FASE PUNCAK
(Translator : Zerard)
Bulan merah terbit, dan
hijau mengikuti, gumpalan awan hitam mengambang perlahan, dan naga petir
meraung.
Cahaya putih kebiruan
menggemparkan udara seperti sebuah teriakan, dan tetes pertama hujan mulai menjatuhi
tanah.
Bagi para goblin, ini adalah
berkah dari surga. Sebuah hadiah dari Kekeacauan.
“GORRB! GOBROGBG!”
“GOORBGRGO!”
Walaupun biasanya para
goblin membenci hujan, adalah cara kebiasaan mereka untuk merasa senang tentang
apapun yang berjalan sesuai dengan kebutuhan mer3ka. Para iblis kecil, yang
merayap di antara semak-semak, menunggu momen mereka, sekarang muncul dengan
senyum hina pada wajah mereka.
Jumlah mereka sangatlah
banyak, dan mereka menggunakan berbagai macam senjata di tangan mereka, namun
di setiap rupa mereka memiliki ekspresi keserakahan yang sama.
Mereka memahami kebiasaan
para manusia, walaupun tidak ada yang mengetahui bagaimana cara mereka
mempelajarinya. Mereka mengetahui bahwa manusia menyanyikan lagu bodoh mereka
seraya mereka menuai panen, dan setelah itu, mereka menyimpan segalanya di satu
tempat. Dan setelah menyimpan semua hasil panen mereka, para manusia akan
berdansa seperti orang bodoh, bersenang-senang.
Betapa bodohnya manusia,
pikir para goblin. Apa yang menarik dari semua itu? Mereka sangatlah mudah
terhibur.
Pemandangan dari manusia
riang, dan gembira memicu dengki para monster. Di sini para monster hidup di
alam liar, terguyur hujan dan kelaparan mencari makan, akan tetapi
manusia-manusia itu hidup di tempat yang begitu nyaman tanpa bersusah payah.
Goblin memiliki satu cara
dalam mendapatkan sesuatu: mereka mencuri. Dengan itu, tidak satupun goblin
yang mempunyai pengalaman dalam merawat binatang sebagai ternak ataupun menanam
sebauh tanaman. Sejauh mereka peduli, semua hal ini muncul dengan sendirinya, poof.
Dan karena mereka berpikir
demikian, para goblin mengira, bahwa sudah sewajarnya semua itu adalah milik
goblin. Sangatlah tidak adil bagi para manusia untuk menyimpan semua itu demi
diri mereka sendiri.
Keadaan malam ini tidak
berbeda dari sebelumnya.
“GROB! GORB!”
“GOROBG!”
Api iri ppara gobkin
membara. Para manusia telah mengusir mereka, dan hal itu membenarkan semua
tindakan yang akan goblin lakukan.
Selalu setia pada hasrat
dasar mereka, para goblin berlari mengarah desa.
Makanan berada di sana.
Kenikmatan. Wanita.
Akan menjadi cara sempurna
untuk menghabiskan waktu sebelum mereka harus mencari suatu tempat untuk tidur malam
ini.
Para goblin telah di usir
dari rumahnya. Mereka telah menghabiskan beberapa hari berkelana, dan walaupun
tidak banyak yang terjadi pada para goblin, semua terasa begitu menyebalkan.
Kebencian mengalir layaknya gelombang. Pada saat ini, mereka bahkan tidak
mempunyai rasa takut pada petualang.
“GOROBOG?!”
Mereka menemukan bahwa jalan
mereka terhalang oleh sebuah pagar. Sebuah pagar biasa yang hampir sama dengan
tangga jika di lihat dari sisi samping, dan tangga ini belum ada di sana pada
hari kemarin.
Para goblin yang berpatroli
berusaha menjelaskan ini, namun sangatlah jelas bahwa goblin tolol itu tidak
memperhatikan keberadaan tangga ini atau melalaikan tugasnya. Apapun itu, para
goblin mengerumuninya dan menghajar goblin itu dengan pentungan mereka hingga
dia berhenti bergerak.
Ini adalah hal yang biasa
bagi para goblin, walau tidak satupun dari mereka yang percaya bahwa mereka
akan bernasib sama jika suatu saat diri mereka gagal.
“GORBG! GOOBOGOR!!”
Mereka mencoba memanjat
pagar, namun sambungan sudut pagar itu terlalu jauh, dan mereka tidak dapat
mencapai sambungan pagar berikutnya. Akhirnya, dengan banyak gumaman dan
keluhan, para goblin mulai berjalan mengelilingi pagar.
