AMELIA DI WONDERLAND
(Translater : Fulcrum)
Di suatu hari berawan di akhir Agustus 2095.
Berdiri di depan gerbang taman bermain menunggu kedatangan temannya adalah
seorang gadis muda dengan rambut merah rubi dan mengenakan sebuah jaket gaya
militer berkantung banyak dan sebuah rok mini.
Nama gadis itu adalah Akechi Eimi, yang juga dikenal sebagai Amelia
Goldie, murid di SMA 1 yang berafiliasi dengan Universitas Sihir Nasional.
Dengan libur musim panas yang hampir berakhir, dia berencana untuk pergi ke
taman bermain bersama teman-teman kelas 1 nya. Karena mereka bergabung di klub
yang berbeda, biasanya mereka tidak punya banyak waktu untuk jalan-jalan
bersama.
(Sepertinya aku kecepatan……..)
Sekarang masih setengah jam sebelum waktu pertemuan. Ini akan jadi hal
yang masuk akal saat kau pergi berkencan, tapi biasanya tidak akan ada orang
yang seperti ini saat hanya untuk pergi jalan bersama teman yang gendernya sama. Eimi sendiri biasanya
jelas tidak akan seperti ini. (Kebetulan, karena Eimi belum punya pengalaman
sama sekali dengan lawan jenis, semua asumsinya tentang lawan jenis masih bisa
dibilang sedikit)
Alasan dia datang sangat cepat adalah karena panggilan telepon intenasional
panjang tadi pagi.
◊ ◊ ◊
Suara notifikasi
panggilan videophone kamarnya lah yang
membangunkannya dari dunia mimpi.
Jam digitalnya menunjukkan pukul lima.
Berpikir “Mengganggu sekali”, Eimi melihat ke jendela pesan
dan melihat kalau orang yang menghubunginya adalah nenek dari ibunya, janda
dari keluarga sihir Goldie yang terkenal di Inggris dan wanita dengan otoritas nomor
dua di keluarganya.
Mata Eimi sekejap terbelalak.
Orang tuanya tidak terlalu mampu bangun pagi, mereka tidak
akan bangun jika belum waktunya, tidak peduli jika ada truk yang menabrak rumah
mereka, mereka tetap akan tidur. Akibatnya, sudah menjadi aturan tak tertulis
di Keluarga Akechi kalau Eimi, yang tidak menggunakan sound-sleeper yang
merupakan alat untuk mempernyenyak tidur, yang akan mengurus semua panggilan
dan tamu di pagi hari.
“….Sudah lama sekali, nenek.”
Eimi menolak menyapa dengan ‘Selamat
pagi’.
“Karena aku masih belum berpakaian
rapi, tolong maafkan aku yang hanya menggunakan panggilan suara saja.”
“Selamat pagi, Amelia.”
Sepertinya nenek juga sadar dengan
perbedaan waktu mereka, pikir Eimi saat ia mendapat sapaan itu.
Saat musim panas, ada perbedaan waktu
sebanyak delapan jam antara Jepang dengan Inggris. Di sana, sekarang jam
sembilan. Jika neneknya memang tahu jam di Jepang, sebenarnya, Eimi benar-benar
berharap kalau neneknya bisa menunggu beberapa jam lagi untuk menelepon.
“Di sana sepertinya cukup panas, apa
kau baik-baik saja? Apalagi tubuhmu lemah.”
Kalau kau tahu aku memang lemah, lalu
aku berharap kau akan membiarkan aku tidur sedikit lebih lama, keluh Eimi.
Tentu saja, dia tidak mengatakan permintaannya.
“Aku baik-baik saja, nenek. Gelombang
panas beberapa hari lalu sudah mulai mereda.”
Itu hanya kalimat manis agar neneknya
bisa tenang. Kenyataannya gelombang panas minggu lalu benar-benar parah, meski
minggu ini sudah lebih baik.
Lagipula sebentar lagi musim panas
berakhir.
“Apa begitu? Jangan terlalu
memaksakan dirimu, Amelia.”
“Ya, terima kasih banyak, nenek.”
Bahkan saat dia menjawab dengan
sopan, Eimi masih tetap memiringkan kepalanya ke samping. Tepat sambil
bertanya-tanya mengapa neneknya menghubunginya.
“Sebenarnya, untuk menghindari panas,
aku akan tinggal di vila di pegunungan Swis mulai minggu depan sampai akhir musim
gugur. Aku akan sangat senang kalau kau bisa ikut, Amelia.”
“…..Aku, pergi ke Swis?”
Keraguan Eimi menunjukkan kalau dia
sadar akan ajakan itu.
“Ya. Aku selalu menginginkan liburan
yang panjang dan indah bersamamu, Amelia.”
“Aku juga, nenek. Ada banyak hal yang
aku ingin untuk nenek ajari, tapi…”
Itu mustahil. Sekitar seminggu lagi
semester kedua akan dimulai.
Selagi Eimi mencoba menolak ajakan
itu dengan sopan dan penjelasan, neneknya tidak dengan mudah menyerah begitu
saja.
“Kalau kau mengkhawatirkan tentang
sekolah, ada juga sekolah sihir yang prestisius di Swis. Tidak apa-apa kalau
kau bersekolah di luar negeri selama setengah tahun ‘kan? Aku bisa mengurus
urusan sekolahmu.”
Hanya karena kau mengenal kepala
Universitas Sihir sejak lama jadi kau berkata seperti ini, pikir Eimi sudah
tidak sabar.
Tidak akan ada orang yang terkejut
kalau neneknya juga kenal dekat dengan para elit masyarakat sihir di Jepang.
Dengan larangan belajar sihir di luar
negeri, kesempatan bagi murid SMA untuk studi ke luar negeri bisa dibilang
mustahil, setidaknya itulah yang Eimi tahu. Tapi, dengan neneknya, hal yang
mustahil itu bisa tercapai.
Dengan begini meski dengan penolakan
Eimi, sepertinya dia akan harus terpaksa belajar ke luar negeri.
Dia berhasil berkompromi dengan neneknya
dengan alasan emosionalnya. Setelah panggilan itu berakhir, bukan rasa lega,
tapi kegelisahan yang Eimi rasakan.
Meski ibunya menikah masuk ke keluarga
lain, sampai sekarang neneknya tidak pernah ikut campur masalah kehidupannya.
Selagi kunjungannya selama ini bertujuan untuk memastikan Eimi tetap bersikap
baik meski dimanja, semua urusan yang lain sepenuhnya diserahkan pada Eimi.
Tetapi sekarang untuk alasan tertentu
neneknya ingin dekat dengannya.
Namun, tanpa tahu apa alasan
neneknya, kegelisahan tiada akhir ini hanya akan membuat dia makin tidak bisa
tidur. Karena itu, Eimi berakhir berangkat jauh sebelum jam pertemuan.
◊ ◊ ◊
“Eimi!”
Saat dia menoleh ke arah suara itu,
Eimi melihat seorang gadis yang akan menemaninya melambaikan tangan.
“Sakura!”
Saat Erika melambai balik, gadis itu
segera berlari ke arahnya.
Gadis yang mengenakan gaun one piece gaya lolita itu adalah
Sakurakouji Akaha.
Walaupun kanji nama depannya
seringkali dibaca ‘Momiji’, tapi nama gadis itu dibaca Akaha.
Di hari di mana kedua teman sekelas
ini pertama bertemu,
“Kanjinya ‘Akaha’ bagaimana?”
“Momiji, tulisannya sama seperti
‘Momiji’ tapi dibaca ‘Akaha’.”
“Hee? Jadi sakura dan akaha, itu
artinya sakura dan momiji digabungkan. Bagus sekali.”
“Tapi kau tahu, sayangnya mereka hanya
bunga musiman.”
