PELAJARAN TAMBAHAN MURID TELADAN
(Translater : Fulcrum)
Memasuki paruh kedua libur musim panas, SMA 1 menjadi agak sepi.
Dengan adanya Kompetisi Sembilan Sekolah, acara besar di musim panas ini,
semakin dekat, makin banyak klub-klub olahraga yang berlatih sendiri. Masih ada
waktu seminggu sebelum semester baru dimulai, semua klub dipenuhi aktivitas
untuk menyambut semester baru, tapi saat ini semua klub masih dalam libur musim
panas.
Tapi, tidak sesepi itu karena masih ada beberapa murid yang datang untuk
latihan. Terutama anak kelas 1, yang kesulitan memakai tempat latihan kalau ada
kakak kelas dan sekarang sedang memanfaatkan situasi ini untuk menggunakannya
sepenuhnya.
Di lapangan simulasi tempur indoor
itu, berdiri seorang sosok anak kelas 1.
◊ ◊ ◊
Seseorang berlari menuju sebuah pilar
kubus yang besar.
Dengan pandangannya yang sangat terbatas di ruangan ini, tempat itu terasa
seperti labirin meski tidak ada dinding-dinding di dalamnya. Lampu di beberapa
bagian ruangan itu sengaja digelapkan, dan serpihan-serpiham logam sengaja
disebar sebagai rintangan.
Tapi dia tidak bisa menurunkan kecepatannya, sebab waktunya diukur. Itu
hanya latihan mandirinya, tapi dia tidak akan membiarkan hasilnya jelek.
Dia sampai di sebuah pertigaan.
Segera membuat keputusannya dalam sekejap untuk mengambil yang kanan.
Sudah ada sebuah meriam otomatis yang siap menunggunya.
Karena refleks, dia menodongkan moncong CAD bentuk pistol di tangan
kanannya dan menarik pelatuknya, mengaktifkan sebuah Sihir Tipe Berat setingkat
perlombaan.
Sensor gravitasi yang ada merasakan berat itu, yang menyebabkannya
berhenti.
Keringat dingin mengalir di punggungnya, tapi tidak waktu untuk
memikirkannya. Dia segera meneruskan langkahnya di labirin itu. Untuk
menggantikan banyaknya waktu yang hilang dia berhenti menapakkan kakinya secara
refleks, dia menghimpun kecepatannya untuk menyelesaikan latihan ini. Lalu, ia
melaju dengan cepat melewati meriam otomatis itu dan mengarah mengikuti jalan
yang ada di depannya ke kanan.
Saat itu seketika,
Ada sesuatu yang lengket yang mengenainya dari samping…
…..dan sebuah alarm berbunyi menandakan latihan selesai.
◊ ◊ ◊
Merasa murung, Morisaki melihat dirinya sendiri saat lampu ruangan itu
kembali menyala. Sebuah paintball
merah mengenai samping kanan seragam latihan klub tempur-tembak nya.
Cat itu sudah mengering. Dia mungkin bisa mengelupasnya, tapi dia
menggunakan pembersih di ruang persiapan untuk membersihkannya. Dia berlari
menuju pintu keluar, hati-hati agar tidak mengganggu orang lain yang mengantre
untuk latihan ini.
Suara dirinya membuka pintu dengan kasar membuat seorang murid perempuan
yang sedang melakukan perbaikan alat penembak Guided Shooting (Guided Shooting
adalah sejenis olahraga yang menggunakan peluru yang ditembakkan dengan sihir
dan bukan mesiu atau udara terkompresi. Olahraga itu dilakukan dengan
menembakkan peluru-peluru kecil yang berdiameter 2.54 cm. Alat penembak Guided
Shooting dibuat khusus berbentuk sebuah senapan yang dimodifikasi sehingga memiliki
empat saluran untuk memasukkan peluru dan sebuah CAD yang melengkapi).
“…….Morisaki, kau kasar sekali.”
Murid perempuan itu, Takigawa Kazumi dari Kelas 1 C, berhenti mengerjakan
alat penembaknya dan berbicara kepada Morisaki.
“Takigawa….. Kau anggota (Klub) Guided Shooting. Untuk apa kau di sini?”
“Woah, kau bertanya seperti itu.”
Seperti yang dikatakan Takugawa, respon Morisaki yang ‘seperti itu’
bukanlah perkataan yang enak didengar.
“Aku ke sini untuk mencari beberapa komponen untuk internal CAD ku dan aku
mendapat izin dari ketua klubmu. Itulah kenapa tidak ada alasan bagimu untuk
bertanya ‘Untuk apa kau disini?’ “
“Hmm…… dan kau tidak bisa mengerjakannya di gudang?”
“Maaf kalau aku mengganggu. Tapi aku mau bilang ini dulu, berbagi komponen
yang berlebih dengan Klub Guided Shooting sudah menjadi tradisi sejak dulu.
Morisaki kau tidak tahu ini karena kau selalu memakai CADmu sendiri.”
Selain anggota OSIS atau Komite Moral Publik yang diperbolehkan membawa
CAD di sekolah, ‘anggota klub biasa’ harus menggunakan CAD yang disiapkan klub
mereka masing-masing dan menggunakannya di bawah pengawasan LPS (Local Positioning System) hanya untuk
keperluan pribadi. Saat masuk SMA, Morisaki segera menjadi anggota Komite Moral
Publik dan selalu menggunakan CADnya sendiri bahkan saat aktivitas klub, jadi
dia tidak ada kesempatan untuk tahu tentang proses dan prosedur perbaikan CAD.
Sebenarnya pembicaraan ini akan berakhir sengit, tapi Morisaki mendengus
dan meninggalkan gadis itu. Mengabaikan Takigawa yang menyebutnya ‘orang aneh’,
dia membawa sebuah semprotan dari loker dan menyemprot lengannya. Cat yang
mengenai lengannya mulai mengelupas, menggulung menjadi bola sebelum akhirnya
jatuh ke lantai. Beberapa bola-bola merah tersebar di lantai.
“Morisaki…. Sudah berapa kali kau melakukannya? Apa kau tidak terlalu
memaksakan dirimu? Mungkin hari ini sampai di sini saja.”
“……..Apa kau mengkhawatirkanku?”
“Tentu saja aku mengkhawatirkanmu.”
Morisaki mengelap keringat yang tak henti-hentinya mengucur dari dahinya
dan berbicara dengan nada mengejek. Takigawa mengangguk dengan sungguh-sungguh
menjawabnya.
“Aku ingin meluruskan semuanya. Ini bukan karena aku tertarik kepadamu,
jatuh cinta kepadamu, atau mengejekmu. Aku hanya tidak tahan diam dan melihat
saja saat ada orang yang kukenal terjatuh di depanku.”
“Aku sudah tahu.”
Mengabaikan perkataannya, Morisaka berbalik untuk pergi keluar. Takigawa
menambahkan sesuatu.
“Kalau begitu, kau berhenti sekarang saja hari ini. Tidak ada gunanya
melanjutkan latihanmu, kau tidak akan mendapat apa-apa.”
Takigawa menerima tatapan jijik Morisaki tanpa menghindarinya sedikit pun.
“Aku tahu.”
Orang yang pertama mengalihkan pandangannya adalah Morisaki.
Dia berhenti berbicara dan menuju ke ruang ganti laki-laki.
“Aku bisa mengerti kegelisahan seperti itu, tapi…… tidak, aku mungkin
tidak mengerti. Lagipula, ‘dia’ dan Morisaka itu laki-laki.”
Takigawa melihat punggungnya menghilang dan bergumam sendiri.
◊ ◊ ◊
Morisaki melepas seragam klubnya dan berganti mengenakan kaos dan celana
sekolahnya. Tepat saat ia akan memakai seragam sekolah musim panasnya, matanya
tertuju pada bordiran di kantung kiri bagian dadanya.
Empat bulan yang lalu, dia bangga dengan lambang itu.
Tapi akhir-akhir ini, dia sering dirundung frustasi tanpa jalan keluar.
Frustasi tak beralasan itu terus mengganggu hati Morisaki. Daripada
‘frustasi’, itu mungkin lebih tepat disebut ‘kenyataan yang tidak mau
diakuinya’.
Morisaki memutuskan untuk tidak memakai jaket, dan meninggalkannya di
lokernya. Saat dia mendongak, ia dihadapkan dengan jatuhnya sinar matahari yang
melimpah.
Tanpa perlu diberitahu Takigawa, Morisaki bisa merasakan kegelisahan yang
tumbuh di dalamnya.
Tapi tetap saja, kalau Takigawa tidak mengatakannya langsung, Morisaki
mungkin masih akan menghabiskan waktunya dengan latihan tidak bergunanya
sekarang. Itulah yang dipikirkan Morisaki sekarang.
Lain kali mereka bertemu, dia perlu memberinya hadiah atau semacamnya,
pikir Morisaki.
Lukanya di Kompetisi Sembilan Sekolah dinilai butuh waktu sebulan untuk
sembuh total, meski berkat majunya penyembuhan sihir, dia bisa sembuh lebih
cepat. Namun, tubuhnya sudah tidak sehebat dulu semenjak dia dirawat selama
seminggu di rumah sakit dan belum pulih ke kondisi awalnya. Setidaknya, itulah
yang Morisaki sendiri rasakan.
Dan juga….
Dia merasa pengalamannya di panggung megah kompetisi itu tidak membantu
mengembangkan kemapuannya. Faktanya, dia makin merasa kemampuannya menurun
daripada sebelum libur musim panas….
Perasaan itu tersimpan di hatinya.
(Lagipula, tidak ada guru sekarang……)
Murid Golongan 1 memiliki ‘keuntungan’ diajari secara privat oleh seorang
pengajar, tapi tentu saja itu tidak terjadi karena di libur musim panas ini
tidak ada seorang guru pun di sekolah. Bahkan bagi Morisaki, yang ikut sebagai
atlet di Kompetisi Sembilan Sekolah tidak bisa mendapat pelajaran tambahan
selama libur musim panas sampai minggu depan.
