SEBUAH WAHYU UNTUK DIRINYA
(Translator : Zerard)

“Aku rasa ini sudah saatnya untuk menikah,” High Elf Archer berkata, seolah hal itu bukanlah masalah besar untuknya.
Surya mentari membanjiri masuk melewati jendela, membawa panas terik siang hari.
Adalah musim panas.lustr
Ini bukanlah cuaca yang tepat untuk berpetualang bagi siapapun. Jika tidak ada kebutuhan mendesak untuk mendapatkan uang agar dapat makan, tidak seorangpun yang akan ingin pergi keluar dalam cuaca yang panas menyengat ini.
Akan tetapi, berada di dalam rumah makan tidaklah jauh lebih baik. Beberapa lusin orang masih menggunakan perlengkapan mereka, sesuatu yang mereka rasa wajib di gunakan untuk menunjukkan status mereka sebagai petualang. Kumpulan panas tubuh yang mengepul, terasa cukup panas untuk menandingi panas cahaya matahari.
Hawa udara membuat minuman-minuman menjadi hangat; orang-orang menyeruput sedikit demi sedikit agar minuman mereka dapat bertahan lama. Tidak seorangpun yang berakal sehat yang mempunyai niatan untuk bergerak.
Itulah di mana ketika satu petualang datang, keringat mengucur dari dahinya dan sebuah tas di gendongnya.
“Halo semuanya! Kiriman paket!”
Ini bukanlah hal yang tidak biasa. Pengiriman surat darurat adalah hal lumrah bagi para petualang. Dari tempatnya di meja resepsionis, Gadis Guild memberikan sinyal kepada beberapa penghuni rumah makan, yang di mana mereka segera datang ketika melihatnya.
Masing-masing surat memiliki isi berita yang berbeda.
“Ugh! Mereka sudah mau tutup… yang benar saja!”
“Itu karena kamu berhutang cuma untuk membeli perlengkapanmu, bodoh.”
“Hah! Adik perempuanku punya anak! Aku harus menemui dia setelah satu petualangan lagi”
“Whoa, tarik ucapanmu lagi! Kamu tahu kan konon katanya ucapan seperti itu penanda kematian kan?”
“Huh, panggilan pribadi dari ibukota. Mantap. Ini pertanda bagus.”
“Jadi, kencan…lainnya. Sebuah, perjalanan. Sudah…lama, sekali.”
Surat penagihan pembayaran, surat dari rumah, quest darurat, dan sebaginya. Mungkin hawa panas ini-lah yang membuat mereka semua tidak memperhatikan ucapan High Elf Archer di tengah semua percakapan dan pertukaran informasi ini.
Secarik kertas terkadang di sebut sebagai daun, namun surat yang terima High Elf Archer secara harfiah tertulis di atas daun. Daun itu tertulis dengan bahasa elf yang sangatlah indah; High Elf Archer membacanya dan mengangguk kepada dirinya sendiri.
“Aku rasa ini sudah saatnya untuk menikah,” High Elf Archer berkata, seolah itu bukanlah masalah besar untuknya. Telinga panjangnya berkedut seraya dia berbicara.
“…..”
Terdapat momen keheningan di mana semua penghuni ruangan ini melihat kepada orang lain, mencoba untuk memahami apa yang baru saja mereka dengar.
Percakapan di dalam Guild Petualang meledak layaknya sebuah bom.
Dwarf Shaman mencipratkan anggurnya; Lizard Priest menjulurkan lidah panjangnya dan mendesis, “Oh-ho!”
“Apa tadi?” Gadis Guild bertanya, sementara di sampingnya, mata Inspektur berkilau.
“Waktunya untuk apa?!” Knight Wanita bertanya, berdiri dari kursinya. “Hei,” Heavy Warrior berkata, ekspresi lelah tampak di wajahnya seraya dia menarik lengan baju wanita itu.
Rookie Warrior dan Apprentice Cleric berpura-pura tidak memperhatikan, namun tampak jelas bahwa mereka berusaha mendengarkan.
“Ap— Ap—“ Priestess terus terbata-bata, tangan di mulutnya dan wajahnya merah—dan matanya berkilau.


Di tengah semua keramaian ini, tiga kata dapat terdenagr.
“Begitu?”
Goblin Slayer berbicara dengan ucapannya yang seperti biasa.
“Sama siapa?”
“Sepupu laki yang lebih tua.” High Elf Archer merespon, masih tetap tenang. Dia melambaikan tangannya dan tersenyum. “Bikin kaget saja. Aku nggak pernah membayangkan kalau aku akan bersama seseorang yang kaku seperti dia!”
“Hmm,” Goblin Slayer berkata, mengangguk. “Jadi—“
“Selamat ya!” Priestess, suaranya masih penuh dengan emosi dan wajahnya tersenyum begitu mekar, mencodongkan tubuhnya mengarah High Elf Archer. Dia menggenggam tangan sang elf, berbicara dari dalam lubuk hatinya. “Um, apa para elf mempunyai akad nikah seperti yang kami lakukan? Kalau kamu nggak keberatan—“
“Tentu saja! Dan acara ini untuk anggota keluara kepala suku, jadi ini bakalan besar banget. Jangan sungkan, datang saja!”
Shessh,” Dwarf Shaman berkata, melirik dari samping melihat para gadis yang berbicara. Dia telah selesai membersihkan anggur yang dia cipratkan, memberlai jenggotnya dan menuangkan gelas baru. “Dan di sini aku pikir akhir masa lajang para elf itu tiba dengan cepat, terlebih ternyata dia anak kepala suku.”
“Ha! Ha! Ha! Ha! Ha!” Lizard Priest menepuk ekornya dengan riang di atas lantai. “Tetua memang selalu memikirkan mereka yang masih muda.”
“Bah! Aku yakin kalau aku ini lebih muda dari gadis itu.”
Jadi…apakah menikah pada umur dua ribu tahun termasuk terlalu awal atau telah bagi para elf?
Menghiraukan ekpresi dwarf yang bingung, Liizard Priest menggigit besar kejunya. “Saya rasa ini menandakan sebuah perpisahan kepada nona ranger kita. Ah, hari-hari yang sepi menanti kita…”
“? Apa maksudmu perpisahan?”
“Mm. Apakah anda tidak akan sibuk di ke kedapannya?”
“Nggak bakalan ada anak yang muncul, paling tidak sampai dua atau tiga ratus tahun ke depan.”
Siapa yang mau hamil di beberapa dekade awal menikah? High Elf Archer terlihat sedikit cemberut.
“Puji Tuhan, penilaian waktu para elf sungguh berbeda sekali ya?” Lizard Priest bergumam ketika dia mendengar jangka waktu umur yang di luar nalarnya.
“Yah, bisa di bilang kami ini abadi. Kenapa, bukannya lizardmen juga begitu?”
“Para pengeran, sesungguhnya hanya di ijinkan untuk mempunyai satu telur, sedangkan untuk kami polanya adalah terlahir, berkembang biak, hidupm bunuh, dan kemudian mati.”
“Putaran kehidupannya sangat penting ya?” putar, putar. High Elf Archer menggambar sebuah lingkara di udara dengan jari kurusnya. Dalam hal ini, para elf dan para lizard, yang sama-sama terikat oleh aturan alam mereka, memiliki sebuah persamaan.satu mungkin mencintai pertarungan sedangkannya satunya tidak, dan satu mungkinlah abadi namun satunya fana, tetapi kehidupan dan kematian tetaplah menjemput mereka.
“Huh…” Priestess mengeluarkan suara, tampaknya dia masih sedikit bingung. Roh melayang ke surga, tempat di mana para dewa bersemayam, dan tempat di mana mereka mendapatkan kedamaian. Terkadang, roh-roh itu akan kembali ke atas papan, namun hal ini terdengar seperti berada di luar perputaran kehidupan alam.
“Tapi,” Priestess bertanya, memiringkan kepalanya, “Apa biasanya suami elf membiarkan istri mereka berkeliaran dan melakukan hal yang berbahaya setelah mereka menikah?”
“Uh-uh! Mustahil sepupuku akan mengijinkan itu.” High Elf Archer tertawa dan melambaikan tangannya. “Aku yakin, dia jatuh cinta pada pandangan pertama. Walaupun dia keras kepala dan terlalu serius… Tapi kalau di pikir lagi, mungkin memang gara-gara sifatnya seperti itu.”
“Er…Apa?” Priestess meletakkan jari di bibirnya. “Hmm.” Sesuatu tentang percakapan ini terasa tidak masuk akal.
Rasanya sedikit…aneh. Kayak percakapan kami nggak nyambung.
“Jadi,” Goblin Slayer berkata, masuk kembali ke dalam diskusi dengan tiba-tiba hingga menyebabkan High Elf Archer berkedip. “Siapa yang nikah?”
“Oh, kakak perempuanku.”
“Coba bilang daritadi dasar dada papan!” Dwarf Shaman memberikan tepukan marah pada punggung elf itu.
“Ap?!” Ekspresi High Elf Archer berubah dari terkejut menjadi marah, telinganya tegak lurus kebelakang. Air mata berlinang di matanya. “Apa sih yang kamu lakukan?!”
“Apaan ini? Baru kali ini aku dengar si dada papan nggak tahan pukulan!”
“Kamu ini jahat banget!” Pada momen ini, sang elf telah benar-benar menanggalkan martabatnya sebagai High Elf Archer. “Inilah kenapa aku benci kalian para dwarf! Dasar… Dasar gentung!”
“Bukannya aku sudah bilang kamu—ini bentuk tubuh ideal kami, dan kami menyukainya!”
Dan mereka-pun berlanjut. Priestess sudah terbiasa akan ledakan emosi perdebatan mereka ini sekarang.Priestess menggenggam gelas dengan kedua tangan, menyeruput sedikit demi sedikit air lemonnya, yang sekarang telah menjadi hangat.
“Kalau kita akan bertamu…kami harus memberikannya kado atau semacamnya.”
