PERTEMPURAN INDIVIDU
(Translater : Zerard)

Adalah salah satu pekerja yang menyadarinya terlebih dahulu.
“Hrmph, baru saja ku pikir pekerjaanku untuk hari ini sudah selesai.”
Dengan sekop pada pundaknya dan matahari yang terbenam, dia menghela.
Dia adalah pekerja yang tidak pemalas; dia tidak memiliki niatan untuk melayani kediaman seseorang, ataupun dia memiliki uang untuk hidup dalam kemewahan. Oleh karena itu, dia mendapati dirinya sendiri bekerja dengan sekop di tangannya dan hanya keringat sebagai pendamping, namun walaupun begitu, dia masih merasa tidak senang.
Sial, tapi aku memang suka lihat wanita-wanita petualang itu.
Mereka mungkin tidak berpakaian dengan pakaian paling indah, namun mereka bergerak dengan begitu bebas. Dan terdapat pula gadis dengan jubah longgarnya, sang wizard dan cleric. Mereka sangatlah berbeda dengan wanita jalang yang hanya mengandalkan kosmetik dan parfum.
Tentu saja, wanita penghibur kelas tinggi sangatlah berbeda, namun mereka pun masih di luang jangkauan pria seperti dirinya.
Dan terdapat beberapa petualang, yang berbagi makanannya dan ranjangnya dengan wanita seperti itu.
Betapa mudahnya kehidupan mereka. Hidup sesuka mereka, mati sesuka mereka. Sangatlah cukup untuk membuat seorang pria iri.
“Mereka enak sekali. Sedikit tebas dan libas membasmi monster, dan menjarah harta karun, dan bum, kamu kaya.”
Benar, bahkan pria ini paham bahwa semua tidak semudah yang terlihat. Namun semua orang ingin berpikir bahwa para petualang itu spesial, dan kesuksesaan akan dapat mereka raih. Semua orang ingin melihat kehidupan dalam cara yang paling menguntungkan diri mereka.
Pria ini, yang duduk di sana bermimpi menjadi petualang, tidaklah berbeda.
Dia tidak harus sukses besar. Dia tidak peduli jika dia tidak pernah menjadi warrior yang terkenal. Yang dia butuhkan hanyalah perlengkapan yang cukup baik, kesempatan untuk menyelamatkan satu atau dua desa dan mjngkin menerima ungkapan terima kasih dari gadis lokal di sanall.
Ah, atau mungkin dia dapat membeli gadis bangsawan yang terseret ke dalam perbudakan dan merawatnya. Hal Itu mungkin bagus. Dia dapat mencari wanita wizard cantik untuk menjadi anggota partynya dan secara perlahan mendapatkan rekan yang lebih banyak lagi. Tentunya semuanya wanita yang cantik.
Dia akan mencari gua rahasia yang tidak di ketahui siapapun (walaupun dia sendiri juga tidak mengetahui keberadaannya), dan di sanalah di mana dia akan membuat peruntungannya. Dan akhirnya, dia akan mendirikan rumah bersama wanita kegemarannya, pulang ke rumah setelah perjalanannya dan mengajak wanitanya untuk pergi berpetualang.
“...Heh-heh!”
Pria itu tidak begitu mempedulikan jika khayalannya akan “kesuksesaan sederhana”  terlalu berlebihan. Dia hanya sedang tenggelam dalam fantasinya sendiri.
Tidak ada seseorang yang menunjuk dan mentertawainya karena itu. Layaknya waktu yang berlalu, khayalannya tidak melukai siapapun.
Bekerja, meminum anggur, makan, menikmati wanita dan teman, mengeluh tentang ketidakadilan, dan terkadang sedikit bermimpi. Hidup. Itu sudah cukup.
“...Hmm?”
Dan sekali lagi, dia lah yang pertama menyadarinya.
Dia melihat pada sebuah sudut lapangan latihan, yang sebagian besar telah di pagar dan hampir selesai.
Dia melihat sebuah tumpukan tanah yang tidak pernah dia lihat.
Tanah sendiri adalah sebuah sumber daya alam, oleh karena itu, setiap kali mereka menggali bumi, mereka harus menyimpan tanah itu pada tempat yang telah di tentukan.
“Sialan, siapa sih yang malas-malasan kerjain itu?”
Adalah sesuatu yang dia sangat pahami akan betapa merepotkannya hal itu. Dirinya sendiri sering terlihat, meletakkan tanah pada tempat terdekat dan tidak pada tempat yang telah di tentukan.
Namun karena dia yang menyadari permasalahn ini, adalah tanggung jawabnya untuk memperbaikinya, dan itu sangat mengesalkan.
Dia berpikir untuk berpura-pura tidak melihat tumpukan itu, namun sayangnya, terdapat sekop pada tangannya.
“...Apa boleh buat.” Dia bergumam. Apa salahnya? Itu hanyalah sebuah tumpukan tanah kecil. Daripada mengemban rasa bersalah keesokkan harinya, mengapa tidak melakukan pekerjaannya dan tidur nyenyak malam ini?
Seraya pria itu mendekati tumpukan tanah, dia mengira telah melihat sesosok figur manusia di sisi lain. Sosok itu seukuran anak kecil—dan cahaya matahari yang samar tidak cukup untuk menggambarkan detil kejam pada wajahnya seraya sosok itu menggerutu.
Goblin?!
Kenyataan bahwa dirinya tidak langsung berteriak di saat itu sangatlah patut di puji. Tindakan selanjutnya yang di ambil juga merupakan sesuatu yang cukup berani.