Kalau dia hanya ingin belajar teori maka dia hanya perlu mendatangi
perpustakaan, tapi saat ini Morisaki sedang berpikir bagaimana cara untuk
meningkatkan kemampuan praktiknya. Dia tidak seputus asa itu, tapi setidaknya
dia ingin meningkatkan kemampuan sihirnya. Itulah yang memenuhi kepala Morisaki
sekarang.
◊ ◊ ◊
Saat bicara tentang Keluarga Morisaki, hal pertama yang terlintas adalah
teknik ‘Quick Draw’.
Diantara Seratus Keluarga, Keluarga Morisaki adalah keluarga yang tidak
memiliki ‘angka’. Walau kekuatan sihir mereka dinilai tidak terlalu tinggi,
kalau masalah kemampuan praktik di kondisi khusus, mereka punya banyak
penghargaan atas kemampuan unik mereka. Bahkan jika dibandingkan dengan
Numbers, kemampuan mereka bisa setara atau mungkin mengungguli yang lain.
Jadi, kemampuan seperti apakah ‘Quick Draw’ itu?
Kenyataannya, semuanya seperti namanya. ‘Quick Draw’ cuma sebuah ‘aktivasi
cepat’. Teknik itu diciptakan dengan memertimbangkan satu hal, bagaimana cara
menggunakan sihir secepat mungkin saat menggunakan CAD. Lebih jelasnya, ini
adalah teknik untuk dengan cepat menyelesaikan proses CAD sebelum sang pengguna
menyiapkannya, sehingga sihir yang digunakan dapat melumpuhkan lawan bahkan
sebelum mereka dapat menggunakan sihir mereka.
Kekuatan sihir itu aspek nomor dua.
Kesulitannya tidak penting.
Sihirnya bisa saja sihir lemah, tapi sihir lemah sekali pun bisa
melumpuhkan lawan kalau digunakan lebih cepat daripada lawannya.
Setelah CAD sudah siap, kecepatan aktivasinya juga meningkat. Teknik ini
dikembangkan dengan mengutamakan kecepatan dan elemen utamanya terletak di
pengembangan dan modifikasi operasi CAD untuk meningkatkan efektivitas.
Karena teknik itu fokus pada kecepatan, maka biasanya CAD khusus yang
digunakan. CAD khusus berbentuk pistol sekarang menjadi barang umum, jadi
teknik pertama yang dikembangkan adalah cara menggunakan pistol dengan lincah
dan cepat.
Karena itu sihir itu bernama ‘Quick Draw’.
Perkembangan itu membawa efek samping yang tidak disadari siapapun
awalnya. Poin utama dari sihir ini adalah untuk menggunakan sihir lebih cepat
daripada musuh, mulai dari saat belum memegang CAD sampai sudah di tangan, dan
melumpuhkan lawan. Ini adalah kemampuan yang ideal untuk para pengawal di
Jepang yang perlu menyembunyikan senjata mereka. Para pengawal di USNA
sebaliknya akan menunjukkan senjata mereka untuk menakut-nakuti musuh. Namun,
di Jepang mereka diperintahkan untuk menyembunyikan senjata mereka sehingga
sang klien atau orang di sekitar mereka tidak tertekan.
Dengan kemampuan unik seperti itu, Keluarga Morisaki sering menerima
pekerjaan sebagai pengawal. Klien utama mereka biasanya adalah pemilik-pemilik
perusahaan yang tidak bisa meminta pengawalan dari polisi atau tentara.
Meskipun tujuan utama mereka tetap meneliti Sihir Modern, Keluarga Morisaki
lebih dikenal banyak orang karena pekerjaan sampingan mereka sebagai agensi pengawal.
Morisaki Shun merupakan anak tunggal dari Keluarga Utama Morisaki (tidak
ada lagi anak muda di generasinya) dan sudah mulai bekerja di agensi itu sejak
dua tahun yang lalu. Dengan penampilannya yang masih muda, membuat musuh mereka
menjadi lengah dan menurunkan penjagaan mereka. Daripada menjadi pengawal
utama, dia menggunakan kemampuannya sebagai pengawal pendukung dan mengawal
dari belakang.
Saat agensi sedang kekurangan orang, dia selalu dipanggil untuk bekerja
tidak peduli dia punya waktu atau tidak (walaupun itu cuma sebatas pekerjaan
sampingan), tapi akhir-akhir ini dia tidak mendapatkan misi apapun. Saat ini,
Morisaki tidak tertarik untuk latihan yang tidak ada gunanya karena sekarang
dia lebih ingin memiliki pengalaman (tempur) nyata. Namun, sampai hari ini dia masih
tidak diberikan misi.
Setelah melepas jaket seragamnya dan menaruhnya, Morisaki melihat mata
seorang pria frustasi melihatinya dari cermin.
Wajah itu tidak lain adalah wajahnya.
Peringatan Takigawa terngiang di benaknya.
Morisaki sadar akan keadaan mentalnya yang sedang buruk sekarang.
Dia menahan semua kekesalannya, memberitahu dirinya untuk berubah dan
mendengarkan orang lain, lalu menaruh baju latihannya dan berganti ke baju
kasual untuk jalan.
◊ ◊ ◊
Bahkan di waktu jalan-jalannya di siang hari, dia dengan mudah memanggil
empat atau lima orang temannya kalau mau.
Tapi, Morisaki memilih untuk jalan-jalan sendiri.
Dia menyimpan sebuah CAD kecil tersembunyi di kantung depan rompinya dan
beberapa benda kecil lain di dalam tas punggung yang dipakainya sebelum ia naik
bus ke pusat kota.
Dia sudah menentukan tujuannya, Ariake, murni atas kemauannya sendiri. Dia
tidak punya tujuan khusus atau tempat yang ingin didatanginya. Bisa dibilang
alasan dia ke sana adalah karena Ariake bukan tempat yang terlalu sibuk, tapi
juga tidak terlalu sepi. Membuat setiap orang yang ke sana merasa nyaman.
Meski tempat itu punya banyak taman, bukan hanya anak kecil saja yang
menggunakannya. Tapi tetap saja, di siang hari kerja seperti ini, taman-taman
itu kebanyakan digunakan oleh anak laki-laki dan perempuan sekolahan yang
sedang libur musim panas. Kebanyakan dari mereka mengenakan pakaian yang
lumayan menunjukkan kulit, yang cocok dengan musim panas.
Itu semua terlihat menyegarkan bagi Morisaki. Di sekolah, bahkan selama
libur musim panas, mereka semua akan tetap mengenakan seragam sekolah sesuai
aturan. Anak laki-laki mengenakan lengan panjang, sementara yang perempuan
mengenakan legging di balik rok
mereka. Dan baik laki-laki maupun perempuan harus tetap memakai jaket di
luarnya. Baju latihan mereka juga lengan panjang dan bawahannya sepanjang mata
kaki. Baju renang mereka juga tidak ada bedanya, yang perempuan memakai baju
renang yang menutupi sekujur tubuh mereka sampai ke leher.
Tapi, di situ, banyak yang mengenakan tank
top dan tube tops. Selain itu
banyak juga yang hanya memakai sandal jepit, bahkan banyak yang hanya memakai
rok mini atau celana pendek.
Morisaki sendiri mengenakan kaos lengan pendek dengan dua kancing atas
dibukanya. Tapi di luarnya, dia memakai rompi yang tidak dikancing untuk
menyembunyikan CADnya. Penampilannya agak kelihatan tidak cocok.
Tidak seorang pun remaja di taman itu yang membawa CAD. Untuk sementara,
dia masih belum melihat ada anak laki-laki yang memakai jaket atau rompi untuk
menyembunyikan sesuatu sepertinya, atau perempuan yang memakai gelang lebar.
Tidak ada penyihir di situ, sejak beberapa saat yang lalu.
Itu membuat Morisaki menyadari kenyataan pahit bahwa dia adalah minoritas
di situ.
Dan sekarang, mendadak dia merasa kerongkongannya kering.
(……..Ini pasti karena aku keringatan banyak sejak tadi pagi……..)
Dia menganggapnya sebagai dahaga.
Tidak jauh dari tempatnya berdiri ada sebuah café.
Tanpa berpikir panjang, Morisaki berjalan menuju café itu seolah dia sudah tidak mau berpikir lagi.
Café yang kecil itu kehabisan tempat.
Kehabisan pilihan, Morisaki hanya bisa dapat duduk di teras yang hanya
ditutupi payung untuk melindunginya dari terik matahari. AC luar ruangan
bukanlah hal yang langka, tapi café
ini tidak punya itu. Dengan penampilan luar yang seperti kabin kecil dengan
furnitur kayu putih, pemilik café ini
pasti merupakan pecinta alam.
Akan ada orang yang merasa kalau café
itu ‘modis’, Meski tren seperti ini sedang populer, tapi ini semua akan berubah
seiring musim. Buktinya, hampir tidak ada kursi di teras café yang terisi.
Morisaki duduk di kursi ujung sendirian sambil menikmati segelas es kopi
dan mengamati para anak muda di jalanan yang lesu.
Dia merasa kalau kebanyakan dari mereka seumuran dengannya.
Setidaknya separuh dari mereka sedang pacaran dan sekitar 90% dari separuh
yang lain jalan-jalan bersama teman mereka. Mereka yang jalan sendirian
sepertinya kurang dari 5% (walaupun dari suasana hatinya, saat ini ia lebih
seperti pejuang yang mencari ketenangan dan bukan penyendiri).
Sebuah perasan dikucilkan perlahan dirasakan Morisaki saat dia terus
mengamati orang-orang di sekitarnya saat tiba-tiba muncul siluet seorang gadis di
hadapannya.
Sama sepertinya, dia juga sendirian. Tidak, kejadian ini sangat langka
mengingat kalau dia perempuan.
Dia mengenakan tunik tanpa lengan dengan kerah tinggi dan rok berlipat
yang memanjang sampai lututnya sementara kakinya memakai sandal, sebuah dandanan
yang tidak terbuka atau membosankan.
Tapi dandanannya juga tidak normal.
Delapan dari sepuluh orang, atau mungkin sembilan dari sepuluh orang kalau
mereka laki-laki, akan menilainya ‘cantik’ atau ‘manis’.