“Aha, benar-benar wabi-sabi[1], huh?”
“Tapi kau tidak kelihatan seperti
orang yang bisa cocok dengan orang wabi-sabi. Kau sangat cantik dan ceria.”
Setelah pembicaraan itu, mereka
berdua tertawa palsu. Itulah bagaimana mereka berteman. Takdir memang
misterius.
“Sakura, apa kau datang bersama
Subaru?”
“Ehehe….”
Meski pertanyaan Eimi tidak punya
maksud apa-apa, Akaha mulai tertawa tidak jelas.
Eh, apa dia orang seperti itu? Eimi
mengangguk, tidak diketahui Akaha, tentunya.
Tapi saat Eimi sekali fokus ke orang
yang di sebelah Akaha, dia merubah kembali opininya dan merasa “Mungkin, aku
sedikit paham maksudnya”.
Sekilas, dia tampak seperti laki-laki
muda cantik mengenakan baju musim panas. Kacamata bingkai bawahnya semakin
memperkuat kesan kelaki-lakiannya.
Namun, kenyataannya laki-laki itu
juga teman sekelasnya.
Eimi mulai mengenal Subaru Satomi
setelah mereka satu tim di Kompetisi Sembilan Sekolah. Mereka belum lama
berteman, tapi hubungan mereka sudah sampai di titik di mana mereka bisa
berbicara “Subaru, apa penampilanmu seperti laki-laki agar kita tidak ditaksir
laki-laki lain?” atau “Nona, saya akan senang menemani Anda”. Terlebih lagi
saat mereka tengah berbicara, mereka berdua akan tersenyum, tidak, menyeringai
tanpa alasan.
“Apa ada yang salah, Eimi?”
Saat Eimi membiarkan pikirannya
dipenuhi fantasi tentang Akaha, Subaru memandangi wajahnya dengan curiga.
Dihadapkan dengan wajah sopan dan tampan seorang laki-laki yang memandanginya
dekat, Eimi merasa kalau detak jantungnya sedikit cepat, menolak fantasinya
menguasai dirinya, dia menjawab “Tidak apa-apa” dengan kepala yang
digelengkannya.
“Apa benar?”
Seringaian lebar Subaru mengejeknya
dan Eimi benar-benar merasa sudah salah ambil langkah, tapi jika ia
melanjutkannya maka ini semua bisa membuatnya semakin malu, jadi dengan semampu
mungkin dia berusaha berpura-pura tidak menyadarinya.
“Untunglah. Kalau begitu, ayo masuk.”
Sebenarnya, usaha Eimi untuk
mengabaikan itu tidak terlalu bekerja dengan baik, tapi Subaru tidak terlalu
memerdulikannya. Tahu kapan harus berhenti menjadi kelebihan Subaru. Namun,
dianggap ‘menawan’ oleh sesama perempuan adalah sesuatu yang Subaru sendiri
agak enggan menerimanya.
Tanpa berpikir panjang, sekalian
tidak membuat waktu lagi, Eimi tidak komentar apa-apa.
“Oh ya, sudah lama sekali sejak
terakhir kali aku ke taman bermain.”
Saat Eimi mengatakannya dengan
bersemangat,
“Taman hiburan.”
Untuk alasan tertentu, Akaha
menyelanya dengan nada tidak senang.
“Taman hiburan. Wonderland bukan
taman bermain, ini taman hiburan.”
Seperti yang diharapkan dari
pengunjung yang sering datang, sepertinya Akaha tidak tahan mendengar kata
‘taman bermain’.
“Maaf, maaf, Wonderland itu taman
hiburan.”
Walaupun Eimi merasa sedikit aneh,
itu bukanlah hal yang perlu diperdebatkan. Eimi segera membetulkan
perkataannya. Namun, nada bicara berdua Eimi dan Subaru yang agak tidak sopan
tidak terlewat oleh mata Akaha, tapi dengan Subaru dan Eimi yang berjalan ke
gerbang masuk, dia segera mengejar mereka.
Dengan suasana hati yang bahagia,
mereka berdua berjalan memasuki gerbang masuk tanpa perlu mengantre dan
menikmati Wonderland.
◊ ◊ ◊
Wonderland adalah taman hiburan
bertemakan sihir.
Mungkin karena itu, semua interior
dan atraksi yang ada ditempatkan seakan membentuk labirin. Ditambah lagi,
setiap atraksi yang ada dibuat seperti semacam teka-teki. Sulit sekali untuk
keluar setelah masuk, bahkan kalau kau tidak mencoba semua atraksi sekalipun.
Karena tampilan taman hiburan ini, daripada dibilang ‘masuk’ ke taman, akan
lebih cocok kalau pengunjungnya dibilang ‘hilang’ di taman.
Dan sekarang, ada seorang gadis yang
tersesat di dalamnya.
“Yang benar saja! Pakai LPS (Local Positioning System) memang akan
merusak atmosfer bermain, tapi kenapa GPS juga tidak bisa bekerja!?”
Setelah masuk ke tiga atraksi, Eimi
entah bagaimana terpisah dari kedua temannya dan sekarang sedang menggerutu
pada terminal portabelnya.
“Apa yang kau harapkan? Itulah daya
tarik mereka.” Subaru lah yang mengatakannya.
“Tapi mereka memblok sinyal! Mereka
sudah kelewatan!”
“Semua akan baik-baik saja. Apa kau
tidak melihat ada peta di sekitarmu?”
Bahkan kekesalan Eimi sedikit lebih
tenang setelah mendengar jawaban Subaru; dia selalu lembut dan tahu bagaimana
cara berhadapan dengan perempuan (meski dia sendiri juga perempuan).
“Aku sudah mencari itu sejak beberapa
saat yang lalu….. tapi jangankan peta, petunjuk jalan saja tidak ada
dimana-mana.”
“Benarkah…..? Kalau begitu, kau
memang tidak bisa, nyalakan saja beberapa petasan dan akan kujemput setelah
kulacak dengan sihirku.”
Keahlian Subaru adalah Sihir Tipe
Lompatan. Ditambah lagi, dia memiliki kemampuan unik yang bernama ‘Awareness
Block’, yang membuatnya sulit untuk dilacak. (Sikap flamboyannya itu caranya
menanggapi ketidakpedulian di sekitarnya)
Meski memiliki kemampuan ‘Awareness
Block’, dia masih belum bisa menyaingi konselor SMA 1, Ono Haruka, yang
identitas aslinya adalah investigator Keamanan Publik. Namun, jika hanya
membuatnya dirinya tidak terlihat saat melompat di udara adalah barang mudah
baginya.
Di sisi lain, keahlian Eimi ada pada
Sihir Tipe Artileri yang merupakan pengembangan dari Sihir Tipe Gerakan, yang
mampu mengakselerasi benda besar dalam kecepatan tinggi dalam waktu yang
singkat. Saat lomba Pillars Break di Kompetisi Sembilan Sekolah, dia
menggunakan sihirnya pada pilarnya sendiri sebagai bola bowling yang
diluncurkan ke teritori lawan, yang menghancurkan semua pilar lawan seketika.
Untuk Eimi, bukanlah hal yang sulit untuk menggantikan benda besar itu dengan
massa udara terkompresi lalu menembakkannya ke langit untuk membentuk suara ledakan
sekeras kembang api.
“Subaru, tidak bisa. Menggunakan
sihir untuk alasan seperti itu bisa membuat kita kena masalah.”
Namun, Akaha ikut dalam pembicaraan
itu melalui terminalnya sendiri dan menolak saran Subaru.
Hukum sudah mengatur dengan jelas
penggunaan sihir. Dan jelas, menggunakan sihir untuk alasan seperti mencari
teman yang tersesat bisa membuat mereka berhadapan dengan polisi.