“Benarkah?” Goblin Slayer mengangguk. Dia melipat tangannya dan terdiam beberapa saat, kemudian dia mendengus dan akhirnya, dengan sedikit kesulitan, berkata, “Aku rasa aku—“
Nggak,” Priestess berkata, walaupun dia tersenyum. Dia mengacungkan satu jarunya kepada Goblin Slayer, yang menelan kembali apa yang hendak dia ucapkan. “Kita sudah di undang secara khusus ke sebuah perayaan besar. Kamu nggak boleh nggak pergi.”
“Itu…” Goblin Slayer berkata beberapa saat. “…Mungkin, tapi—“
“Kita bisa minta tolong sama resepsionis agar quest membasmi goblin di tangani orang lain.”
“Hrk…”
Adalah seperti menggunakan Protection, sebuah keajaiban yang merupakan ciri khas diri gadis itu. Senyumnya memantulkan segala macam serangan.
Goblin Slayer tidak bersuara kembali; Lizard Priest menggulung mata di kepalanya.
Tampaknya nono resepsionis dan gadis kebun itu telah mengajari pria ini dengan baik.
“Heh-heh-heh. Yah, mungkin saya dan master pembaca natra akan datang dengan kado yang sesuai.” Dia membuat sebuah gerakan yang tampak serius dan kemudian menggabungkan kedua tangannya bersama dengan cara yang aneh. “Namun nona cleric,” dia menambahkan, “Tampaknya anda telah menjadi cukup tegas!”
“Pastinya!” Priestess membusungkan dada kecilnya dengan begitu kuat. “Itu karena aku belajar dari Goblin Slayer!”
*****
Sekarang.
Anggota dari pegawa Guild sering di perintahkan untuk selalu tenang di dalam segala situasi.
Itu karena pria dan wanita petugas Guild lah yang pertama memberikan informasi kepada para petualang itu. Ketika pemberi quest datang membawa masalahnya, mereka adalah wajah pertama yang orang itu temui.
Sangatlah tidak pantas bagi pegawai staff untuk tampak terburu-buru dan panic. Dan, baju mereka-pun tidak boleh kusut sama sekali, begitu pula rias wajah mereka.
Merebahkan kepala dan menguap, tentu saja, juga sangat di larang. Ketika seseorang menjadi pelayan sipil. Seseorang tersebut harus mempertanggungjawabkan citra negaranya.
“…Tapi, Kalau memang panas, ya panas.”
Ah-ha-ha-ha.
Dengan tawaan, Gadis Guild menuangkan the hitam dingin kepada Goblin Slayer. Terdapat satu, dua, tiga, empat gelas di atas bagian meja resepsionisnya. High Elf Archer dan Priestess telah menyeret Goblin Slayer kemari. Dan terakhir, Gadis Guild meletakkan gelasnya sendiri di atas meja, menyentuh pipi dengan tangannya dan menghela.
“Pernikahan ya…indah sekali.”
“Yeah, aku nggak sabaran.” High Elf Archer berkata, mengangguk dengan tatapan serius. “Syukurlah kakakku nggak terlalu tua untuk pernikahan.”
“Berapa umurnya?”
“Hmm…” Sang archer menghitung dengan jarinya, menggelengkan kepalanya singkat. “Kayaknya sekitar delapan ribu tahun.
Gadis Guild, berpikir bahwa “kayaknya” mungkin menandakan adanya tambahan tiga nol di belakangnya, dia tersenyum kaku. “Mendengarkan kalian para elf membuat kita terlihat konyol untuk mengkhawatirkan umur kalian.”
Helaan lainnya.
Priestess memberikan beberapa “Ahem.” Dan “Um.” Sang gadis barus saja berumur enam belas tahun dan tampaknya tidak mengetahui bagaimana cara berbicara kepada wanita yang lebih tua, walaupun dirinya sendiri adalah seorang cleric. Apapun itu, Priestess berpikir bahwa tidak ada yang perlu di khawatirkan tentang umur Gadis Guild jika di lihat dari penampilannya.
“Tapi secantik kamu… Apa kamu benar-benar perlu cemas soal itu?”
“Hee-hee. Terima kasih banyak.” Gadis Guild tersenyum ramah mendengar pertanyaan yang di tanyakan Priestess.
High Elf Archer melambaikan tangannya dan menghabiskan isi gelas dengan satu tegukan. “Benar. Kalau soal umut, kamu nggak bisa membandingkan naga dengan gajah, atau gajah dengan tikus. Nggak bakalan bisa.”
“Gajah.” Tak di sangka, helm Goblin Slayer sedikit miring kebingungan. “Apa itu?”
“…Kamu nggak tahu soal gajah?” Telinga High Elf Archer mengepak, terlihat senang karena mempunyai kesempatan untuk mengajari warrior tersebut. Dia melebarkan lengannya seraya dia menjelaskan makhluk misterius itu. “Kakinya seperti tiang, ekornya seperti tali, telinganya seperti kipas, tubuhnya seperti dinding, gadingnya seperti tombak, punggungnya seperti singgasana, dan hidungnya seperti akar. Di tambah lagi gajah itu besar banget.”
“…Binatang liar?”
“Oh, dan warnanya abu-abu.”
“Aku nggak mengerti sama sekali.” Goblin Slayer berkata dengan dengusan dan kemudian meneguk habis tehnya.
Gadis Guild memperhatikan mereka dengan gembira dan kemudian mengeluarkan tawa kecil. “Mungkin saya bisa menunjukkan daftar gajah yang tertera pada monster manual suatu saat. Sekarang…” Tatapannya melirik di sekitar mejanya, dan membalikkan beberapa kertas. “Kamu ingin saya untuk memberikan quest goblin tersebut, benar?”
“Uh-huh. Kami ingin membawa teman kami Goblin Slayer.” Priestess berkata dengan tenang. Senyumnya seperti bunga yang mekar, tidak pernah bergeming.
“Sebenarnya, aku nggak ingin melewatkan quest itu.” Goblin Slayer meletakkan gelas kosongnya di atas meja dengan bunyi klak. “Aku cuma nggak ingin membiarkan para goblin itu begitu saja.”
“Benar, benar. Tentu saja.” Gadis Guild berkata dengan senyum lembut. Pria itu terlihat acuh dan tegas seperti biasanya. Beberapa orang menganggap dirinya terlalu terobsesi, sedangkan orang lainnya melihat dia sebagai seseorang yang dapat di percaya dan dapat di andalkan. Gadis Guild, tidak perlu di katakan, merupakan katagori orang kedua tersebut.
“Awal musim semi sampai memasukin musim panas, adalah puncak kekuatan mereka. Mungkin itu di karenakan mereka sedang marah.”
“Memangnya ada musim di mana para goblin nggak menyeramkan?” High Elf Archer bertanya.
“Hrm…” Goblin Slayer melipat tangannya dan mendengus.
Gadis Guild mendengarkan mereka berdua dengan senang hati. “Semua sama saja,” dia berkata pelan, “Tidak ada terlalu banyak quest membasmi goblin di musim panas, kan?”
“Apa itu benar?” Priestess bertanya dengan sedikit terkejut.
“Ya.” Gadis Guild berkata. Paling tidak, tidak terlalu banyak questnya. Kemudian, alih-alih menjelaskan lebih lanjut, Gadis Guild merapikan kertasnya tanpa alasan apapun. akan sangatlah tidak sopan untuk membicarakan hal mengenaskan ketika seseorang baru saja menerima undangan pernikahan.
Musim panas bagi para goblin, adalah yang paling mereka benci, karena bukan musim gugur. Tanaman di lading masih sangat muda, dan tentu saja masa panen masih sangatlah jauh. Tidak peduli seberapa-pun para goblin menginginkan makanan, tidak banyak yang mereka bisa dapatkan dari menyerang sebuah desa. Oleh karena itu, mereka mengarahkan fokus mereka kepada para pengelana, dan pengembala dan healer yang berkelena di waktu terpanas setiap tahunnya.
Apakah arti musim panas bagi para goblin? Musim semi sangatlah indah, namun pada musim panas, hujan menjadi semakin lebat, dan terik matahari semakin menyengat. Hidup di dalam sebuah lubang menjadi sangat tidak nyaman. Benar, sesungguhnya para goblin tidak terlalu mempermasalahkan kondisi tempat tinggal mereka, namun mereka selalu marah akan sesuatu. Dan hal ini semakin menguatkan alasan mereka untuk lebih melampiaskan amarah mereka menjadi kejahatan.
Duka di berikan kepada pengelana yang bertemu dengan goblin di jalan pada musim panas. Goblin tidak memiliki kecerdasaan untuk menyimpan makanan mereka, walaupun mereka memilikinya, makanan mereka akan dengan cepat menjadi basi. Setelah mereka puas bersenang-senang dengan korban mereka, mereka akan memakan appun yang tersisa dari jiwa yang kurang beruntung tersebut, tidak memikirkan apapun untuk masa depan.
Pria atau wanita, pada akhirnya tidak satu tulangpun yang akan tersisa.
Sayangnya, ini sudah cerita yang biasa.
Pengelana kehilangan nyawa mereka di jalan, tentu saja, merupakan sebuah fenomena biasa yang akan terjadi di musim panas. Goblin dan Makhluk-tak-berdoa bukanlah satu-satunya yang kelaparan. Bandit, penjahat, dan tentara bayaran yang beralih menyerang orang dan desa—semua berada di luar sana.
Intinya adalah, setiap sudut dunia ini penuh dengan mara bahaya. Beberapa orang mengambil kesempatan ini untuk mengkritik raja atau admistrasi Negara, namun orang-orang seperti itu tidaklah mengerti sejarah mereka. Dari jaman dahulu hingga sekarang, tidak ada satupun jaman tanpa adanya mara bahaya.
Dan juga, persedian mereka selalu terbatas pada musim ini. Sejauh Gadis Guild mengetahui, raja saat ini telah melakukan pekerjaannya dengan baik… Atau paling tidak, itulah yang dia pikir. Raja tersebut tidak memulai perang yang tidak di perlukan, dan dia telah berhadapan dengan para pengikut Dark God untuk menjaga negaranya tetap aman.
Kita punya masa damai sekarang, entah sampai kapan.
Bahkan secara definisi kedamaian tidaklah lebih dari sekedar perang yang tertunda.
