PILIHAN
(Translator : Hikari)
Malam
itu, saat aku berjalan melintasi koridor ke ruangan Utano-san untuk menemuinya
seperti yang kujanjikan, aku berpapasan dengan banyak pelayan wanita. Rasanya
tidak nyata tapi para wanita berseragam pelayan benar-benar menyenangkan untuk
dilihat.
Sementara
memikirkan hal sebodoh itu, aku sampai di depan kamar Utano. Merski dikatakan
begitu, hanya ada sedikit kamar di antara kamarku dan kamarnya. Saat dulu kami
dipanggil, hanya aku dan dia orang dewasanya dalam grup kami, sehingga kami
memutuskan bahwa akan lebih praktis bila kamar kami berdekatan untuk
berjaga-jaga. Tidak ada maksud lain di baliknya… …setidaknya aku ingin berpikir
begitu.
Di
depan kamarnya, aku menarik napas dalam-dalam dua kali. Saat ini belum
benar-benar larut tapi sudah lama sekali sejak aku mengunjungi kamar seorang
wanita di malam hari, jadi aku merasa sedikit gugup tanpa sadar. Selain itu,
aku takut dengan omelan yang mungkin dia berikan juga.
Menenangkan
diriku sendiri, aku mengetuk pintu dua kali.
"?"
Tapi
tidak ada tanggapan. Merasa sedikit kecewa, aku mengetuk lagi. Karena aku bisa
melihat cahaya merembes keluar dari celah pintu, dia seharusnya ada di dalam
kamar. Aku menunggu sebentar, tapi masih tidak ada respon.
Apa
dia benar-benar tidak ada di dalam? Saat aku mencoba untuk mendengar sedikit
ada apa di dalam, kudengar suara yang sedikit sibuk. Sepertinya dia agak
terburu-buru.
"Silakan
masuk."
Tepat
ketika aku akan mengetuk lagi, akhirnya sebuah respon muncul. Aku bisa tahu
bahwa itu adalah Utano-san meskipun lewat balik pintu.
Apa
yang sebenarnya dia lakukan? Saat aku membuka pintu dengan bingung, aku sadar
bahwa ada orang lain di kamar itu. Meskipun tidak seberat Knight yang kutemui
di siang hari, dia masih lebih tinggi dariku. Seorang pria muda berambut coklat
berpakaian bagus. Mata sipitnya bergerak ke arahku.
"Lama
tidak bertemu, Renji-san."
"Oh,
Kuuki. Sudah lama, ya."
"Ya.
Sudah setahun. Aku benar-benar khawatir saat kau dibawa dalam keadaan penuh
luka, kau tahu?"
Saat
dia berjalan ke arahku sambil bicara, perbedaan tinggi badan kami membuatku
mundur selangkah. Aku cukup tinggi tapi orang ini masih melampauiku sendikit.
Bahkan di dunia lain, aku tidak pernah bertemu siapapun setinggi ini. Wajahnya
memberikan kesan seseorang dengan kepribadian yang baik tapi tinggi badannya
terkadang membuatnya terasa lebih menekan.
Kuuki
mengulurkan sebelah lengannya dan aku meraihnya untuk berjabat tangan.
"Tidak,
aku serius. Aku merasa takut kau tidak akan pernah membuka matamu lagi."
(Kuuki)
"Jangan
mengatakan hal yang membawa sial seperti itu. Cheat Koutarou selalu membuatku terlihat seakan aku sudah mati
bagaimapun juga." (Renji)
"Haha,
benar. Kau selalu mati menurut cheatnya,
ya 'kan?"
"……Itu
bukan bahan tertawaan, lho?"
Tapi
yah, mengingat bahwa aku tidak pernah benar-benar mati, kurasa itu bisa menjadi
bahan tertawaan juga. Kenapa prediksi Demonic Eye selalu salah? Apa aku semudah
itu dibunuh atau cheatnya rusak?
Kuharap itu yang terakhir.
Kesampingkan
hal itu.
"Apa
kau tambah tinggi lagi?" (Renji)
Aku
merasa harus lebih mendongak lagi daripada setahun yang lalu. Leherku mulai
terasa pegal.
"Kelihatannya
begitu… … O'brien-san juga bilang 'berhentilah tumbuh'."
"Itu
bukan sesuatu yang bisa dihentikan dengan sebuah perintah, 'kan……tapi tetap
saja, bagilah sedikit tinggi badanmu denganku!"
"Renji-san,
kau sudah sangat tinggi, lho."
Itu
benar. Aku saat ini 180cm. Akan menyusahkan juga bagiku kalau aku tumbuh lebih
tinggi lagi.
"Kalian
semua sudah selesai ngobrol?"
Saat
kami tertawa bersama, sebuah suara yang cukup letih muncul. Ketika kami
sama-sama menoleh ke sumber suara tersebut, pemilik ruangan ini menatap kami
dengan lengan terlipat. Saat ini dia tidak dalam jubahnya yang biasa tapi dalam
pakaian mirip gaun tidur putih yang terlihat nyaman terbuat dari semacam kain
yang halus. Selain itu dia juga mengenakan sebuah syal tebal. Rambut kuning
terangnya digerai dan dia memancarkan kesan yang sama sekali berbeda dengan
sebelumnya. Bersinar akibat cahaya dari lampu sihir, kecantikannya jadi semakin
menonjol. Bahkan aku, yang terbiasa melihat wanita bernama Utano Yuuko ini,
benar-benar terpana untuk sesaat.
Tapi
yah……bahkan meskipun dia melipat lengannya, tidak ada yang berubah di area
dadanya. Aku hanya melihatnya sekejap tapi tetap cepat-cepat berpaling agar tidak
diketahui. Sebagai seorang lelaki, mau tidak mau mataku menjelajah seperti itu.
Rak
buku di kamarnya yang jelas bertambah jumlah bukunya dibanding sebelumnya muncul
di pandanganku. Dia memiliki banyak buku saat itu juga tapi hanya dua rak.