“…..Tidak ada pilihan lagi, Eimi. Apa
kau bisa melihat Tower of Sages dari tempatmu?”
Tower of Sages adalah atraksi simbolik
di Wonderland, dan itu adalah bangunan paling tinggi di taman hiburan itu.
“Ya…. Aku sedikit melihatnya.”
Eimi berputar mencari ke sekitarnya,
menemukan pucuk menara itu, yang terlihat seperti batu putih yang dikelilingi
pagar.
“Kalau begitu kita bertemu di sana.”
“OK, aku mengerti,”
Mengakhiri pembicaraan itu, Eimi
memandang Tower of Sage dengan intens, seakan-akan dia sedang melihat orang
yang membunuh ayahnya, tapi, mungkin itu sedikit berlebihan, setidaknya ia
seperti melihat pembunuh anjing peliharaannya.
◊ ◊ ◊
Subaru memikirkan sesuatu saat ia
memandang alat komunikasi terminal informasinya dengan intens; lampu indikator
panggilan sudah mati sekarang.
“Ada apa, Subaru?”
Normalnya, sikap seperti ini akan
membuat orang lain jadi curiga. Menjawab pertanyaan Akaha yang terdengar
setengah penasaran dan khawatir, Subaru sedikit tersenyum dan berkata,
“Hmm, tidak apa-apa… Aku hanya
penasaran kenapa Eimi bisa terpisah dari kita.”
“Karena dia terlalu hiperaktif?”
“Tunggu dulu, itu…”
Akaha menjawab blak-blakan tanpa
berpikir, membuat Subaru tidak bisa berkata untuk sesaat.
“Masih masuk akal kalau ini semua
terjadi sebentar, tapi dia tidak sadar kalau ia terpisah dari kita setelah
lokasi kita sudah terpisah jauh. Aku rasa situasi ini tidak normal.”
“Hmm~ … Apa Eimi itu buta arah?”
“….Umm, Sakura, walaupun aku memasang
penasaran bagaimana kalian melihat satu sama lain, tapi ini bukan waktunya….”
Subaru menggelengkan kepalanya,
mencoba untuk tidak mendesah, lalu membuat nada bicaranya serius.
“Selain itu, Eimi tidak buta arah.
Dia anggota Klub Berburu dan dinilai sebagai anggota berbakat di antara anak
kelas 1. Jelas itu tidak mungkin bisa dinilai dari kemampuannya menembak di
lomba menembak dalam ruangan, tapi orang yang buta arah tidak mungkin bisa
memburu burung dan hewan di pengunungan.”
Penjelasan Subaru membuat Akaha
berpikir kalau Eimi mungkin memang hilang saja.
“Dan juga, taman ini dibuat untuk
anak kecil. Ini mungkin dirancang seperti labirin, tapi kau seharusnya tidak
bisa tersesat di dalamnya, sampai tidak tahu lokasimu sendiri di mana atau
tidak bisa melihat petunjuk jalan.”
“…..Kau mungkin benar. Karena ini
adalah daya tarik taman, tidak mungkin ini akan menyusahkan orang untuk bermain
di sini.”
Bertukar tatapan serius, kedua gadis
itu segera pergi ke Tower of Sage saat Subaru berkata “Ayo sekarang kita ke
sana”.
◊ ◊ ◊
Tidak seperti teman-temannya yang
dibingungkan oleh banyak keraguan selagi mereka menuju ke titik pertemuan, Eimi
saat ini malah semakin frustasi dengan ketidakmampuannya mencari jalan ke
tempat pertemuan, membuatnya tidak bisa berpikir hal lain.
Saat ini, puncak menara itu masih
terlihat jelas. Tapi setiap kali dia mencoba untuk berjalan ke arah sana, dia
akan selalu ketemu jalan buntu yang memaksanya mencari jalan lain.
Subaru menilai kalau Eimi ‘tidak buta
arah’ tapi itu terlalu konservatif.
Lebih tepatnya, insting arahnya
sangat tajam.
Insting arah Eimi dan kemampuannya
memetakan suatu medan membuatnya sadar kalau dia hanya berputar-putar di tempat
yang sama.
Dengan tujuannya yang terlihat tapi
tak bisa dijangkau, memahami situasinya tapi tidak bisa mencari jalan keluar,
semua ini makin menambah frustasinya.
Dan sekarang, sebuah pagar mawar
berduri menghalangi jalan Eimi. Dihalangi oleh berbagai jalan buntu dia sudah
tidak sabar lagi, Eimi sudah habis kesabarannya.
Bahkan laki-laki sekalipun akan
kesulitan melewati pagar mawar berduri seperti itu, jadi perempuan tidak
mungkin bisa melewatinya.
Tapi Eimi bukan perempuan biasa.
(Lihat saja akan kuledakkan pagar
ini……!)
Benar-benar kesal, Eimi merogoh saku
rok mininya, lebih tepatnya, dia merogoh lubang di roknya yang terlihat seperti
saku. Meraih sebuah sarung yang diikat di pahanya, dia mengeluarkan sebuah
terminal CAD panjang, kurus.
CAD utamanya bermodel shotgun tapi itu bukanlah barang yang
bisa dibawa-bawa di jalanan. Tapi tetap saja, CAD cadangan ini sudah lebih dari
cukup untuk menghancurkan halangan seperti itu. Terbiasa mengoperasikan CAD
bentuk pistol dengan satu tangan, Eimi menggunakan kedua tangannya untuk
membentuk rangkaian aktivasi di CADnya.
“Tunggu! Akechi-san, apa kau serius?”
Namun, sebuah suara terdengar dari
belakangnya di waktu yang tepat. Eimi terkejut seakan wajahnya disiram air.
Rangkaian sihirnya menghilang begitu saja di tengah-tengah aksinya.
Tertangkap menggunakan sihir
sembarangan.
Lebih tepatnya, dia gagal
melakukannya, tapi saat ini, apa yang ingin Eimi lakukan sudah jelas di mata
semua penyihir. Tidak mungkin ada orang yang salah mengira aksinya. Dan juga,
orang itu mengenalnya, yang mana membuat semuanya jadi semakin buruk.
Memikirkan semua itu di kondisinya yang di tengah keputusasaan, Eimi merasa
terpojok tanpa jalan keluar, bahkan dia tidak tahu siapa orang yang mengenalinya
itu, mungkin masih bisa untuk memohon kepada orang itu untuk melupakan semua
ini.
Eimi berbalik badan dengan gugup,
lalu diam membeku terkejut. Dia tidak menduga hal itu.
Orang yang memanggilnya adalah badut
bertubuh pendek. (Pendek untuk ukuran laki-laki, tapi dia masih lebih tinggi
dari Eimi.)
Sirkus biasanya punya badut yang akan
melakukan atraksi-atraksi kepada penonton, jadi tidaklah aneh kalau di tempat
seperti Wonderland, yang bertemakan sihir, punya staf yang berkostum seperti
ini.
Namun, badut itu tidak mengenakan
baju longgar badut pada umumnya. Tubuh bagian kanannya warna hitam sementara
bagian kirinya berwarna putih. Lengan kanannya ada pola garis-garis horizontal
hitam putih sementara lengan kirinya ada pola garis-garis vertikal hitam putih.
Celananya warna hitam di kanan dan putih di kiri. Rompinya putih di kanan dan
hitam di kiri sementara, dan warna ditukar di punggungnya. Itu adalah kostum
yang cukup aneh.
Dia memakai sarung tangan putih di
tangan kirinya dan yang hitam di kanannya. Daripada menggunakan topi badut
biasanya, dia memakai sebuah topi tinggi dengan garis-garis hitam putih seperti
yang lain.
Di bawah topi itu ada wajah yang
dilukis hitam putih. Tidak, itu bukan wajah yang dilukis, itu topeng.