Persedian terbatas dan bahaya selalu mengancam. Guild tidak akan sekedar menerima quest hanya karena seorang pengelana telah menghilang. Karena, jika tak seorangpun yang mengetahui bahwa orang itu telah menghilang, maka tidak ada yang dapat di lakukan. Adalah sebuah situasi yang menyedihkan, dan sebuah kelemahan dari Guild Petualang. Para petualang akan mulai bergerak pada masalah seperti ini hanya jika keluarga pengelana tersebut mengajukan sebuah quest…
Atau ketika petualang itu mempunyai hati yang baik.
“Tapi masih tetap akan ada goblin di luar sana.” Goblin Slayer berkata, tanpa mengetahui apa yang sedang di pikirkan Gadis Guild. “Hal itu nggak ada berubah.”
“Tapi,” kata Priestess, mencoba untuk bertanya seraya dia memotong ucapan Goblin Slayer, “Kamu nggak bisa mengalahkan mereka semua sendiri kan? Dan kamu juga tidak wajib melakukannya kan?”
“…”
Goblin Slayer terdiam. Setelah beberapa tahun bersamanya, Gadis Guild mengetahui bahwa ini adalah bagaimana pria itu bersikap ketika dia terpojok.
Paling tidak, dia mudah untuk di mengerti.
Tawaan kecil yang terlepas dari bibirnya dan helm Goblin Slayer berputar mengarah kepadanya. Gadis Guild melambaikan tangannya seolah mengatakan. Tidak apa-apa, tidak apa-apa.
“Sejujurnya,” Gadis Guild berkata, “Sangat tidak baik bagi kami untuk selalu merepotkan anda dengan quest membasmi goblin yang selalu ada, Pak Goblin Slayer.”
“Tuh, dengar kan,” Priestess berkata dengan manis, dan mengarahkan batuknya kepada seseorang, “Apa kamu akan menangani ini untuk kami?”
“Oh, tentu saja. Saya tahu bahwa pria ini tidak akan pernah mengambil libur jika kita membiarkannya begitu saja.”
“Kedengarannya kayak kamu sekali.”
Seseorang memberikan tepukan pada kepala Gadis Guild, memprovokasi sebuah jeritan kecil ow! Adalah rekan kerja dan koleganya, Inspektur, berdiri di belakangnya dengan tumpukkan kertas di tangan.
Inspektur menghela seolah menandakan bahwa ini sudah sepantasnya di terima Gadis Guild, dan dia menambahkan dengan tepukan lembut dengan kertasnya pada pundak gadis itu. “Coba ingatkan aku, sudah berapa lama sejak terakhir kamu ambil hari libur?”
Gadis Guild memegang kepalanya dan memprotes lemah, “Aku—aku ambil…”
Inspektur kembali menghela. “Jadi kamu akan ikut ke acara pernikahan ini kan? Itulah kenapa mereka semua ada di sini kan? Untuk mengundangmu?”
Sebelum Gadis Guild mempunyai kesempatan untuk membalas, High Elf Archer mencondongkan tubuhnya di atas meja. “Iya dong!” dia berkata, mengangguk dengan kuat. Tanpa adanya kepura-puraan dia menambahkan, “Kita kan teman!”
Melihat kejujuran murni ini, Gadis Guild merespon dengan ekspresi ambigu dan garukan pada pipinya. Kemudian jarinya memainkan rambutnya, memutar kepangnya. Benar, dia menyadari bahwa hal ini bukan tindakan yang cukup sopan.
“Er… Yah, Saya menghargai niat anda, tapi…”
Tidak, hentikan. Kalau aku menolak undangan ini…
Bagaimana cara dia dapat menjelaskan dirinya kepada High Elf Archer, terlebih kepada Priestess ataupun Goblin Slayer? Dia melirik cepat mengarah helm baja itu, walaupun, seperti biasanya, helm itu selalu menyembunyikan ekspresinya.
“Ambil saja sudah beberapa hari libur!”
“yipe!” Satu pukulan lagi dari kertas itu.
Seraya Gadis Guild duduk di sana mengerang pelan, Inspektur mengenakan senyum terbaiknya dan berkata, “Sekarang, Tuan, uh… Goblin Slayer.”
“Apa?”
Gadis Guild meenjerit kecil, namun Inspektur menghiraukannya, menarik kertas dari tangannya. Kertas itu, tentu saja, sebuah kumpulan dari quest membasmi goblin yang terdekat.
“Akan sangat baik sekali bagi kita berdua, jika kita dapat menyelesaikan beberapa dari kertas ini,” Inspektur berkata, menggulung kertas itu layaknya sebuah scroll dan menyerahkannya kepada Goblin Slayer. “Mungkin anda dapat membantu teman saya agar dia dapat sedikit santai dengan menyelesaikan dua atau tiga sarang goblin.”
“Tentu saja.”
Tidak terdapat perdebatan, tidak ada keraguan seraya Goblin Slayer mengambil kertas quest tersebut dengan satu gerakan sigap. Tanpa suara, dia melepas gulungan itu dan membaca isi yang terdapat di dalamnya. Dia tidak sedikitpun melirik pada hadiah yang di tawarkan di kertas itu. Apa yang dia inginkan adalah informasi, pengetahuan tentang para goblin. Kekuatan tempur.
Setelah jeda panjang, dia bertanya pelan, “Apa nggak masalah?”
High Elf Archer mengernyit sekeras yang dia bisa, telanga panjangnya menegang lurus kebelakang, namun dia tetap menjawab, “Aku nggak tahu kalau si dwarf itu… tapi aku, aku bilang tidak.”
“Kamu yakin? Aku nggak terlalu keberatan apapun jawabanmu.”
“Maaf, pak Goblin Slayer,” Priestess berkata, mengernyit alisnya. Dia mengacungkan satu jari telunjuk dan sebuah nada yang menandakan bahwa mereka telah membicarakan hal ini sebelumnya, berkata, “Kalau kita nggak punya pilihan dalam percakapan, itu nggak bisa di anggap sebagai sebuah diskusi, ingat?”
*****
“hrr—gyaaaaaaahhhhh!”
Jeritan wanita, seperti seekor anak yang yang di gantung lehernya, menggema di seputaran kuil.
Akan tetapi, tidak peduli seberapa kuatnya mereka mencoba untuk mendorong, terdapat sebuah batasan fisik akan berapa banyak goblin yang dapat di tangani satu orang secara bersamaan. Benar, goblin memanglah kecil, namun jika menghitung kedua tangan, bibirnya, dan mungkin rambut wanita itu, terdapat ruang bagi lima atau enam goblin sekaligus.
Terdapat lebih dari satu lusin monster yang mengelilingi wanita yang terbekap di atas altas. Keperawanannya yang telah di renggut secara paksa merupakan hal yang mengenaskan, namun korban ini adalah subyek dari semua hasrat kejam monster ini secara sekaligus, benar-benar posisi yang menyedihkan.
Jeritan perih sang wanita yang terdengar di dalam ruang sembah ini, sekarang hanya berpakaian tidak lebih dari sekedar kain dari apa yang sebelumnya dia kenakan di saat berkelana. Tubuhnya yang dapat terlihat dari celah tumpukkan tubuh goblin, tampak coklat dan cukup berotot.
Dia adalah seorang pengelana yang tinggal di dalam biara ini, di dalam sebuah perpustakaan kecil yang di dedikasikan untuk Dewa Pengetahuan.
Sekarang mustahil untuk mengetahui kemana arah sebenarnya wanita ini ingin pergi atau mengetahui mengapa dia tinggal di tempat ini.  Teks- teks, permata pengetahuan yang tersimpan di sini, sudah dalam kondisi layak lagi untuk di baca. Semua pengetahuan yang telah di kumpulan perawan ini—yang meninggalkan rumahnya dan mengurung diri di tempat ini dengan berbagai macam alasan—telah di injak-injak. Para goblin telah mengambil semua catatan itu, dan merobeknya, mengotorinya, dan bahkan membakarnya secara acak.
Yang tersisa dari perpustakaan ini sekarang adalah para biarawati, semangat mereka telah di patahkan oleh hasrat keji para monster. Sang pengelana menyaksikan apa yang telah para monster ini perbuat terhadapa para biarawati, namun dia tetap memilih untuk melawan.—bagus, mangsa kuat untuk para iblis kecil.
Apakah dia bertarung untuk melindungi para biarawati, ataukah untuk membuka jalan agar dirinya dapat melarikan diri? Para goblin berasumsi pilihan kedua. Namun sang pengelana itu mengusung pedangnay dengan berani tanpa mempedulikan dirinay sendiri.
Paling tidak, hingga para goblin menjatuhkan wanita itu ke lantai dan menghajarnya tanpa ampun, dan mematahkan tangannya.
Telah beberapa hari berlalu semenjak itu, dan para goblin yang tersisa sedang sibuk membalaskan dendam mereka yang mati kepada wanita itu. Mereka telah menyisakan sang pengelana ini sebagai yang terakhir agar mereka dapat menikmati terror wanita yang terkumpul seraya wanita itu menyaksikan takdir yang mereka telah tentukan untuk para biarawati.
Tidak sedikitpun mereka mengira bahwa wanita ini akan mencoba melarikan diri. Atau setidaknya, mereka berasumsi bahwa mustahil wanita ini dapat melakukannya.
Goblin selalu mendemonstrasikan kepercayaan diri ekstrim walaupun tanpa adanya bukti. Mereka tidak pernah berpikir bahwa apapun yang mereka lakukan dapat gagal. Dan andaipun hal itu benar terjadi—
“GOORRRIRRRROG!!”
“Urgh! Aggh—gah—Ba—bajing—aaargghhh!”
--tentunya itu di karenakan beberapa orang tolol seperti wanita ini yang menghalangi mereka.
Para goblin sangat mempercayai bahwa semua orang di dalam perpustakaan kecil ini adalah orang yang benar-benar tolol dan bodoh. Mereka mengisi ruangan ini penuh dengan tulisan yang tidak di mengerti dan membosankan, dan terdapat sedikit sekali makanan. Manusia, para goblin tertawa, banyak sekali melakukan hal yang tidak masuk di akal.