Salah datu dari mereka
menyadari bahwa tidak terdapat pagar di sungai dan melompat masuk, hanya untuk
mendapsti dirinya tertusuk oleh pasak, karena itu goblin lain membatalkan niat
mereka untuk menyebrangi sungai. Mereka mentertawai pada goblin bodoh yang
telah membuat dirinya sendiri tertusuk; tidak sedikitpun rasa belasungkawa yang
ada di pikiran mereka. Malah, mereka membayangkan untuk menusuk manusia yang
telah menyerang mereka dengan cara yang sama.
Akhirnya, para monster yang
murka telah hampir melakukan satu putaran mengelilingi desa. Mereka berniat
untuk menhancurkan pagar ketika mereka tiba-tiba berhenti.
“GORORGORB...”
Mereka menemukan satu tempat
di mana pagar tersebut tidak terikat dengan kuat.
Para goblin saling bertukar
pandang, menyeringai. Ini semakin membuktikan akan betapa bodohnya manusia.
Tidak perlu untuk
menghancurkan pagar. Mereka akan menyelinap masuk ke dalam desa, melakukan
sergapan pada manusia, menginjak mereka.
Mereka memasuki celah pagar
yang terbuka, yang di mana pagar tersebut berdecit layaknya pintu yang tidak di
minyaki, dan memasuki desa.
Hujan hanya membuat mereka
semakin bergerak cepat.
*****
Dia telah melakukan apa yang
dia bisa.
Paling tidak, dia merasa
sudah melakukannya.
Benarkah?
Dia
tidak mengetahuinya.
Mungkin terdapat hal lainnya
yang dapat dia lakukan. Sesuatu yang terlupa.
Adalah hal baik jika semua
berjalan dengan lancar, tetapi—jika itu
masih di pertanyakan.
Segalanya adalah tanggung
jawabnya. Proses, hasil, di emban kedua tangannya.
Kenapa,
kamu mau lari?
Tenangkan diri. Tarik napas
dalam. Tenang. Tarik napas kembali.
Itu semua hanyalah sebuah
emosi.
Bukan sebuah realita.
Tetes hujan mengguyur tanpa
ampun pada tubuhnya, napasnya berembun di udara.
Tubuhnya berat, jarinya kaku
seolah tersangkut pada hulu pedangnya dengan sebuah lem.
Aku
nggak tahu apa aku bisa melakukannya.
Dia akkan melakukannya.
Itulah realita.
Jika tidak, dia akan mati.
Realita yang sudah
menunggunya.
Jika kamu membunuh, kamu tidak
akan mati.
Realita.
“...”
Dia menyalakan obor, berdiri
dari balik semak-semak, dan menyerang goblin terdekat.
“GOROG?!”
Sebelum makhlik itu dapat
berputar, dia menghantamkan perisai pada punggung makhluk itu; dia membenamkan
pedangnya masuk ke dalam rusuk sang monster dan memberikan koyakan kasar.
Mulai dari satu.
“GOROOOGOROG?!”
“GOBRG! GOORBG!”
Para goblin pada akhirnya
berhasil menyadari bahwa rekan mereka telah terbaring di lumpur dan mulai
berputar mengarah pria itu.
Dia melempar obornya. Bahkan
di dalam hujan, api menyinari daerah sekitar, wujud akan dirinya dan musuh
berdansa dari balik kegelapan.
Sebuah helm baja dengan satu
tanduk patah, armor kulit kotor, pedang dengan panjang tidak biasa di
tangannya, dan pada lengannya, sebuah perisai bundar kecil.
Ada
berapa banyak goblin di sana?
Sepuluh, mungkin dua puluh.
Tentunya tidak tiga puluh. Saat ini dia dapat melihat lima dari mereka.
Mereka telah memasuki pagar
secara bergantian. Ini adalah kesempatannya untuk membunuh mereka.
“GOROG!!”
“Hmph.”
Dia melompat.
Dia menangis pentungan
goblin dengan perisai pada lengan kiri, menebas horizontal dengan tangan kanan.
Dia merasa pedangnya tertancap pada tenggorokan makhluk itu; dia mengoyak dan
menendang makhluk itu.
“GOBORGOBG?!”
“Dua.”
“GOBORG!”
Seekor goblin melompat
mengarahnya dari kiri, menggenggam sebuah belati; Dia memblokirnya dengan
perisai. Mata belati menggigit masuk perisai. Dia membiarkan belati itu
tertancap, menggunakan pedangnya yang telah terbebas untuk melakukan tebasan
diagonal pada goblin yang berada di kanannya.
“GORRROBGOGORG?!”
“Tiga. Nggak...”
Tebasan itu terlalu dangkal.
Dia menjentikkan lidahnya. Dengan segera dia memutar tubuhnya, mengarahkan
pedangnya menuju perut goblin yang berusaha mencabut belati dari perisainya.
“GOGGROGB?!”
Makhluk itu menjerit tidak
karuan dan terjatuh di tanah, mencoba menahan isi perutnya yang terburai.
Makhluk itu masih hidup.