Sisi kanannya menunjukkan wajah
menangis dengan warna putih sementara kirinya menunjukkan wajah tersenyum
dengan warna hitam.
Atmosfer seram ini, daripada seperti
badut, ini lebih seperti…
“Phantom?”
Eimi teringat suatu karaker opera.
“Huh? Akechi-san, apa yang kau
katakan?”
Suara familiar itu, berbicara dengan
akrab, segera menyadarkan Eimi.
“…..Tomitsuka-kun?”
“Ya, aku Tomitsuka.”
Badut itu melepas topengnya
menunjukkan sebuah wajah yang familiar.
Tomitsuka Hagane, Kelas 1 B dari SMA
1 yang berafiliasi dengan Universitas Sihir Nasional.
Teman sekelas Eimi.
“Kenapa kau pakai baju seperti itu?”
“Ini kerja paruh waktuku.”
Eimi bertanya dengan terkejut yang
mana dijawab Hagane dengan santai selagi memasang kembali topengnya.
“Kerja? Kenapa?”
SMA 1 tidak melarang muridnya kerja
paruh waktu.
Apa yang dimaksud Eimi, “Kenapa kau
kerja jadi staf Wonderland, pekerjaan yang akan dipilih murid-murid biasa?”
Bukan hanya Tomitsuka Hagane murid
SMA Sihir, dia juga murid Golongan 1 di SMA 1.
Dia peringkat lima baik dalam
kemampuan praktik dan teori sihir. Nilai keseluruhannya membuatnya murid
teladan yang berperingkat empat di angkatannya.
Karena keahliannya tidak cocok dengan
perlombaan yang diadakan, dia tidak terpilih untuk ikut dalam Kompetisi
Sembilan Sekolah. Tapi dari segi kemampuan tempur sihir dimana sihir
dikombinasikan dengan bela diri tangan kosong, dia dirumorkan nomor satu di SMA
1 meski tubuhnya yang pendek dan masih kelas 1. Eimi tidak mengerti rasanya
jadi anak nomor satu di SMA 1, tapi yang jelas, dia adalah sebuah penyihir yang
luar biasa.
Mereka yang punya kekuatan sihir
hebat, meski mereka hanya pemula, tidak akan kesulitan menemukan pekerjaan
sementara. Untuk penyihir, lowongan pekerjaan yang ada memberikan pekerjaan
yang lebih baik daripada kebanyakan pekerjaan.
Eimi tidak bisa membayangkan gaji per
jam untuk pekerja di taman hiburan ini, tapi itu tidak mungkin lebih tinggi
dari gaji untuk penyihir.
“Urusan keluarga.”
“…..Oh jadi begitu.”
Dia terpuaskan mendengar jawaban itu.
Seratus Keluarga, Tomitsuka.
Keluarga Tomitsuka adalah salah satu
keluarga top di Seratus Keluarga. Selain itu, diantara penyihir di Jepang,
mereka juga mempunyai kekayaan yang besar. Ini mungkin berarti kalau Keluarga
Tomitsuka punya investasi di perusahaan yang mengelola taman ini atau di
perusahaan induknya, sebuah firma pembangunan besar.
Memintanya bekerja sebagai staf
mungkin termasuk mengatasi situasi yang berhubungan dengan sihir.
Kalau begitu, Eimi punya sesuatu yang
ingin dikatakan kepada Hagane.
“Tomitsuka-kun, jujur saja ya,
bukannya ini sudah kelewatan?”
“….Apanya yang kelewatan?”
Eimi mendadak menunjukkan
kekesalannya, membuat Hagane mundur kebingungan. Meski wajahnya ditutupi
topeng, wajahnya mungkin sekarang sedikit bingung.
“Pagar ini! Aku tidak tahu tentang
‘membuat tempat yang menakjubkan’, tapi menghalangi jalan orang dengan barang
seperti ini apa tidak kelewatan? Berkat ini, aku terjebak berputar-putar di
tempat yang sama!”
Namun, keadaan mental Hagane kembali
kosong setelah mendengar protes Eimi.
Hagane tidak mengerti apa maksudnya.
“Tunggu dulu, Akechi-san. Tidak ada
hal seperti itu di Wonderland.”
“Huh?”
Mengira akan mendengar alasan-alasan,
mulut Eimi ternganga kaget mendengar jawaban Hagane.
“Bukannya itu sudah jelas? Desain
konsep disini adalah ‘membuat sesuatu seperti labirin’ tapi bukan labirin yang
sebenarnya. Pada akhirnya, kalau pengunjung tidak bisa menikmati taman ini,
maka jumlah pengunjung akan makin berkurang, mengurangi pendapatan.”
“Eh….. tapi…….”
“Lagipula, ini area konstruksi.
Pengunjung tidak diperbolehkan masuk ke sini. Bahkan para staf sekalipun hampir
jarang ke sini. Bagaimana caranya kau tersesat sampai ke sini?”
Eimi hampir panik mendengar
penjelasan itu, tapi memaksa tangan dan bibirnya untuk bergerak.
“Kalau kau tanya aku masuk dari
mana….. aku masuk dari situ.”
Eimi menunjukkan pagar yang baru saja
akan diledakkannya.
“Huh?”
“Aku bilang, aku masuk dari situ!
Tadinya tidak ada pagar!”
“…Yang benar saja?”
“Aku serius. Walaupun aku seperti
ini, aku tidak buta arah.”
Melihat tampang serius Eimi,
pandangan Hagane mendadak tajam di balik topengnya. Memandang pagar itu, di
mengeluarkan suara “Hmm…”.
Pagar yang terbentuk dari mawar
berduri. Setahu Hagane, tidak ada benda seperti itu di tempat ini. Bahkan jika
dia melupakan sedikit detail, area ini tidak seharusnya mendapat akses listrik,
karena itu mustahil ada benda yang bergerak. Untuk memastikan, Hagane
mengeluarkan terminal informasinya untuk
memastikan kondisi di area itu. Dan memang benar, tidak ada benda yang
beroperasi sama sekali di area itu.
“…..Akechi-san, kuizinkan kau
melanjutkan apa yang mau kau lakukan.”
“Apa?”
Perkataan mendadak itu….. Atau bisa
dibilang, perintah itu, membuat Eimi bingung menanggapinya.
“Tidak apa-apa, ledakkan saja….. Tipe
pagar yang digunakan Wonderland tidak pernah berduri sehingga pengunjung tidak
akan terluka jika bersentuhan dengan pagar. Setahuku seharusnya tidak ada pagar
di sini.”
“Jadi begitu.”
Paham apa yang dikatakan Hagane, Eimi
mengulang kembali rangkaian sihirnya yang gagal sebelumnya.
“Kalau begitu aku tidak akan menahan
diri…. Tomitsuka-kun, kau yang tanggung jawab ya!”
Sihir Eimi aktif bersamaan dengan
dilontarkannya perkataan itu.
Sihir Tipe Gerakan ‘Exploder’.
Itu adalah sihir yang membuat semua
objek di jangkauannya, mendorongnya objek ke lokasi sihir digunakan, membentuk
sebuah pola melingkar. Sihir itu bisa digunakan pada objek seperti reruntuhan
dan barikade, yang terdiri dari objek-objek kecil, tapi sihir ini tidak efektif
digunakan pada sebuah struktur besar seperti tembok atau batuan besar. Tapi dengan
menganggap setiap mawar itu satu objek dan memerluas area jangkauannya, maka
‘Exploder’ bisa menciptakan sebuah ledakan di tengah semak-semak. Daun-daunnya
terlepas, bersamaan dengan batang mereka. Akhirnya, menyisakan sebuah lubang di
tengah pagar itu.
Eimi mengangguk, puas, dan berjalan
menuju ke lubang yang dibuatnya.
“Tunggu!”
Tapi dia dihentikan suara temannya.