Rambutnya diikat ekor kuda memanjang melewati bahu kirinya, dan saking
panjangnya kalau digerai mungkin bisa sampai pinggangnya. Matanya lebar dan
ujungnya sedikit terangkat, dan gerakannya elegan dan berkelas. Gerak-geriknya
seperti seekor kucing besar, bukan macan atau singa, tapi seperti harimau
kumbang.
Wajahnya jelas menunjukkan orang Asia, tapi warna kulitnya lebih putih,
seperti ras Kaukasoid. Jadi dia mungkin lebih seperti macan tutul salju. (Walau
kenyataannya, macan tutul salju berkulit abu-abu, bukan putih)
Selain itu, dia kelihatan lebih tua dua atau tiga tahun dari Morisaki.
Penampilannya mencolok, tapi dari segi kecantikan, masih ada lebih banyak
gadis yang lebih cocok disebut ‘mencolok’. Morisaki menyadarinya karena
penampilannya, tapi dia juga memandanginya untuk alasan yang lain.
(Dia…… pasti seorang penyihir, bukan?)
Dia tidak memakai CAD bentuk gelang yang biasa digunakan.
Dilihat dari tas yang dibawanya, ada kemungkinan dia membawa CAD bentuk terminal
didalamnya, tapi tidak ada cara untuk memastikan hal itu.
Penampilannya tidak mencerminkan seorang penyihir, tapi Morisaki merasa
kalau gadis itu punya dengan duni asihir.
Gadis itu masih belum sadar dengan tatapan Morisaki, atau setidaknya
pura-pura begitu, saat dia berjalan menuju ke depan café tempat Morisaki duduk.
Morisaki memerhatikan sosoknya dan menyadari kalau ada orang lain yang
memerhatikannya.
Dan itu bukan tatapan mesum.
Dengan dirinya yang bekerja dalam bisnis keluarganya, ‘insting’ yang
dimilikinya sebagai pendukung pengawal memeringatinya.
Dia sedang diikuti oleh banyak mata ‘jahat’.
Morisaki segera membayar tagihannya dengan terminal di meja dan
meninggalkan kursinya seolah tidak terjadi apa-apa.
Alasannya mengikuti gadis itu bukan karena apa yang ada di pikirannya.
Pekerjaannya sebagai pengawal masih rendah, jadi itu tidak membuatnya ‘gila
kerja’. Bisa dibilang, fakta kalau gadis itu cantik juga berperan dalam
aksinya.
Gadis itu (yang terlihat sedikit lebih tua darinya) meninggalkan area
taman dan berjalan menuju distrik pergudangan. Apa yang ingin dilakukannya
disana?
Morisaki, membuntutinya, menyadari kalau semakin lama jalan yang ditujunya
semakin sepi. Meski di ujung jalan ini juga ada taman dan tempat hiburan lain,
jumlah pejalan kaki yang ada terlalu cepat habis kalau hanya cuma kebetulan.
Morisaki menyadari adanya sesuatu yang bekerja, sesuatu yang tidak biasa.
Dia tidak tahu banyak tentang Sihir Kuno, tapi dia yakin kalau Taoisme
atau Aliran Onmyouji seharusnya adalah teknik yang digunakan untuk mempengaruhi
alam bawah sadar seseorang, membuat orang tersebut menjauhi suatu tempat
spesifik.
Dengan kata lain, ini ulah penyihir. Sejak Morisaki menyadari gadis itu,
gadis itu tidak terlihat menggunakan sihir sedikit pun. Dengan demikian,
Morisaki menilai kalau ada orang lain yang menggunakan sihir untuk
menyingkarkan orang-orang di tempat itu.
Lalu, apa motif mereka melakukan itu?
Jelas saja, itu bukan karena malu. Tidak mungkin alasannya seperti itu.
Kemungkinannya termasuk penculikan, perampokan, atau bahkan pelecehan
seksual.
Menurut Morisaki, ini bukan pembunuhan, tapi apapun bisa terjadi.
Pertanyaan selanjutnya adalah ada berapa banyak musuhnya. Berdasarkan
skala sihir yang digunakan, tidak mungkin hanya satu atau dua orang. Tanpa
gambaran jelas tentang kekuatan musuhnya, akan bodoh sekali baginya untuk
menghadapinya langsung. Karena itu, satu-satunya pilihan adalah untuk menunggu
sampai musuh beraksi lalu menangkap mereka dengan serangan kejutan, melumpuhkan
‘musuh’ sementara dan mengambil kesempatan itu untuk menyelamatkan gadis itu.
Morisaki memutuskan untuk melakukan itu.
Namun, kejadian di tempat itu berjalan di luar kalkulasi Morisaki.
Morisaki yakin kalau musuh ini, setidaknya yang dikirannya musuh, akan
menunggu sampai gadis itu sampai di area pabrik kosong sebelum melakukan aksi
mereka.
Bahkan meski jumlah mereka tidak banyak, jalanan masih berada di bawah
pengawasan kamera jalan. Karena itu Morisaki yakin kalau aksi mereka tidak akan
berjalan lancar kalau gadis itu berjalan ke Rainbow Bridge[1] (generasi
kedua).
Namun, saat tidak ada siapapun atau kendaraan satu pun di jalan, mereka
yang mengikuti gadis itu segera mendekatinya.
“Siapa…… Siapa kalian!?”
Gadis itu berteriak pada orang-orang yang mendekatinya.
Reaksinya bisa dibilang cukup berani. Di posisinya, bahkan laki-laki
sekalipun pasti akan ketakutan sampai tidak bisa berbicara, dan itu hal yang
masuk akal.
Tapi tetap saja, dilihat dari gadis itu yang tidak menyadari adanya orang
di sekitarnya, dia pasti jatuh ke perangkap sihir mereka.
Morisaki menilai kalau gadis itu tidak panik, sehingga ia tidak perlu
merubah rencananya, Morisaki menyiapkan CADnya dari bayang-bayang salah satu
pohon di sisi jalan. Serangan kejutan bukan bagian dari keunggulan sihir
keluarganya, tapi sebagai orang yang bekerja sebagai pendukung pengawal, dia
lebih ahli menggunakan ‘Drawless’ daripada ‘Quick Draw’.
Enam orang.
Kalau dia tidak ingin membahayakan gadis itu, dia perlu melawan mereka
dengan cepat.
Keringat dingin mengalir di pelipisnya.
Saat ini, napasnya tidak teratur. Mencoba mengendalikan napasnya, Morisaki
berlari menerjang dari balik pohon.
Saat dia berlari menuju gadis itu, dia menarik pelatuk CADnya dua kali.
Dia melompat ke depan dan menarik pelatuknya sekali lagi saat ia melihat
ada musuhnya yang sudah memasukkan tangannya ke balik jaket mereka.
Selain bisnis pengawal (bahkan pekerjaan sampingan pun masih dianggap
bisnis), Keluarga Morisaki mengembangkan sebuah tipe sihir yang bisa
melumpuhkan target dengan satu serangan tanpa meninggalkan kerusakan serius.
Dia membuat target berakselerasi terus-menerus sampai mereka kewalahan.
Dengan menggunakan dua proses Sihir Tipe Gerakan, ia mengguncang organ dalam
kelima targetnya, dengan serangan yang diutamakan ke otak, membuat mereka
tumbang satu per satu.
Saat Morisaki akan menghadapi yang keenam, hatinya berdebar keras.
Tepat di depan matanya ada peredam di moncong pistol targetnya.
Itu bukan CAD.
Itu pistol asli, pistol otomatis.
Morisaki memikirkan semua sihir yang bisa digunakannya, tapi dia tidak
menduga kalau akan ada dari mereka yang akan membawa pistol asli.
Mengingat mereka menggunakan sihir untuk menetralkan area itu, Morisaki
menduga kalau targetnya akan menggunakan sihir.
Dia memikirkan sihir yang bisa digunakan sebelumnya, tapi ia tidak
mempersiapkan diri menghadapi peluru.
Tidak ada waktu untuk menggunakan sihir yang bisa melindunginya dari
peluru atau cara menghindari peluru itu.
Morisaki meningkatkan gerakan kakinya untuk mengelak dari lintasan
tembakannya.
Namun, saat dia memerintahkan otot kakinya untuk bergerak, suara tembakan
pistol itu sudah berbunyi.
Moncong pistol itu tidak diarahkan kepada Morisaki.
Gadis itu sudah mengambil pistol orang lain yang sudah tumbang untuk
menembak orang yang dihadapi Morisaki.
Morisaki mengeluarkan CADnya.
Saat orang keenam itu tumbang, gadis itu ikut jatuh dan duduk di jalan.
“Apa kamu bisa berdiri?”
Morisaki berlari ke gadis itu dan meraih tangannya tanpa menunggu
jawabannya.
“Lebih baik kita segera pergi. Apapun yang terjadi, kita ke stasiun saja
dulu. Mereka kelihatannya bukan orang yang akan buat keributan.”
Gadis itu benar-benar tegar. Meski baru saja akan diculik, ia tidak
terlihat histeris atau menangis. Setelah mengangguk pada perkataan Morisaki,
dia menggenggam tangan Morisaki dan berdiri.
“Lewat sini.”
“Terima kasih.”
Bergandengan tangan, Morisaki membawa gadis itu berlari ke arah stasiun.
Biasanya memakai sandal hak tinggi akan menyulitkan saat berlari, tapi
daripada tertarik Morisaki, gadis itu malah bisa menyamai Morisaki. (Tentunya
Morisaki juga sudah melambatkan kecepatannya.)
Dia tidak melepaskan tangannya sama sekali.
Sentuhan tangan kecil itu memacu jiwa ksatria di hati Morisaki.
◊ ◊ ◊
Setelah sampai di stasiun, Morisaki mengajaknya menjauh dari Ariake, tapi
gadis itu menggelengkan kepala.
“Aku ada janji dengan orang lain di sini.”
“Kirim email saja sudah …..”
“Karena beberapa alasan, aku tidak bisa menghubunginya secara langsung.”
Gadis itu mengangkat matanya dan sedikit menunjukkan senyuman di wajahnya.
Senyuman memesona itu membuat Morisaki kehilangan kontrol gejolak dalam
dirinya.