Namun luka itu sangatlah fatal. Dia dapat membiarkan makhluk itu mati dengan
sendirinya.
“Tiga, dan dengan ini jadi
empat...!”
“GORORG?!”
Dia mengarah pada goblin di
kanannya, yang terhuyung maju dan mundur dan berdarah dari dadanya. Dia
mengangkat pedangnya tinggi dan menghujamkannya ke kepala sang monster.
Terdengar suara krak seraya pedang itu menembus masuk
otak goblin; makhluk itu terjatuh ke belakang, otak menciprat ke segala arah.
Dia menendang tubuh itu dengan cepat untuk membebaskan senjatanya, jika tidak
pedangnya akan tertarik darinya mengikuti mayat yang terjatuh.
Mata pedang itu telah
tercuil sekarang. Dia menjentikkan lidahnya kembali. Hujan terasa begitu
dingin, dan rasa perih tersebar di keseluruhan tubuhnya.
“Berikutnya...!”
Desa telah menutupi
keseluruhan wilayah desa, dan hanya meninggalkan sebuah lubang kkecil untuk di
lewati. Dia mengetahui bahwa mereka akan datang setelah festival. Dia yakin
bahwa mereka akan berusaha menerobos melewati celah itu.
Hanya tinggal menunggu
mereka.
“GORRG!”
“GROBG! GGORG!”
Dia melihat satu, kemudian
dua dari mata membara para goblin yang bersinar mendekat di kegelapan.
“Goblin...” dia berkata
dengan tenang dan pelan. Jika seseorang yang di sekitarnya mendengar, mereka
mungkin akan menyangka bahwa itu adalah angin yang berhembus dari dalam bumi.
“Aku akan bunuh mereka
semua.”
*****
“Sesuatu datang!!”
Instruksi pemimpin tingkat
Copper yang sudah sangat jelas: jika rock eater telah mengusir blob dari rumah
mereka, maka mereka hanya perlu pergi menuju tempat di mana tidak ada blob.
Salah satu pengintai
mendengar gemuruh dan berhenti, namun tidak lama baginya untuk mengisrayatkan
sebuah peringatan sebelum pada akhirnya kepalanya menghilang. Kepalanya
tergigit dengan suara remukan, seperti kacang yang di pecahkan, dengan sepasang
rahang yang muncul dari bebatuan.
“CEEEEENNTI!!”
Sang monster menggali
jalannya melalui kedalaman tambang, memunculkan kepalanya di depan para
petualang, rahang capitnya mengerat. Di depan sang monster pengintai tak
berkepala kejang satu kali dan kemudian terjatuh berlutut. Detik berikutnya
darah menciprat keluar. Para petualang bergerak mengambil posisi bertarung.
“Yi-yikes...”
“Dia...benar-benar di
sini...”
“Sudah pastilah!”
Yang pertama teriak dan
menyiapkan senjatanya adalah Spearman. Dia memaksa melewati kumpulan petualang
yang menggunakan armor tak bernoda untuk dapat berdiri di garis depan. Bahkan
dirinya, yang selalu bermimpi untuk melakukan kebajikan gagah berani di medan
tempur melawan monster mengerikan, sekarang berwajah tegang.
Mungkin hanyalah sekedar
mitos bahwa monster ini menggali pegunungan dengan sendirinya, namun walaupun
begitu, di antara kepala dan bagian segmen tubuhnya yang banyak, makhluk itu
pastilah lebih dari lima puluh meter. Ini mungkin sama saja seperti mereka
sedang melawan raksasa.
“Dan mereka mengirim
Porcelain untuk misi seperti ini?!—Hei!”
Witch berdiri di sampingnya.
“Ahem! Sagitta... Quelta... Raedius!
Tembak sasaran, panah!”
Pipinya berkilau di
karenakan keringat seraya bibir mempesonanya membentuk kata akan kekuatan
sejati. Sihir Magic Missile terbang secara langsung dari tongkatnya menuju Rock
Eater, tetapi—
“CEENNTTTTTTTII!!”
Monster itu menghadang
serangan itu dengan cangkangnya semudah seseorang menepis tetes air hujan.
Jika monster itu tidak
terluka, tentunya monster itu merasa murka. Monster itu membuka rahang besarnya
dan menerjang Witch.
“Awas!”
“Eek!”
Merupakan sebuah
keberuntungan bahwa Spearman tidak mengambil tindakan terlebih dahulu. Sekarang
rekasinya begitu instan; dia menyeret Witch dari samping, menariknya dari
bahaya yang hampir menerkamnya.
Rock Eater menghantam tanah, dan kemudian dengan bagian tubuhnya
yang tak terhitung, dia mulai menggali masuk ke dalam tanah.
Akan sangatlah baik sekali
jika saja monster itu melarikan diri pada saat ini. Namun gemurih di bawah kaki
mereka, memberitahu mereka bahwa ini hanualah momen di mana sang monster
mempersiapkan sergapan berikutnya.