“Apa?” tanyanya, mengganggu
kesenangannya yang akhirnya muncul setelah berputar-putar di tempat yang sama.
“Aku rasa aku tahu sesuatu…..”
Tapi dilihat dari ekspresi Hagane
(meski begitu, wajahnya ada di balik topeng), dia tidak sadar rusaknya suasana
hati Eimi selagi terus memandangi lubang di pagar itu.
“Apa? APA YANG TERJADI?”
Eimi sengaja menaikkan suaranya.
Hagane akhirnya menyadari kekesalan yang dirasakannya dan segera menjawabnya
dengan cepat.
“Akechi-san, lihatlah. Pagar itu
tidak punya akar. Ataupun rangka untuk sulur mawar itu.”
“Iya juga…..”
Beberapa kali tinggal di Inggris,
pagar seperti ini sudah menjadi hal yang familiar bagi Eimi. Sebagai tumbuhan
yang tidak terlalu kokoh, mawar tidak akan bisa tumbuh tinggi tanpa adanya
rangka untuk menyangganya dan tidak mungkin bisa membentuk pagar setinggi dua
meter seperti ini.
“Benar, Akechi-san. Ini pagar yang
dibuat dari sihir!”
Hagane memasukkan tangannya ke lubang
hasil ledakan sihir Eimi.
Seketika, sulur-sulur tanaman itu
berkumpul untuk memangsa lengan kanan Hagane.
Dari segi kecepatan, sulur-sulur itu
memang terlihat seperti ‘memangsa’ lengan Hagane, bukan ‘menarik’nya. Sulur-sulur
itu, penuh dengan duri-duri tajam, hampir menembus lengan baju hitam putih
Hagane, menusuk lengan kanannya. Itulah yang seharusnya terjadi.
“Naif sekali!”
Namun, sihirnya berhasil menghalau
sulur-sulur itu.
Perlahan melepas gelombang kejut, lengan
kanan Hagane meledakkan pagar mawar itu.
“….Apa itu?”
Bagi Eimi, Hagane hanya terlihat
melepas gelombang Psion biasa.
Tapi Psion tidak akan bisa bekerja
pada suatu materi secara langsung.
Sebuah gelombang Psion seharusnya
tidak bisa meledakkan suatu benda.
“Bukan apa-apa, itu cuma Sihir
Akselerasi. Dengan membuat gelombang Psion, aku menonaktifkan sihir yang
bekerja di pagar itu, lalu aku menggunakan ‘Explosion’.”
‘Explosion’ adalah sihir yang
mengakselerasi semua objek dalam jangkauannya. Itu seperti kembaran ‘Exploder’
kecuali prosesnya menggunakan Sihir Tipe Kecepatan bukan Sihir Tipe Gerakan.
Dengan kata lain, selagi sulur-sulur
pagar menyentuh lengannya, Hagane menggunakan sebuah Sihir Non Sistematik untuk
menghancurkan sihir yang bekerja pada pagar itu, melepaskan lengannya dengan
membalik momentum sulur-sulur sebelum duri-durinya menembus kostumnya.
“’Gram Demolition’………?”
Eimi berbisik terkejut dan takut.
‘Gram Demolition’ adalah Sihir Non-Sistematik yang mampu menghentikan sihir
lain, menggunakan tekanan dari gelombang Psion. Hampir tidak ada penyihir yang
bisa menggunakan sihir itu.
Tapi Hagane menggelengkan kepalanya
dengan ekspresi canggung (meski begitu, wajahnya masih tertutupi topeng).
“Yah, sayangnya…. Aku tidak bisa
menyalurkan gelombang Psion sebesar itu kalau tidak terjadi kontak tubuh
denganku.”
Itu membuatnya Eimi mengingat julukan
Hagane.
Julukannya adalah ‘Range Zero’. Eimi
pernah mendengar julukan ini sebelumnya yang menggambarkan jarak serangnya.
Meski julukan itu mengindikasikan kalau dia tidak ahli dalam sihir jarak jauh,
julukan itu juga dihormati oleh orang-orang di sekitarnya. Dulu saat Eimi
pertama kali mendengarnya, dia bertanya-tanya kenapa dia bisa punya julukan
seperti ini mengingat dia tidak punya pencapaian besar. Setelah melihat
langsung, dia akhirnya mengakui kekuatannya.
Satu sentuhan saja darinya akan
memunculkan pelindung anti sihir untuk melindungi dirinya, lalu dapat membalas
lawannya yang lengah dengan mudah. Selain itu, menyalurkan Psion dalam jumlah
besar ke tubuh manusia mampu mengganggu ritme biologis orang tersebut, membuat
korban tidak mampu berdiri dengan baik.
“….Omong-omong, cukup tentang
sihirku….”
Hagane mungkin salah mengerti sikap
Eimi, membuang mukanya malu (tapi karena dia pakai topeng, ekspresinya… tunggu
dulu, rasanya tidak perlu dijelaskan lagi), berbisik dengan suara kecil yang
tak terdengar jelas dari balik topengnya.
“Ada yang datang. Apa target mereka
kamu, Akechi-san?”
Tidak ada yang tahu apa ini cuma kebetulan
ada apa saat atau mereka sengaja menunggu sampai pagar mawar itu dihancurkan,
di saat yang sama muncul sekelompok pria, berbaju hitam, topi hitam, muncul
mengelilingi mereka berdua.
“MIB[2]?”
“Setahuku tidak ada staf taman ini
yang pakai baju seperti itu.”
Baik kejengkelan Eimi atau komentar
Hagane, tidak ada dari mereka yang terlihat terbawa suasana mencekam di tempat
itu.
Atau mungkin mereka mencoba mengatasi
aura mengintimidasi milik orang-orang berbaju hitam itu.
Tapi kalau memang begitu, usaha
mereka berakhir sia-sia.
Orang-orang berbaju hitam itu
mendekat, dan semakin mengelilingi mereka.
Ketenangan Hagane mulai hilang.
Untuk alasan tertentu, Eimi
mengembalikan CAD di tangannya ke balik roknya.
Merasa aneh, Hagane menaruh tangan di
wajahnya. Dan bukannya melepas topeng itu, dia malah semakin menekan topeng itu
ke wajahnya.
Eimi segera menyadari kenapa dia
seperti itu. Jika ditekan, maka topeng akan semakin melekat ke wajah, membuat
penglihatan kita semakin jelas karena lubang mata yang semakin besar.
“Apa bisa saya tanya apa urusan Anda
ke sini?”
Hagane bertanya dengan sopan, mungkin
mengingat statusnya sebagai staf taman ini dan kemungkinan dia juga tidak tahu
siapa yang sedang diajaknya bicara.
Namun, dia sendiri tidak mengharapkan
adanya balasan.
Aturan utama di film horor untuk
membuat atmosfer menakutkan adalah dengan diam.
Itu juga yang dilakukannya saat ini.
Setelah muncul, sambil menyembunyikan
identitas mereka, mereka segera menyegel semua jalan keluar, memberikan tekanan
diam, lalu bernegosiasi dengan target yang sudah jatuh secara mental dan fisik.
Para orang berbaju hitam itu mengikuti prosedur dengan baik sampai bagian
menyegel semua jalan keluar.
“Madam Goldie.”
Tapi tidak seperti dugaan Hagane,
salah satu dari mereka angkat bicara dengan sopan.
Daripada memanggilnya ‘Nona’, mereka
menggunakan gaya kuno dengan memanggilnya ‘Madam’.
“Kami tidak punya maksud apa-apa
dengan Anda.”
Meski dia berbicara dengan Bahasa
Inggris, bukan hanya Eimi tapi Hagane juga lancar berbahasa Inggris.
“Kami hanya ingin menyerahkan sesuatu
kepada Anda. Biasanya, kami tidak akan membuat permintaan tanpa kompensasi.