“Aku sangat berterima kasih kau menolongku.”
Gadis itu tidak memerhatikan Morisaki yang tersipu.
Morisaki menghargai kepeduliannya yang sama sekali berbeda dari
teman-temannya.
Dan rasa kewajiban itu, atau apalah itu, yang dirasakannya saat ada di
hadapan gadis cantik, bergejolak di hatinya.
Yang mana membuatnya kesulitan untuk menerima perkataan gadis itu
selanjutnya yang bertentangan dengan perasaannya.
“Namun, aku rasa ini sudah cukup jauh. Lain kali……. Nanti aku akan
membalasnya. Kalau bisa, apa kau mau memberikan kontakmu?”
Saat ini, gadis itu menunjukkan ekspresi ‘kecewa’. Sadar apa yang terjadi,
sekujur tubuh Morisaki menegang, tapi sekali melihat senyuman malu di wajah
gadis itu, muncul kegelisahan baru di dirinya.
“Ah, maafkan aku. Namaku Lin Richardson. Aku kuliah di California dan
sedang liburan sekarang. Panggil saja aku Lin.”
“Aku Morisaki Shun.”
Morisaki benar-benar bersyukur dia tidak mendadak mengeraskan suaranya
saat memerkenalkan namanya, meski dia tidak tahu dia harus berterima kasih
kepada siapa.
“Kau tidak perlu membalasnya. Lagipula, kau lah yang menyelamatkanku tadi.
Selain itu…..”
Morisaki berusaha keras untuk menghilangkan kecanggungan itu (meski itu
semua, bisa dibilang, karena dirinya yang sedang terbawa cinta). Jika musuh
punya keuntungan di tempat itu, maka mereka tidak boleh berputar-putar di
tempat itu terlalu lama. Normalnya, mereka tidak seharusnya berbicara santai
seperti ini.
“Aku tidak yakin kalau insiden ini akan berakhir seperti itu. Apa kau tahu
alasan di balik serangan itu?”
Kalau dia tidak bisa memutuskan untuk pergi, Morisaki mencoba mengorek
informasi untuk merancang rencana baru. Contohnya, seperti identitas musuh, berapa
lama musuh itu akan muncul kembali, dll. Tidak ikut campur dalam masalah
pribadi klien adalah salah satu tugas dasar seorang pengawal, tapi kalau
informasi itu bisa menunjang keamanannya, itu sudah beda cerita.
“Maaf. Aku tidak mengatakannya.”
Terlebih lagi, tidak bisa mendapat informasi yang dibutuhkan bukanlah
alasan untuk gagal menjalankan tugas.
“Kalau begitu……? Aku mengerti. Aku tidak akan ikut campur urusan pribadi
Lin-san. Sebagai gantinya, apa boleh aku menjaga Lin-san sampai orang yang
ditunggu itu datang?”
Permintaan Morisaki membuat Lin terbelalak.
“…….Kenapa?”
“Di negara ini ada ungkapan, semuanya sudah diatur takdir.”
“Aku pernah mendengarnya.”
Nada bicara Lin terdengar tidak senang.
“Oh begitu, maafkan aku….”
Morisaki dengan canggung meminta maaf, tapi itu bukan berarti dia kalah.
“Aku kebetulan bisa ada di tempat Lin-san hampir diculik. Itu pasti sudah
takdir.”
Sebenarnya, Morisaki sendiri tidak tahu kenapa dia sekeras kepala itu. Lin
membuat keputusannya jelas. Bahkan jika ia tidak menolaknya dengan kasar, dia
beharap kalau Morisaki bisa berhenti berhubungan dengannya, itu karena ia tidak
ingin membuat Morisaki dalam bahaya. Walau begitu, Morisaki tidak mengalah
semudah itu.
Singkatnya, kata ‘penculikan’ itu berdasarkan sudut pandang Morisaki. Ada
kemungkinan Lin adalah anak orang kaya yang melarikan diri dan orang-orang itu
dikirim orang tuanya untuk membawanya kembali. Jika itu memang benar
‘penculikan’, maka ini bisa dibilang kejahatan besar dan orang-orang tadi pasti
anggota suatu organisasi. Atau mungkin, mereka dikirim untuk menangkap bekas
anggota mereka yang melarikan diri. Meski begitu, siapapun yang berani
menodongkan pistol di siang hari tidak mungkin orang biasa. Itulah kesimpulan
yang diambil Morisaki, atau mungkin kesimpulan sepihaknya ini memang benar.
“…..Kau seharusnya sadar kalau kau ada dalam bahaya, ya ‘kan? Kau tidak
terlihat seperti orang yang tidak bisa membedakan kenyataan dan permainan.”
Tatapan bingung Lin entah bagaimana tidak mempengaruhi semangat Morisaki. Yang
mereka hadapi adalah orang jahat yang mengincar target yang lemah, seorang
gadis lemah. Kalau begitu, jelas apa yang perlu Morisaki lakukan, setidaknya
itulah yang hatinya katakan.
“Keadaan Lin-san lebih dalam bahaya ketimbang aku. Aku tidak berbohong
atau melebih-lebihkan kalau aku bilang polisi di negara ini cukup mampu, tapi
tingkat kriminalitas di sini bukan nol. Kami tidak memiliki jumlah polisi yang
cukup, terutama yang mampu menghadapi kejahatan sihir.”
“Itu bisa dibilang sama di semua negara.”
Lin menunjukkan seringaian saat dia mencoba untuk membantah pernyataan
itu, tapi Morisaki tidak bodoh.
“Itulah kenapa aku pikir Lin-san butuh pengawal.”
“……Dan kau yang akan jadi pengawalku?”
Dengan wajah yang benar-benar serius, Morisaki mengangguk mengiyakan
pertanyaannya.
“Jangan menilai buku dari sampulnya. Aku punya dua tahun pengalaman.”
“………Bukannya kau masih SMA?”
“Aku anak kelas 1 di SMA Sihir yang berafiliasi dengan Universitas Sihir
Nasional. Namun, bisnis keluargaku adalah agensi pengawal.”
“Oh…… Namamu Morisaki, jadi kau pasti dari Keluarga Morisaki kalau
begitu?”
Lin tidak terlalu memerhatikan ocehan Morisaki sampai dia mengiyakan
pertanyaan terakhirnya. Di saat yang sama, ini juga menunjukkan kalau Lin hidup
di dunia yang akrab dengan industri pengawal.
“Tapi aku tidak bisa membayarmu.”
“Aku di sini bukan bicara pekerjaan. Aku hanya tidak ingin pura-pura tidak
lihat apa-apa.”
“Lelaki sekali.”
Lin tertawa kecil, membuat Morisaki mengalihkan pandangannya tersipu.
“Aku mengerti. Karena kau mengkhawatirkanku, kalau begitu kuterima
tawaranmu.”
“Serahkan saja padaku.”
Merubah ekspresinya sebelumnya, Lin menaruh pandangannya pada Morisaki,
yang mana dijawabnya dengan anggukan seakan menerima suatu kehormatan besar.
“Aku tahu ini mendadak, tapi apa boleh aku minta satu hal sekarang?”
“Apa permintaanmu itu?”
Pengawal bukan pelayan, tapi untuk tetap menjalankan pekerjaannya dengan
baik, membangun hubungan yang baik dengan klien adalah hal yang sangat penting.
Asalkan permintaan itu tidak konyol atau mempengaruhi misinya, maka dia harus
menurutinya. Itu adalah aturan dasar untuk pengawal di Timur maupun Barat,
meski di Timur agak sedikit berbeda. Morisaki tidak tahu sama sekali apa yang
akan dimintanya jadi ia sedikit gugup selagi menunggunya melanjutkan
perkataannya. Lin tersenyum manis sebelum mengatakan,
“Tolong panggil aku Lin. Lain kali kau panggil aku ‘Lin-san’ lagi maka ini
semua berakhir.”
◊ ◊ ◊
“…..Jadi Lin bukan penyihir?”
“Ya, meski aku tidak tahu bagaimana Shun bisa berpikir seperti itu…..”
Lin tersenyum bingung. Dibandingkan Morisaki yang kesulitan untuk
menurunkan penjagaannya dan berbicara dengan kaku, Lin dengan bebasnya
memanggil Morisaki ‘Shun’ dan menganggapnya seperti temannya.
Apa itu tanda dari kedewasaan seseorang?
Morisaki memikirkannya saat ia melirik wajah Lin.
Dia merasa kalau Lin adalah perempuan yang cantik.
Biasanya, penampilan seseorang akan bisa terlihat cantik dari jauh, tapi
dalam kasus ini, melihatnya dari dekat tidak akan merubah apa-apa dan mungkin
akan membuatnya terlihat semakin cantik. Ini mungkin karena indahnya
ekspresinya yang tidak ada tandingannya. Itulah kesimpulan yang Morisaki tarik
dari pengalaman hidupnya yang sedikit.
“Ah, mungkin karena ini?”
Lin berbicara sambil menarik sebuah kalung di dadanya.
Dengan kancing atasnya terbuka, belahan dadanya terlihat sekilas. Jantung
Morisaki semakin berbedar saat darah mengalir di wajahnya, tapi Lin kelihatan
tidak menyadari hal itu.
“Apa itu?”
“Ini jimat sihir.”
“Ah?”
“Jimat sihir. Dengan memakai ini bisa mengurangi perhatian dari orang
lain. Ini dibuat di masa banyaknya kasus penculikan untuk alasan yang beragam
dan ini dibuat sebagai jimat pelindung melawan niat jahat….. Ini artefak yang
bonafide.”
Sihir Modern dibuat dari penelitian dan sistematisasi Sihir Kuno.
Berdasarkan konteks itu, Morisaki sadar kalau diantara objek-objek yang
merupakan jimat, ada beberapa ‘artefak’ yang memang bisa mengeluarkan efek
sihir.
Di sisi lain, jimat-jimat palsu yang hanya sebagai hiasan membanjiri pasar
dalam jumlah yang berkali-kali lipat lebih banyak daripada artefak asli.