Dia meremas sekopnya, menyelinap mendekati sang makhluk dengan senyap, dan mengangkat sekopnya.
“GROB?!”
Ujung sekop yang terasah hingga tajam setajam kapak di karenakan kontak dengan bumi secara terus menerus menghancurkan tengkorak goblin. Darah kental dan otak tersebar seraya makhluk itu tumbang, dan pria itu menginjak mayatnya dengan riang.
“Ha-ha! Rasakan itu!”
Ketika dia menarik kembali sekopnya dan melihat tetesan darah yang menggantung pada sekopnya, pria itu mengernyit. Pikiran rasional melintas di kepalanya bahwa alat ini akan dia butuhkan untuk keesokkan harinya. Akan lebih baik jika dia mencucinya.
Dengan gelombang rasa jijik yang dia rasakan, datanglah rasa syukur atas perlatannya; di mana di saat yang di butuhkan, sekop ini telah menghancurkan kepala goblin dengan begitu tepatnya.
“...Dari mana mereka datang? Apa mereka yang menggali lubang ini?”
Membersihkan darah pada sekopnya, sang pria mengintip ke dalam lubang. Adalah sebuah jalan kecil yang kokoh. Para goblin pasti telah menggalinya.
Pria itu tidak dapat melihat dasar lubang. Bukan hanya karena gelap di bawah sana—matahari sedang terbenam seraya dia berdiri di tempat ini.
“...”
Sang pria merinding. Sebuah rasa takut menjalar di tulang punggungnya.
“Sudahlah. Luapakan saja. Aku nggak oerlu turun ke bawah sana. Ini tugasnya petualang.”
Biarkan mereka menanganinya. Ini bukanlah pekerjaannya. Akan tetapi, tetap saja dia akan melaporkannya.
Namun tepat pada saat itu...
“Ow...!”
Dia merasakan rasa sakit menusuk menembus kaki kanannya, dan tiba-tiba pandangannya goyah seraya dia terjatuh ke tanah.
Apa-apaan? Dia memaksa dirinya sendiri untuk melihat kakinya, yang di mana dia melihat darah mengalir keluar dari pergelangan kakinya.
“GROB! GROORB!!”
Kemudian dia melihat seekor goblin menggenggam sebuah belati yang di lapisi dengan cairan yang tidak di ketahui.
Tidak... tidak hanya satu goblin. Sepuluh, dua puluh dari mereka, menyengir seraya mereka muncul dari balik bayangan malam.
“...--------....”
Sang pekerja berusaha membuka mulutnya seolah ingin berteriak meminta tolong, namun lidahnya tampak terbelit; dia tidak dapat mengeluarkan suara.
Sebuah rasa sakit datang dari kakinyanyang tertusuk. Tenggorokannya kering. Terdapat semacam cairan dari mulutnya; dia merasakan darah. Dia tidak dapat bernapas. Pengelihatannya mulai menghitam.
Mengapa dia tidak menyadari bahwa terdapat lebih dari satu goblin di sana?
Jika dia tidak melihat itu, maka tentu saja dia tidak menyadari belati beracun yang di bawa salah satu makhluk itu.
Tidak lama kemudian, pria tersebut mati.
Namun tentu saja, dia bukanlah yang pertama mati malam itu, ataupun yang terakhir.
*****
“Topik ajaran malam ini adalah ‘Delapan cara untuk membunuh goblin tanpa suara.’ Sekarang...”
Hanya sejauh itu ajaran Goblin Slayer pada petualang pemula ketika mereka mendengar sebuah jeritan.
Para petualang harus berhadapan dengan kegelapan berkali-kali, tidak hanya ketika kembali pulang di sore hari.
Tidak ada jaminan, sebagai contoh,bahkan di siang hari, reruntuhan, labirin, dan gua sering sekali redup tanpa cahaya.
Sangatlah pantas untuk berlatih pada jam malam, dengan bermodalkan cahaya dua bulan dan bintang-bintang.
Paling tidak, itulah di dipikirkan petualang yang berkumpul di sana—bocah berambut merah, gadis rhea, Rookie Warrior, dan Apprentice Cleric. Mereka dan sepuluh petualang lainnya yang berkumpul di lapangan latihan bahkan setelah seharian penuh berpetualang.
“A-apa itu?!”
“Tadi itu teriakan.... Kan?”
Para petualang muda berbisik dengan cepat satu sama lain, wajah mereka menengang.
“...”
Akan tetapi, Goblin Slayer, menarik pedang sari pinggulnya.
Dia bertindak cepat.
Menghiraukan percakapan muridnya, dia mengintai wilayah sekitarnya, mencari sumber teriakan.
Ternyata itu bukanlah hanya sekedar teriakan. Setelah beberapa saat, teriakan kedua terdengar, kemudian ketiga.
“H-hei! Apa yang terjadi sih—?!” sang bocah berambut merah bertanya dengan penuh keresahan, namum Goblin Slayer menjawab, “Jangan panik. Berdiri dan bersandar pada dinding. Bentuk setengah lingkaran mengelilingi pembaca mantra. Baris depan, siapkan senjatamu.”
“Baik,” Rookie Warrior berkata, wajahnya penuh cemas seraya dia bergerak untuk melindungi Apprentice Cleric. “...Hei,” dia menambahkan, “ini bukan semacam...latihan atau semacamnya kan?”
“Walaupun ini memang latihan,” Goblin Slayer berkata pendek, “Kita nggak akan bisa mendapatkan apapun kalau kita meremehkannya.”
“Ooh... Aku benci ini! Aku bahkan nggak tahu apa aku ini ngerasa takut atau nggak!”
