gelengan kepalanya, “Tentu saja
tidak.”
Dia mengayun
ekornya di atas lantai balkoni dan kemudian membentangkan tangannya lebar
seolah memberikan khotbah. “Apalah arti dari apa yang kita sebut keserakahan
itu sendiri?”
“Yah, kamu tahu
Scaly. Itu…Saat kamu mau memakan sesuatu yang lezat, atau bercinta dengan
seorang wanita, atau ketika kamu sedang mencari uang.”
“Mm. Selera
makan adalah bentuk dari keserakahan, seperti teman kita, cinta kita, mimpi
kita. Apakah itu baik ataupun buruk tidaklah begitu penting ataupun perlu di
cemaskan.”
Tidak ada
jaminan bahwa yang kuat akan memakan yang lemah, yang tangguh akan suatu hari
tumbang, atau yang perkasa akan dapat selamat. Rahang Lizard Priest
menyeringai.
“Untuk dapat
hidup adalah keinginan dan harapan, untuk menginginkan sesuatu; Adalah jalan
kehidupan bahkan bagi serangga terkecil yang bertengger di atas rerumputan.”
“…” Sang elf
dengan pelindung kepala berkilau terdiam dan mendengus menghargai. “Saya tidak
yakin apakah itu dapat di terapkan bagi kami para elf.”
“Tuhan. Kalian
ini lambat sekali dalam bertindak. Kalian ini terlalu gemuk buat bergerak?
Lebih gemuk dari seorang dwarf kah? Hmm?”
“Makhluk fana
cenderung terburu-buru.”
“Itulah kenapa
kamu butuh banyak abad untuk memilih istri eh?”
“Hmm… Jaga
mulutmu,” sang elf berkata tegas. Lizard Priest menjulurkan lidahnya riang dan
menuangkan anggur kembali.
“Ini, ini, minum
dulu.”
“…Baiklah.”
Sang elf
menghabisi gelasnya. Pipinya mulai berwarna.
“Kalau kamu
nggak keberatan saya bilang begini—Kalian semua sudah mengenal tentang adik
iparku, bukan?”
“Ya.” Goblin
Slayer mengangguk. “Kami mengenalnya selama setahun… Setahun setengah
sekarang.”
“Saya menikahi
kakaknya.” Dia melanjutkan, seperti terdengar jengkel, dan mengambil salah satu
kentang goreng; dia memasukkannya ke dalam mulut dan mengernyit. “…Terlalu
asin.”
“Saya pribadi
menyukai sedikit rasa asin.” Lizard Priest berkata, dengan riang melemparkan
beberapa jajanan ke dalam rahangnya.
Sang elf dengan
pelindung kepala berkilau, menanggalkan semua kehormatan yang di emban
sebelumnya, meletakkan siku pada lututnya dan menopang dagu dengan tangannya.
“Adiknya seperti
itu, tetapi juga kakaknya juga kurang lebih. Kekhawatiranku nggak ada habisnya,
tapi aku punya perasaan kalau aku tidak begitu di sukai.”
“Hoo, Hoo-hoo,”
Lizard Priest tertawa. “Tuanku Goblin Slayer mungkin mengetahu sesuatu karena
dirinya sendiri adalah seorang adik. Mungkin anda mempunyai pendapat?”
“Ho,” sang elf
berkata dengan nada tertarik. “Dia punya kakak perempuan?”
“Yang saya
dengar begitu.”
“…Aku,” Goblin
Slayer bergumam dan kemudian meneguk anggurnya. “Aku selalu merepotkan
kakakku.”
“Bocah memang
selalu buat masalah, memang sudah seperti itu.” Dwarf Shaman berkata seraya dia
menuangkan anggur ke dalam gelas kosong Goblin Slayer. Wajah berjenggotnya
tersenyum. “Bukan hal yang memalukan.”
“Aku nggak
setuju.” Goblin Slayer menghabisi gelasnya kembali, menggeleng kepala perlahan.
“Kalau aku nggak ada di sana, mungkin dia akan pergi menuju kota.”
Dan itu akan menjadi lebih baik untuk semua orang. Dia mendengus. Kemudian meminum kembali.