Mengingat kalau Morisaki adalah orang yang hanya fokus pada Sihir Modern, tidak
heran kalau dia tidak terlalu percaya dengan objek-objek seperti ‘jimat sihir’.
Tapi sekarang, Morisaki tidak mempertanyakan perkataan Lin.
Senyumannya mampu menghilangkan semua keraguan yang muncul di benak
Morisaki.
Pertanyaan baru muncul di benak Morisaki.
“Kau bukan penyihir tapi memakai jimat sihir?”
Saat Morisaki menanyakan hal itu dengan santainya, Lin mendadak malu.
“Oh…… Ya, ini aku dikasih temanku untuk menghalau ‘penguntit’.”
“Penguntit… Jadi kau penah mengalami hal seperti ini dulu?”
“Uh….. Yah, semacam itu.”
“Lalu mereka tadi……? Tidak, aku sudah bilang tidak akan ikut campur.
Maaf.”
Melihat Morisaki menahan diri untuk menanyainya, Lin diam-diam menghela
napas lega.
“…….Tapi tetap saja, sepertinya itu tidak bekerja pada mereka.”
Perhatian Morisaki sudah bukan tentang penyerang tadi.
Sikapnya yang seperti itu baru saja menyelamatkan Lin.
“…..Dan itu juga tidak bekerja pada Shun. Apa mungkin ini tidak bekerja
pada penyihir?”
Pertanyaan itu berbeda dari arah pembicaraan yang dibuat Morisaki.
Kalau ditanya dulunya, dia mungkin akan membusungkan dadanya dan menjawab
dengan yakin.
Dia yakin kalau dirinya spesial. Statusnya sebagai penyihir adalah
kebanggaan baginya, dia juga percaya diri kalau di antara teman-temannya dia
termasuk penyihir berbakat. Walaupun hasil Kompetisi Sembilan Sekolah berakhir
tidak sesuai harapannya, dia percaya kalau musuhnya tidak melakukan kecurangan,
dia pasti sudah bisa memenangkannya tanpa perlu bergantung pada si ‘strategis’
yang hanya menggunakan trik-trik.
Namun, untuk alasan tertentu, saat ini Morisaki tidak bisa menjawab
pertanyaan Lin.
“…..Aku tidak tahu apa ada perbedaannya, karena sihir adalah kemampuan
manusia. Jimat sihir Lin adalah objek yang membuat seseorang bisa menggunakan
kemampuan sihir. Dengan begitu, tidak ada bedanya dengan apa yang penyihir
lakukan.”
“Hmm… Masuk akal kalau kau bilang seperti itu. Penyihir adalah manusia
sama seperti kita semua.”
Lin tidak sadar kalau perkataannya membuat opini yang membedakan
‘penyihir’ dan ‘non-penyihir’ ke dua kelompok berbeda.
Untungnya, Morisaki tidak menyadari hal itu.
Morisaki tetap bersikeras untuk menghindari area yang sedikit orang, jadi
mereka berdua menghabiskan waktu mereka di restoran dekat stasiun sampai orang
yang Lin tunggu menghubunginya. Orang yang memulai pembicaraan selalu Lin yang
akan dilanjutkan Morisaki yang hanya menjawabnya, tapi mereka tidak merasa
tidak nyaman sama sekali.
Tepat seperti yang Morisaki duga, mereka tidak melihat adanya orang-orang
mencurigakan setelahnya. Tapi, terkadang dia merasakan ada banyak aura yang
memerhatikan mereka dari kejauhan dari segala arah.
Saat ini, ekspresi Lin mendadak menegang gelisah saat dia mengeluarkan
terminal informasinya di depan Morisaki. Tampaknya, orang yang ditunggunya
mengiriminya email.
Namun, bagaimana caranya dia menjelaskan kenapa Lin jadi tegang setelah ia
dihubungi orang yang ditunggunya? Morisaki cukup bingung melihat pemandangan
ini.
Apa mungkin orang yang menunggunya sebenarnya adalah ‘musuh’nya? Morisaki
berharap kalau Lin setidaknya bisa menjelaskan itu kepadanya.
“Tepat di bawah Rainbow Bridge.”
Kata Lin dengan ekspresi tegang di wajahnya.
“Ada kapal yang disiapkan untuk menjemputku.”
“……Ayo.”
Yang dimaksud ‘tepat di bawah Rainbow Bridge’ itu maksudnya tempat di
samping air mancur jembatan. Di hari kerja biasa, lokasi itu dipenuhi
pengunjung. Morisaki mengajak Lin untuk pergi dan berusaha menggapai terminal
di meja itu.
Namun, Lina lebih cepat darinya dan menaruh kartu di atas terminal itu
lebih dulu.
“Masih anak SMA tapi kau sudah berani membayari perempuan yang lebih tua.
Dasar. Tidak. Tahu. Malu.”
Dengan jari telunjuknya, Lin mengakhiri setiap katanya dengan mengetuk
dahi Morisaki, membuat Morisaki merah padam.
Wajah tegang Lin sudah berganti senyuman.
Akan lebih cepat kalau mereka lewat jalan utama, tapi Morisaki sengaja
memilih jalan melingkar yang melewati taman. Dia yakin kalau sihir yang
digunakan sebelumnya untuk menghalau orang dan kendaraan akan lebih sulit
digunakan di tempat yang orang-orangnya tidak bergerak terus.
Dia tidak sadar kalau ia sebenarnya mengulur waktunya bersama Lin.
Atau setidaknya, dia tidak terlihat memikirkan hal itu.
Morisaki juga meminta dia memasukkan kalungnya ke dalam tasnya. Pada
keadaan tertentu, sihir yang dapat menghalau orang malah akan membawa petaka.
Secara logika, itu adalah ide yang benar. Namun, hal itu membawa mereka ke
suatu masalah yang tak terduga.
Saat ini, Morisaki dan Lin sedang dikerumuni sekumpulan anak muda.
Mereka terlihat cukup kuat untuk menahan tendangan dari seorang pemain
sepak bola profesional.
Sayangnya, dari segi pakaian, penampilan, dan semuanya, mereka jauh dari
kata ‘atlet’. Bisa dibilang, mereka terlihat seperti berandalan.
Meski mungkin ada beberapa perbedaan di sana sini, kebanyakan dari mereka
memakai pakaian yang sama. Hampir mereka semua mengenakan jaket kulit dan
gelang logam di pergelangan tangan dan di atas bawah siku mereka
Jaket mereka mengingatkannya akan sisik kadal dan tekstur luarnya seperti
logam yang populer tiga tahun lalu di kalangan tertentu. Dibandingkan dengan
rompi anti peluru atau semacamnya, bahan dasar jaket itu meningkatkan proteksi
dan ketahanannya. Namun, karena pertukaran udaranya buruk, jangankan saat musim
panas, bahkan saat musim dingin saja bisa membuat orang keringatan, karenanya
ini dinilai produk gagal. Kebanyakan anak muda di hadapannya memakainya tanpa
menrisleting bagian depannya, meski bahkan rompi saja sudah membuat orang
kepanasan. Meski itu tidak cocok untuk melindungi diri dari tusukan atau
tembakan, satu-satunya kesimpulan yang bisa diambil adalah fashion zaman dulu lebih mementingkan kemodisan daripada nilai
gunanya.
Gelang-gelang logam di pergelangan tangan mereka menggunakan EMS, penguat
otot yang menstimulasi otot dengan aliran listrik. Alat latihan yang
menggunakan EMS adalah wujud awal dari teknologi yang ada di tahun 1960an, tapi
di zaman modern, aliran listrik bisa digunakan untuk meningkatkan kecepatan
kontraksi otot. Gelang-gelang itu biasanya digunakan untuk tujuan rehabilitasi
medis, tapi bisa juga digunakan untuk meningkatkan kekuatan pukulan, membuatnya
terkenal di kalangan preman jalanan.
Beberapa dari mereka ada yang menggunakan kacamata AR di kedua matanya.
Penyanggap logam kacamata itu dilengkapi sensor yang kelihatannya memiliki
fitur penangkap cahaya. Fitu itu biasanya mengeluarkan sinyal sekali ada objek
yang mendekati pengguna dalam jarak tertentu tapi itu bukanlah sesuatu yang
bisa digunakan sembarang orang. Singkatnya, itu semua hanya untuk fashion.
Gaya bertarung mereka mengutamakan penampilan fisik seorang berandalan
preman yang bergaya ‘Klub Tarung’. Berdiri di depan kedua orang yang berhenti,
kelompok itu tidak berhenti memadangi mereka.
Tidak ada sepatah kata pun yang keluar.
Morisaki merangkulkan lengannya di pundak Lin dan mencoba untuk membaca
gerakan kelompok itu.
Beberapa dari mereka terdengar bersiul melihat itu.
Kerumunan itu bergerak dengan rapi dan mengelilingi mereka membentuk pagar
manusia.
“Kami sedang terburu-buru, tolong minggir.”
“Ah hah, tolong jangan bilang begitu. Bagaimana kalau mau dulu sama kami?”
“Ya, ya, dibandingkan laki-laki kecil itu, kita tahu hal-hal yang
menarik.”
Lin mencoba untuk mengatasi hal ini dengan damai, tapi kelompok itu
semakin berani mengatakan hal-hal tidak mengenakkan di telinga.
“Kami sedang terburu-buru,”
“Tidak ada gunanya, mereka tidak akan mendengar perkataan kita sejak
awal.”
Morisaki menghentikan Lin membujuk mereka.
“Ho ho, bicara seperti orang hebat.”
Tawa kasar terdengar di sekeliling mereka.
“Orang kecil, tidak usah banyak omong,”
“Serahkan dia kepada kami, dan kau bebas pergi. Sekarang pergi!”
Pemimpin kelompok itu merubah nada bicaranya yang biasa-biasa menjadi
mengancam di depan semua orang, yang mana kebetulan di depan mereka berdua. Dia
lebih tinggi satu kepala dari Morisaki dan kaos yang dikenakannya tidak
berlengan yang sepertinya disobek, menampilkan otot-otot bisep yang tebal yang
naik turun. Lengannnya tertutupi dari ujung tangan sampai bahu dengan
bentuk-bentuk geometri yang berguna sebagai penguat otot dengan meningkatkan
kecepatan kontraksinya (meski hasilnya dipertanyakan). Perut hitam dan paha
kokohnya jelas menunjukkan kalau tubuhnya bukan tubuh orang biasa.