Para goblin, tentunya, tidak akan pernah dapat mengerti arti dari buku yang tersimpan di dalam perpustakaan ini. Perpustakaan ini terbangun di pinggir jalan dengan keyakinan bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan yang terlahir dari dunia, sangatlah penting untuk menjaganya agar tidak ternoda oleh dunia itu sendiri.
Walaupun ini merupakan perpustakaan kecil, itu bukan berarti perpustakaan ini tidak mempunyai pertahanan terhadap monster ataupun bandir. Perpustakaan ini memiliki dinding batu, dan terkadang, petualang yang berkelana atau tentara bayaran akan tinggal di sana. Namun terpapar secara terus menerus pada alam dapat membuat sebagian dari dinding batu tersebut menjadi rusak. Dan juga terdapat waktu di mana tidak adanya pengunjung bersenjata yang menginap di tempat mereka.
Apakah itu alasan mengapa para goblin mengincar mereka? Mengapa mereka telah di serang oleh para goblin?
Seseorang mungkin dapat bertanya, namun kemungkinan besar bahwa Dewa Pengetahuan tidak akan menjawabnya.
Goblin seperti sebuah bencana alam; mereka dapat datang dari segala arah. Dan mereka telah muncul di sini, pada momen ini.
“Hrrraaaaaghhhh!”
Perpustakaan ini sekarang telah menjadi tempat maksiat. Dan di sebuah sudut ruangan dari ruang sembah Dewa Perpustakaan ini, seekor goblin sedang menopang dagu dengan tangannya, menikmati jeritan wanita itu yang terdengar di telinganya.
Di saat mereka telah usai bersenang-senang dengan wanita itu, apakah mereka akan membiarkan wanita itu hidup untuk mengandung anak mereka, atau mereka akan segera membunuhnya dan memakannya?
Kemungkinan besar, wanita itu akan di jadikan makanan, sang goblin berpikir. Goblin muda lainnya perlu sesuatu untuk di makan, dan lagipula, akan sangat membosankan jika tidak membunuhnya.
“Gyaaaaaahhhhh!”
Jeritan tinggi. Beberapa goblin yang tidak sabaran pasti telah menghujamkan parang pada tangan wanita itu yang patah atau sesuatu.
“GROB! GOOROORB!!”
“GOORROB!”
Salah satu goblin memprotes, sang pemegang para merespon, dan tawa hina mereka mengisi seluruh ruangan ini.
Hal ini tidak dapat di biarkan. Terdapat beberapa cara untuk menikmati seorang wanita yang mati, namun sekarang adalah satu-satunya momen mereka untuk menikmatinya selagi wanita itu masih hidup.
Seekor goblin menjilat bibir mereka, otak kecilnya berputar. Mungkin dia dapat mencari sebuah kesempatan bagus untuk menyalip antrian, mendapatkan kesempatan untuk menikmati wanita itu selagi dia masih hidup. Hanya inilah satu-satunya kekhwatirannya; dia sama sekali tidak mempedulikanpara goblin yang akan di salipnya, terlebih lagi wanita itu.
Goblin tidak memiliki rasa kebersamaan, ataupun menganggap satu sama lain sebagai rekan. Namun kesetiaan utama mereka adalah dan selalu untuk diri mereka sendiri. Bagaimana mereka dapat meraih, meraih kenikmatan, meraih posisi terbaik, membunuh orang yang kejam—atau paling tidak orang yang mereka tidak sukai?
Kematian goblin lainnya menjadi alasan yang sempurna untuk menikmati korban mereka hingga mereka membunuh makhluk yang tidak beruntung tersebut.
“GROOOROB!”
“GRO! GOORB!!”
Snag goblin mendorong goblin lainnya dan membentaknya.
Aku sudah berjaga selama ini! Kalian semua harus bergantian berjaga juga! Nggak adil bagi para goblin yang belum pernah berjaga sama sekali untuk bersenang-senang terus, dasar bajingan serakah.
Sang goblin menyatakan isi hatinya (yang di mana dia hanya mengatakan apa yang menguntungkan bagi dirinya) kemudian dia mendorong pundak makhluk itu.
“Er—ergaahh! Ka— Ka-kamu…membunuh…ku…!”
“GROB! GOOROBB!”
Ini adalah monster yang tidak mempunyai kepedulian terhadap goblin lainnya ataupun wanita menyedihkan ini yang berusaha melawan. Kekejian yang dia nikmati sendiri tidak pantas untuk di ceritakan.
Ini adalah point terpentingnya: terlarut dalam rasa riangnya, dia tidak pernah menyadarinya.
“GRRRRR…”
Dia tidak meyadari sebuah lengan menggapainya dari dalam kegelapan dan menggenggam seekor goblin yang menggerutu tentang ketidak-adilan dan segalanya. Sosok tak bersuara itu melilitkan lengannya di sekitar leher goblin seperti seekor ular yang menjerat keras mangsanya.
“…B—?!”
Sebelum makhluk itu dapat menjerit, sebuah pisau menyayat lehernya.
Sebuah tangan menutupi mulut makhluk itu seraya dia tersedak dengan darahnya sendiri, terdiam beberapa saat di sana hingga akhirnya dia berhenti bernapas.
Mayat goblin tersebut terjatuh di antara bangku kuil, dan pemilik lengan itu melambai mengarah kegelapan.
Pemilik lengan itu adalah seorang pria, menggunakan armor kulit kotor, helm yang terlihat murahan, sebuah pedang dengan kepanjangan yang aneh, sebuah perisai kecil terikat di lengannya.
Adalah Goblin Slayer.
Dengan isyaratnya, Lizard Priest datang ke depan, ekornya di lipat, High Elf Archer mengikutinya, kemudian Priestess, dan kemudian Dwarf Shaman. Tidak satupun dari mereka yang membuat suara seraya mereka bergerak: tidak suara langkah mereka, tidak suara gesekan baju mereka.
Alasan mengapa mereka dapat melakukan hal tersebut adalah berkat sang gadis yang berdoa dengan mata terpejam, tangannya menggenggam tongkatnya.
O Ibunda bumi yang maha pengasih, berikanlah kami kedamaian dalam menerima segala hal.”
Mereka terlindung oleh keheningan mutlak yang di berikan oleh keajaiban Silence Priestess.
Pakaian gadis itu berlumuran dengan noda hitam, bukti dari beberapa goblin yang telah mereka tangani sebelumnya. Noda menggores itu tampaknya sama sekali tidak menganggu Priestess, dia terus berlutut dan berdoa. Hatinya yang taat telah membantunya menolong para petualang dengan gelembung keheningan ini.
Namu High Elf Archer tampak berbanding terbalik dengan gadis itu; dia tampak akan menangis di saat ini juga. “Ughhh…”
Dia mungkin memang menggunakan sebuah kantung parfum, namun walaupun begitu, aroma dari para goblin, dan jeroan tubuh mereka, menusuk tajam indranya. Dia tidak dapat menjauhkan sesuatu yang menjijikan dari mantelnya, membuat pakaiannya tercium sangat tidak menggenakkan.
Kenapa sih dewa nggak bisa memblokir bau juga? High Elf Archer mendengak mengomel melihat patung pada ruang sembah ini.
Adalah sebuah gambaran dari seorang sage yang mencatat pergerakan bintang.
Tentu saja, tidak terdapat jawaban dari pertanyaan geram High Elf Archer.
Aku di sini itu untuk menyelamatkan pengikutmu karena kamu nggak bisa melakukannya sendiri. Aku akan menghargai sedikit bantuan dan rasa terima kasihmu.
Oke, mungkin itu sedikit berlebihan. Telinganya berkedut, dan dia memasang panah pada busurnya.
Party petualang ini telah berhasil masuk ke dalam kuil tanpa kesulitan. Dan sekarang mereka sedang berhadapan dengan dua puluh atau lebih goblin yang sedang terlarut dalam kegembiraan mereka. Mereka tidak akan melepaskan kesempatan ini.
Anggota dari party Goblin Slayer saling mengangguk, di ikuti dengan beberapa sinyal tangan cepat.
“…..”
“…..”
Adalah Dwarf Shaman terlebih dahulu yang bertindak. Dia meminum fire wine dari kendinya dan dengan segera mencipratkannya. Kabut deengan cepat menyebar di sekitar ruangan seraya dia melantunkan mantra, “Minum tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkan para roh menuntunmu! Bernyanyi dengan lantang, melangkah dengan cepat, dan pada saat kamu tertidur mereka akan melihatmu. Semoga sebotol fire wine menyambutmu dalam mimpi!”
Para goblin, terpengaruh dengan Stupor, mulai terhuyung, yang di mana Goblin Slayer melompat beraksi. Dia melompati sebuah bangku kuil, berlari di atas lantai batu dan melemparkan pedangnya. Pedang itu terbang tanpa suara di udara hingga akhirnya pedang itu keluar dari area efek Silence, dan mengeluarkan suara siualan pelan.
Bahkan goblin, sebodoh apapun mereka, akan menyadarinya.
“GOOROB! GOROOB!!”
“GRRORB!!”
Beberapa dari monster menunjuk dan berteriak, namun semua sudah terlambat. Para goblin yang berdiri merasakan sesuatu memasuki belakang kepalanya dan menembus mulutnya. Apakah makhluk itu mengerti apa yang sudah terjadi?
Darah membusa di mulutnya, mata emas hinanya berputar di kepala.
“GOOROOROOOB?!”
“Satu.”
Goblin Slayer menerjang ke depan menggunakan perisainya untuk menghajar salah satu goblin yang berada di dekatnya. Dengan gerakan yang sama, dia mengambil sebuah sabit dari pinggul monster korban pertamanya, menggunakannya untuk menyayat tenggorokan goblin kedua.
“Dua.”
Menggunakan perisainya untuk menghentikan darah menciprat dari tubuh mereka, dia menarik pedangnya dan meletakkan mayat goblin itu hingga mayat itu menindih sang wanita muda.
“Kamu masih hidup?”
Dia melirik ke bawah pada wanita yang kejang-kejang—tertindih di bawah sebuah mayat.