Sekarang, menutupi semua dindingnya……kecuali jendela untuk membiarkan cahaya
masuk, ada total delapan rak yang berbaris. Dan setiap rak tersebut dipenuhi
dengan catatan-catatan dan buku-buku.
Bahkan
di meja kerjanya, ada banyak buku yang ditumpuk rapi. Kurasa kemungkinan besar dia
cepat-cepat membereskan kamarnya saat aku datang tadi. Meskipun kupikir itu
mungkin terlalu terlambat karena Kuuki sudah di sini. Dia tidak begitu pintar
dalam bersih-bersih dan merapikan barang seperti itu. Kalau itu adalah dirinya
yang dulu, ada kemungkinan buku-bukunya berserakan tidak hanya di meja tapi
juga di lantai.
Akhirnya,
aku mengarahkan tatapanku langsung padanya.
"Selamat
datang, kau terlambat." (Utano)
"Aku
bermimpi buruk, jadi aku akhirnya tertidur sedikit lebih lama dari yang
kurencanakan."
Sambil
menggaruk pipiku, aku bergerak maju. Mungkin aku sebaiknya tidak mengatakan
bahwa padahal dialah yang tadi masih membuatku menunggu di luar. Saat aku
memikirkan itu, wangi manis bunga menghampiriku. Meskipun ada hal-hal yang
mirip dengan parfum yang digunakan para bangsawan di dunia ini juga, Utano-san
tidak kelihatan begitu tertarik dengan hal itu jadi aku sedikit terkejut. Aku
akan tertawa seperti orang gila sekarang kalau Kuuki mengatakan bahwa dialah
yang memakai parfum tapi sepertinya tidak seperti itu.
"Ada
yang salah?"
"Hm,
tidak, bukan apa-apa."
Sepertinya
selama setahun terakhir ini, dia menjadi sedikit lebih kewanitaan juga. Tidak,
yah, aku memang melihatnya sebagai seorang wanita sebagaimana mestinya saat itu
juga tapi dia memang memiliki kebiasaan ceroboh dan tidak disiplin secara
pribadi meskipun dia bersikap sempurna di depan orang lain, jadi aku hanya
sedikit kaget melihatnya menggunakan sesuatu seperti parfum. Aku menjadi agak
sadar dengan Utano-san sebagai seorang wanita saat dia menatapku dengan
bingung.
Mengingat
tentang apa yang terjadi di siang hari, alasan lainnya mungkin hanya karena aku
menjalani hidup dengan sangat sedikit wanita selama setahun ini. Saat aku
berpikiran begitu, mendadak perutku bergemuruh lapar. Memikirkan makanan saat
mencium aroma bunga……kurasa aku lebih suka pangsit daripada bunga,
perut/makanan sebelum percintaan. Pepatah itu benar-benar cocok untukku.
"Wah,
kau belum makan?" (Utano)
"……Aku
tertidur selama ini bagaimanapun juga. Yah, aku tidak selapar itu, aku akan
baik-baik saja." (Renji)
"Tidak
bisa begitu, Renji-san. Kau masih dalam proses penyembuhan, kau perlu mendapat
asupan makanan yang benar." (Kuuki)
"Ya,
ya."
Aku
duduk di sofa yang ada di tengah ruangan. Aku merasa sedikit aneh duduk di sofa
semacam ini setelah sekian lama. Pasti karena kenyataan aku duduk di kursi kayu
selama ini. Saat aku tersenyum simpul atas fakta tersebut, Kuuki duduk di sisi
seberang meja. Aku akan mengabaikan saja perutku yang terus bergemuruh saat
ini. Akan memalukan kalau aku memikirkannya.
Melihatku
telah duduk, Utano-san membunyikan sebuah bel kecil yang ada di mejanya. Dan,
seakan mereka telah menunggu hal itu, pintu diketuk saat itu juga dan seorang
wanita berpakaian seragam pelayan muncul. Dia pasti beberapa tahun lebih muda
dariku dan Utano-san, menurutku.
Aku
menatap kosong Utano-san saat dia meminta pada si pelayan itu beberapa minuman
dan makanan ringan. Melihatnya memerintah seperti itu seakan dia terbiasa,
entah kenapa cocok untuknya. Dia benar-benar kelihatan keren di saat-saat
seperti ini. Meskipun aku merasa aku akan dimarahi olehnya, diomeli bahwa kata
'keren' bukan pujian untuk wanita.
Saat
dia selesai dan kembali berbalik pada kami, tatapan kami bertemu.
"Ada
apa?" (Utano)
"Bukan
apa-apa, aku hanya berpikir bahwa sofa ini benar-benar bagus." (Renji)
"Orang-orang
biasanya tidak datang ke sini, tapi bagaimanapun juga ini masih istana
kerajaan. Kalau aku tidak mengatur setidaknya barang berkualitas seperti ini,
orang lain akan mulai mengeluh."
Yah,
tidak ada yang datang kemari mungkin karena mereka takut dengannya. Jauh di
dalam dirinya, dia memiliki kepribaian yang baik, tapi tatapan matanya memang
menakutkan. Kami bisa mengetahuinya karena kami terbiasa dengan itu, tapi untuk
orang lain kurasa tidak semudah itu.
Kebalikannya,
Kuuki memiliki wajah yang sangat lembut dan mudah disukai orang. Tinggi
badannya yang ekstrim mungkin hanya sedikit nilai minusnya tapi karena wajah
kurus dan ekspresi lembutnya, dia menjadi salah satu orang yang akan diandalkan
di setiap desa yang kami datangi.
"Sepertinya
sang Sage memiliki masalahnya sendiri, ya?" (Renji)
"Kau
akan memahaminya dalam waktu dekat, oh Pahlawan yang hebat." (Utano)
Melihatnya
mengatakan hal tersebut dengan percaya diri, aku hanya bisa mengangkat bahu.
Aku benar-benar tidak ingin memahami masalahnya itu, jika mungkin. Saat aku
melihat ke depan, Kuuki juga menganggukan kepala menanggapi perkataan Utano.