“Maaf, soal, tadi...”
“Nggak usah di pikirkan.
Tapi sekarang kita harus hati-hati kemana arah kita bergerak...!”
Spearman berjongkok rendah,
melindungi Witch, yang tidak dapat bergerak di karenakan kaget. Sulit untuk
mengetahui kapan kepala raksasa itu muncul lagi berikutnya. Jika datang monster
itu datang tepat dari bawah mereka, maka mustahil untuk dapat menghindari
serangan kritikal.
“Sepertinya kita nggak bisa
mengalahkan makhluk ini dengan mantra.” Sang heavy Warrior dengan pedang besar
di punggungnya berkata, melihat sekitarannya dengan tenang.
Terdapat sekitar sepuluh
petualang di dalam tambang sempit ini. Semuanya di liputi rasa takut karena
tidak mengetahui arah serangan berikutnya akan muncul.
Kalau
kita nggak hati-hati, monster ini bisa membunuh kita semua sekaligus.
“Pembaca mantram utamakan dukungan
dan pertahanan, kita akan menghancurkannya dengan kekuatan fisik! Siapapun yang
menggunakan armor ringan, mundur, dan bergabung dengan grup utama!”
“Ba-baik!”
“Siapapun dengan senjata
jarak jauh, tinggal di sini dan—!”
“Eeyaaaaahh!!”
Jeritan seorang wanita
menyela instruksi Heavy Warrior.
Semua orang menoleh dan
menemukan seorang archer mengernag kesakitan wajahnya tertutupi oleh gumpalan
cairan. Setiap kali, gumpalan hitam itu bergerak, uap mengepul, di iringi
dengan aroma daging terbakar.
“Aah—aaggh! Gaaahhgh! Tobong
aku—tooobbbbong akuuu!”
Wanita itu mencakar wajah
dan lehernya, berteriak sekeras dia bisa. Dia berguling di tanah dan
menggeliat. Partynya berusaha untuk melepaskan gumpalan iti dengan senjata yang
di lilit dengan kain basah bercampur bahan anti asam. Namun wajahnya secara
perlahan di lelehkan oleh blob itu.
Dia
sudah nggak bisa di tolong lagi.
“Blob?!”
“Dia sedang bertarung dengan
blob!”
Monster bertipe slime ini
biasanya jatuh dari atas, mengejutkan mangsanya.
Mengernyit, Knight Wanita
mengangkat pedangnya ke atas kepala. Pedangnya bersinar terang dengan Holy
Light. Cahaya itu dengan jelas menyinari gumpalan hitam pekat yang bergerak,
keluar dari celah sempit terowongan.
“Aku kira di sini seharusnya
nggak ada celah...! Dia berteriak.
“Pasti ada orang bodoh yang
menggalinya!” Heavy Warrior berteriak.
Adalah sebuah celah sempit,
jalan samping yang akan dengan mudah menjadi rumah goblin atau yang lebih buruk. Akanlah mustahil bagi mereka untuk
masuk ke dalam sendirian—satu-satunya pilihan mereka adalah menutup lubang itu
atau mengatasinya dengan cara lain. Namun mereka tidak mempunyai waktu. Jika
mereka melamin, maka Rock Eater akan memangsa mereka semua.
Half Elf Fighte4 terlihat
gelisah. “Ini mungkin...jalan memutar.” Dia berkata.
“Apa maksudmu?”
“Maksudku, mungkin para blob
itu bukan di usir sama Rock Eater.” Dia memperhatikan sekelilingnya seraya dia
berbicara, tidak membiarkan konsentrasinya pecah. “Kita berusaha masuk ke dalam
lubang Rock Eater. Terus para blob itu dataang ke sini mencari makanan...”
“Mereka symbiote...!” Gadis
Druid berkata, wajahnya menegang. “ Jadi
kita mangsa buat mereka?!”
“Bah! Kita bisa pikirkan soal
itu nanti!” Knight Wanita berteriak, mengusung pedang salibnya, tanda akan
kepercayaannya. “Sekarang, kita harus membunuh mereka sebelum kita di makan!”
“Kamu pikir kamu bisa jadi
paladin dengan sikap seperti itu?” Heavy Warrior menggunakan bagian datar dari
pedangnya untuk menghancurkan salah satu blob, kemudian melihat rekan-rekannya.
“Kita nggak bisa berharap untuk bergabung dengan grup utama sekarang. Perkuat
aku!”
“Ba-baik!” Gadis Druid
berkata. Dia mulai berdoa, wajahnya menegang.
“Aku butuh kamu juga!”
“Baik, tentu, saja...” Witch
menopang dirinya dengan tongkat, mulai melantunkan mantra.