Membalas tatapan-tatapan yang sudah tidak bisa dibilang jelek lagi,
Morisaki memasang sebuah seringaian kecil di wajahnya,
“Apanya yang lucu……?”
“Tidak ada, maafkan aku.”
Suara rendah orang-orang itu semakin mengancam. Namun, Morisaki masih
memadang wajah mengejek saat pemilihan katanya semakin kacau.
“Aku bisa paham kalau ini Shibuya atau Ikebukuro, tapi aku tidak pernah
membayangkan aku akan bertemu dengan spesies langka seperti kalian di Ariake.”
“….Menarik sekali.”
“Kau sudah puas pamer-pamer, ‘kan? Kami sedang tidak ada waktu. Jadi
bisakah kami lewat?”
“…..Sepertinya kau baru bisa belajar kalau sudah sakit.”
Pemimpin kelompok itu memusatkan tumpuannya di ujung sepatunya. Melihat
itu, Morisaki sedikit memundurkan bahunya.
Rompi yang dikenakan Morisaki sedikit terbuka.
“Takashi-ni, orang ini penyihir!”
Gerakannya pasti menunjukkan gagang CAD yang disimpannya. Orang di samping
kanan Morisaki meneriakkan itu.
Kepungan mereka jadi sedikit mundur. Dengan satu hal yang terlihat jelas,
mereka jadi takut.
“Tidak ada yang perlu ditakutkan!”
Kecuali satu orang, si Takashi yang menjadi pemimpin mereka maju.
“Aku tahu semua tentang kalian, penyihir.”
Dia memandang Morisaki dengan senyuman di wajahnya. Dia tidak kelihatan
seperti menggertak, jadi mungkin dia memang tahu.
“Sihir kalian sekuat pistol ‘kan? Kalian akan ditangkap dan dipenjara
kalau kalian mengunakan sihir pada orang tak bersenjata, ya ‘kan?”
Morisaki diam melihat orang itu.
Orang itu meneruskannya dengan bersemangat.
“Seorang penyihir yang tidak bisa pakai sihir tidak ada bedanya sama orang
biasa. Aku sudah tahu kamu cuma menggertak dasar brengsek.”
Orang itu mengeluarkan sebuah tawa bodoh saat Morisaki membalasnya dengan
sebuah senyuman kejam.
“Kau spesies langka, apa kau mau mencobanya?”
“…….Apa katamu?”
“Aku bilang, apa kalian mau tahu apa penyihir cuma orang biasa kalau tanpa
sihir, dasar berandal.”
“Ha….. Hei, kalian jangan ikut campur.”
Pemimpin spesies langka yang bergaya ‘Klub Tarung’ menoleh dengan wajah
kesal. Dia mengangkat tinjunya sebelum melebarkan kakinya untuk merendahkan
pusat gravitasinya, memasang sebuah kuda-kuda.
Melihat ini, Morisaki juga menyingkirkan seringaian di wajahnya dan menaruh
tas dari bahunya. Dia menggenggam tinjunya di depan wajahnya dan mengambil
beberapa langkah ke belakang.
“Ayo lakukan, dasar tak berguna.”
“Aku terima tantanganmu, brengsek. Tapi, awas kalau kau berani
menyentuhnya. Akan kubuat kau menyesal lahir ke dunia.”
“Kau orang kecil, tapi mulutmu…….. berani ngomong!”
Perkataan itu menunjukkan kekasaran mereka.
Seperti pecut, sebuah tendangan atas ditujukan ke wajah Morisaki.
Untuk melindungi Lin yang ada tepat di belakangnya, Morisaki tidak bisa
menghindar.
Sebaliknya, dia menunduk untuk menjegal kakinya.
Takashi dengan sigap menghentikan tendangannya dan segera menjatuhkan
kakinya untuk menginjak kepala Morisaki.
Morisaki berdiri di arah tendangannya dan menghindarinya.
Wajah orang-orang yang lain berubah.
Saat kaki itu menyentuh tanah, dia segera melayangkan sebuah tinju.
Morisaki menangkisnya dengan satu tangan.
Tendangan depan, pukulan tengah, tendangan rendah, tendangan tengah,
tendangan menyapu, sapuan siku….. Sebuah kombinasi serangan yang lincah
diperagakan orang itu bukan main-main. Dari gerakannya, dia pasti pernah
menjalani latihan ketat.
Tapi, semua serangannya bisa dihindari atau ditangkis Morisaki.
Frustasi mulai menghiasi wajah Takashi.
Dia memutuskan untuk mengakhiri semua ini dengan satu serangan dan melayangkan
sebuah pukulan samping pada dagu Morisaki.
Morisaki tidak akan melewatkan kesempatan ini pergi begitu saja.
Melangkah maju, dia mendaratkan jab[4] di wajah
Takashi.
Tidak, kekuatan serangannya lebih kuat daripada jab biasa.
Kalau tinjunya tidak terlatih, mungkin kekuatan yang dikeluarkannya akan
berbalik melukai tangannya, tapi Morisaki tidak takut dan melayangkan tapaknya
di musuhnya.
Takashi benar-benar takut dan jatuh duluan ke tanah.
Dia terkejut setelah dijatuhkan hanya dengan dua serangan oleh orang yang
lebih kecil darinya.
Morisaki tersenyum mengejek pada orang yang lebih tua darinya dengan
‘ketidakpercayaan’ di wajahnya.
“Sial, itu lambat. Kecepatan seperti itu mungkin sekelas petarung jalanan,
tapi tidak ada apa-apanya untuk kami penyihir termpur.”
Anak muda yang lain mungkin tidak mengerti apa maksud Morisaki.
Pemimpin itu tidak bisa menerima kenyataan dimana penyihir yang bergantung
pada kemampuan curang seperti ‘sihir’ bisa memiliki kekuatan fisik yang lebih
kuat darinya yang sudah menjalani latihan keras.
Di sistem sihir, ada Empat Sistem Penting dan Delapan Tipe Utama Sihir,
yang salah satunya adalah Sihir Akselerasi.
Sihir seperti itu digunakan bukan hanya untuk mengakselerasi atau
mendeselerasi suatu objek, tapi juga bisa digunakan pada diri si pengguna.
Sebenarnya, kecepatan seorang profesional bergantung pada kecepatan yang
biasa mereka temui saat di tempat latihan dan di luar seperti kompetisi dan
pertarungan.
Pukulan seorang profesional akan terasa ‘cepat’ tapi akan terasa lambat bagi
orang itu sendiri.
Morisaki mengambil kembali tasnya dan menarik tangan Lin.
Dia tidak punya niatan untuk terus berhadapan dengan spesies langka yang
tidak mau menerima kenyataan.
Apalagi, meski mereka tidak terlalu membuang banyak waktu, tidak boleh lupa
kalau jalan yang mereka ambil adalah jalan yang jauh.
Namun, Lin dengan cepat melepas tangan Morisaki.
Di hadapan tatapan terkejut Morisaki berdiri Lin yang masih tidak percaya
melihat apa yang Morisaki lakukan.
Dia memandang wajahnya, tidak bisa berkata-kata. Morisaki diam membeku.
Saat mereka melihat Morisaki yang lengah, mereka segera menarik tangan
Lin.
Menarik tangannya, dan menarik tubuhnya, lalu mendekatkan pisau ke
wajahnya, itu mungkin rencananya. Tapi, aksi mereka, menyadarkan Morisaki.
Semua itu membangunkan pikiran Morisaki yang membeku dan membuat tubuh
Morisaki bergerak secara refleks.
Mengalir seperti air, Morisaki mengeluarkan CAD dari balik rompinya.
Saat moncongnya sudah diarahkan, CADnya sudah tidak dalam mode standby.
Morisaki langsung tanpa ragu menggunakan sihirnya.
Kepala orang-orang itu terkena dan membuat mereka jatuh tak sadarkan diri.
Beberapa dari mereka terjatuh dan mulai berdarah, tapi refleks Morisaki
tidak berhenti di situ saja.
Saat Morisaki sudah sadar kembali, orang-orang yang masih berdiri hanya
Lin dan Morisaki.
Dan satu orang lagi.
Orang itu terduduk di tanah dan satu-satunya yang tidak pingsan.
Morisaki memasang sebuah tatapan tak berperasaan, dia masih belum sadar
sepenuhnya, pada orang itu.
“K…… Kau dasar monster! Jangan mendekat! Jangan mendekat!”
Orang itu terus merangkak dan merogoh sesuatu dari sakunya sebelum dibuka
dan dilempar.
Melihat pisau lipat yang diambilnya dilempar ke arah tidak beraturan,
Morisaki sekali lagi menjulurkan tangannya ke Lin.
Kali ini, Lin menerimanya.
◊ ◊ ◊
Setelah itu, mereka berdua lari sambil bergandengan ke tempat tujuan
dimana kapalnya menunggunya.
Tidak ada terjadi setelahnya. Sesampainya di air mancur di taman, ada
banyak pasangan di sana. Banyak pasang mata yang melihat mereka berdua sebelum
akhirnya mengabaikan mereka seolah itu bukan urusannya.
Lin berdiri di sebuah pelabuhan kecil tempat di mana feri berhenti dan
melihat ke laut. Tangan mereka berdua sudah berpisah.
“……Shun.”
Setelah diam sesaat, Lin memanggil Morisaki dengan lembut.
“Apa penyihir……. suka bertarung?”
Lin tidak melihat wajah Morisaki dan membuat wajahnya tidak terlihat saat
menanyakan pertanyaan itu.
“Lin?”
“Apa penyihir……. suka bertarung? Apa kalian suka melukai orang? Apa kalian
suka hal berbahaya? Apa kalian suka memamerkan kemampuan kalian yang tidak
orang normal punya?”
Suara Lin sedikit membesar, memberi kesan kalau dia sedang menegur
Morisaki.
“……Apa kau kesal?”
“Aku tidak kesal! Aku marah!”