Karena dia tinggal di istana juga, kurasa dia harus berhadapan dengan hal
semacam itu kurasa.
"Aku
benar-benar tidak cocok menjadi seorang Pahlawan." (Renji)
"Benar.
Aku juga tidak cocok untuk dipanggil Sage." (Utano)
"Oh
tidak, tidak." (Kuuki)
Sambil
mendengarkan suara Kuuki yang agak menyindir, Utano-san datang dan duduk di
sebelahku dengan hanya meninggalkan sedikit celah di antara kami. Dan dengan
suara kering, menaruh pecahan jantung Dewa Iblis yang mirip permata hitam di
atas meja.
"Jadi
itu jantung Dewa Iblis, ya?" (Kuuki)
"Itu
hanya pecahannya saja. Tunggu, Kuuki. Kau belum pernah melihatnya sampai
sekarang?" (Renji)
"Ya.
Hanya Raja, O'brien-dono, Aya dan temanmu yang bernama Mururu yang pernah
melihatnya sampai sekarang." (Utano)
Ada
apa dengan pemilihan seperti itu. Kalau Aya diperbolehkan melihatnya, kenapa
Kuuki tidak? Seakan menyadari kebingunganku, Kuuki mengangkat tangan sambil
tersenyum simpul. Aku sama sekali tidak berpikir kau perlu meminta ijin seperti
itu untuk bicara, kau tahu?
"Aku
tadinya sedang dalam ekspedisi. Aku baru saja kembali belum lama ini."
(Kuuki)
"Ah,
aku mengerti." (Renji)
Jadi
karena itulah hanya ada sedikit orang saat siang tadi.
"Kau
kelihatannya sibuk." (Renji)
"Ya,
benar sekali. Akhir-akhir ini, para monster menjadi sedikit terlalu
aktif." (Kuuki)
"Ordo
Kesatria sedikit kekurangan orang saat ini. Terutama Ordo Pertama sampai Ordo
Keempat yang paling sibuk sekarang. terutama Yuuta-kun, karena spesialisasinya
sebagai [perisai]." (Utano) (TL :
Catatan kalau lupa, Yuuta adalah nama depan Kuuki.)
"Kau
jadi sangat diandalkan, ya?" (Renji)
"Aku
senang untuk hal itu tapi, serius, aku ingin istirahat sekarang." (Kuuki)
Aku
hanya tersenyum simpul melihat harapan yang begitu mati-matian tersebut. Cheat Kuuki adalah [Perisai
Perlindungan]. Dia pada dasarnya tidak ada yang bisa menggantikan.
Bagaimanapun,
dengan Kuuki di sana, semua orang akan aman sekalipun seekor monster kelas naga
muncul. Kuuki Yuuta mengharapkan [Perisai yang melindungi semua orang]. Itu
menjadi kenyataan sebagai dinding pelindung yang diciptakan Kuuki dengan
dirinya sebagai pusatnya. Itu bahkan memiliki kemampuan untuk menentukan apa
yang akan dinding itu lindungi begitu saja. Entah itu napas naga, sihir iblis
kelas tinggi, atau bahkan sihir mirip bencana alam milik Aya atau Koutarou yang
tidak membedakan mana musuh ataupun kawan, perisainya melindungi kami dari itu
semua berkali-kali.
Karena
dia memiliki kemampuan semacam itu, dia pasti pergi ke garis depan tak
terhitung berapa banyak kali.
"Kau
jadi terikat dengan Ordo Kesatria Ketiga, ya?" (Renji)
"Meskipun
aku masih belum berpengalaman, aku telah dijadikan wakil komandan."
"Itu
prestasi luar biasa." (Renji)
Saat
aku berkata begitu, dia menggaruk pipinya dengan malu-malu. Melihatnya bersikap
seperti biasa, aku juga merasa senang.
"Dia
berkencan dengan tuan puteri juga, jadi meskipun sibuk, dia sepertinya cukup
senang." (Utano)
"Tung—!"
(Kuuki)
"……hou.
Kau memang akrab denganya saat itu juga, kurasa." (Renji)
"Renji-san
juga!"
Melihat
pria tinggi dan tampan merona merah seperti itu, sekarang aku merasa cemburu.
Sialan. Memiliki seorang tuan puteri sebagai kekasihmu, betapa membuat iri.
Tapi tetap saja, akhirnya dia melakukannya ya. Segera setelah kami dipanggil ke
sini, dia dengan cepat akrab dengannya. Bahkan sebelum yang lain menyadari.
Serius, tepat saat kami membiarkan dia menghilang dari pantauan kami, dia
dengan cepat mendekati puteri negara ini. Tidak seperti yang wajahnya kesankan,
dia bekerja terlalu cepat. Seperti itulah dia. ini mungkin hanya pendapat
pribadiku, karena setiap kali aku mengatakannya, dia menyangkalnya mati-matian.
"Jadi,
kapan kalian menikah?" (Renji)
"Aku
tidak bisa sekarang!?" (Kuuki)
"Hmmm,
'belum' ya?" (Renji)
Yah,
kesampingkan perasaan, mereka juga harus memikirkan posisi. Sang puteri dan
penyelamat/Pahlawan negara. Juga ada status dalam istana—yah, begitu dia
menjadi komandan Ordo Kesatria, tidak akan ada masalah.
"Aah,
ayolah. Obrolan ini jadi melenceng terlalu jauh, Yuuko-san!" (Kuuki)
Sementara
aku menggoda Kuuki yang berwajah merah, aku mengambil pecahan hitam itu dari
atas meja. Aku menggenggamnya dengan kekuatan penuh tapi benda itu tidak
hancur. Kurasa sia-sia saja tanpa Ermenhilde.
"Tidak
masalah menghancurkannya?"
"Ini
tidak sesederhana kelihatannya. Dewa Roh juga terlibat bagaimanapun juga."
"Kurasa
itu juga benar."