Kemudian dengan tawaan kering, Rhea Fighter mengambil pedang pendeknya dan perisai dan mengambil kuda-kuda bertarung. Wajahnya tegang; bahkan di kegelapan malam, sangatlah jelas betapa pucat dirinya. Takut, gugup—merupakan kombinasi dari dua hal tersebut. Telinga runcingnya, yang tidak sepanjang elf,  bergetar.
“Cih...” Jentikan lidah ini berasal dari bocah berambut merah. Dia mengangkat tonglatnya dan memutar wajahnya mengarah pemula lainnya, yang masih belum secara penuh memahami apa yang terjadi. “Hei, apa kalian nggak dengar dia? Jangan cuma ngelamun! Bentuk barisan!”
“Ba-baik...!”
“Yeah, oke...!”
Mungkin ucapan yang keluar dari rekan sesama telah membantu mereka. Bahkan mereka yang beku tidak bergerak, tidak dapat berpikir atau menyerap situasi yang terjadi, akhirnya mulai bergerak. Masing-masing dari mereka mengambil senjata dah membentuk setengah lingkaran di depan sebuah dinding, walaupun gerakan mereka cukup berantakan.
“Kamu, angkat perisaimu! Lindungi orang yang ada di samping dan belakangmu!” Appremtice Cleric berteriak, memberi arahan kepada grup yang masih belum terbiasa dengan gerakan seperti ini.
Sangatlah mengejutkan, ketika dia memikirkannya: walaupun dia dan Rookie Warrior hanya bertarung melawan tikus raksasa, bisa di bilang mereka cukup berpengalaman. Rhea Fighte4 daj bocah berambut merah-pun juga sama. Mereka telah selangkah lebih maju di banding dengan pemula yang sesungguhnya. Setelah itu mereka hanya perlu mengambil langkah berikutnya, dan berikutnya....
“...”
Goblin slayer memperhatikan mereka dan mendengus dengan sangat pelan sehingga tak seorangpun mendengarnya. Apakah dia harus menyerahkan ini kepada para pemula untuk memeriksa keadaan, atau haruskan dia tinggal di sini dan melindunginmereka?
Sebagian, dia merasa tidak yakin... Dan sebagian, dia merasa tidak ingin meninggalkan mereka sendiri.
Pikiran bodoh.
Adalah sebuah misteri baginya. Untuk tidak mengumpulkan informasi dalam situasi seperti ini adalah sama dengan menunggu kehancuran mereka. Daalam titik tertentu, bahkan berpikirpun akan menjadi percuma. Terdapat beberapa hal yang tidak perlu untuk di pikirkan.
Setelah mencapai kesimpulan ini, Goblin Slayer berkata, “Tetap di sini.” Dia sekitarnya pada petualang muda dan kemudian berkata, “Kalau aku nggak kembali dalam lima belas menit, kalian harus bertindak sendiri.”
“Bertindak sendiri...?”
“Karena itu artinya aku mati, atau paling nggak terluka parah.” Suaranya terdengar datar. Dia memaksa dirinya untuk menghiraukan percakapan antara para muridnya. “Kembali ke kota mungkin adalah pilihan terbaik, tapi sepertinya akan mustahil, tetap di sini sampai pagi.”
Kemudian lari. Secepat yang kalian bisa, tanpa melihat ke belakang.
Beberapa jeritan kembali terdengar. Seruan perang, teriakan kemarahan. Suara akan senjata yang berbenturan dan pedang beradu.
Tiba-tiba, suara itu terdengar dari segala penjuru secara bersamaan. Dia menyadari bahwa malam musim semi ini, masih segar dengan napas para peri es, dia tidak dapat mengetahui apa yang terjadi.
Bayangan  dari bangunan setengah jadi sangatlah besar. Goblin Slayer menghela napas.
Nggak...
“...Satu.”
 Berlari secepat yang dia bisa, mengangkat tangan kanan dan melempar pedangnya.
Pedang itu terbang masuk ke dalam bayangan benda-benda yang di tumpuk di samping bangunan,  mengundang jeritan kematian. Goblin Slayer mengikuti masuk ke dalam bayangan, yang di mana dia menginjak mayat goblin yang tertusuk pedaang dengan sepatunya dan menarik senjatanya kembali.
Sebuah sekop berdarah terlepas dari tangan mayat goblin itu, berdentang seraya sekop itu terjatuh.
“Goblin. Sudah ku duga.”
Goblin bersembunyi di kegelapan malam, dua. Walaupun dia tidak dapat melihatnya dengannjelasm mata membara mereka sangatlah tampak jelas.
Kemudian terdapat perasaan lengket dan tebal yang terasa di dasar kakinya, dan aroma besi mulai mengambang.
Adalah petualang pemula, terjatuh di tanah. Dia tidak dapat mengetahui kelas, umur, atau ras petualang itu.
Petualang itu tidak memiliki wajah.
Sesuatu yang tajam telah menghancurkan kepala petualang itu hingga ke wajahnya, namun tumpukan dagingnyang membengkak di dadanya dan bentuk figur tubuhnya menandakan bahwa petualang itu adalah seorang wanita.
“GOROROROB!!”
“GROOOORORB!!”
Para goblin menerjang dirinya seraya berteriak. Tanpa kata, Goblin Slayer menyerang mereka dengan pedangnya.
Terdengar suara benturan metal dengan metal, para goblin membawa beliung. Tidak di ragukan, perkakas curian.
Tanpa rasa bimbang Goblin Slayer bergerak maju, menekan beliung itu dengan satu tangan. Namun...