Dia mengetahui bagaimana cara kerja para goblin. Akan hanya sedikit merepotkan jika mereka mencoba untuk menggunakan wanita ini sebagai perisai untuk menghadapi dirinya.
Gerakan yang dia lihat, walaupun itu mungkin hanyalah gerakan kejut dari rasa sakitnya dan darahnya yang telah hilang. Wanita itu masih hidup, namun dia tidak akan bertahan lama. Seperti biasa, waktu sangatlah sempit.
Para Goblin membuat amarah mereka terhadap penyusup tampak jelas. Goblin Slayer memperhatikan mereka dengan seksama.
“Cepat!”
“Kalau begitu marah kita pergi.”
“Ba-baik!”
Lizard Priest menganggkat Priestess di lengannya kemudian bergegas berlari, cakarnya menembus lantai batu. Tubuhnya mencodong ke depan dengan sudut yang tidak mungkin dapat manusia lakukan, namun ekor panjangnya membantunya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya.
“GOROOB! GROB!”
“GGOOORB!!”
Para goblin, tentunya, tidak akan membiarkan mereka lari begitu saja. Mereka mungkin tidaklah cerdas, namun mereka tidak akan membiarkan wanita-wanita ini untuk lepas dari genggaman mereka semuanya. Dan Lizard Priest secara harfiah mempunyai Priestess dalam genggamannya…
“Krrraaaaahhhhhhaaaa!”
“GOOROB?!”
Tetapi, selama dia mempunyai cakar dan taring dan ekor, siapa yang peduli dengan tangannya?  Para naga tentunya tidak membutuhkan senjata.
“GROOB?!”
“GOBORB?!”
Sebuah pepatah lama mengatakan untuk membiarkan naga yang tertidur, tetap tertidur. Namun apakah para goblin mengetahui tentang pepatah?
Ekor Lizard Priest dan cakar dari kakinya menyerang para goblin, menerbangkan mereka. Luka yang mereka derita mungkin tidaklah fatal, namun saat ini yang perlu dia lakukan adalah untuk mengantarkan Priestess ke atas altar.
“Apakah saya harus tetap perlu di garis depan?” dia bertanya.
“Ya, tolong.”
Di tengah percakapan singkat itu, Goblin Slayer melepaskan sabitnya, yang di mana saat ini sedang tertancap pada tengkorak goblin.
“GROBBB…?!”
Seraya korbannya tumbang, dia mengambil sebuah pentungan dari tangan makhluk itu. Senjata ini akan sangat cukup.
“Jika begitu, nona Priestess. Saya menyerahkan ini kepada anda.”
“Baik. Semoga beruntung!”
Lizard Priest meletakkan Priestess dengan perlahan, mengginakan ekornya untuk menepis para goblin, kemudian menggabungkan kedua tangannya dengan gerakan yang aneh.
O sayap maha tajam velociraptor, robek dan cabik, terbang dan berburu!”
Taring di di telapak tangannya membesar menjadi sebuah Swordclaw di depan mata mereka, dan Lizard Priest menyerang para musuh, meraung.
“Krrraaaaaaaaaahhaaaaahhhhhaaaa!”
“GOORBGG?!?!”
Benar, Lizard Priest adalah cleric, namun cleric tipe petarung, sebuah pekerjaan yang di sebut warrior-priest. Jika saja dia terlahir dengan ras yang berbeda, dia mungkin akan menjadi ksatria yang hebat.
Berbanding terbalik dengan Goblin Slayer , yang membuat serangan cepat dan tepat pada titik vital para goblin, Lizard Priest layaknya sebuah angina kehancuran. Kuil ini sudah berlumuran dengan darah para biarawati dan kotoran para goblin, sekarang menjadi jauh lebih kotor dengan darah para goblin.
“Oke…!”
Priestess, masih menggenggam tongkatnya. Mengangguk penuh semangat dan menghadapi medan pertempurannya sendiri.
Napas wanita itu tidak beraturan; Priestess berlutut di sampingnya, tidak mempedulikan kotoran dan jeroan yang mengotori pakaiannya. Pemandangan di depannya sangatlah mengenaskan, namun dia menelan rasa jijiknya, bersama dengan apapun itu yang naik dari dalam perutnya dan hendak keluar dari mulutnya.
Nggak peduli berapa kali aku melihat hal seperti ini, Aku nggak pernah terbiasa sama sekali. Tapi….
Dia sama sekali tidak boleh terbiasa dengan hal ini, dia berpikir. Dan setiap kali dia mengulangi hal ini, kepercayaannya semakin menguat.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, ulurkanlah tanganmu kepada luka anak ini.”
Dia mengusung tongkatnya memohon, membuka hatinya kepada Ibunda Bumi di surge.
Kumohon, sembuhkanlah luka wanita ini. Selamatkan nyawanya. Selamatkan dirinya.
Dengan itu pada akhirnya, dia menggunakan Minor Heal kembali.
Dan Ibunda Bumi merepon doa tulus akan pengikut setianya. Sebuah cahaya pucat menyinari, masuk kedalam luka sang wanita muda, mulai menghentikan pendarahan yang di deritanya.
Tentu saja, keajaiban tidak akan dapat menghidupkan mereka yang telah mati. Bahkan keajaiban agung tidak dapat dengan mudah memutar-balikkan luka tubuh dan pikiran.
Namun wanita itu tidak akan mati dengan segera.
“Pak Goblin Slayer, kami baik-baik saja di sini….!”
“Bagus” Tanpa henti, Goblin Slayer menggapai kantung peralatan di pinggulnya, menarik kelaur sebuah telur dan melemparkannya mengarah pada para goblin.
“GOOROOROB?!”
“GOOOOROBOROOB?!?!”
Sebuah asap yang tidak mengenakkan mengepul, mengundang beberapa jeritan. Beberapa dari para goblin yang gemar menyiksa para wanita, sekarang merintih kesakitan, air mata di mata kecil mereka. Telur itu adalah sebuah cangkang yang telah di isi gas air mata racikan Goblin Slayer. Dia tidak dapat menggunakannya di awal pertarungan di karenakan takut gas tersebut akan masuk ke dalam luka wanita yang di sandra mereka, namun hal itu sudah tidak perlu di khawatirkan lagi.
“Delapan—Sembilan!”
Dia melempar pentungannya pada salah satu goblin, kemudian menjatuhkan goblin lainnya dengan sebuah pedang berkarat yang telah dia curi. Dia menebas tenggorokan makhluk itu, tidak peduli jika senjatanya menjadi rusak. Terdengar sebuah siulan dari batang tenggorokan monster yang tersayat, bersama dengan cipratan darah, dan kemudian para goblinpun terjatuh saling bertumpukan.
“GBBB…!”
“GORBG! GGOOBBG!”
Setengah dari jumlah goblin yang ada telah di bunuh dalam waktu singkat, dan sekarang para monster-pun merasa ketakutan. Akan tetapi, setakut-takutnya mereka, mereka membenci untuk melepaskan mangsa yang telah mereka dapatkan dengan susah payah. Terlebih pikiran jorok mereka untuk menambah koleksi mereka dengan wanita muda baru dan gadis elf itu.
Akan tetapi, sangatlah sulit untuk melewati warrior manusia itu dan lizard monk yang berdiri di garis depan.
Jika begitu…
“GROOB!”
“GORB!”
Dengan cepat, beberapa dari oblin melepaskan senjata mereka dan menerjang secara membabi-buta. Apakah mereka berusaha untuk menyerang, atau melarikan diri, atau—? Tidak.
“Mereka akan memakai perisai!” Goblin Slayer memahami situasi dalam sekejap dan memberikan perintah.
Para makhluk yang melarikan diri sedang menuju sebuah lubang yang terbuka di lantai. Mereka akan menggunakan wanita yang telah mereka tangkap untuk mengandung anak mereka. Mereka akan menggunakan para wanita itu sebagai perisai daging.
“Aku benci sikap goblin yang seperti ini. Kalau mereka pikir aku akan membiarkannya begitu saja— Hah!”
Makhluk-makhluk itu tiba-tiba mendapati sebuah panah yang menancap dari pinggul mereka. Dari dalam kegelapan di balik bangku kuil, High Elf Archer menembakkan banyak panah.
“GROB! GROOOORB?!”
“GOOROB?!”
Tiga tembakan tanpa henti. Tiga goblin tumbang, menjerit.
Sangatlah mudah baginya untuk membidik kepala, namun akan selalu ada kemungkinan untuk meleset. Pada saat ini, menghentikan pergerakan para monster adalah jauh lebih penting; mereka dapat mengurus para monster setelah itu.
High Elf Archer hanya membutuhkan waktu sesaat untuk membidik, dan kemudian menanamkan panah bermata kuncupnya masuk ke dalam bola mata goblin.
“Orcbolg! Aku bisa urus yang sebelah sini!”
“Kalau begitu, apa aku urus tangganya?”
Pekerjaan Dwarf Shaman sebagai pembaca mantra telah selesai, yang tersisa adalah pekerjaan fisik. Dengan kelincahan yang di luar dugaan jika mengingat tubuhnya yang gemuk, Dwarf Shaman pergi menuju tangga. Dia menarik kapak tangannya secepat mata memandang dan mengambil posisi bertarung; terlihat jelas bahwa dia bukanlah seorang amatiran.
“GOOROOB!”
“GRRRRORB!”
Inilah di mana penyerangan goblin akan berhenti.
Para monster sebelumnya telah berhasil melewati celah-celah dinding pertahanan para petualang, namun sekarang merekalah yang mendapati dirinya terkepung. Seperti banyakanya petualang baru, para goblin tidak pernah menyangka hal ini dapat terjadi. Mereka percaya bahwa merekalah yang akan membunuh dan bukan di bunuh. Ini adalah hal mutlak bagi mereka; akan tetapi, di sini mereka berada di dalam situasi yang berbanding terbalik dengan kepercayaan mereka.
Goblin Slayer sangat memahi hal tersebut dengan baik. Dirinya sendiri pernah berpikir seperti itu.
“Empat belas… Lima belas!”
“Krrraaahhhh!”
Goblin Slayer menghancurkan salah satu kepala goblin dengan pentungan dan kemudian mengambil sebuah tombak dan menusuk goblin lainnya di tenggorokan.