"……Dan
sekarang kita mendadak kembali ke topik awal. Bisa tidak kalian berhenti
dulu?" (Kuuki)
Sambil
mendengarkan suara letih Kuuki, aku mengembalikan pecahan itu ke meja. Jantung
Dewa Iblis. Karena akulah yang menghancurkannya, aku tahu. Dewa Roh memiliki
kemampuan untuk menghancurkan pecahan seperti ini. Mungkin, lebih baik dariku.
Tapi karena dia mengirimkannya pada Utano-san tanpa melakukannya, dia pasti ada
alasan melakukan hal itu. Awalnya, aku menghancurkannya setahun yang lalu di
benua Abenelm. Bagaimana bisa ini sampai ke sini setelah sekian lama?
"Aku
hanya ingin menghancurkan ini secepat mungkin, sejujurnya." (Renji)
"Kau
tidak bisa. Ini mungkin dibutuhkan dunia ini mulai sekarang." (Utano)
Mendengar
kata-katanya, pandanganku sekali terarah pada pecahan tersebut.
"Jantung
Dewa Iblis yang mencoba menghancurkan dunia?" (Renji)
"Akhir-akhir
ini, monster bertingkah sangat aneh. Kau seharusnya sudah menyadari hal itu
juga, 'kan?" (Utano)
Hmm,
aku menaruh jariku di dagu.
Aku
bisa mengingat cukup banyak contoh. Sesosok Ogre yang muncul di dalam sebuah
desa entah dari mana, keturunan Dewa Iblis, pasukan goblin dan Iblis yang
mengendalikan mereka.
Kuuki
sepertinya sibuk karena pergerakan tak menentu dari monster juga dan bahkan
Dewa Roh yang pemalas situ memutuskan untuk ambil tindakan. Pastinya ada
sesuatu yang terjadi di tempat yang tidak bisa kami lihat sekarang.
"Kalau
kuingat lagi sekarang, Iblis yang menyerang Kota Sihir itu mengatakan sesuatu
tentang membangkitkan Dewa Iblis dan semacamnya." (Renji)
"Ya,
aku juga mendengarnya. Sepertinya itu jugalah salah satu alasannya."
(Utano)
"Apa
maksudmu?"
"Yang
menciptakan dunia ini adalah sang Dewi, Dewa Roh, dan Dewa Iblis, ketiga pilar
itu, ya 'kan?"
Mengatakan
itu, Utano-san mengangkat ketiga jarinya. Dan kemudian, dia menekuk salah
satunya. Kami membunuh Dewa Iblis. Artinya, dunia ini saat ini sedang ditopang
oleh sang Dewi dan Dewa Roh.
"Tapi,
kedua pihak ini tidak dapat menopang dunia ini sendirian. Itu karena dunia ini
diciptakan dalam cara seperti itu sehingga dibutuhkan tiga pilar untuk
menyokong dirinya sendiri."
"Yah,
aku juga tahu hal itu."
Selama
perjalanan, aku juga memikirkannya berkali-kali. Karena ketiga sosok tersebut
menciptakan dunia ini, apakah tidak ada efeknya jika salah satunya dibunuh?
Itukah yang Utano-san pikirkan akibat monster-monster yang bertindak seperti
ini?
Iblis
itu berkata bahwa mereka ingin membangkitkan Dewa Iblis. Aku tidak tahu kenapa
dan bagaimana mereka menggunakan keturunan Dewa Iblis untuk hal itu. Para
keturunan yang terlahir langsung dari kekuatan Dewa Iblis. Monster-monster
dilahirkan oleh Dewa Iblis juga tapi keturunannya memiliki kekuatan yang jauh
lebih besar dari mereka sehingga mereka berdiri di atas para monster normal dan
bahkan para Iblis. Karena itulah normalnya, para keturunan akan menjadi yang
menggunakan monster dan Iblis demi diri mereka, bukan sebaliknya.
"Aku
masih menyelidiki hal itu tapi kurasa, karena kita membutuh satu dari ketiga
pilar tersebut, keseimbangan dunia ini telah hancur." (Utano)
"Fakta
tentang bagaimana Dewi menciptakan manusia, Dewa Roh menciptakan demi-human dan
beastmen, serta Dewa Iblis menciptakan monster dan Iblis?"
"Ya,
menurut dugaanku, pastinya ada semacam dampak yang muncul di benua
Abenelm."
Aku
mengerti. Kurasa itu akan menjadi tempat yang pertama kali terpengaruh. Tapi
karena itu hanya berkaitan dengan monster dan iblis, aku tidak terlalu
memikirkannya. Karena dia mengatakan bahwa dia sedang menyelidikinya, apakah
dia mengutus orang ke Abenelm? Kedengarannya itu merepotkan, benar. Monster,
makhluk buas, dan raksasa amat jarang di benua ini untuk mengamuk di sana.
Dan
jika memang seperti yang dia katakan, maka aku bukannya tidak ada kaitan dengan
masalah ini. Bagaimanapun alasan di balik tindakan-tindakan aneh para
monster……yang membunuh Dewa Iblis adalah aku bagaimanapun juga. Karma bekerja
dengan cara yang aneh, aku jadi menghela napas. Dan di atas semuanya itu——kalau
Dewa Iblis diperlukan dunia ini, artinya kami harus membangkitkan dia, si
brengsek sialan itu.
"Soal
itu, kurasa kita seharusnya mendapatkan Sabda dari Astraera. Apa kau mendengar
sesuatu?" (Utano)
"Kenapa
bertanya padaku? Aku tidak mendengar apapun darinya selama setahun terakhir
ini." (Renji)
"……yah,
kau adalah orang yang paling mungkin dia hubungi. Bagaimanapun juga, dia hanya
memberimu semua pekerjaan itu."
"Jangan
membuatku mengingatnya. Aku jadi depresi."
"Bukannya
itu hal yang bagus? Kau disukai oleh Astraera-sama. Itu bisa dianggap sebagai
sebuah kehormatan, kau tahu?" (Kuuki)
"Diamlah.
Wanita itu tidak sebaik kedengarannya."