Sebagai gantinya, kami akan memberi apa yang akan Anda butuhkan mulai
sekarang.”
“Aku takut kalau aku salah mengerti
maksudmu.”
Saat berbicara dengan Bahasa Inggris
sebagai ‘Amelia’, bicara Eimi jadi semakin panjang nan rumit daripada saat ia
berbicara Bahasa Jepang sebagai Eimi. Mungkin itu karena, aura terhormatnya
membuat dia terdengar seperti orang lain. Meski merupakan anggota keluarga
cabang, dia masih bagian dari Keluarga Goldie yang prestisius, karena itu aura
itu mungkin cocok dengan dirinya.
“Maafkan kelancangan kami. Kalau
begitu kami harus lebih jelas lagi menjelaskan.”
Orang yang berbicara dengannya tetap
terdengar sopan tapi mereka yang mengeliingi Eimi dan Hagane semakin mendekat,
meningkatkan tekanan yang mereka berdua rasakan.
“Madam Goldie, tolong ajari kami
Sihir Tipe Artileri, ‘Magic Bullet Tathlum’. Yang akan kami berikan sebagai
gantinya adalah bantuan untuk menghentikan pembunuh yang mengancam Anda.”
Hagane sebelumnya berpikir kalau
mereka ini ingin melakukan penculikan, setidaknya begitu lah yang dipikirkannya.
Namun, jalannya percakapan ini jauh
dari dugaannya, membuatnya ketinggalan kesempatan untuk buka mulut dan mengatakan
sesuatu atau mengambil tindakan.
Eimi merespon kepada lelaki berbaju
hitam dengan nada bicara kaku tapi tidak gentar sedikit pun.
“Itu sihir rahasia Keluarga Goldie,
hanya diajarkan kepada mereka yang diakui oleh keluarga utama. Dengan aku yang
tinggal di Jepang jauh dari keluarga utama, apa menurutmu orang sepertiku bisa
mempelajari ‘Magic Bullet Tathlum’?”
Memang benar, Keluarga Goldie,
berdiri sebagai salah satu penguasa di dunia Sihir Modern di Inggris, yang
sebenarnya mewariskan Sihir Kuno dari satu ke generasi ke generasi selanjutnya.
‘Magic Bullet Tathlum’ adalah kartu andalan mereka saat masa perkembangan Sihir
Modern, menggabungkan Sihir Kuno ke dalam Sihir Modern. Tapi tidak ada
informasi lain yang diketahui selain sihir itu menggunakan proyektil fisik.
Setidaknya, Hagane yang berasal dari
Keluarga Tomitsuka, tidak pernah tahu sejauh ini.
“Daripada memercayainya atau tidak,
lebih tepatnya kami sudah tahu.”
Namun, dilihat dari respon mereka pada
Eimi, Hagane menyimpulkan kalau temannya itu sudah pernah mempelajari ‘Magic
Bullet Tathlum’. Segera setelah ia mencapai kesimpulan itu, Hagane tidak bisa
menahan rasa ingin tahu yang memenuhi dirinya.
“Melalui jaringan kami, kami tahu
bahwa Nyonya Goldie telah mengajari Anda ‘Magic Bullet Tathlum’.”
Sementara itu, Eimi sudah hampir menyelesaikan
semua teka-teki ini.
Neneknya mengajari sihir itu
kepadanya; itu kebenarannya, tapi itu adalah sesuatu yang hanya boleh diketahui
oleh orang Keluarga Goldie. Eimi tidak pernah menggunakan ‘Magic Bullet
Tathlum’ dimanapun di luar rumah Keluarga Goldie bahkan jika ada orang luar
yang melihatnya berlatih itu, mereka tidak akan tahu kalau itu ‘Magic Bullet
Tathlum’.
Alasan kenapa ‘Magic Bullet Tathlum’
disebut sihir rahasia adalah karena rangkaian aktivasinya. Umumnya, penyihir
hanya bisa mengenali sihir melalui efek atau efek potensialnya. Hanya melihat
dari efek perubahan fenomenanya, mustahil ‘Magic Bullet Tathlum’ dikategorikan
sebagai Sihir Tipe Gerakan.
Tapi orang ini tahu kalau dia sudah
belajar ‘Magic Bullet Tathlum’, dengan kata lain….
(Ada konflik internal di dalam
keluarga…… Pantas saja nenek mendadak mengeluarkan keputusan seperti itu….)
Ini semua kemarin belum ada, baru
saja tadi pagi masalah ini muncul. Eimi, sebagai orang yang bersangkutan,
sampai mau ketawa melihat betapa cepatnya semua hal ini berjalan.
“Madam Goldie, bagaimana? Kami telah
mendapat informasi tak terbantahkan kalau akan ada beberapa orang yang akan
membayakan Anda. Maafkan saya yang lancang, tapi kedua orang tua Anda hanyalah
penyihir biasa. Kekuatan mereka saja tidak cukup untuk menjamin keselamatan
Anda.”
(Jadi kalau aku menolak, kalian yang
akan menjadi ‘ancaman’ bagiku.)
Eimi sedikit mendesah.
“Kenapa kau menginginkan sihir itu?”
Eimi merasa sedikit bersalah menyeret
Hagane ke dalam masalah ini, mengingat dia hanya sebatas teman sekelasnya.
“Tapi, aku sudah tahu jawabannya.”
Mereka bukan orang yang akan pergi
begitu saja setelah urusan selesai.
“Sihir itu adalah bukti sah anggota
Keluarga Goldie.”
Kalau begitu, dia sudah tidak bisa
mengharapkan jalan yang damai lagi.
“Bahkan kalau orang itu lahir di
keluarga utama, tapi tidak bisa menggunakan sihir itu, mereka tidak akan diakui
sebagai anggota keluarga utama.”
Eimi sadar akan itu.
“Biasanya, hak waris mereka akan
dihapus juga.”
Segera setelah Eimi berkata seperti
itu, aura pembunuh dapat dirasakan muncul dari para orang berbaju hitam yang
mengelilingi mereka.
“Itu sangat mudah dipahami.”
Eimi kembali berbicara Bahasa Jepang
dan mengejek mereka, sementara itu pertarungan sudah akan dimulai.
“Anda menolak bekerja sama? Sayang
sekali.”
Para orang berbaju hitam juga
berganti bicara Bahasa Jepang pada paruh akhir perkataanya.
“Tangkap Madam Goldie. Luka ringan
tidak apa-apa. Habisi bocah yang satunya itu.”
Dengan perintah orang itu, sebuah
kilatan perak muncul dari balik lengan baju mereka.
Sebuah belati kecil, yang biasa dilempar,
muncul di tangan mereka.
Itu tidak sesuai dengan tema yang
diusung Wonderland, tapi mereka punya belati dibalik lengan baju mereka.
Belati itu berguna untuk dua hal:
pertarungan jarak dekat dan untuk dilempar. Belati-belati di tangan mereka
sudah dipegang untuk dilempar. Pertarungan jarak dekat dengan melempar belati
adalah taktik cocok untuk melawan penyihir.
Namun, sebelum belati itu
dilemparkan, posisi mereka berubah.
“Menghabisiku? Oh tolonglah, jangan
memutuskan sesuatu yang berbahaya bagimu sendiri.”
Sebelum mereka melempar belatinya,
monolog sang badut sudah menyerang mereka terlebih dahulu.
Badut itu tidak menerjang mereka
dengan kecepatan tinggi sampai tidak bisa dilihat mata telanjang.
Dia hanya berlari seperti biasa ke
arah musuhnya. Meski dia cepat, siapapun juga bisa sepertinya dengan sedikit
latihan. Selagi pemimpin orang berbaju hitam itu sedang berbicara dengan Eimi,
badut itu sudah mulai beraksi.