“GROB!!”
Terdapat goblin lainnya. Dia juga memiliki beliung, dan dia mengayunkan beliung itu mengarah Goblin Slayer.
“Hrg...”
Beliung besi itu menggigit tembus perisai yang di angkatnya. Senjata seperti ini selalu kuat jika berhadapan dengan armor.
Goblin Slayer melipat lengan kirinya, dengan paksa menarik beliung dari tangan sang goblin. Pada saat yang sama, dia mengangkat kakinya mengarahngoblin yang berada di kanannya, memberikan tendangan mengarah selangkangan makhluk itu sekuat yang dia bisa.
“GROOOOOOROROROROBB?!?!”
“Dua.”
Terdapat perasaan menjijikkan akan sesuatu yang hancur di antara kakinya, namun dia tidak mempedulikannya, dan dia tidak mempedulikan jeritan tertahan monster itu.
Dia menginjak kepala goblin yang merintih. Di kirinya, goblin yang sekara tak memiliki beliung berusaha untuk melarikan diri; dia membuang pedangnya.
“GOROORB?!”
“Dengan ini jadi...”
Makhluk itu mungkin tidak langsung mati seketika, namun dengan tulang rusuknya yang patah, diantidak akan bisa bergerak.
Goblin Slayer meletakkan dasar sepatu botnya pada kepala goblin yang meronta dan menekan keras tanpa ampun.
Perasaan itu seperti sedang menginjak sebuah buah yang masak. Dia mengelap darah dan otak dan terus melangkah ke depan.
Dia menarik pedang dari monster yang kejang-kejang, terus menebas seraya dia bergerak, hingga masa pedang itu telah berakhir.
“...Tiga.”
Dia menarik beliung yang masih tertancap pada perisainya dengan paksa.
Terdapat tanah segar yang menempel pada mata beliung tersebut. Para goblin pasti telah menggali sebuah terowongan dari suatu tempat di sekitar lapangan latihan ini untuk melakukan penyerangan.
Mengapa mereka sangat ingin menyerang tempat ini? Untuk membunuh orang di sini?
Goblin.
Goblin.
Goblin.
Dia tidak menyukainya.
Dia sama sekali tidak menyukainnya.
Surga dan bumi berputar.
Terdapat empat mayat. Tiga goblin, satu petualang.
Seperti malam sepuluh tahun yang lalu.
Dia tidak dapat lari menjauh dari itu. Bukankah dia sudah mengetahui itu?
Dia adalah Goblin Slayer.
“...Apa ada orang di sana...?!”
Itulah di mana saat sebuah teriakan terdengar dan sebuah sosok muncul dari dalam bayangan—Seorang petualang.
Yah, masuk akal: apa lagi yang akan petualang lakukan ketika berhadapan dengan seseorang yang berdiri di balik kegelapan dan menggenggam senjata, bersama dengan bau darah yang mengambang di sekitarnya?
Butuh beberapa saat bagi sang petualang yang membawa tongkat, untuk dapat melihat apa yang ada di depannya, dan ketika matanya mulai terbiasa dengan kegelapan—
“Pak Goblin Slayer!”
“Kamu baik-baik saja?”
“Iya!” Priestess meremas tongkatnya erat dengan kedua tangan dan mengangguk senang. “Aku sedang dalam tugas penyembuhan hari ini. Aku sudah menggunakan keajaibanku, jadi aku sedang beristirahat di kamarku, tapi...”
Tatapannya melihat para goblin yang tumbang...dan kemudian mayat para petualang. Alis cantiknya mengernyit.
Priestess berlutut, tidak mempedulikan darah yang menodai jubah putihnya, dan mendekati tubuh yang masih terus kejang-kejang.
“Apa goblin?”
“Ya.” Goblin Slayer tidak melihat mengarahnya namun hanya membersihkan darah dari pedangnya. “Kamu masih punya keajaiban yang tersisa?”
“Berkat istirahat tadi, aku bisa menggunakannya tiga kali lagi, seperti biasa.”
“Apa..”—Goblin Slayer hampir tersendat dalam mengucapkan kalimatnya—“...teman kita lainnya akan datang?”
“Mungkin...”
“Bagus.”
Goblin Slayer akhirnyanberputar mengarah Priestess. Gadis itu mendengak melihat dia, mata biru gadisnitu tampak jelas di dalam cahaya bulan yang samar. Goblin Slayer baru tersadar akan betapa beningnya mata gadis itu, seperti sebuah kaca.
“Apa kamu mau ikut denganku?”
“...Iya, aku mau.” Priestess menggigit bibirnya, suaranya bergetar. Dia tidak menggosok matanya, karena dia tidak menangis. “Ayo...!”
“Ya,” Goblin Slayer mengangguk. “Kita akan membunuh semua goblin.”
*****
Tidak lama setelah itu, mereka berdua tiba pada bangunan yang akan berfungsi sebagai pusat admisnistratif lapangan berlatih ketika telah selesai di bangun.
Walaupun di maksudkan sebagai bangunan pusat, tempat ini masih belum rampung di bangun dan masih terasa seperti di abaikan. Terdapat banyak celah di dinding dan atap, dan sosok banyak petualang yang berkumpul di tempat ini lengkap dengan perlengakan mereka, dapat terlihat.
Syukurnya, sepertinya terdapat cukup banyak petualang yang berhasil mencapai tempat ini.
“Hei, lihat! Bukannya itu Goblin Slayer! Apa semua baik-baik saja?”