Dalam sekejap, pedang Heavy
Warrior mulai bercahaya merah, dan cahaya sihir bersinar dari ujung senjata
Spearman.
“O
dewa hukum hamba, jangan biarkan pedang hamba menghakimi mereka yang tidak
berdosa!”
Knight Wanita melantunkan
permohonan keajaiban kepada Supreme God, menggunakan Blessing pada senjatanya
sendiri.
Terdengar gemuruh yang
mengerikan; parq blob bergetar, dan serpihan tanah menghujani kepala mereka.
“Kalian hadapi blob-blob
ini! Jangan biarkan mereka mendekati kami!”
“Siap! Serahkan pada kami!”
Mendengar perintah Heavy
Warrior, petualang lain dengan cepat membentuk barisan.
Keluar
kamu, aku bunuh kamu....!
Seorang warrior muda berdiri
sendiri, pedangnya bersiap, tekadnya bulat.
Dengan begitu dia menusukkan
pedangnya ke atas hampir sebelum alarm getaran muncul dari atas kepala.
“It-itu dia!”
Langit-langit terbuja. Batu
berjatuhan, di ikuti dengan sepasang rahang raksasa. Rahang yang telah memakan gadis itu.
Tubuh
dia masih di dalam makhluk itu!
Pikiran itu layaknya sebuah ledakan
cahaya di dalam kepala sang warrior. Dia tidak mempedulikam fakta akan taring
monster itu menggigit lengannya seraya dia mendorong pedangnya dengan kedua
tangan, merasa gembira dengan ini.
Dia memaksa pedangnya ke
atas dan semakin ke atas, membenamkannya hingga ke ujung hulu pedang, cairan hangat
dari tubuh Rock Eater menciprat kepalanya.
Dan kemudian, seperti benar
yang terputus tiba-tiba, kesadaran sang warrior jatuh dalam kegelapan.
*****
Seraya dia jatuh, dia menyadari bahwa ketidaksadaran dirinya yang sesaat
adalah di karenakan kepalanya yang terhantam batu,
Di terjatuh tengkurap pada
genangan berlumpur, air hujan mengalir mencoba memasuki celah helm, mengancam
untuk menenggelamkannya.
Selemah apapun goblin, jika
dia tidak menggunakan helm, maka dia akan berada dalam kondisi yang sangat
berbahaya.
Dia menjulurkan lengan dan
mulai mendorong dirinya naik, hanya untuk merasakan sebuah pukulam keras di
punggungnya, merenggut setiap napasnya: sebuah hantaman dari pentungan.
Di saat dia hampir dapat
memahami apa yang terjadi, pukulan lainnya datang, dan lagi, dan lagi, dan
lagi. Pasti terdapat semacam kapak atau sesuatu di antara senjatanya, karena
dia mendengar armor dan baju besinya hancur, merasakan sakit pada kulit dan
tulang retak dan remuk.
Dia menyumpat akan rasa
membakar yang menyakitkan, dan umpatan itu terasa seperti besi di mulutnya.
“GOOROGR!!”
“GRRB! GOOROGRB!!”
Para goblin tertawa. Mereka
mengejek petualang bodoh ini. Tidak di ragukan bahwa mereka akan segera
melanjutkan penyerangan mereka ke desa.
Dan kemudian apa yang akan
terjadi?
Kamu
nggak boleh sama sekali bergerak dari tempat ini.
Dia menekan tangannya pada
lumpur. Tulangnya berbunyi. Lututnya membengkok. Napasnya tertahan. Dia mulai
menyeret tubuhnha.
“GOOBRGBOG!!”
Kali ini rasa perih menjalar
pada rahangnya seraya sebuah pentungan menghantam wajahnya dari samping. Dia
berguling di tanah, mendarat pada punggungnya.
Beberapa tetes air hujan masuk
ke dalam celah helm dan mengenai wajahnya, keseluruhan tu uhnya basah kuyup,
dan dia kedinginan. Sangat kedinginan .
Dalam beberapa detik, dia
menutup matanya. Kakak perempuannya akan memerahaninya karena sudah bermain di
lumpur. Kemudian dia membuka matanya, dia merasa kepalanya mulai terangkat,
seekor goblin telah menggenggam tanduk yang masih tersisa.
Dia di seret; pengelihatannya
penuh akan seringai busuk dan hina goblin.
Tangannya menggaruk, mencari
suatu cara untuk menggenggam pedangnya. Pedangnya telah terjatuh di lumpur dan
telah rusak di tengah-tengah kekacauan ini. Hulu dan gagang pedang masih
tersisa, namun kebanyakan dari sisa pedangnya sudah tidak ada lagi. Dia
membuangnya.
“.....”
Dia tidak mengucap sepatah
katapun. Lumpur menciprat di bawah tubuhnya. Para goblin tertawa, tawaan mereka
menjadi gema di dalam helmnya.