Dia
tidak menyebalkan tapi dia terkadang cukup merepotkan. Bagaimanapun, dia banyak
menyulitkanku, dengan semua permintaannya. Biasanya, itu seharusnya adalah
pekerjaan untuk sang Pemberani, Souichi. Tapi kurasa kenyataan tidak berlaku
seperti dalam fantasi. Karakter sampingan seperti apa yang mendapat lebih
banyak masalah daripada si pahlawan utama?
Saat
aku menekuk bibirku dengan tidak puas, pintu pun diketuk. Ketika Utano-san
membalas, si pelayan yang sebelumnya datang dengan sebuah nampan besar dengan
alkohol dan beberapa camilan. Meskipun dipasangi karpet, kurasa memang semestinya
seorang pelayan berjalan tanpa membuat suara sedikit pun.
"Baiklah,
ayo tinggalkan pembicaraan berat untuk nanti." (Renji)
Si
pelayan dengan cepat mengatur semuanya di atas meja. Alkohol yang ditaruh di
meja adalah yang berkualitas tinggi, aku bisa mengetahuinya dengan sekali
lihat…… Yah, kurasa itu seperti yang diduga.
Meminta
si pelayan untuk menjauh, Utano-san menuangkannya untukku. Sebagai gantinya,
aku menuangkan alkohol untuknya dan Kuuki. Ketiga gelas dipenuhi dengan cairan
berwarna coklat keemasan dan aroma minuman keras bercampur dengan wangi bunga
yang sebelumnya. Mendadak, aku teringat sesuatu. Kalau kami mulai minum, kami
benar-benar akan berhenti berbicara tentang hal yang penting.
"Utano-san,
di mana Ermenhilde?"
"Eh?"
Tunggu,
akulah yang kesulitan kalau kau menatapku dengan sangat kebingungan, kau
tahu?"
"Kau
belum bertemu dengannya?"
"Yah,
Yui-chan dan Anastasia juga tidak tahu. Fafnir juga tidak."
Malahan,
aku sepenuhnya terlihat oleh Fafnir.
"Dia
ada di tempat yang paling terakhir ingin kau datangi sekarang." (Utano)
"……aah."
Aku
langsung tahu di mana dia berada hanya dari kata-kata itu. Memahaminya, aku
menghela napas canggung lagi.
Aku
penasaran bagaimana dia melihat reaksiku. Utano-san menyesap seteguk dari
gelasnya sambil menatapku dengan geli.
"Oh
benar, kupikir ini hening dengan anehnya. Jadi Eru-san tidak denganmu."
(Kuuki)
"Akan
kuberitahu Ermenhilde nanti kalau Kuuki menyebutnya berisik, pasti."
"Kenapa
jadi begitu!?"
Entah
kenapa, saat aku menjahili Kuuki untuk melampiaskan rasa frustasiku, Utano-san
menatapku dengan senang.
"Aku
senang kau selamat." (Utano)
"Hm?"
"Bahkan
aku pun sedikit khawatir, kau tahu? Kupikir kau mungkin saja benar-benar
mati."
Utano-san
mengatakannya padaku dengan mata yang sedikit sembap. Menggunakan ekspresi itu
di sini benar-benar curang. Biasanya dia bahkan tidak tertawa tapi dia
menggunakan ekspresi semacam itu hanya saat kami hanya berdua. Mengingat ciuman
itu lagi, aku anehnya jadi sadar kembali.
Sejak
awal, dipanggil ke kamar wanita di malam hari adalah hal yang merepotkan
bagaimanapun juga……yah, aku tetap saja datang begitu saja, sih. Sementara
memikirkan tentang Ermenhilde dan situasi saat ini, aku menegak seteguk dari
gelasku. Aromanya sedikit mirip whisky tapi tidak sekuat itu.
"Itu
benar, baik Yuuko-san dan Aya-chan tidak tidur sama sekali karena cemas, kau
tahu?" (Kuuki)
"Bahkan
aku pun tidak menyangka bertemu monster seperti itu di benua ini sama
sekali." (Renji)
Kalau
aku tahu soal itu, sekalipun memakan waktu, aku akan menghindari melintasi hutan
itu. Si kerangka brengsek itu. Sejujurnya, aku pasti akan mati kalau bukan
karena Mururu. Dia kuat.
"Tapi
sesosok monster sampai memojokkan Renji-san sejauh itu……" (Kuuki)
"Bukan
begitu. Tanpa lepasnya perjanjian, Yamada-kun hanya sekuat kesatria biasa."
(Utano)
"……kau
benar, tapi bukankah kau terlalu keras?" (Renji)
"Aku
membuat penilaian sempurna menurut pendapatku. Kau memiliki kebiasaan
menghadapi lawan yang melampaui kekuatanmu. Perbaiki itu." (Utano)
Aku
tidak punya kebiasaan itu. Aku ingin menyangkalnya tapi kutahan.
Sebenarnya,
aku telah menghadapi lawan-lawan yang jauh melampaui kekuatanku terlalu sering.
Didukung oleh rekan-rekanku, diselamatkan dan dijaga oleh mereka juga. Begitu
pula saat ini. Aku selalu dibuat sadar dengan kenyataan bahwa tanpa
rekan-rekanku aku tidak bisa bertarung sama sekali. Dan akan mati tanpa mereka.
"Padahal
aku benar-benar ingin menghindari pertempuran jika mungkin. Luka-lukanya sakit
luar biasa dan aku juga takut mati." (Renji)
Memindahkan
pandanganku dari Utano-san, aku mengambil camilan untuk dimakan. Mungkin itu
adalah daging Orca sap, benar-benar cocok dengan alkoholnya. Aku meneguk lagi
minumanku untuk membasahi kerongkongan. Sudah lama sejak aku minum bersama
dengan mereka berdua. Aku tidak bisa mabuk malam ini. Sepertinya mereka berdua
berpendapat sama sementara kecepatan minum mereka juga meningkat.