Orang pertama yang menyambut mereka adalah petualang yang berdiri berjaga di pintu—Spearman. Jika mengingat betapa dia selalu siap untuk terjun beraksi, cukup mengejutkan untuk melihatnya berdiri di sana.
“Ya.” Goblin Slayer berkata dengan anggukan.  Dia menjawab pertanyaan yang di tujukan kepadanya. “Orang yang aku cari semua selamat.”
“Yeah? Kebanyakan anak kecil pulang ke rumah mereka karena ini sudah larut.”
“Sebelum...gelap...benar?”
Terdapat orang lain. Seorang witch yang aduhai muncul di samping Spearman, muncul layaknya sebuah bayangan; sebuah bola cahaya samar melayang di udara di dekatnya. A will-o’-the-wisp? Tidak, itu bukanlah sebuah roh. Mungkin adalah sebuah mantra cahaya. (TL Note : will o the wisp = https://en.m.wikipedia.org/wiki/Will-o%27-the-wisp )
Tidak seorangpun yang ingin mengambil resiko menggunakan api, bahkan api sihir, di daerah sekitar. Angin musim semi malam sangatlah kuat. Jika api itu melahap sesuatu yang berada di sini, akan menjadi sebuah bencana.
“Kalian berdua selamat...” Priestess, mungkin merasa lega melihat sepasang wajah akrab, dan menghela napasnya.
Dia akhirnya berhasil menghentikan lututnya yang terus bergetar, menggenggam erat tongkatnya dengan kedua tangan dan terlihat begitu lega.
“Kami di sini juga!” suara bening itu terdengar seperti penyemangat, dan suara itu membawa senyum di wajah Priestess.
“Kalian semua di sini!”
“Ahh, anda juga berhasil mencapai kemari. Walaupun tempat ini benar tempat untuk berlatih tempur, saya tidak menyangka bahwa ini akan menjadi medan tempur sesungguhnya.”
“Aku jadi nggak makan malam gara-gara bajingan kecil itu!”
Datanglah Lizard Priest, yang tampak seperti biasanya, bersama dengan Dwarf Shaman, yang menggosok perutnya.
Priestess berlari mendekati mereka dengan sendirinya, yang kemudian High Elf Archer menahannya.
“Kamu benar nggak apa-apa? Kamu nggak terluka? Goblin itu nggak melakukan apapun kepadamu kan?”
“Nggak apa-apa. Aku baik-baik saja. Syukurlah kalian semua selamat...”
Syukurlah semua nggak terjadi seperti waktu itu.
Di kelilingi temannya, Priestess mendapati matanya berlinang. Tidak ada yang mengatakan apapun perihal itu. Siapa yang dapat menahan rasa pedih kehilangan temannya dua kali, atau bahkan tiga kali?
“...”
Goblin Slayer memperhatikan rekannya selama beberapa detik dan kemudian secara perlahan memutar helm bajanya.
Kuncinya adalah untuk selalu berpikir—tentang apa yang harus di lakukan, dan apa yang dapat di lakukan.
Bangunan ini masih belum selesai dan rapuh. Mereka tidak akan dapat berrlindung di sini dalam jangka waktu yang lama.
Apapun itu, mereka membutuhkan tenaga. Mereka bukanlah para pemula yang bersembunyi ketakutan di sudut ruangan. Pada saat itu—
“Hei. Berhasil sampai kesini dengan selamat ya, Goblin Slayer?”
Matanya bertemu dengan warrior yang kekar.
Heavy Warrior tampaknya sudah melewati beberapa pertarungan; aroma samar akan darah tercium di sekitar tubuhnya.
Kemungkinan, tentunya, adalah goblin yang dia bunuh. Apa lagi yang ada selain itu?
Goblim Slayer melirik sekitar ruangan untuk memastikan apakah ada orang lainnya yang dia kenal.
“Kamu sendiri hari ini?”
“Dia memang mungkin seorang knight, tapi dia masih seorang wanita. Ada waktunya di mana dia halangan. Para bocah sedang menemaninya di penginapan.” Ekspresi Heavy Warrior mengandung tampak yang sulit di jabarkan. Dia mengangkat pundaknya, menyebabkan armornya berderik. “Pemimpin party harus memikirkan kesehatan anggotannya.”
Merupakan sebuah keberuntungan sebenarnya. Mendapatkan halangan telah membuat mereka tinggal di rumah dan tidak terlibat dengan masalah ini.
“Tapi dengar,” Heavy Warrior berkata, menyengir layaknya hiu kelaparan. “Ketika ketiga ter—apapun di perbatasan ada di satu tempat, keadaan akan menjadi sangat menarik.” (TL Note: yang di maksud ter—apapun di perbatasan dari heavy warrior itu adalah julukan mereka.)
Terdapat, tentunya, ruang untuk kesalahan di dalam situasi ini. Kematian para petualang yang gagal dalam melakukan perisapan dasar, akan terdengar oleh setiap orang. Setiap kali seekor goblin melolong menembus gelapnya malam, para pemula saling bertukar pandang dan merinding.
Para petualang terbiasa menjadi penyerang. Benar, terkadang merekapun di sergap, dan terkadang mereka melakukan melakukan misi mengawal. Namun entah bagaimana, jauh di dalam lubuk hati mereka, mereka terus percaya bahwa mereka tidak akan pernah di buru.
Priestess bisa di bilang tidak beruntung karena telah salah besar dalam mempercayai asumsi ini. Namun juga, ini dapat di anggap srbagai keberuntungan pula.
Apapun itu, jika mereka tidak keluar dari—atau lebih tepatnya, membasmi goblin—mereka tidak akan hidup untuk melihat mentari kembali.