Dia melihat sebuah pentungan
yang mendekat; dia memperhatikannya.
Dia menyadari bahwa hanyalah
masalah waktu hingga pentungan itu menghantam kepala, dan meghancurkan paksa
helmnya, tengkoraknya hancur, otak bertebaran ke segala arah.
Mereka mungkin tidak akan
berhasil dalam satu serangan, tetapi dua atau tiga serangan tentunya akan
berhasil.
Dia akan mati.
Dia merasa bahwa malam itu telah mengejarnya, dan
menangkapnya.
Apa
gunanya kilasan kehidupan yang muncul di depan matamu? Gurunya
pernah bertanya.
Pikirkan
apa yang akan kamu lakukan, hingga detik terakhir.
Apa yang akan dia lakukan?
Dan bagaimana?
Tanpa suara dia memjamkan
mata.
Dia mengetahui apa yang
telah terjadi pada kakaknya; dia menyaksikannya tanpa suara.
Dia mengetahui apa yang akan
di lakukan para goblin ketika mereka tiba di desa dan kemudian kota itu.
Berbagai macam wajah
terbayang di kepalanya: Gadis tetangga. Pemilik kebun. Resepsionis Guild. Petualang
lainnya.
Apa
artinya bagiku?
Dia menarik napas dalam,
kemudian menghela.
Adalah sebuah kelancangan tertinggi
untuk berpikir bahwa dunia akan berakhir tanpa dirinya.
Biarkan satu desa hancur;
dunia akan terus berputar. Biarkan satu pria mati; dunia akan terus berjalan.
Dadu akan terus di lemparkan.
Karena itu dia akan berfokus
pada apa yang berada di depannya.
Seekor goblin berdiri di
depan memegang pentungan. Adalah goblin di belakangnya yang memegang tanduk
pada helmnya.
Kedua tangannya bebas. Di
balik helmnya, dia menggerakan matanya. Goblin di depan memegang pentungan.
Kalau begitu, bagaimana
dengan goblin yang bberada di belakang? Dia tidak dapat memutar helmnya, hanya
matanya.
Pada pinggul goblin itu, dia
menyadari, terdapat sebuah belati.
Hulu belati itu berbentuk
seperti elang. Dia mengenalinya.
Apa
artinya bagiku?
Tangan kanannya bergerak
secepat kilat.
“GBOR?!”
Paruh elang itu tersangkut
di jarinya, dia menariknya lepas dari pinggul goblin; dia menggenggamnya secara
terbalik dan menghujamkannya.
Hanya itu.
Namun ketika serangannya
berhasik menembus pundak goblin, mematahkan ruang rusuk dan menyebabkannya
mati, itu sudah cukup.
“GOROBOGOROBOG?!”
Sang goblin, tengah berusaha
mengayunkan pentungannya, terjatuh ke belakang. Darah mengucur dari luka, di
iringi dengan siulan yang menggerikan. Darah bersama dengan hujan, menciprat
tubuhnya.
Seekor goblin yang
menggantung di punggungnya sedang meracau sesuatu yang tidak jelas.
Apa
artinya bagiku?
Dia sudah membuang belatinya
ke samping, mengambil pentungan dari monster yang baru mati.
Dia mengayunkannya, seolah
dia sedang menyerang pundaknya sendiri dan mendengar pundak dan lengan musuh
yang hancur.
“GBOGROB?!”
Jeritan yang memekikkan
telinga. Sang goblin terjjatuh ke belakang, memegang lengannya. Tanduk helm
pria itu patah dan terjatuh.
Apa
artinya bagiku?
Seraya dia berputar, dia menghantamkan
pentungannya pada tengkorak goblin. Kulit monster itu terasa begitu lunak,
terbelah dua ketika senjata itu menghantam kepalanya.
Secara acuh dia mengambil
kapak dari mayat goblin, yang terbaring dengan satu mata yang terlepas dari
kepalanya. Punggungnya terasa begitu sakit, mungkin itu di sebabkan hantaman
kapak ini sebelumnya.
Apa
artinya bagiku?
Dia memutar kapak di
tangannya, dan kemudian, tanpa ragu, dia melepaskannya. Kapak itu berputar di
udara, dan tertanam pada kepala goblin yang sedang lengah pada saat ini.
Adalah goblin yang telah
melempar batu kepada dia sebelumnya. Ini jauh lebih mudah di bandingkan
memenangkan jus lemon, pikir sang petualang.
“Dengan ini...sepuluh, dan
tiga...!”
Dia menelan sesuatu yangpahit
dan kental di mulutnya.
Dia merogoh isi tas dengan
tangan dan mengeluarkan sebuah botol. Sebuah stamina potion. Dia melepas
tutupnya dan menelan cairan itu dengan sekali teguk. Terasa begitu pahit, dan
membakar seraya cairan itu membasahi tenggorokannya, masuk ke dalam perut.