Dwarf Shaman
menuangkan gelasnya kembali, dan Goblin Slayer-pun menghabisinya lagi.
“Aku lah yang
membelenggu kakak-ku di desa itu.”
“Jangan bicara
bodoh,” sang elf dengan pelindung kepala berkilau mendengus. “Apa kita pernah
menilai sebuah bunga yang layu dalam setahun? Arti dari biji bunga yang
terjatuh di pasir? Apa kamu dapat menimbang berat kehidupan seekor tikus dengan
seekor naga?”
“Apa maksudmu?”
Dwarf Shaman berkata, masih dengan riang meminum anggurnya.
“itu adalah
pepatah kaum elf.” Sang elf menjawab, seolah membeberkan sebuah rahasia kepada
mereka. “Di manapun dan kapanpun seseorang berada, tidak peduli jika seseorang
itu hidup atau mati, semuanya sederajat. Adalah sesuatu yang berharga.” Dia
mengarahkan jari telunjuknya ke atas, membuat lingkaran di udara. Adalah sebuah
gerakan yang elegan dan indah. “Semua hal adalah satu dalam kehidupan. Dapatkah
sesuatu yang sederhana seperti lokasi dapat merubah kebahagiaan seseorang?”
“Begitu.” Goblin
Slayer berkata, mengangguk. “…Aku mengerti.”
“Sudah
seharusnya.” Sang elf dengan pelindung kepala berkilai berkata, dan kemudian
menarik napas dalam. Udara malam mengisi paru-parunya.
Cinta adalah takdir
takdir adalah kematian
Bahkan ksatria yang mengabdi pada
seorang
perawan
suatu
hari akan binasa dalam cengkraman
kematian
Bahkan sang pangeran yang berteman
dengan penguasa langit
harus merelakan wanita yang ia cinta
Tentara bayaran yang mencintai seorang
cleric
akan gugur dalam pengejaran mimpinya
Dan raja yang mencintai perawan kuil
tidak dapat lepas dari perpisahan
Akhir kehidupan
bukanlah akhir bab dari kisah kepahlawanan
Begitu pula petualangan yang bertajuk
kehidupan
akan terus berlanjut hingga akhir
Persahabatan dan cinta
kehidupan dan kematian
Kita tidak dapat lari
dari hal-hal ini
Dengan demikian apa yang harus
kita takuti
Cinta adalah takdir
dan takdir kita adalah kematian
Ho. Dwarf
Shaman bertepuk tangan. Lizard Priest memutar matanya untuk mengeskpresikan
rasa tergugahnya. Sang elf, telah
menyelesaikan lagunya, tentunya merasa malu, karena dia langsung meneguk habis
gelasnya.
“Itulah mengapa
aku akan menikah.”
“…Tapi masalah
yang ku buat pada kakakku,” Goblin Slayer berkata datar. “adalah sebagian
alasan mengapa dia nggak pernah menikah.”
“Justru itu
semakin menguatkan alasan anda untuk membalas budi anda kepadanya.”
“Ya,” Goblin
Slayer berkata, menepuk pundak Lizard Priest. Dia mempunyai banyak hal untuk di
pikirkan, dan banyak hal yang harus di lakukan. “Itu memang tujuanku.”
11 Comments
baru kali ini ane first lagi. udah 2 chapter keduluan orang terus wkwkwkw
BalasHapusmakasih terjemahnya min
Sama2 mas. Terima kasih komentarnya :D
HapusLanjut min
BalasHapusTerima kasih admin,semoga selalu diberi kesehatan, aamiin
BalasHapusAmin mas... :)
HapusCoba aja goblin slayer gabung sama party pahlawan, pasti ez lawan raja iblis
BalasHapusSaya rasa itu nggak akan terjadi, karena si GS sama sekali tidak peduli dengan hal lain terkecuali goblin. dan kemampuan tempur si GS walaupun dia silver, tapi jauh di bawah rata2.
BalasHapusKecuali, kalau raja iblisnya dr ras goblin.
HapusSemangat terus, terima kasih #shirou
BalasHapusTerimakasih, dan semangat terus
BalasHapusLuka dan trauma goblin slayer ngena bgt... Makasih terjemahannya min
BalasHapusPosting Komentar