Dia dengan mudah tidak menarik
perhatian, bersembunyi seperti hantu di bayang-bayang.
Hagane bertopeng monokrom sedikit
menekan telapak tangannya pada dada satu orang itu.
Itu terlihat seperti sentuhan lembut.
Tapi orang yang disentuhnya terlontar
ke belakang sejauh sepuluh meter sebelum akhirnya terjatuh.
Si hitam putih itu bergerak dengan
gesit.
Permainan sembuyi-sembunyinya membuat
dirinya sulit dilihat.
Tebasan karate Hagane mengenai bahu
salah seorang di sampingnya.
Membuat suara retakan yang cukup
keras.
Daripada dibilang tebasan keras, dia
hanya sedikit menepuknya, dengan lembut.
Meski begitu, tebasan Hagane berhasil
mematahkan tulang humerus orang tersebut.
“Seni Sihir!?”
Pemimpin orang berbaju hitam itu
berteriak kaget.
‘Seni Sihir’ adalah sebutan singkat
dari Seni Bela Diri Sihir.
Seni Bela Diri Sihir berisi
teknik-teknik tarung tangan kosong yang dikombinasikan dengan sihir.
Menggunakan titik kontak sebagai
titik rangkaian aktivasi, menghilangkan proses penentuan koordinat lokasi
target sihir. ‘Sihir Kontak’ seperti ini adalah salah satu teknik dasar Seni
Bela Diri Sihir.
Mungkin mendengar teriakan pemimpin
mereka, yang lain segera mengepung Hagane dan memperbaiki posisi mereka.
Melihat mereka menjadi lebih
hati-hati, lebih serius, Hagane tersenyum.
“Pelanggan yang terhormat, area ini
belum dibuka untuk publik.”
Dengan sigap, Hagane menaruh tangan
kanannya di dadanya sambil mengangkat tangan kirinya menyamping dan menapakkan
kaki kanannya di belakang kaki kirinya.
“Saya minta maaf tapi saya harus
meminta Anda semua untuk pergi.”
Dengan mudah memberikan tundukan.
“Atau mungkin, perlu saya antar? Ke
kantor polisi.”
Hagane mengejek mereka dengan suara
penuh hormat.
Mereka di belakangnya perlahan
mendekat untuk menyerangnya. Satu orang menyerang, membuat sela di lingkaran
yang mereka bentuk. Itulah yang diinginkan Hagane.
Memanfaatkan apa yang mereka lakukan,
Hagane berbalik badan dan menerjang orang itu.
Orang-orang itu juga bukan orang
sembarangan.
Sambil memegang belati, dia menusuk
Hagane.
Daripada berusaha menyerang kepala
yang dapat dengan mudah dihindari, serangan itu diarahkan ke tengah badannya,
dibawah taju pedangnya (area sekitar perut).
Namun, warna-warna monokrom itu
membuatnya tidak bisa mengarahkan serangannya dengan baik. Dengan mudah, Hagane
menghindari tusukan orang itu dan mendaratkan pukulan ke rahang bawahnya.
Itu bukan sihir asli tapi itu sihir
panggung, menggunakan ilusi optik untuk menciptakan trik yang membuat orang
pusing.
Itu seperti tarian sihir yang
memanfaatkan seluruh bagian tubuh, bukan sesuatu yang bisa dipelajari dengan
mudah.
Kostum aneh Hagane bukan cuma dibuat
untuk keperluan perkerjaannya sebagai staf taman hiburan tapi juga disesuaikan
untuk pertarungan.
Termasuk si pemimpin, orang-orang itu
memfokuskan perhatian mereka pada Hagane.
Itu adalah kesempatan Eimi.
Eimi merogoh saku jaket militernya.
Mengeluarkan sebuah CAD bentuk
terminal.
Membuka kartu reminya membentuk kipas
di kedua tangannya.
Sambil memegang kartu-kartu itu, Eimi
mengayunkan tangannya.
Terlepas dari tangannya, kartu-kartu itu
melayang di udara.
Beberapa kartu itu meluncur lurus dan
sisanya berputar melengkung.
Terbang cepat sampai tidak bisa
diikuti mata, kartu-kartu itu menembus baju mereka, menusuk tubuh mereka.
Darah terciprat.
Tidak ada yang terluka parah, tapi juga
tidak terluka ringan.
“Puas sekarang?”
Eimi bertanya dengan Bahasa Jepang
kepada pemimpin mereka.
Tidak gentar sedikit pun melihat
darah sebanyak itu, dia seperti melihat jus tomat tumpah.
“Ini ‘Magic Bullet Tathlum’ yang kau
mau. Tapi kalau cuma dilihat, kalian tidak akan tahu sihir apa ini.”
“Tidak mungkin….. ‘Magic Bullet
Tathlum’ seharusnya menggunakan kerang-kerang kecil….”
Orang itu mungkin tidak sadar kalau
dirinya sedang berbicara Bahasa Inggris untuk menjawab Eimi yang menggunakan
Bahasa Jepang.
Rasa sakit yang intens membuat mereka
tidak sadar akan itu.
Daripada begitu, mengingat hanya dia
seorang yang tersisa, dia memang pantas menyandang gelar pemimpin.
Namun, Eimi tidak terkesan
melihatnya. Tapi dia juga tidak peduli.
“….Jadi kau bahkan tidak tahu tentang
ini? Sepertinya aku sudah bicara terlalu banyak.”
Mata Eimi terus ke kanan kiri,
menunjukkan kalau dia sedang berpikir bagaimana caranya berbohong atas apa yang
barusan dilakukannya. Dia menyesal sudah ‘memberitahu’ kalau dia menggunakan
sihir itu, ‘Magic Bullet Tathlum’. Dia jadi terbawa suasana saat dia sadar
musuhnya tahu tentang sihir itu.
Tidak peduli apa akibatnya, Eimi
segera merubah ekspresi bingungnya menjadi ceria.
“Uh~ kau salah. Proyektil yang
digunakan ‘Magic Bullet Tathlum’ tergantung pada penggunanya masing-masing.
Yang menggunakan kerang kecil, seingatku adalah kaket buyutku yang meninggal
tahun lalu? Omong-omong, dia punya cucu yang juga dua tahu lebih tua dariku?
Aku belum pernah bertemu dengan sepupu jauhku ini, tapi dia mungkin majikanmu,
bukan?”
Dengan satu tangan di pinggangnya,
Eimi membentuk gestur pistol di tangan yang lain, meneruskan bicaranya “Bagaima
tebakan jeniusku?” Eimi ingin menguasai arah pembicaraan ini, tapi sepertinya
orang itu tidak terintimidasi.
Akhirnya, dia tidak merespon sama
sekali.
“Permisi…….. Akechi-san?”
Selagi Eimi menunggu orang itu untuk
menjawab, Hagane berbicara kepadanya dengan nada sedikit hati-hati.
“Hmm?”
“Orang itu sudah pingsan.”
“Huh?”
Walaupun dia tidak takut darah, Eimi
segera berlari menuju orang-orang itu.
“Tunggu dulu, jawab dulu pertanyaanku
sebelum pingsan!”
“Jangan meminta yang tidak tidak.”
Eimi berlari ke orang diam itu,
melihatnya seperti akan menamparnya. Mengira kalau dia bisa menghentikannya
sebelum terlambat (karena jika lebih parah lagi, mereka mungkin akan mati),
Hagane segera berlari dan terlihat jengkel dan lega di saat yang sama melihat
Eimi bisa menahan diri.
“Oh…… T-Tomitsuka-kun?”
Melihat Hagane di sebelahnya terlihat
jengkel, tapi karena dia pakai topeng, Eimi mendadak diam dan melihatnya dengan
situasi agak canggung, mencari kata-kata yang pas.