Dengan segera, kehangatan
menyebar di keseluruhan tubuhnya. Lukanya tidak sembuh, namun indranya secara
perlahan kembali menajam. Itu artinya dia belum mati. Dengan itu tidak akan ada
masalah.
Dia membuang botolnya dan
tenggelam di dalam lumpur. Botol itu terisi dengan air dan segera hilang dari
pandangannya.
“Sisa berapa lagi...?”
Hujan mengguyur, dan angin
melolong. Di suatu tempat di antara gulita malam, dia dapat melihat cahaya
samar dari apa yang di sangkanya sebagai divisi ketiga dari para goblin.
Dia menendang setiap mayat
goblin dengan kakinya, menggulingkan mereka hingga dia mendapatkan pedang yang
layak, yang di mana dia mengambilnya untuk dirinya sendiri. Dia mencoba
memasukkannya ke dalam sarung pedang namun menyadari bahwa pedang tersebut
tidak muat; dia harus membawanya di tangan.
Apa sebenarnya yang dia
khawatikan sebelumnya? Persediaan senjata secara harfiah mendatangi dirinya.
“Empat belas...!”
Salah satu goblin mencoba
memasuki pagar untuk pergi ke desa, dan Goblin Slayer melompat menerjang
makhluk itu.
Dia membiarkan mayat itu
terjatuh, mengambil belati dari pinggul makhluk itu daan memberikan beberapa
ayunan pada belatinya.
“GOOBG?!”
“Lima belas.”
Seekor goblin di belakangnya
tiba-tiba menemukan sebuah pedang yang menancap di kepalanya; makhluk itu
terjatuh ke belakang dan tergeletak di lumpur.
“GOOROG...!”
“GRORB!!”
Para goblin berteriak, namun
apalah artinya bagi dirinya? Dia menginjak tubuh yang berada di depannya,
menarik pedang secara kasar dari leher tubuh itu. Pedang itu berlumur dengan
darah, namun memangnya kenapa? Senjata pengganti akan segera datang kepadanya
tidak lama lagi.
Dia maju ke depan, menyeret
kakinya melintasi lumpur.
Goblin sangatlah pengecut.
Mereka tidak ingin mati, terlebih lagi mengorbankan dirinya sendiri demi rekan
mereka.
Namun pada saat ini, musuh
mereka hanya seorang pria. Dan berkat pria itu, masing-masing dari goblin yang
masih selamat jatah jarahan mereka akan bertambah. Jika mereka menyerang desa
sekarang, maka mereka akan mendapatkan lebih banyak wanita dan makanan, yang
akan membuat mereka tidak tahu harus di apakan.
“GOGBRRG!!”
“GORB! GOOBBGR!!”
Pada akhirnya, tampaknya
keserakahan telah melampaui ketakutan mereka. Para goblin sercara serentak
menyerang pria itu, saling mendorong dan menjegal rekannya ke depan.
“Enam belas... Tujuh belas!”
Satu musuh melompat dengan
belati di tangan, namun dia menghantam monster itu dengan perisainya,
menjatuhkannya ke lumpur. Seraya makhluk itu menjerit, dia mengayunkan pedang
dan menyayat lleher goblin yang berada di kanannya.
Hujan dan lumpur terciprat
ke segala penjuru, dan darah mengalir begitu derasnya. Dia memegang pedangnya
secara terbalik dan menyayat goblin yang ada di tanah dari kepala hingga leher.
Mematahkan rusuknya.
“GORBBGR?!”
“Dua lagi...”
Dia melepaskan pedangnya dan
melompat ke belakang dengan cepat. Sebuah pentungan menghujam dari atas dan
menghancurkan mayat yang masih segar tersebut.
Seekor goblin yang mencoba
untuk menggunakan ketidakberuntungan rekannya sebagai pengalih agar dapat
membunuh pria itu. Goblin dengan pentungan menggerutu marah.
Dia menyelupkan tangan ke
dalam lumpur, mengambil botol yang sebelumnya dia buang dan melemparkannya.
“GBB?!”
Terdengar teriakan,
kemungkinan di karenakan kombinasi dari rasa sakit botol yang pecah pada wajah
makhluk itu dan lumpur yang mengenai matanya.
Goblin itu terhuyung ke
belakang, memegang wajahnya dengan tangan. Pria itu menghiraukannya dan
melompat ke depan, menghantamkan perisainya pada seekor goblin yang memegang
tombak.
“GBRRGBOG?!”
“Satu lagi...”
Dalam kontes ukuran tubuh
dan berat, seorang manusia jauh di atas goblin. Terutama manusia dengan armor.
Sang goblin terjatuh di
lumpur, dan dia mencengkram leher monster itu; dia dapat merasakan leher itu
patah seraya dia menekan tangannya dengan keseluruhan beban tubuhnya.