(Sebenarnya, dia kesal, ‘kan?)
Pemikiran itu terlintas di benak Morisaki, tapi dia tidak
memermasalahkannya.
Saat Lin menghadapnya, matanya sudah berkaca-kaca.
“……..Bukan karena penyihir suka bertarung. Setidaknya, aku tidak suka
melukai orang.”
Ekspresi Lin dan air mata yang hampir mengalir memberi tekanan pada Morisaki.
“Lalu kenapa kau memprovokasinya?”
“Karena dia bukan orang yang bisa diajak bicara!”
Tapi, Morisaki punya alasannya sendiri. Dia tidak percaya kalau dia
memilih keputusan yang salah. Mungkin ada jalan keluar yang lebih baik, tapi
Morisaki yakin kalau dia juga sudah mengambil keputusan yang tidak salah.
“Kalau begitu, kita bisa pergi saja! Tidak perlu mengalahkan mereka semua,
kita hanya perlu menggunakan sihir untuk melarikan diri! Kita juga bisa meminta
tolong. Aku tidak berpikir kalau bertarung cuma satu-satunya jalan keluar untuk
kita.”
“Itu………”
Morisaki tidak bisa berkata apa-apa karena dia tahu perkataan Lin masuk
akal.
Tapi
“Mungkin kita bisa melarikan diri tepat waktu. Tetapi, mereka mungkin akan
memanggil lebih banyak orang lagi. Dan juga, kita tidak tahu apa orang-orang
yang akan menculikmu akan muncul lagi atau tidak. Tidak perlu ambil risiko
sebesar itu, jadi kalau ada kesempatan untuk mengalahkan musuh maka kesempatan itu
harus diambil.”
Meski begitu, dia juga tidak mengalah.
“Kenapa hanya bertarung saja yang kau pikirkan! Kenapa yang kau pikirkan
hanya apakah orang itu musuh atau bukan!”
“Penyihir itu bukan pahlawan super! Ini bukan seperti drama TV, dimana ada
alasan logis untuk semuanya.”
Pemikiran itu, sejalan dengan prinsip dasar pekerjaan pengawal, diajarkan
ke Morisaki oleh pamannya yang usianya paling dekat dengannya.
Penyihir itu bukan pahlawan super.
Penyihir tidak mempunyai kekuatan agar mereka bisa berbuat seenaknya.
Karena itu, jangan ragu-ragu dalam melakukan sesuatu.
Bedakan dengan baik siapa kawan dan siapa lawan dengan baik.
Teknik Keluarga Morisaki dan Morisaki Shun sendiri tidak cukup kuat untuk
memastikan keamanan klien mereka jika musuh sudah menyerang terlebih dahulu.
“Aku tidak bisa menunjukkan belas kasihan pada musuh. Aku tidak sehebat
itu.”
“Shun……”
Saat Lin melihat Morisaki menggertakkan giginya dengan ekspresi tidak enak
di wajahnya, kekesalan di matanya padam.
Dengan ekspresi hangat di wajahnya, Lin meraih tangan Morisaki.
“Lin…….”
Morisaki membiarkan Lin menggenggam tangannya, tapi tidak menemui
pandangannya saat ia berguman seperti itu.
“Apa kau juga berpikir…… kalau penyihir itu monster? Apa kau percaya kalau
penyihir adalah monster yang memiliki kekuatan di luar batas manusia? Kalau
penyihir mampu melakukan apapun yang diinginkannya begitu saja?”
“Shun………..”
“Penyihir…… juga manusia.”
“Shun……. apa kau takut bertarung?”
“…….Aku takut. Tidak peduli itu pistol, pisau, sihir……… Aku takut semua
itu.”
“Lalu kenapa kau bertarung? Kau jelas masih SMA, kenapa kau mengambil
pekerjaan berbahaya seperti jadi pengawal?”
“Itu karena…… aku mempunyai kekuatan ini……”
“Shun, menurutku kau tidak perlu melakukan sesuatu yang berbahaya hanya
karena kau penyihir atau kau bisa menggunakan sihir. Karena kau takut, lalu
kenapa kau tidak berhenti……? Penyihir juga manusia, bukan?”
Wajah Morisaki jelas terlihat goyah.
Teror dan harapan bercampur di dirinya di antara kebingungan dirinya.
Dengan senyuman hangat, Lin terus menyemangati Lin.
Di antara semua pasangan di tempat itu, mereka tidak terlihat
mencurigakan.
Tapi tetap saja, dengan apa yang akan terjadi setelah ini, mereka terlalu
fokus pada pembicaraan ini.
Lin lah yang menyadari ada sesuatu yang aneh.
“Shun…….. Apa ini tidak aneh?”
“Lin?”
“Untuk sesaat aku merasa kalau tidak ada orang yang melihat kita…..”
Kalau perkataan itu dikatakan teman-teman Morisaki, dia pasti akan bilang
kalau mereka hanya terlalu ‘perhatian’. Tapi, kalau ini datang dari seorang
cantik seperti Lin maka semuanya jadi beda.
“Lin, kau tidak memakai kalung itu, bukan?”
“Ah? Ya…. Makanya aneh. Aku tidak memakainya, tapi aku merasa seperti aku
memakainya…..”
“Lin, maaf.”
“Ah!”
Morisaki tiba-tiba mendekap Lin ke dadanya.
Di saat yang sama, dia dengan sigap mengamati sekitaran.
Bahkan setelah melakukan sesuatu yang memalukan seperti itu, tidak ada
yang memerhatikannya.
Tidak ada seorang pun yang memerhatikannya.
Morisaki melepas Lin dan mulai mencari sumber sihir ini.
Walau dia tidak yakin, tapi ada sebuah aura yang menyelubungi mereka.
“Apa ini? Apa yang terjadi?”
“Diam!”
Morisaki menaruh tasnya dan mengeluarkan sebuah gelang dari dalamnya dan
memakainya di tangan kirinya.
Lalu, dia melepas sarung CADnya dan menaruh CADnya di saku dekat pinggang
kanannya.
Benar-benar tidak memerdulikan penampilannya, dia bersiap untuk bertarung.
Seolah menunggu itu semua, sekumpulan orang-orang berbaju hitam dan
memakai kacamata hitam muncul di hadapan mereka dan mengelilingi Morisaki dan
Lin. Ini seperti legenda urban tentang MIB[5].
Morisaki menggertakkan giginya.
Dia seharusnya sadar sebelum musuh menggunakan Sihir Pengganggu Mental.
(……..Tidak ada waktu untuk menyesali itu!)
Morisaki berbicara pada dirinya sendiri.
Salah satu dari orang berbaju hitam itu melangkah mendekati mereka.
Tatapan di balik kacamata hitam itu tidak ditujukan pada Lin, sebaliknya
itu tertuju pada Morisaki.
“……Kami dari Badan Intelijen.”
Orang itu mengeluarkan sebuah tempat kartu hitam sambil mengatakan itu.
Dia membukanya untuk menunjukkannya ke Morisaki.
Memang ada lambang Badan Intelijen di kartu itu, yang bisa dibuktikan dari
hologram di kartunya. Morisaki sadar kalau kilauan hologram itu mempunyai efek
hinoptis sehingga ia segera mengalihkan pandangannya setelah memastikan
keasliannya.
Ujung mulut orang itu berdecak saat dia menyimpan dokumen itu di kantung
di dadanya.
“Kami yang akan bertanggung jawab untuk perlindungan Nona Richardson. Apa
yang terjadi di sini adalah urusan resmi, jadi tolong segera serahkan kepada
kami.”
Morisaki hampir mengangguk mengiyakan saat dia menyadari Lin yang ada di
belakangnya menarik rompinya.
“Lin, apa kau mau sama mereka?”
Lin menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Morisaki.
Morisaki mengembalikan pandangannya ke orang-orang berbaju hitam itu, atau
lebih tepatnya pada kacamata mereka.
“Aku menolak.”
Perkataannya sedikit memberi kesalahpahaman.
“Aku sudah bilang ini urusan resmi…..”
“Ini misi perlindungan, bukan? Kalau begitu, kalian tidak punya hak untuk
mengabaikan keinginan klien dan memaksakan keinginan kalian. Atau kalian punya
surat penangkapan? Tentu saja, Badan Intelijen tidak punya hak melakukan itu.”
Orang itu menunjukan sebuah senyuman yang seakan berkata “Kau yang
memaksa” dan berbalik menghadap yang lain.
Itu sinyalnya.
Moncong-moncong pistol terlihat dari balik lengan orang-orang itu.
Melingkarkan lengan kirinya di sekitar pinggang Lin, Morisaki menggunakan
tangan kanannya untuk mengoperasikan gelang CADnya dan melompat ke air.
Lin berteriak. Namun suaranya kalah dari suara tembakan jarum yang
terlempar di udara.
Jarum-jarum itu melaju tepat saat mereka melompat ke air.
Morisaki mengaktifkan Sihir Tipe Gerakan selagi di udara.
Mereka berhenti tepat saat sudah berada di atas permukaan air dan melompat
ke sisi seberang pelabuhan.
Di saat yang sama dia menaruh Lin dalam posisi jongkok, Morisaki juga
berjongkok dan menyiapkan gelang CADnya.
Sesaat setelahnya, dia mengeluarkan CAD bentuk pistol nya.
Dia memastikan ada delapan orang yang mengepung mereka.
Hanya dua diantara mereka yang penyihir.
Dia tidak memikirkan identitas musuhnya sama sekali.
Satu-satunya hal yang ada di pikirannya hanya bagaimana melindungi
perempuan yang ada di belakangnya.
Dia tidak kepikiran sama sekali untuk melarikan diri.
Ketakutannya untuk bertarung sudah hilang.
Dia sudah tidak takut dilihat orang.
Dia akan mengalahkan musuh-musuhnya untuk melindungi orang lain.
Hanya itulah yang ada di pikirannya.
Pertama, Morisaki melumpuhkan musuhnya yang penyihir dan menarik pelatuk
CADnya dua kali.
Setelah itu, terdengar sebuah erangan keras.
Memastikan hasilnya. Satu orang terkena dan satunya lagi berhasil
menghindar.