Eimi kembali ke dirinya yang biasa
berbeda dengan ia beberapa menit yang lalu. Meski Hagane berpikir seperti itu,
dia entah kenapa takut mengabaikannya, jadi ia menjawabnya.
“Ya, Akechi-san, ada apa?”
“Umm….. Maaf menyeretmu ke masalah
ini!”
“Oh, jadi begitu.”
Eimi menundukkan kepalanya dan
meminta maaf, menimbulkan reaksi kecewa dari Hagane.
“Meski aku cuma paruh waktu, aku juga
anggota patroli Wonderland. Aku tidak bisa pura-pura tidak melihat aksi
penculikan yang mungkin terjadi di taman ini, bahkan kalau aku tidak melakukan
apapun. Selain itu, jelas ini semua kesalahan kami membiarkan orang
mencurigakan sebanyak ini masuk ke sini, jadi jangan dipikirkan.”
Eimi seketika kembali ceria setelah
mendengar jawaban Hagane.
Melihat antusiasmenya, Hagane hanya
bisa tersenyum kecut.
Merasa kalau situasi sudah
menghangat, Hagane mengatakan sesuatu tanpa pikir panjang.
“Dan juga, aku bisa melihat sesuatu yang
langka…… Jadi itu Sihir Tipe Artileri, ‘Magic Bullet Tathlum’. Sihir yang
menggunakan rangkaian aktivasi pada suatu objek yang membuatnya menjadi
proyektil. Aku tidak tahu kalau sihir bisa digunakan seperti itu, bahkan saat
digunakan, kau tidak perlu pakai CAD atau membuat rangkaian sihir. Aku mengerti
sekarang, sihir itu jelas bisa dibilang sihir andalan Keluarga Goldie.”
Tepat setelah dia selesai berbicara,
Hagane segera menyadari perubahan suasana di situ.
“…Bisa tahu sebanyak itu dalam sekali
lihat, apa harus kubilang, seperti yang diharapkan dari keturunan Keluarga
Tomitsuka, salah satu yang terkuat di antara Seratus Keluarga?”
“Oh? Umm….. Akechi-san?”
“…Sayang sekali, kukira kita bisa
berteman……”
“Huh? Eh? Kenapa kau bilang seperti
itu?”
“Tomitsuka-kun, kuberitahu kau satu
berita bagus.”
Suatu alarm berbunyi keras di kepala
Hagane.
Untuk alasan tertentu, kakinya tidak
bisa bergerak.
“Uh….. Apa……?”
“Yang namanya sihir rahasia berarti
itu harus dirahasiakan apapun yang terjadi.”
“Woa! Tunggu dulu!”
Kartu-kartu yang ada di tangan kanan
Eimi dibuka kembali seperti kipas, membuat Hagane melambai-lambaikan tangannya
dengan panik.
Bukan hanya itu, dia juga segera
melepas topi dan topengnya.
“Aku tidak akan bilang siapapun! Aku
akan tutup mulut! Lihat saja wajahku! Aku tidak kelihatan seperti pembohong,
‘kan!?”
Dia sepertinya melepas topengnya
hanya untuk mengatakan itu.
Hagane mendadak berlutut, dengan
ketegangan yang sudah menurun, Eimi akhirnya tidak melanjutkannya lagi.
“…..Ah, terserah. Lagipula, aku juga
tadi bisa melihat tarianmu yang unik.”
“Y-ya.”
Kali ini ganti Hagane yang terlihat
kebingungan, sambil masih berlutut.
Dengan begitu saja sudah cukup buat
Eimi untuk tahu kalau Hagane tidak akan mengatakannya kepad orang lain tentang
Sihir Tipe Artileri itu. Hagane mungkin seperti itu karena ia sudah tidak punya
jalan lain. Sederhananya begitu.
“Baiklah, ayo kita jaga satu sama
lain!”
Eimi berlutut (dengan kedua kakinya
yang tertutup untuk mencegah celana dalamnya terlihat di balik rok mininya)
untuk melihat Hagane dengan lurus. Hagane segera tersenyum malu dan mengangguk.
“Oh, aku hampir lupa!”
Mungkin setelah lega, Eimi mendadak
berdiri dan mengeluarkan CAD dari balik roknya.
Selagi Hagane masih terlihat bingung,
berpikir “Apa?”, Eimi mengaktifkan sihirnya.
Sihir yang digunakan itu menghasilkan
cahaya, panas, dan aroma.
Kartu-kartu yang bersarang di tubuh
orang-orang berbaju hitam itu tiba-tiba terbakar, dan menutup luka itu sebelum
berubah jadi abu.
“Pemusnahan barang bukti dan
penghentian pendarahan, selesai. Sekarang, staf paruh waktu Tomitsuka-kun.”
“A-Ada apa?”
Nada bicara Eimi tiba-tiba berubah
membujuk, membuat Hagane terasa was-was.
Tapi terkadang was-was saja tidak
cukup.
“Luka yang dialami pengunjung taman
semuanya tanggung jawab tenaga medis, ‘kan? Dan kalau mereka ketahuan membawa
senjata ilegal, itu juga tanggung jawab staf taman hiburan untuk memanggil
polisi, ‘kan?”
“Akechi-san… Apa kau mencoba
melimpahkan semua ini kepadaku?”
“Beraninya kau bilang seperti itu,
tentu saja tidak! Tapi pikir saja, aku hanya ‘pengunjung’ hari ini. Dan
teman-temanku sedang menungguku.”
“…..Itu tidak adil.”
Eimi tetap tidak terpengaruh dengan
tatapan kesal Hagane.
“Baiklah, kalau begitu semua sudah
jelas~ Sampai jumpa di sekolah, Tomitsuka-kun!”
Eimi lalu meninggalkan tempat
kejadian dan melambaikan tangannya meminta maaf. Melihatnya pergi, ekspresi
Hagane perlahan berubah dari datar menjadi tersenyum kecut, diakhiri dengan menghela
napas lega.
◊ ◊ ◊
Eimi akhirnya bertemu dengan Subaru
dan Akaha. Mereka bertiga duduk untuk makan crepes di sebuah bangku panjang.
Saat seorang staf taman berkostum garis-garis lewat, Eimi mengeluarkan
pertanyaan yang tidak ditujukan ke siapapun.
“Jelas-jelas tempat ini Wonderland
jadi kenapa tidak ada satu pun yang berkostum kelinci…..?”
“Ayolah…. Bukannya itu nanti akan
menimbulkan masalah hak cipta?”
“Hmm? Kau sebenarnya mau ditemani
laki-laki berkostum kelinci, Eimi?”
“Tentu saja tidak! Hah~….. Aku cuma
berpikir, karena kita tidak setiap hari bisa ke sini, akan lebih baik kalau
staf-staf disini memakai kostum yang lebih cocok dengan tema.”
“Kostum seperti apa yang menurutmu
cocok?”
“Hmm~ …..Kira-kira, mungkin penyihir
dengan topeng gaya Venesia atau semacamnya?”
Yang muncul di pikiran Eimi adalah
badut berbaju monokrom seperti Phantom, tapi dia rasa anak kecil pasti akan
menangis melihat sesuatu seperti itu, meski dia berusaha mencari sesuatu yang
lain.
“Oh, itu mungkin bagus juga.”
“Ya, aku setuju. Kedengarannya
menarik.”
Lalu setiap saat ada staf taman
hiburan yang lewat, gadis-gadis itu selalu membayangkan kostum-kostum yang
cocok di pikiran mereka, berkata “Bukan seperti itu, bukan seperti ini”.
Sementara itu, Eimi diam-diam memikirkan suatu ide ekstrem, dari perspektif
Hagane, seperti “Akan bagus kalau Tomitsuka-kun berkostum kelinci”.
0 Comments
Posting Komentar