Semua yang ada di sini memahaminya. Spearman melirik keluar dengan ekspresi muram.
“Apa kita akan membiarkan mereka mengurung kita? Membosankan. Aku nggak mau berdiam di sini dan mati.”
“Apa...pun...itu, mungkin...akan...lebih...baik...jika...semuanya...bersiap...terlebih...dahulu...”
“Ya.” Goblin slayer menyetujui.
“Butuh pembawa pesan kalau begitu.” Heavy Warrior berkata cepat. “Keadaan sudah di ketwhui—goblin. Cepat bergabung dengan kami. Hal semacam itu. Kita harus memberitahu semuanyang masih selamat dan menyuruh mereka kemari secepat mungkin.”
“Aku aja yang pergi!” High Elf Archer berkata dengan segera, mengangkat tangannya. “Aku pelari tercepat di sini!”
“Mantap, bersiaplah.”
“Serahkan saja padaku!”
Dan dia-pun berlari layaknya angij berhembus di kegelapan malam.
Heavy Warrior memperhatikannya pergi dan kemudian melirik di sekitarannya. Goblin Slayer dan partynya. Kemudian terdapat Spearman dan Witch, dan dirinya sendiri.
Tergantung dari berapa banyak pemula yang dapat di hitung dalam pertarungan, mereka mempunyai sekitar sepuluh orang yang akan bertarung untuk mereka. Dia tidak menghitung mereka yang bersembunyi di sudut ruangan ketakutan. Heavy Warrior membuat keputusan: dia tidak akan melibatkan mereka.
“Jadi, Goblin Slayer,” dia berkata. “Kita berhadapan dengan goblin. Menurutmu siapa yang memimpin mereka?”
“Kemungkinan goblin lainnya.” Goblin Slayer berkata tanpa keraguan. “Goblin tingkat tinggi aku rasa, tapi aku ragu kalau ada lord lainnya yang terlahir. Mungkin shaman yang pintar...”
“Punya bukti?”
“Kalau ada monster lain yang memimpin goblin, para goblin akan diperlakukan sebagai pasukan buangan, bukan pasukan utama.”
Adalah benar. Tidak ada monster lainnya selain goblin yang akan berpikir untuk menggali sebuah terowongan untuk menyerang lapangan latihan.
Heavy Warrior mengangguk. “Kita harus menghadapi monster kacangan, tapi kita juga harus memastikan untuk membunuh ikan yang lebih besar.” Dia berkesimpulanl “Dan ada di mana ikan besar itu...?”
“Perkiraan saya, para iblis kecil itu memiliki lebih dari satu lubang.” Lizard Priest berkata, rahangnya terbuka. Dia menepuk ekor pada lantai dan mengacungkan salah satunjari bersisiknya. “Kemungkinan terdapat satu di setiap arah, solusi tercepat adalah untuk memasuki salah satu lubang, daan mengikutinya hingga mencapai sumber tersebut.”
“Tentang itu,” Spearman berkata, memperhatikan daerah luar seraya dia berbicara. “Dari mana kita bida tahu kalau salah satu lubang itu menuju markas mereka?”
“Aku mempunyai pertanyaan yang sama. Tapi kemungkinan besar semua lubang itu terhubung menjadi satu di dalam.”
Dalam urusan bawah tanah, tidak ada yang dapat mengalahkan seorang dwarf.
Dwarf Shaman meneguk botol anggur yang ada di pinggulnya kemudian melepaskan sebuah sendawa berbau alkohol dari mulutnya.
“Kemungkinan awalnya mereka menggali satu terowongan kemudian membuat percabangan sebelum melakukan serangan. Karena Itu cara termudah.”
“Kedengarannya bagus. Kita akan memasuki lubang terdekat. Kamu setuju Goblin Slayer?”
“Aku nggak keberatan.”
“Kalau begitu...masalah berikutnya...adalah...anak-anak...itu.” Witch memberikan gerakan penuh arti menujuk kepada para pemula. “Masih...ada...yang...lain...kan? Apa...yang...kita...lakukan...kepada...mereka?”
“Tinggalkan mereka, bawa mereka, atau suruh mereka lari menjauh.” Gumam Heavy Warrior.
Akan tetapi, Spearman menyeringai kepada Heavy Warrior dan menepuk pundaknya. “Aku rasa pedang besarmu nggak akan berguna di dalam terowongan...”
“Aw, ribut!” Pengingat akan kegagalan masa lalu Heavy Warrior telah membuatnya marahl “Tapi, aku memang lebih suka di atas tanah di banding di bawahnya. Aku akan membawa para anak kecil. Kalian tangani lubangnya.”
“Baiklah.” Spearman mengangguk.
“Nggak masalah.” Goblin Slayer menambahkan.
Para veteran telah memperhitungkan semua ini dalam sekejap mata. Walaupun dia bukanlah seorang pemulai sejati, Priestess tidak mendapatkan kesempatan untuk berbicara. Priestess tidak akan dapat berbicara juga walaupun dia menginginkannya.
Adalah berbagai macam variasi akan pendapat dan persepektif yang mengarah kepada sebuah kesimpulan. Keberatan dan dialog tidaklah sama dengan menolak apa yang di katakan oleh orang lain. Namun sekarang, persepektif—sesuatu yang berdasarkan pengalaman murni—adalah sesuatu yang sanggat kurang di miliki Priestess.
Tapi...
Apakah itu? Kegelishan yang tidak berdasar?
Walaupun dia tidak dapat menjabarkannya, ini mungkinlah suatu petunjuk dari para dewa.