Pipi
wanita yang duduk di sampingku menjadi semakin memerah dan mata kemerahan di
balik kacamatanya menjadi lembap. Apakah dia selalu mabuk secepat ini? Atau dia
stress karena pekerjaan sehari-harinya? Karena kurasa akan tidak sopan untuk
mengingatkan bahwa dia minum sedikit terlalu cepat, aku hanya terus minum saja
dengan kecepatanku sendiri. Yah, mabuk-mabukan di kamar seoranga wanita larut
malam akan menjadi hal yang merepotkan dalam caranya sendiri bagaimanapun juga.
Kuuki,
tidak seperti penampilannya, benar-benar bisa menahan alkoholnya dengan baik.
Mungkin karena dia memiliki tubuh yang besar, atau mungkin hanya karena
konstitusinya. Bahkan saat kami berpergian bersama, aku tidak pernah melihatnya
benar-benar mabuk.
"Serius,
akan sangat baik kalau masalah dengan monster berakhir." (Kuuki)
"Bahkan
setelah Dewa Iblis terbunuh, kurasa beberapa hal tidak pernah berubah, ya? Ini
benar-benar dunia yang sibuk."
Saat
aku meneguk lagi, Kuuki mulai kembali menuang ke dalam gelasku. Sebagai
gantinya, aku mengisi gelasnya dan kami sama-sama mengucapkan terima kasih
singkat.
"Tapi
tetap saja, karena itulah aku ingin menggunakan kekuatan ini demi orang lain
sebanyak mungkin yang kubisa." (Kuuki)
"Ou,
berjuanglah. Tetaplah seperti itu, kau akan mencuri hati sang puteri
juga." (Renji)
"Sudah
cukup soal itu……."
Kesampingkan
fisiknya, dia tidak terbiasa dengan obrolan semacam itu. Yah, mungkin itulah
yang membuatnya populer, sebuah celah antara kepribadiannya. Aku benar-benar
berpikir sang puteri memiliki mata yang bagus. Kuuki adalah pria yang baik.
"Kesampingkan
aku, Renji-san, kau seharusnya berbicara tentang dirimu sendiri." (Kuuki)
"Aku?"
"Apa
yang kau lakukan setahun ini?"
"Aku
bersantai di desa-desa dengan Ermenhilde."
"Kau
akrab bersamanya seperti biasa."
"……Tidak
sesederhana itu padahal."
Aah,
kaki kiriku sakit. Saat aku menoleh ke kiri pada Utano-san, dia masih menyesap
dari gelasnya dengan wajah yang bahkan semakin memerah. Melihatnya memegangi
gelas dengan kedua tangan seperti itu benar-benar imut. Tapi kaki kanannya yang
menginjak kaki kiriku menjadi semakin kuat dan kuat. Kuuki mungkin tidak dapat
melihatnya karena meja ini. Dia masih tersenyum seperti biasa. Aah, benar-benar
sakit.
"Yah,
aku masih mempunyai banyak hal yang ingin kulakukan. Kalau aku akan mati, akan
kulakukan 50 tahun lagi sambil bersantai di tempat tidur." (Renji)
"Itu
benar. Kurasa ancaman monster seharusnya berkurang sedikit pada saat itu
setidaknya." (Kuuki)
Saat
kami terus mengobrol sambil minum, akhirnya aku terbebas dari kaki Utano-san.
"Tetaplah
di ibu kota untuk sementara waktu. Ada banyak hal yang perlu kau lakukan
untukku." (Utano)
"Ya."
Membalasnya
dengan satu kata, aku menyeruput dari gelasku lagi. Entah itu karena
keimutannya atau kengeriannya, aku begitu gugup membalasnya hanya dengan satu
kata. Saat dia sedikit gemetar, aku buru-buru menyembunyikan senyum yang muncul
di wajahku darinya.
"Kalau
begitu, Renji-san, kau tidak akan berpergian lagi?" (Kuuki)
"Yah,
entahlah soal itu. Ada hal-hal yang ingin kulakukan tapi untuk saat ini
setidaknya, aku akan tinggal di ibu kota, anggap saja begitu." (Renji)
Saat
aku menjawab Kuuki, Utano-san mendongak ke arahku. Rona merah di pipinya
mungkin bukan hanya karena alkohol, menurutku.
"Hal
untuk dilakukan?" (Utano)
"Ya,
aku ingin menunjukkan dunia ini pada Ermenhilde dan kemudian dengan tenang
pension di sebuah desa dan bersantai di sana. Ada yang lainnya juga."
(Renji)
"Benar-benar
mimpi yang bagus. Saat kau pension ke desa itu, maukah kau mengajakku
juga?" (Utano)
"Yah,
hanya kalau kau masih belum menemukan pria baik sampai saat itu." (Renji)
"Um……bisakah
kalian berdua berhenti saling menggoda seperti ini?" (Kuuki)
"Padahal
kami tidak melakukannya, lho?" (Renji)
"Kenyataannya,
itu adalah kalimatku, Yuuta-kun. Setiap kali kau di sana di area latihan
terus-terusan berbicara dengan tuan puteri, aku bisa melihat lapangan itu dari
jendela kamarku, kau tahu?"
"……Ehh…"
Saat
kami bertiga tertawa, aku menyeruput lagi. Seperti yang Kuuki katakan, aku
memang merasakan jarak antara aku dan Utano-san menyusut sedikit. Aku tahu
perasaannya juga. Dan Utano-san tahu bahwa aku tahu tentang perasaannya. Dia
selalu datang mendekat padaku tapi selalu akulah yang melangkah mundur. Tubuh
kami sudah menjadi satu juga, dan kami telah mencari kehangatan dari satu sama
lain. Sebagai orang dewasa seumuran yang dipanggil ke sini, kurasa adalah hal
yang normal bagi kami untuk memiliki keinginan yang sama. Ini hubungan yang
sama sekali berbeda dibanding dengan Aya, rasanya sangat nyaman.
Mungkin
suatu hari aku harus memutuskan ke manakah arah hubungan kami ini, tapi untuk
sekarang, aku hanya ingin dimanjakan oleh kebaikannya. Mungkin itulah alasan
utama aku sering disebut tidak kompeten. Mengingat kata-kata Anastasi,
pikiranku kembali ke realita. Mungkin karena dia mabuk, bahkan tatapan
dinginnya yang biasa jadi sedikit basah.