Lizard Priest menyerang dengan cakar, taring, dan ekor, mengubah para goblin menjadi kabut darah.
Mereka adalah party dengan empat petualang tingkat Silver dan satu tingkat Steel.
Yang lebih penting lagi, salah satu petualang itu ada Goblin Slayer.
Tidak dapat di ragukan lagi apakah dia mampu untuk mengalahkan dua puluh lebih goblin yang berkumpul di dalam bangunan gereja ini. Bagi dirinya, pertanyaanya adalah bagaimana untuk melakukannya dengan cepat, atau bagaimana cara membunuh mereka dengan presisi, dan bagaimana menyelamatkan sandra yang ada.
*****
“Dua puluh tiga ya?”
Pertarungan telah berakhir. Matahari terbenam, dan perpustakaan ini tenggelam dalam kegelapan. Satu-satunya cahaya bersala dari lentera yang berkelip di sini dan di sana.
Goblin Slayer melakukan pekerjaannya dengan acuh di dalam remangnya cahaya: dia berjalan menuju satu mayat goblin dan mayat berikutnya, menusuk masing-masing mayat dengan senjata untuk memastikan bahwa mereka benar-benar telah mati, kemudian menumpuk mayat mereka di sudut ruangan kapel.
Ruangan sembah, kini telah bau dengan darah, bangkai, jeroan, dan noda merah kehitaman yang mengerikan, sudah tidak menunjukkan adanya tanda kesucian dari sebelumnya. Apakah ini tujuan dari goblin atau tidak, mereka telah berhasil menghacurkan tempat ini.
Hanya terdapat kurang lebih dua puluh biarawati yang bekerja di perpustakaan. Kurang lebih setengah dari mereka masih hidup. Setengahnya lagi dari mereka menjadi danging dan tulang di dalam panci rebus.
Lizard Priest sedang dalam proses membawa masing-masing biarawati ke atas masuk ke dalam kapel dari gudang bawah tanah.
“Tetaplah tegar. Ketika subuh telah berakhir, kami dapat membawa anda ke suatu tempat yang lebih nyaman.”
“Sungguh… Terima kasih….”
“Jangan di pikirkan. Kita mungkin menyembah dewa yang berbeda, tetapi monyet berawal dari kadal. Karena itu, kita bisa di sebut sebagai sepupu.”
“Heh-heh… Kalian para lizardmen…selalu berbicara…hal paling…aneh…”
Sang wanita tertawa kecil. Mereka di lapisi dengan sebuah kain, walaupun tidak satu benda-pun yang dapat menyembunyikan seberapa kotor dan kurusnya mereka. Satu lirikan mengarah sebuah perban yang melilit di sekitar tumit mereka menunjukkan dengan jelas bahwa mereka tidak akan bisa berjalan kemana-pun.
Priestess menggigit bibirnya. Jika ada satu rasa sakit yang belum pernah di alaminya, itu adalah sebuah pisau berkarat yang menyayat urat tumit Achilles-nya. (TL Note: Achilles = Pahlawan Yunani yang sangat terkenal yang selalu memenangkan peperangan di jaman dulu dan sangat di takuti oleh lawannya. Achilles meninggal karena sebuah tembakan panah pada tumitnya. Oleh karena itu urat tumit di sebut “urat Achilles” kalau mau lebih lengkapnya https://en.wikipedia.org/wiki/Achilles )
“…Semua akan baik-baik saja sekarang,” dia berkata. “Kami akan mengantar kalian ke kota sebentar lagi.”
“Te…rima…ka…sih…”
“Jangan memaksakan untuk berbicara. Sekarang, kalian perlu beristirahat.”
Priestess bergerak di antara bangku kuil, memberikan P3K kepada para biarawati dan pengelana.
Mereka semua tidak akan bertanya tentang apa yang akan terjadi kepada para korban sekarang.
Mereka cukup banyak, Goblin Slayer bergumam. Begitu banyak dari mereka yang masih mempertahankan akal sehatnya, dan tidak ada yang bunuh diri ataupun di bunuh seusai di pakai. Perpustakaan ini bisa di bilang cukup beruntung.
Berkat seorang pengelana, yang tidak di ragukan telah bersiap untuk bertarung hingga mati, salah satu dari biarawati telah terhindar dari horror ini. Biarawati tersebut telah di kirim menuju kuil lainnya dengan sebuah pesan dan ketika dia telah kembali, dia telah menyadari apa yang terjadi. Biarawati itu pergil kembali berjalan kembali untuk membuat berkas permohonan quest pada Guild Petualang, namun membutuhkan beberapa hari bagi petualang untuk di berangkatkan.
Adalah berkat pengelana itu Goblin Slayer dan partynya berhasil sampai ke tempat ini. Waktu yang telah di beli dengan darah wanita itu, telah memberikan mereka waktu yang cukup untuk dapat tiba.
Jika pengelana itu memutuskan untuk meninggalkan kuil, atau menyerah setelah melakukan sedikit perlawanan, para biarawati mungkin tidak akan di temukan hingga keadaan menjadi jauh lebih buruk.
“…Dua puluh tiga.” Dia bergumam seolah dia tidak mempercayainya. Kemudian dia membuang tombak berlumur darahnya. Tombak itu berguling dengan berisik di sudut ruang kapel di mana terdiam sebuah panci yang berisikan makanan goblin. Sebagai ganti tombak, Goblin Slayer mengambil sebuah pedang dari salah satu mayat goblin, memasukkannya ke dalam sarung pedang di pinggul.
Hanyalah setelah melakukan semua ini Goblin Slayer akhirnya duduk di salah satu bangku.
“Kalau saja bukan karea buku-buku dan sandra, akan jauh lebih cepat untuk membakar tempat ini.” Dia menghela dalam.
“…Hmph. Tega betul kamu bilang begitu,” Priestess menegur, berlari kecil mengarahnya. Goblin Slayer menatap gadis itu tanpa menggerakan helmnya.
Priestess pasti telah selesai memberikan P3K. Pipinya yang berlumur darah melemas, dan berubah menjadi senyuman. Priestess berusaha untuk tidak menunjukkan rasa lelahnya setelah menggunakan dua keajaiban.
“Kamu mau buat dia marah sama kamu lagi? Nggak pake api! Dia bilang.” Priestess mengacungkan jari telunjuk ke depan kepalanya dan mengayunkannya ke atas dan kebawah.
Dia sedang berusaha untuk bercanda—mungkin terlalu memaksakan dirinya. Goblin Slayer tidak mengetahui yang mana yang benar. Baying-bayang yang tercipta dari cahaya remang lilin, bergabung dengan penutup helmnya, menyembunyikan wajahnya yang berusaha memperhatikan ekspresi gadis itu.
Pada akhirnya, dia hanya berkata, “Benar.” Dan kemudian memejamkan matanya.
Dia tidak berniat untuk istirahat dalam jangka waktu panjang tentunya. Dia menenangkan napasnya, menenangkan indranya untuk sesaat, dan kemudian berfokus kembali.
Itu karena, masih terdapat goblin di sekitarnya. Mungkin tidak di sini, namun di suatu tempat. Tidak satu tempat-pun di mana dia bisa untuk bersantai.
“…Tapi ini cukup merepotkan.”
“Yah, itu…” Mata Priestess  melirik ke sini dan ke sana seolah mencoba untuk mencari ucapan yang tepat. “…Kurasa, kadang-kadang memang selalu terjadi.”
“…Begitu.”
“Bahkan para dewa-pun nggak maha kuat.”
Kemudian, dengan bimbang, Priestess duduk di samping Goblin Slayer. Gadis itu duduk dengan cukup dekat hingga dia dapat merasakan panas tubuh dari gadis itu, jika Goblin Slayer tidak menggunakan armornya. Mata Goblin Slayer sedikit membesar mendengar suara sama dari napas gadis itu yang terdengar dari dalam helmnya.
“Bagaimana dengan gadis pengelana itu?” dia bertanya.
“Tertidur… Dia akan baik-baik saja dalam jangka pendek. Tapi dia kekurangan darah.”
“Kalau begitu, besok.”
Priestess dengan cepat memahami apa yang Goblin Slayer maksud dengan respon pendeknya.
Mereka akan mulai bergerak di hari esok. Dengan kata lain, mereka akan menghabiskan malam mereka di sini. Mereka tentunya tidak dapat meminta wanita yang telah terselamatkan untuk berjalan. Mereka akan membutuhkan sebuah kereta kuda atau gerobak atau semacamnya. Terlebih lagi, bergerak dengan banyaknya orang di malam hari akan berbahaya. Terutama tanpa adanya rencana.
“Pastikan kamu sedikit istirahat sementara ini.”
“…Baik.” Priestess mengangguk. Matanya terpejam. Dia terlihat tanda bahwa dia sedang tertidur, dia hanya memejamkan matanya untuk sedikit bersantai. Goblin Slayer sudah sedikit meringankan beban yang di emban Priestess.
“Tetapi…” Priestess mendengar langkah kaki Lizard Priest yang mendekat perlahan. Lizard Priest memperhatikan sekelilinya dan kemudian melanjutkan dengan suara pelan, “Saya rasa para iblis kecil ini telah menjadi…sedikit lebih cerdas akhir-akhir ini.”
“Menurutmu?”
“Hanya perasaan saya saja, tetapi…” Dan kemudian dia melanjutkan dengan cepat, dengan keceriaan spesial karena berhubungan dengan pertarungan. “Saya mulai menyadarinya semenjak goblin paladin.”
“Aku setuju.” Goblin Slayer berkata dengan anggukan. “Mungkin mereka menjadi lebih pintar…?”
Walaupun dia mennambahkan, dia telah berusaha untuk membunuh mereka dengan sangat teliti agar mereka tida mempunyai kesempatan untuk belajar.
Atau mungkin musuhku sampai saat ini hanyalah sebuah bidak?
Tidak. Dia menepis pikiran itu dengan gelengan kepalanya. Terkadang seseorang harus memototng kepala untuk menghacurkan tubuh, namun ini bukanlah hal sesederhana itu. Bukankah itu pelajaran yang telah dia pelajari beberapa decade lalu?