Dia mmenghancurkan batang
tenggorokannya seraya makhluk itu kejang-kejang dan mengerang, hingga pada
akhirnya ajal menjemput. Dia mengambil tombak dari tangan makhluk itu dan
berputar menuju goblin terakhir, yang baru saja membersihkan lumpur dari
wajahnya.
“GOROOROGBGB?!”
“Sembilan—belas...!”
Tombak itu tidaklah lebih
dari sekedar batu yang di ikatkan pada batang kayu yang di asah, namun itu
sudahlah cukup untuk menembus sebuah jantung. Goblin itu mati dengan darah
terciprat ke segala arah seraya dia mencakar langit.
Pria itu menggenggam erat
tombak, menusukkannya lebih dalam, kemudian menghela napas.
Tarik dan buang napas.
Tarik, buang. Tarik, guang. Tarik, buang.
Dia dapat merasakan darah di
dalam tenggorokannya. Dia sangat ingin berbaring di tempat ini juga. Kepalanya
sufah bekerja dengan keras, dan kelopak matanya terasa begitu berat.
Otaknya, atau sesuatu yang
berada di dalam dirinya, mencoba memaksakan sebuah logika kepadanya: minum antiracun.
Cairan tubuh para goblin,
mata pedang beracun mereka, hujan dan lumpur: semua akan masuk ke dalam lukanya
dan membuatnya sakit. Dia mengetahui itu.
Dia berdiri sempoyongan,
seperti hantu, dan menemukan sebuah botol di dalam tas peralatannya. Beruntung
baginya untuk tidak salah dalam mengambil stamina potion sebelumnya. Dia perlu
mencari cara untuk dapat membedakan botol ini dengan sentuhan.
Tangannya licin, membuatnya
susah untuk membuka penutup botol, namun dia berhasil membukanya dan meminum
isi kesekuruhan cairan pahit botol itu dengan satu tegukan.
“Ah... Ahh...”
Sudah berakhir.
Harus.
Akan tetapi, dia tidak
merasakan adanya rasa pencapaian; dia bahkan hampir tidak mempercayai bahwa
semua telah berakhir.
Hujan terus mengguyur. Belum
ada tanda subuh akan datang. Dia hidup, dan para goblin mati.
Obornya, yang telah di
modifikasi agar tidak padam pada cuaca seperti ini, terus mengepulkan asap.
Dia tidak akan bertarung
dengan goblin di lahan terbuka lagi. Tempat mereka adalah di gua, begitu pula
dirinya.
“.........! Hrgh...”
Tiba-tiba, dia merasa
seperti ada tangan yang meremas keras perutnya; dia terjatuh berlutut. Dengan
suara basah, jeroam, hujan, darah dan lumpur semua menciprat ke segala penjuru.
Paru-parunya tidak dapat
menarik udara. Dia membuka helm dari kepalanya. Tubuhnya menjulur kedepan, di
topang dengan kedua tangannya, mulutnya terbuka. Dia tidak dapat menarik napas,
dia tidak napa membuang napas.
Kilasan ingatan terngiang di
kepalanua dalam sekejap. Kakak perempuannya. Desa yang terbakar. Tubuh
tergantung dengan tali. Goblin.
Sesuatu naik ke atas
tenggorokannya dan keluar dari mulut, terasa membakar. Dia terbatuk dan
tersedak, namun apa yang kebanyakan keluar adalah asam perut.
Setelah beberapa kali
muntah, dia menarik napas, kemudian memaksa dirinya untuk minum.
Dia berkumur dan meludah,
kemudian meneguk air kembali dan mengelap bibirnya.
Kemudian, berdiri dari
lumpur, dia telah selesai melakukan apa yang dia lakukan, secara perlahan
mengambil helm dan memasangnya kembali. Dia memiliki aroma samar dari darah,
keringat dan muntahan.
Dia melihat sekelilingnya,
helmnya terasa lebih ringan tanpa tanduk.
Pembantaian ini sangatlah
mutlak. Tumpukan mayat goblin yang tersebar dari celah pagar yang di buatnya
hingga ujung desa itu sendiri.
Satu, dua, tiga, empat,
lima, enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas, tiga belas,
empat belas, lima belas, enam belas, tujuh belas, delapan belas, sembilan
belas....
“Sembilan belas... Sembilan
belas?”
Dia memiringkan kepalanya.
Dia menarik sebuah tombak dari mayat goblin ke sembilan belas.
Melangkah di antara lumpur
dan air, dia pergi dengan sigap kembali menuju desa. Pagar, sungai, suara
air... Suara air...
Seekor goblin yang berusaha
menyebrangi sungai seraya menghindari pasaknya, menjerit dan mati.
“...Dua puluh.”
Adalah goblin terakhir.
0 Comments
Posting Komentar