"Sekarang
aku ingat—"
Setelah
memelototiku dalam diam untuk sesaat, seakan dia teringat sesuatu, Utano-san
berdiri. Saat dia mendekat ke mejanya, dia kembali dengan sesuatu yang tersembunyi
di balik mejanya. Wajahnya merah tapi langkah-langkahnya masih mantap sempurna.
Dan
aku tahu benda yang dia pegang di tangannya. Itu adalah pedang mithril yang
sudah kujual dulu sekali di desa itu. Kenapa ada di sini? Aku memiringkan
kepala dengan kebingungan.
"Ini,
bukan barang yang bisa dijual. Kau seharusnya tidak melepaskan ini dengan
begitu mudahnya, Yamada-kun." (Utano)
"Apa
terjadi sesuatu dengan pedang itu?" (Kuuki)
"Um,
yah, sedikit." (Renji)
"Orang
ini menjualnya dengan harga yang sangat murah di sebuah desa karena desa itu
tidak mempunyai uang. Aku harus cepat-cepat menghabiskan banyak uang mendapatkan
seorang pedagang keliling untuk membelinya kembali untukku." (Utano)
Tidak
mengatakan apapun, aku terus menyeruput minumanku. Yah, aku kehabisan uang
makanya aku menjualnya, tapi aku tidak akan mengatakannya. Demi nyawaku. Kalau
aku mengatakannya, dia pasti akan menguburku.
"Sampai
kau membayar kembali biayanya, kau tidak boleh melarikan diri, oke?"
(Utano)
"Oke."
Dan
seperti yang diduga, aku tidak punya pilihan selain mengambil kembali pedang
mithril itu dari Utano-san yang sedang duduk di sebelahku. Batu kecubung yang
dipasangkan pada ujung gagangnya adalah bukti bahwa itu adalah milikku. Karena
aku tidak punya energi sihir, aku tidak bisa menggunakannya tapi saat kau
melakukannya, simbol kerajaan akan muncul, bukti bahwa itu adalah pedang yang
luar biasa
"Kau
menjual pedang yang kau dapat dari raja?" (Kuuki)
"Dan
selain itu, dengan harga yang luar biasa murah." (Utano)
Hentikan,
telingaku sakit. Ayo lanjutkan minum. Sambil mendengarkan mereka berdua bicara,
aku terus minum sambil merasa sedikit malu.
"10
perak. Kau harus mengembalikannya." (Utano)
"……Eh?"
(TL : Sebagai pengingat, di dunia ini perak > emas > tembaga)
Apa-apaan
dengan jumlah yang mengerikan itu!? Tangan Kuuki, yang memegang gelas juga
berhenti di tengah jalan. Saat aku menoleh ke samping, mata mabuk Utano-san
terarah langsung menatapku.
"10?"
(Renji)
"Perak,
ya." (Utano)
100
emas sama dengan 1 perak, jadi……1000 koin emas. Bila menukarnya lebih jauh ke
perunggu, itu jadi 100.000 koin perunggu. Ngomong-ngomong, saat ini aku paling
tidak memiliki sepuluh koin perunggu.
Aku
melihat kembali pedang di tanganku. Karena dia membeliya untuk 10 perak, aku
bisa menjualnya lagi untuk 10 perak, 'kan? Aku cepat-cepat berpikir,
menghilangkan semua rasa mabuk dalam diriku. Tidak, tunggu, tapi kemudian dia
akan membelinya lagi dan aku akan berhutang lagi padanya!?
Karena
jumlah luar biasa yang mendadak itu, kepalaku sama sekali tidak bekerja dengan
benar.
"Aku
turut berdukacita." (Kuuki)
"Oi.
Berhenti kerja sama seperti itu, dasar brengsek." (Renji)
Melihat
pertengkaran kami, Utano-san tertawa pendek. Dia benar-benar mabuk, wanita ini.
Melihatnya seperti itu yang biasanya bahkan tidak tersenyum, aku bahkan
berhenti mempedulikan hutan 10 perak itu. Yah, itu tidak lebih baik bagiku,
sih.
Bagaimanapun,
karena aku tidak memikirkan yang lain juga, kuputuskan untuk menyimpannya nanti
saja. Aku merasa aku akan dimarahi Ermenhilde nanti. Saat aku menuang alkohol
lagi, kusadari botolnya sudah kosong.
"Kurasa
kita sebaiknya selesai sampai sini saja malam ini." (Renji)
"Ah,
kita sudah selesai?" (Kuuki)
"Ya,
dan ada sesuatu yang membuatku depresi sekarang."
"Yah,
bukannya tidak masalah. Akan terasa menyenangkan tinggal di tempat yang sama
untuk sementara waktu, ya 'kan?"
"Dengan
hutang sebesar itu, kurasa aku akan tinggal di sini selama sisa hidupku."
Bahkan
aku bisa tahu bahwa wajahku jadi kram karena itu.
"Wah,
aku sama sekali tidak masalah dengan hal itu padahal." (Utano)
"Ya,
ya. Yang mabuk sebaiknya tidur saja sekarang." (Renji)
Seakan
dia tidak senang dengan sikapku, Utano-san menggembungkan pipinya. Melihat
ekspresi langka itu darinya dari samping, aku menaruh daguku di atas meja.
Seserius apa dia sebenarnya? Memikirkan itu, aku akhirnya berdiri menggelengkan
kepala.
"Baiklah
kalau begitu. Ayo bersih-bersih?" (Renji)
"Ya,
ayo." (Kuuki)
Tapi,
begitu aku akan memulai, lengan bajuku ditarik. Saat aku melihat ke arah situ,
jari-jari yang kurus dengan manisnya menahanku. Aku memindahkan tatapanku pada
si pemilik jari tersebut.
Kuuki,
berpura-pura tidak melihat apapun, cepat-cepat membersihkan semuanya dan telah
mencapai pintu.