Dia mengingat alarmn yang bergerumuh dalam hatinya ketika partynya memasukin gua pada petualangan pertama mereka. Rasa panik yang membesar pada dada kecilnya—perasaan bahwa dia harus melakukan sesuatu.
Hal akan berakhir dengan buruk jika dia hanya membiarkan mereka begitu saja. Dia harus melakukan sesuatu.
Tapi, apa?
“Oh.”
Suara itu terlepas dari mulutnya di saat sebuah kemungkinan melintas di benaknya.
Tatapan para petualang menembus dirinya, membuatnya sedikit tersipu.
“Ada apa?” Goblin Slayer adalah yang pertama berbicara. “Goblin?”
“...Um—um!” Suaranya bergetar. Tatapan para petualang semakin berfokus padanya. Sangatlah cukup untuk membuatnya ingin melarikan diri. “Petualang baru lainnya, mereka sudah pulang kan?”
“Yeah.” Spearman mengangguk. “Terkecuali mereka yang ingin berlati bertarung di malam hari. Sisanya pulang di saat matahari terbenam.”
“Menurutmu di mana...mereka sekarang berada?”
“Maksudmu apa?” Heavy Warrior berkata, menatap kepadanya. Tentunya dia tidak berusaha untuk menakuti gadis itu, namun keseriusan matanya, niatnya untuk tidak melewatkan satu ide atau informasi apapun itu, sangatlah mengintimidasi.
“Yah, um...”
Priestess bergeming.
Apakah pendapat yang akan di berikannya mempunyai sebuah nilai?
Bagaimana jika itu tidak lebih dari sekedar deretan kemungkinan?
Apa haknya yang membuat dirinya dapat berpikir pendapatnya mempunyai nilai—?
“Katakan saja.” Suara Goblin Slayer pelan, dan datar. Benar-benar seperti biasanya. Priestess menelan liur; dia meremas tongkatnya lebih erat untuk menyembunyikan tangannya yang gemetar.
Dia menarik dan menghela napas.
“...Para goblin... Aku rasa mereka juga mengincar para pemula yang sedang pulang.”
Apa?!” Heavy Warrior berteriak. Armornya berderik, menyebabkan Priestess bergeming dalam sesaat. Namun Priestess tidak berhenti berbicara. Dia tidak boleh berhenti.
“Apa nggak aneh? Aku tahu goblin itu makhluk pengecut yang suka berbuat onar.”
Karena seseorang sudah mengajariku itu.
Mengajarinya untuk berpikir seperti goblin. Bagaimana cara mereka hidup. Apa yang mereka takuti.
“Kalau aku jadi goblin, tempat terakhir yang akan ku serang adalah bangunan penuh dengan petualang kuat.”
Dan juga, akan bagaimana mereka menggunakan pasukan besar sebagai pengalih...
Itu adalah sesuatu yang telah pria itu katakan ketika dia bertarung dengan goblin lord—sudah berapa lama sejak saat itu?
Priestess masih belajar. Dia masih mempunyai pengalaman untuk di raih. Namun dia memang mempunyai beberapa pengalaman.
Hanya saja dirinya tidak menyadari akan hal itu.
“...Aku yakin dia benar,” Goblin Slayer berkata, menggerutu kecil. “Aku melupakan itu.”
“Dan aku...aku punya ide.”
Sekali Priestess mulai berbicaranya, sisanya sangatlah mudah.
Namun bukan berarti menyatakan idenya dengan jelas dan lantang itu mudah, melainkan uraian kata yang sudah siap di gunakan dirinya, dan dia tidak ragu.
“Kalau begitu—aku akan menjelaskannya.”
Dengan semua orang yang berfokus kepadanya, Priestess menjelaskan rencanannya.
“Teman petualang kita termasuk, um, dua warrior, cleric, wizard...”
Dia menghitung dengan jarinya. Rookie Warrior, Rhea Fighter. Apprentice Cleric dan Wizard Boy.
“Aku rasa dengan adanya aku, sebagai tambahan cleric, bisa mengubah arus pertempuran. Jadi...”
Aku ingin menolong mereka. Aku ingin pergi.
Kejujuran ucapan itu membuat petualang tingkat silver saling bertukar pandang.
“...Waktu...sangatlah...sempit...kan?” Witch melirik keluar dan memberikan sebuah tawaan menggoda seraya berkata.
“Aku sama sekali nggak tahu apa kemampuan gadis ini. Jadi aku nggak ikutan.” Spearman menambahkan dengan cepat.
“...Masuk akal.” Heavy Warrior berkata. Kemudian menatap Priestess, memperhatikan figur mungilnya dari atas sampai ke bawah. “Selalu ada kemungkinan kalau mereka ingin memisahkan kita dan mengalahkan kita. Apa kamu bisa menangani itu?”
“Saya sendiri, percaya akan kemampuan gadis ini,” Lizard Priest berkata dengan anggukan dan putaran matanya. Dia berkedip kepada Priestess. “Kita harus menyerang jantung musuh, namun itu bukan berarti kita harus mengabaikan petualang muda kita di saat kita melakukannya. Saya rasa ini adalah rencana yang baik.”
“Sempurna untuk tes promosi juga menurutku.” Dwarf Shaman tertawa kecil, membelai jenggot putih panjangnya. “Kamu setuju Beardcutter? Suatu saat kita harus mendorongnya keluar dari sangkar kan?”
Pak Goblin Slayer...
Priestess menatap memohon pada pria dengan armor kotor itu.