Morisaki melihat musuhnya mengoperasikan CAD dengan jarinya.
Dia juga melihat moncong-moncong pistol bius yang diarahkan padanya.
Dengan kecepatan tangan pesulap, Morisaki mengembalikan CAD bentuk pistol nya
ke dekat pinggangnya dan mematikan mode standby
di gelang CAD yang dipakainya.
Dia bisa merasakan kalau Sihir Akselerasi musuh mulai berpengaruh padanya.
Namun, Morisaki mengabaikannya.
Dia membentuk rangkaian aktivasi untuk Sihir Tipe Gerakan.
Morisaki menggunakan sihirnya, ‘Stasis’, untuk menghentikan jarum-jarum di
udara.
Sihir Akselerasi menerjang tubuh Morisaki.
Kakinya terselip dan jatuh ke air.
Orang-orang berbaju hitam itu mendekati Lin.
Lalu sebuah ‘pistol’ mencuat dari air.
Memegang CAD yang seperti pistol di tangan kanannya, Morisaki mulai
mengambang dan membidik punggung penyihir itu.
Penyihir itu jatuh pada serangan kejutan Morisaki dan tak sadarkan diri.
Mengikuti itu, Morisaki sekali lagi memasukkan CAD bentuk pistol nya dan
mengaktifkan gelang CADnya. Dia masuk ke dalam air sambil mengoperasikan Sihir Akselerasi.
Morisaki melompat keluar dari air seperti seekor lumba-lumba, tidak,
bahkan lumba-lumba tidak bisa melompat sepertinya.
Tangannya bertumpukan dimana tangan kanan yang menggunakan CAD bentuk
pistol nya ada di atas tangan kirinya selagi mematikan gelang CADnya.
Menyalurkan Psionnya ke CAD bentuk pistol nya, Morisaki menarik pelatuknya enam
kali di udara.
Morisaki sama sekali tidak bisa mengendalikan lompatannya dan segera jatuh
terguling di atas semen jalan.
Saat tubuhnya terjatuh, semua orang berbaju hitam itu juga sudah tumbang.
◊ ◊ ◊
“Shun, Shun! Apa kau baik-baik saja?”
Lin berlutut di samping Morisaki saat dia duduk di jalan.
“Aku baik-baik saja.”
Morisaki membuka matanya dan mengangguk. Menjaga posisinya, dia sesekali
mengatur napasnya sambil duduk.
“Ouch!”
Namun, dia segera jatuh saat berusaha berdiri.
“Shun?”
“Tidak apa-apa……. Kakiku cuma terkilir.”
Saat dia berkata seperti itu, keringat dingin muncul di pelipisnya.
Lin berusaha mencari pertolongan. Sihir Penggangu Mental yang menghalangi
orang melihat mereka sudah tidak ada. Banyak orang atau pasangan yang sedang
kencan melihat mereka dari kejauhan.
Mereka hanya melihat dengan tatapan tidak senang di mata mereka.
Mata mereka tertuju ke tangan kiri Morisaki.
Di gelang CADnya yang menunjukkan statusnya sebagai penyihir.
Lin tahu kalau mereka semua berbisik-bisik membicarakannya.
Tidak ada seorang pun yang mendekati mereka.
Morisaki menyerah untuk berdiri dan duduk dengan meluruskan kakinya.
“Lin, apa kapalmu sudah sampai?”
“Huh? Ah…… kurasa yang itu.”
“Oh begitu……”
Sebuah kapal kecil mendekat. Itu adalah swift boat yang tidak makan banyak tempat dan bisa digunakan di
sungai atau laut.
“Maafkan aku, ini semua karena aku……”
Morisaki berkata “Jangan dipikirkan” kepada Lin yang menangis.
“Lupakan saja, selama Lin aman. Aku bisa tenang karena sudah memenuhi
janjiku.”
Itu tidak dibesar-besarkan, kepuasan itu memang datang dari hatinya.
“Kenapa……….?”
“Memangnya butuh alasan…….”
Morisaki menjawab pertanyaan Lin dengan jawaban yang tidak menjawab
pertanyaan Lin.
“Mungkin seperti yang Lin katakan.”
Tapi tetap saja, meski pertanyaan Lin tidak lengkap, Morisaki tahu apa
yang ingin ditanyakannya.
“Sihir adalah alat yang diciptakan untuk bertarung….. Kami penyihir
diajarkan itu, jadi mungkin memang benar kalau kami suka bertarung dan hanya
digunakan sebagai alat untuk bertarung.”
Monolog Morisaki seperti mengabaikan dirinya sendiri dan membuat Lin
menangis.
“Maafkan aku, Shun, aku minta maaf…..”
Lin menangis saat dia menundukkan kepalanya dan berulang kali meminta
maaf.
“Lin? Kenapa kau meminta maaf? Kenapa kau menangis………..?”
Bingung, Morisaki bertanya kepada Lin alasan dibalik air mata dan
permintaan maafnya, tapi pikirannya tetap tenang meski dia tidak mengerti apa
yang terjadi.
“Maafkan aku. Aku mengatakan sesuatu yang kasar, maafkan aku……”
“Lin?”
Morisaki tidak bisa berkata-kata.
Dia tidak tahu harus berkata apa.
Dia juga tidak tahu harus berbuat apa.
Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada orang yang mengajarinya untuk
mengatasi situasi seperti itu.
“Jangan sebut dirimu alat. Shun selalu melindungiku meski berbahaya.
Dibanding mereka yang hanya melihat orang lain kesulitan tanpa membantu, Shun
jauh lebih baik ketimbang mereka.”
Morisaki berhasil memahami apa yang membuat Lin menangis.
Dan hati Morisaki dipenuhi kebanggaan.
“Aku….. malu akan diriku sendiri. Sebelum ini, aku sama seperti
orang-orang itu merasa kalau penyihir itu menjijikkan dan berbeda dari kami.
Itulah kenapa….. Shun…….. Maafkan aku……..”
“Jangan terlalu pikirkan itu.”
Morisaki berbicara dengan tenang. Dikuatkan dengan perkataan Morisaki, Lin
mendongak.
“Aku sangat senang bisa menolong Lin. Untukku, hari ini adalah hari yang
bermakna.”
Sama seperti Morisaki yang tidak tahu apa yang disembunyikan Lin, Lin juga
tidak tahu gejolak batin yang dihadapi Morisaki.
Di depan Lin yang bingung, Morisaki menunjukkan sebuah senyuman cemerlang.
“Lin, kapalmu sudah sampai.”
Perkataan Morisaki membuat Lin menoleh ke belakang.
Saat dia mengatakannya, sebuah kapal kecil sudah merapat. Dua orang
mengenakan jas menunduk ke arah Lin.
“Lin, pergilah. Aku hanya perlu duduk sebentar lebih lama.”
“Huh, tapi…..”
“Pergilah. Mereka mungkin akan menyerang lagi.”
“…….Aku tahu. Shun, terima kasih banyak.”
Tidak ada ciuman perpisahan.
Sebenarnya dia berharap akan ada sesuatu seperti itu, tapi mungkin seperti
ini lebih baik. ‘Kenyataan’ ini tidak masalah. Daripada memaksakan dirinya,
inilah yang memang dirasakan Morisaki.
Satu-satunya penyesalannya adalah dia hanya bisa duduk dan tidak bisa
mengantarkannya ke sana.
Lin melambai dari kapal, yang mana dibalas Morisaki sambil duduk.
Itu mungkin agak tidak sopan, tapi mungkin Morisaki merasa kalau dirinya
memang seperti ini.
◊ ◊ ◊
“Meilin-sama, untunglah Anda baik-baik saja.”
“Ya, itu karena anak muda itu menyelamatkanku.”
Menaiki kapal yang sudah berlayar, Lin menunjukkan sikap dingin yang
berbeda dari sebelumnya saat namanya disebut salah satu orang yang datang
menyambutnya dengan anggukan.
Saat ini, seorang pria yang lebih tua dengan kepala penuh rambut putih
muncul.
“Meilin-sama…. Mengunjungi negara ini di saat seperti ini. Tolong pikirkan
posisi Anda.”
“Apa kau mencoba memerintahku?”
“Tidak, saya tidak akan berani.”
Orang tua itu menunduk hormat kepada Lin.
Sikap pria tua itu sempurna, tapi terasa ada yang salah.
“Namun, pemerintah negara ini melawan kita sampai akhir. Kali ini mereka
bahkan berani menghina Meilin-sama, saya yakin kita perlu membalasnya.”
“Aku melarangnya.”
Orang tua itu membuka matanya dan memberikan saran itu, tapi Lin segera
menolaknya.
“Memang benar pemerintah Jepang memang barbar dan kasar. Namun, dari anak
muda itu, aku belajar kalau persahabatan sudah cukup untuk membayar semua itu.
Karena kau memilih non-penyihir sepertiku sebagai pemimpin kalian, maka aku
melarang kalian untuk melawan negara ini. Kalau kalian tidak terima dengan itu,
pulangkan aku ke California.”
“Tidak, semuanya akan berjalan seperti keinginan Meilin-sama.”
Morisaki tidak ditangkap oleh Badan Intelijen.
Mereka sepertinya bergerak diluar hukum. Orang-orang yang tak sadarkan
diri itu dibawa pergi di depan Morisaki oleh rekan mereka. Agen-agen dari Badan
Intelijen yang datang mengambil rekan mereka tidak memerdulikan Morisaki sama
sekali.
Nama asli Lin adalah Sun Meilin. Dia adalah putri adopsi dari Sun
Richardson, ketua dari sindikat kriminal internasional Hong Kong yang dikenal
dengan nama No Head Dragon. Putri kesayangan pemimpinnya, dan sekarang ditunjuk
oleh para anggota yang selamat, tapi Morisaki tidak pernah tahu akan itu.
[1] Jembatan
yang ada di teluk Tokyo menghubungkan dermaga Shibaura dengan Odaiba.
[2] Tendangan
dengan tumit dari samping.
[3] Tendangan mencangkul ke arah kepala menggunakan tumit.
[4] Pukulan pembuka dalam olahraga tinju.
0 Comments
Posting Komentar