"Baiklah
kalau begitu, sampai ketemu lagi." (Kuuki)
Berkata
demikian, tanpa keraguan sedikit pun, Kuuki meninggalkan kamar.
Bedebah
kejam.
Aku
ingin dipuji karena tidak meneriakkan itu keras-keras.
* * *
Aku
berjalan menyusuri koridor saat larut malam. Angin dingin menyentuh kulitku,
membuatku menggigil tapi tubuhku masih hangat karena alkohol. Ini adalah
koridor batu tapi karena lapisan karpet, langkah kakiku tidak terdengar keras,
malah hampir tidak ada. Saat aku melewati beberapa prajurit yang sedang
melakukan jaga malam, mereka membungkuk padaku setiap kali melihatku.
Rak-rak
berhias, bunga-bunga yang cantik, satu set baju zirah perak, dan satu lampu
magis kecil. Semua ini diletakkan di sepanjang koridor, bersinar dalam
kegelapan malam.
Rasanya
sedikit menakutkan, jadi aku akhirnya mempercepat langkah. Derap kakiku yang
hening menjadi sedikit lebih berisik.
Tujuanku
adalah kapel di ujung koridor ini. Utano-san mengatakan bahwa Ermenhilde berada
di tempat yang paling terakhir ingin kudatangi. Maka, itu hanya mungkin kapel.
Dihiasi dengan patung perak sang Dewi, tempat di mana kami semua dipanggil.
Tempat di mana aku mendapatkan Ermenhilde dari Astraera.
Setelah
datang ke dunia ini untuk pertama kalinya, dikelilingi oleh Raja dan yang lain,
hanya anak-anak remaja dan usia dua puluhan yang muncul. Tapi meski begitu,
negara ini memperlakukan kami dengan sangat baik. Mendukung kami semua yang
tidak memiliki kemampuan maupun pengetahuan tentang bertarung. Dan mereka
bahkan bertempur bersama kami.
Mereka
semua orang-orang baik. Semuanya. Karena itulah, kupikir aku akan bekerja keras
demi dunia ini. Demi orang-orang di negara ini, aku memutuskan untuk berjuang.
Aku merasa takut melukai dan terluka dan benar saja, membunuh dan terbunuh
adalah hal yang menakutkan. Tapi tetap saja, aku mengangkat senjataku. Aku
mencoba melakukan apa yang ingin kulakukan. berharap bahwa aku bisa membalas
hutang budi pada orang-orang ini.
Sudah
berapa lama aku berjalan melintasi koridor gelap ini? Akhirnya, di depanku,
terdapat sebuah pintu raksasa. Penampilannya sama seperti sebelumnya dan
tempatnya sama sekali tidak berubah dari apa yang kuingat. Aku tidak merasa
senang ataupun sedih, tapi aku mendorong pintu tersebut terbuka dengan seluruh
kekuatanku.
Saat
itu, napasku akan tersengal-sengal dan aku akan benar-benar kelelahan hanya
dengan membuka pintu ini, tapi sekarang aku bisa membukanya hampir tanpa usaha.
Mungkin aku juga sudah bertumbuh sedikit. memikirkan itu, aku merasa sedikit
aneh.
"Tempat
ini sama sekali tidak berubah."
Saat
aku bergumam begitu, suaraku bergema di dalam kapel yang kosong itu. Di antara
udara dingin yang indah dan fantastis——dan pada patung Dewi, di bagian terdalam
kapel.
"Ermenhilde."
[Kau
terlambat.]
Mendengar
suaranya yang agak marah, aku malah merasa sedikit lega.
Partnerku
yang kucari-cari sedang tergeletak di tangan patung sang Dewi.
"Maaf,
aku terlambat."
[Serius,
aku harus menunggu begitu lama.]
Mengambil
Ermenhilde ke dalam tanganku, aku duduk di salah satu kursi kayu di dalam
kapel. *ping*. Saat aku menjentik
medali itu dengan ibu jariku, suara dentingnya bergema ke penjuru kapel. Dan keheningan
kembali terusik. Tapi, aku tidak peduli dengan itu.
Menangkap
Ermenhilde yang berputar di udara, aku membuka telapak tanganku. Bagian Kepala.
"Hm.
Kelihatannya bagus."
[…..waah.]
Menarik
napas dalam-dalam, aku perlahan menghembuskannya. Udara dingin terasa nyaman di
tubuhku yang hangat karena alkohol.
[Bagaimana
luka-lukamu?]
"Aku
baik-baik saja. Apa aku membuatmu khawatir?"
[Sudah
jelas.]
"Aku
mengerti."
Berkata
begitu, aku menggenggam Ermenhilde dalam telapak tanganku dan berdiri.
"Apa
kau ingat? Di sinilah kita pertama kali bertemu."
[Begitukah?
Maaf, sudah kukatakan sebelumnya tapi mungkin karena menghadapi Dewa Iblis, aku
tidak mengingat hal-hal sebelumnya dengan baik.]
"Tidak,
bukan masalah. Itu bukan hal yang besar."
Menanggapi
kata-kata Ermenhilde, aku memberikan balasan acuh. Sekalipun kau tidak
mengingatnya, sekalipun kau telah melupakannya, meski begitu, aku akan——
Aku
mulai berjalan. Tepat sebelum meninggalkan kapel, aku berbalik ke arah patung
sang Dewi.
"Aku
pulang."
Aku
tidak tahu apakah itu hal yang benar untuk dilakukan tapi aku mengatakannya
pada sang Dewi.
Apa
aku barusan saja berhalusinasi? Tapi, aku merasa seakan suara itu memberiku
sedikit dorongan di punggung.
[Ada
apa Renji?]
"Tidak,
aku ada sesuatu yang harus kukatakan padamu."
[Apa?]
"Aku
berhutang."
[………]
"10
koin perak pada Utano-san."
[…………………Apa?]
Sambil
salah cara menggunakan keberanianku, meski demikian, aku akan——.
0 Comments
Posting Komentar