“Kita akan membutuhkan rencana baru untuk kita.”
“Pfah! Monster kecil ini nggak akan tahu betapa berharganya permata walaupun benda itu mengenai mata mereka.” Dwarf Shaman mendekat, membawa bermacam barang. Banyaknya debu di sekitarnya menandakan bahwa dia telah berada di dalam gudang atau semacamnya.
Tentu saja, tidak satupun dari mereka yang akan merendahkan martabat mereka dengan mencuri dari biarawati. Tujuannya hanyalah untuk memastikan bahwa semua telah aman.
Lizard Priest memutar matanya dengan penuh rasa penasaran. “Apakah buku-bukunya aman?” dia bertanya.
“Cuma buku yang nggak mereka anggap sampah saja,” Dwarf Shaman menjawab. Terdapat bunyi decitan seraya dia meletakkan beberapa tumpuk benda di atas bangku; sebuah tablet batu—tidak, mungkin tanah liat, namun itu adalah bukti catatan dari Jaman para Dewa yang tetua yang masih ada hingga saat ini. (TL Note: Tablet batu = https://www.123rf.com/photo_1399231_stone-tablet-with-old-russian-inscription-on-the-white.html bukan tablet obat ya. )
“Saya ragu kalau mereka bisa membedakan ini dengan batu ubin,” Lizard Priest berkata, membersihkan permukaan salah satu tablet dengan lembut agar tidak tergores cakarnya.
Bentuk kata yang tertulis tampak cukup tua; bahkan Lizard Priest tidak dapat membacanya. Susunan karakter yang non geometris dapat membuat seseorang yang berusaha membacanya menjadi pusing.
“Konon katanya ketidak-pedulian adalah kebahagiaan, tampaknya kita tidak berbeda dengan para goblin. Namun marilah kita bersuka-cita mengetahui bahwa masih ada yang berhasil di selamatkan.”
“Yah kita harus mengetahui apa yang tertulis di batu itu kalau kita ada kesempatan. Tapi itu masih bisa menunggu.”
“Ya.” Goblin Slayer mengangguk. “Bagaimana keadaan di luar?”
“Telinga panjang lagi melihat-lihat. Dia punya pengelihatan malam yang bagus, dan kelincahan ranger yang tinggi.”
Kalau masih ada dari mereka yang tersisa, dia akan menemukannya. Sang dwarf mengeluarkan kendi anggurnya. Goblin Slayer menerimanya dan meneguknya, meminum dengan rakus masuk ke dalam helmnya. Anggur itu terasa panas di tubuhnya, mengingatkannya bahwa fokusnya telah di tumpulkan oleh rasa lelahnya.
“…Kalian berdua menggunakan mantra. Kalian perlu istirahat.”
“Dan kamu juga… Tapi mungkin kita nggak bisa melakukan itu. Kita perlu memastikan kalau barisan depan kita cukup. “Kemudian Dwarf Shaman meneguk anggurnya, sebelum menyerahkan kendinya kepada Lizard Priest.
“Oh-ho,” Sang lizard berkata, menyipitkan mata, dan meneguk besar anggur itu. Lidah panjangnya menjulur keluar untuk menjilat tetesan anggur pada rahangnya, dan terbatuk satu kali. “Anggur ini membuat saya ingin memakan keju.”
“Saat kita kembali,” Dwarf Shaman berkata kepada rekannya, menepuk pundaknya. “Kita nggak boleh lengah hanya karena kita mau pulang.”
“Benar. Namun aku rasa kita akan baik-baik saja malam ini.” Suara bening tersbut datang dari arah pintu, yang berdecit di saat terbuka. Sebuah sosok masuk menyelinap ke dalam kuil, seperti kucing yang berjalan di malam hari. Wanita itu sedikit menggeleng, telinga panjangnya berkedut—adalah High Elf Archer.
“Aku sudah mengelilingi daerah ini, tapi aku nggak ada lihat jejak kaki dari para goblin yang melarikan diri.”
“Kamu yakin?” Goblin Slayer bertanya pelan, yang di mana gadis itu menjawab. “Aku yakin.”
High Elf Archer mengernyit dan menggaruk beberapa darah kering yang ada di pipinya. “Jadi kalau untuk pulang, selama kita nggak menemukan goblin antara sini dan sana, aku rasa mereka sudah berakhir.”
“Begitu.” Goblin Slayer mengangguk pelan, melihat tumpukan mayat di sudut kapel.”
Dua puluh lebih goblin. Dua puluh lebih goblin telah mereka tangani dan bunuh.
Kemudian terdapat wanita terluka yang tertidur di atas bangku.
Apa ini akhirnya?”
“…Begitu.” Dia mengangguk kembali. Kemudian dengan lembut menggoyangkan Priestess yang bersandar kepadanya. “Bangun. Dia sudah kembali.”
“….Mm? ah. Oh, Ba-baik.” Priestess duduk sebagai awalnya. Dia menggelengkan kepalanya beberapa kali dan mnggosok matanya, memaksakan dirinya untuk fokus.
“Oke, aku akan bersih-bersih kalau begitu. Kita semua…”
Kata sangat kotor tidak dapat keluar dari bibirnya; dia menelan kata itu kembali. Dia menggenggam tongkatnya dan mulai berjalan di antara wanita yang tertidur di abngku, High Elf Archer mengikutinya. Priestess berdiri di tengah ruangan, dan di sana dia berlutut, meremas tongkat dengan kedua tangan. Sebuah postur berdoa.
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, Ku mohon dengan belaian tanganmu, bersihkanlah diri kami dari segala korupsi.”
Tergerak oleh ketaatan pengikutnya yang berharga, sebuah tangan tak kasat mata turun dari surge dan menyentuh kulit gadis itu. Terdapat sebuah perasaan yang nyaman di ikuti oleh sensasi sentuhan lembut seperti sebuah bulu.
Dan lihatlah: tepat di depan mata mereka, semua kotoran yang menempel di tubuh gadis tersebut menghilang—semua debu, semua goresan darah, semua jeroan yang menempel pada baju mereka. Entah bagaimana wajah mereka tampak begitu santai, berubah menjadi ekspresi tenang.
“Mm.” High Elf Archer berkata, menyipit layaknya kucing. Dia melebarkan kedua tangannya. “Tadi itu benar-benar sesuatu sekali. Rasanya seperti di siram dengan air. Apa itu keajaiban baru yang kamu dapat?”
High Elf Archer perlu meminta maaf kepada dewa atas keluhan sebelumnya.
“Iya,” Priestess menjawab dengan gembira. “Saat aku memberi tahu kepala kuil kalau aku sudah di promosikan menjadi Steel, mereka memintaku untuk melakukan upacara.”
“Apa menurutmu keajaibannya agak sedikit terbatas? Apa mereka nggak punya keajaiban yang lebih hebat lagi?”
“…Aku harus memilih dengan apa yang aku perlukan,” Priestess bergumam, mengalihkan pandangannya.
“Ahh,” High Elf Archer mengernyit memahami.
Umumnya adalah dewa yang menentukan keajaiban apa yang akan di terima pemohonnya, namun terkadang doa yang begitu tulus dapat memberikanmu satu keajaiban yang di inginkan.
Ini adalah keajaiban Purify. Keajaiban ini memohon dewa untuk melenyapkan ketidak-murnian. Hanya itu kegunaan keajaiban ini. Dan untuk menggunakan keajaiban yang sangat berharga pada sesuatu yang seperti itu…
Tetapi, di saat yang sama, kemampuan untuk dapat membersihkan pakaian dan tubuh satu kali sehari selagi berpetualang membuat hati sang gadis merasa senang. Terlebih lagi, keajaiban itu dapat juga membersihkan air atau udara, karena itu tidak ada salahnya untuk memiliki keajaiban ini.
Terdapat juga sebuah masalah bahwa untuk menilai kegunaan sebuah keajaiban hanya berdasarkan seberapa banyak kejaiban itu bermanfaat bagi sang pengguna, adalah tipe penistaan terburuk.
“…..”
Priestess meletakkan tangan pada dada kecilnya dan menarik napas dalam. Kelopak matanya berkedip dan dia menggigit bibirnya.
Aku jadi terbiasa dengan ini ya?
Setelah semua perbincangan perihal pernikahan, mereka telah datang kemari dan melihat apa yang telah para goblin ini lakukan, betapa mengerikannya keadaan para wanita muda ini. Dan walaupun hatinya terasa nyeri, dia masih mendapati dirinya untuk bisa berbincang singkat. Walaupun itu hanyalah sebagian dari kepura-puraannya.
Akan tidak terbayangkan di tahun sebelumnya.
“Itu keajaiban yang bagus.”
Sebuah tangan yang berat menyentuh pundaknya. Dia terkejut dan melihat sebuah helm kotor. Beberapa kata itu sudahlah cukup untuk membuat dadanya berdebar.
“Ada gunanya.”
Dan kemudian alis Priestess melemas, sebuah ekspresi ambivalen tampak di wajahnya. (TL Note: ambivalen = https://kbbi.web.id/ambivalen )
*****
Surya cakrawala menyebar di setiap sudut plaza.
Adalah swastamita di musim panas. Angin barat bertiup membawa hawa panas hari ini, membuat riak pada lautan rerumputan di padang rumput.
“Oke, semuanya, waktunya untuk pulang!”
Sapi-sapi, yang tengah mengunyah rumput dengan lahap, mengangkat kepala mereka dengan melenguh. Perlahan namun pasti, mereka mulai berjalan, membentuk sebuah barisan yang memasuki kandang.
Sapi biasanya selalu penurut seperti ini. Tidak perlu bagi Gadis Spai untuk terlalu terlibat dengan mereka, namun itu bukan berarti dia tidak mempunyai pekerjaan untuk di lakukan. Adalah penting untuk menghitung ternak mereka, memastikan bahwa semua hewan telah kembali ke kandang dengan aman. Ya, Pria itu memeriksa pagar dengan rajin setiap pagi, namun itu bukan berarti masalah tidak akan pernah muncul. Rubah dan serigalah merupakan sebuah masalah, namun terdapat pula sebuah kemungkinan untuk kehilangan hewan di tengah lahan ini.
Dan ketika semua sapi telah masuk ke dalam kandang, maka dia harus memberi makan mereka. Ternak seperti sapid an kuda merupakan asest berharga. Adalah mustahil untuk tidak merawat mereka.
“…Bagus, kalian semua sudah berada di sini.” Gadis Spai,melipat jarinya seraya ternak berjalan melewati, menghitung hingga ternak terakhir dan kemudian mengangguk energetik.
Dua hari telah berlalu semenjak pria itu, teman lamanya, pergi berpetualang.
Adalah sebuah hal yang wajar jika dia berpetualang suatu hari. Dia adalah petualang.
Terdapat hari di mana dia tidak pulang ke rumah. Hari di mana Gadis Sapi hanya menunggu dan menanti.
Pada akhirnya, akan terdapat hari di mana penantian itu tidak akan pernah berakhir.
Pria itu adalah petualang, dan itu adalah hal yang wajar.
Heh. Aku nggak boleh bersikap seperti itu lagi, atau aku nggak akan bisa kembali lagi.
“Fokus pekerjaan saja. Kerja!”
Terdapat hembusan angin.
Angin musim panas membawa banyak aroma; aroma rumput segar, aroma makan malam di kota yang jauh, bahkan aroma para sapi.
“Hmmm…”
Dan kemudian terdapat aroma seperti metal berkarat. Adalah aroma yang sangat di kenalnya selama beberapa tahun ini.
Gadis Spai berhenti berjalan mengikuti sapi masuk ke kandang, memutar tumitnya. Di kejauhan, dia dapat melihat sebuah sosok yang datang dari arah kota, mendekat dengan langkah sigapnya.
Berlapis helm baja yang kotor dan armor kulit yang terlihat murahan dan pedang dengan kepanjangan yang tidak biasa di pinggulnya, dan sebuah perisai bundar kecil terikat di lengan.
Gadis Sapi menyipitkan mata. Dan kemudian, seperti biasa, dia tersenyum. “Selamat pulang. Kamu capek?”
“Ya,” dia menjawab dengan anggukan. “Aku pulang.”
Gadis Sapi mendekati pria itu dengan berlari. Dia menarik napas pendek dan menghela. Pergerakan pria itu terlihat normal. Gadis Sapi merasa menjadi lebih tenang.
“Kamu nggak terluka, syukurlah.”
“Ya.” Dia mengangguk kemudian mulai berjalan kembali; Entah mengapa langkah kakinya lebih lambat dari sebelumnya. Gadis Sapi berjalan di sampingnya.
“Hrm…” Wajah gadis sapi sedikit mengernyit. Jika dia dapat mencium bau pria itu, apakah pria itu dapat mencium bau keringatnya? Gadis Sapi sedikit mengendus lengan bajunya, namun dia tidak dapat memastikannya.
Eh, aku rasa sudah sedikit terlambat buat itu.
“Hei, Apa sih yang petualang lakukan dengan kotoran atau semacamnya?”
“Kami mengganti apa yang bisa di ganti. Lap tubuh kami. Beberapa bahkan menggunakan mantra atau keajaiban.”
“Huh!”
“Terkadang bau tubuh dapat membuat para goblin menyadari keberadaanmu. Sangatlah bodoh untuk berada pada posisi berlawanan arah angin ketika berhadapan dengan mereka.”
Kurasa itu masuk akal. Gadis Sapi mengangguk kemudian bergeser dengan cepat ke arah sisi samping lain Goblin Slayer.
“Kenapa?” Goblin Slayer bertanya, namun Gadis Sapi hanya menepis pertanyaan itu dan berkata, “Nggak usah di pikirin. Kamu mau makan malam nanti? Atau kamu sudah makan?”
“Belum.”
“Oke kalau begitu aku masak buatmu. Rebusan ya?”
“Ya.” Kemudian helm itu mengangguk pelan ke atas dan ke bawah. Suara pelan itu-pun terdengar lebih santai dari biasanya. Hal itu sudah cukup untuk membuat Gadis Sapi gembira dan dia telah sudah terlebih dahulu menyiapkan bahan untuk makanan ini.
Tuh kan. Aku ini gampangan banget.
Yah, dia tidak terlalu merasa galau memikirkan itu.
“Kamu pasti capek huh?”
“…”
Tidak ada jawaban. Pria itu masih mempunyai kebiasaaan jelek untuk menutup mulutnya ketika dia tidak mempunyai jawaban bagus untuk di berikan.
Gadis Sapi tertawa kecil dan mencondongkan tubuhnya ke depan, seolah dia dapat melihat apa yang berada di balik helm itu. Dia tidak dapat melihat apa yang tersembunyi di balik helm itu, namun dia merasa mengetahui ekpresi apa yang ada di dalamnya.
“Lagi susah?”
“…Nggak ada pekerjaan yang mudah.”
“Iya sih.”
Bayangan mereka memanjang di tengah swastamita.
Para sapi telah kembali ke dalam kandangnya. Yang harus mereka lakukan sekarang hanyalah pulang kembali ke rumah.
Mereka telah begitu sering berjalan pulang bersama semenjak mereka kecil. Sudah berapa kali hingga saat ini?
Gadis Sapi merasa tidak banyak yang berubah sejak masa itu, walaupun sekarang bayangan pria ini sedikit lebih panjang dari dirinya.
“Ngomong-ngomong…”
“Hmm?” Mata Gadis Sapi tetap menatap bayang-bayang seraya dia menjawab. Dia telah mengubah sedikit langkahnya untuk membuat bayangan mereka saling tumpang-tindih.
Bukan karena sebuah alasan khusus. Hanyalah sesuatu yang tiba-tiba Gadis Sapi ingat sering lakukan di saat masih kecil.
“Sepertinya aka nada pernikahan.”
“Pernikahan…?”
Yah kalau gitu. Dia mendapati dirinya tidak dapat menolak rasa ingin melirik kepada pria itu sekarang. Pria itu berbicara sebuah kata yang asing bagi pria itu, seolah kata itu berasal dari bahasa yang tidak di kenalnya,.
Pernikahan. Pernikahan. Untuk hidup bersama dengan seseorang. Menghabiskan masa hidupmu bersama.
“Pernikahan ya? Dan kamu di undang?” dia berkata pelan.
“Ya.” Dia menjawab dengan singkat. “Dalam…” Dan kemudian dia memberi jeda beberapa saat. “Dalam partyku ada seorang elf.”
“Oh,” Gadis Sapi berkata, menyipitkan matanya.  Sang gadis riang nan ceria. “Dia.”
“Sepertinya Kakak perempuan dan sepupunya.”
“Bagusnya.”
“Aku di beritahu untuk mengajakmu juga.”
“…Kamu yakin?”
“Bukan aku yang memutuskannya.”
Hrm, Gadis Sapi mendengus.
Terdapat sebuah kebun. Terdapat pekerjaan. Apakah dia benar dapat meninggalkan semua itu?
Musim panas ada waktu yang sangat sibuk. Begitu pula musim gugur. Dan juga musim semi dan musim dingin. Satu tahun penuh, dia harus mengkhawatirkan tentang cuaca dan tanaman dan para binatang.
Tetapi kemudian… Oh ya, tetapi kemudian.
Pernikahan elf!
Kalimat itu mengiang di dalam lubuk hati terdalamnya. Gadis Sapi telah memimpikan hal seperti itu semenjak dia masih kecil, dan hingga saat ini dia belum pernah melihat satu-pun pernikahan: para peri berdanca, pakian yang lebih elok dari apapun yang pernah dia lihat sebelumnya, dan musik yang tak pernah dia dengar sebelumnya dan pengantin yang indah.
Gadis Sapi pernah mendengar cerita ini di saat dongeng tidurnya namun dia selalu menyangka bahwa itu tidaklah lebih dari sekedar cerita.
Terlebih lagi, dia tidak pernah jauh dari desanya (yang sekarang telah hilang), atau kebun yang saat ini tengah dia tinggali. Tampaknya sudah lama sekali sejak terakhir kali dia membayangkan untuk berpergian jauh.
“Aku penasaran… Apa benar nggak apa-apa?” dia bergumam, seolah hal itu adalah hal yang buruk.
“Aku akan berbicara dengan pamanmu.”
“…Oke.” Mungkin niat baik singkat yang terdengar di dalam nadanya adalah respon untuk gumaman ragu Gadis Sapi.
Pasti seperti itu, Gadis Sapi memutuskan. Aku yakin. Aku lebih suka seperti itu.
Gadis Sapi sedikit menggeser tubuhnya, agar bayangan mereka berhenti tumpang-tindih. Supaya bayangan tangan mereka tampak seperti bersatu seraya bayangan mereka memanjang di sekitar lahan.
“Pernikahan, huh…?”
Mereka telah hampir tiba di rumah.
Merupakan jalan yang pendek untuk di jalani bersama. Cukup untuk mencurahkan apa yang mereka pikirkan. Untuk berbagi beberapa kata…
“Apa kamu pernah memikirkan hal seperti itu?”
“…”
Pria itu terdiam beberapa saat. Sikapnya yang seperti biasa ketika dia tidak mengetahui jawaban apa yang tepat.
“Sulit.”
Mungkin,” Gadis Sapi bergumam, memutar tumitnya. Gadis Sapi mulai berjalan mundur, tangannya menepuk di balik punggungnya. “Kalau begitu,” dia melanjutkan, melihat pria itu, “Gimana tentang…ketika kita masih kecil? Kamu berjanji untuk menikahiku saat kita dewasa.”
“…”
Gadis Sapi mendengar helaan halus dari dalam helmnya. “Aku nggak mengingat berjanji seperti itu.”
“Ups… Ketahuan ya?”
Gadis Sapi tertawa terbahak-bahak, berputar kembali dan mulai berjalan.
Bayangan mereka terpisah, tangan bayangan mereka sekarang tidak menyatu kembali. Sekarang… Ya, sudah sangat terlambat sekarang.
Tapi harusnya kita membuat janji itu.
Entah mengapa surya matahari memasuki matanya, dan Gadis Sapi berkedip berkali-kali.