Sekarang setelah dia memikirkannya kembali, Priestess menyadari bahwa ini akan berkemungkinan untuk menjadi petualang pertamanya tanpa pria itu semenjak petualangan pertamanya di waktu dulu.
Dapatkah dia melakukannya? Sendiri?
Priestess tidaklah sendirian, namun dia harus mengandalkam kekuatannya sendiri.
Dapatkah dia bertarung melawan goblin.
Semua orang mengatakan padanya bahwa mereka percaya dia dapat melakukannya. Bahkan High Elf Archer, yang sedang tidak berada di sini, tentunya akan menyetujui.
Hal ini membuat dirinya bahagia; apa lagi yang dia harapkan selain ini?
Akan tetapi...
Kalau orang ini bilang jangan...
Maka dia harus menerimanya. Demi kebaikan semua orang, Priestess yakin.
Namun apa yang pria itu katakan adalah bukan yang dia takutkan.
“Kamu bisa?”
“Aku...”
Pertanyaannya begitu pendek, begitu sederhana. Seperti biasanya.
Hal itu membuatnya untuk dapat membuktikan kepercayaan yang telah ddi berikannya kepadanya. Dia harus membuktikannya.
Priestess menelan setengah ucapannya yang telah terucap, menggigit bibirnya, dan kemudian menjawab dengan hampir teriak.
“....Aku bisa!”
Goblin Slayer menatapnya dengan seksama. Tatapannya tersembunyi di balik helmnya; Priestess tidak dapat melihat ekspresi pria itu, tetapi...
“Begitu?” Dia mengangguk pelan kemudian menyatakan keputusannya. “Kalau begitu, sudah di putuskan.”
“Hraah!!”
“GROBR?!”
Pada jalan sempit di dalam guw, ujung tombak mithril menembus tenggorokan goblin. Senjata panjang, berbentuk batang pada tangan Spearman menyerang bersamaan dengan suara sihir, bunga kematian bermekaran di sekitar dirinya.
Satu tusukan, satu kematian. Emat tusukan, empat kematian.
Para goblin menggunakan sebuah kayu jabuk sebagai perisai, namun kayu tersebut tidak begitu berguna.
Hanya seorang pemula yang akan berpikir bahwa sebuah tombak tidak dapat di gunakan pada tempat sempit seperti ini; bahkan, Spearman membuat senjata itu tampak seperti dapat melakukan apapun.
Serangan bertubi-tubi yang di lakukannya sangatlah cukup untuk mengatur apa yang ada di depannya.
Tombak perkasa itu bergerak secepat topan, mewarnai dindingnsekitar dengan darah dan otak goblin.
Jalanan menurun yang mereka lalui sama sekalintidak mengganggu pijakan para petualang berpengalaman ini.
“Jangan pikir kalian bida melewatiku!”
“Di dalam! Aku lihat rman—nggak tiga!”
Seraya Spearman memperlihatkan pose yang mengagumkan, menghalampara monster, High Elf Archer berdiri di sampingnya dan menembakkan rentetan panah. Tiga panah terbang secepat sihir, menembus bola mata ketiga goblin yang bersemayam di dalak gua.
“GORRB?!”
“GROB! GROORB!!”
Bukan enam, melainkan tiga yang tersisa. Sebuah perhitungan sederhana. Jika kamu tidak mempunyai kepercayaan diri bahwa kamu dapat mengenai mereka, maka kamu tidak dapat menembak.
“Satu...!”
Itulah di mana Goblin Slayer tampil.
Pedangnya sudah terbang dari tangannya seraya dia menyerang, Membenam pada tenggorokan goblin.
“GRRRO?!”
Sang monster mencakar tenggorokannya seolah dia sedang tenggelam, namun Goblin Slayer menghiraukannya, mengambil sebuah belati dari salah satu mayat dengan sebuah panah yang menembus matanya. Kemudian dia menyayat tenggorokan mosnter yang masih dalam keadaan kaget setelah melihat ke empat rekannya di bunuh dalam sekejap.
Darah menciprat bersiul dari makhluk itu; Goblin Slayer memukulnya ke samping dengan perisainya dan melempar belatinya.
Lemparan itu mungkin sedikit terlalu kuat; belati itu meleset dari sasaran dan tertancap pada pundak goblin itu.
“GORB!!”
“Tiga.”
Goblin Slayer, dengan acuh, mengambil sebuah kapak kecil dari goblin yang tenggelam dalam lautan darah. Kemudian dia menanamkan kapak itu pada tengkorak goblin terakhir dan pertemuan acak-pun telah berakhir.
Sebuah party petualang berpengalaman hanya membutuhkan satu putaran untuk membunuh sepuluh goblin.
Spearman menyandang senjatanya—dia bahkan tidak bernapas berat—dan melihat kepada Goblin Slayer dengan lelah. “Hei, kamu,” dia berkata. “Kamu itu harus berhenti melempar semua senjatamu. Sayang banget!”
“Senjataku itu sekali pakai.”
“Coba kamu lihat-lihat. Kamu tahu kan mereka menjual pisau lempar sihir yang akan kembali padamu setelah kamu melemparnya?”
“Para goblin juga dapat menggunakan senjata itu juga.” Goblin Slayer berkata. “Bagaimana kalau senjata itu tercuri?”
“Kita nggak punya waktu buat ini!” High Elf Archer berteriak. “Bisa nggak kalian jangan ribut dan bantu aku kumpulkan semua panahku?” Spearman terlihat jengkel, dan Goblin Slayer mencari senjata di antara para mayat.
Mereka bertiga terlihat cukup santai, namun mereka tidak membuat satupun gerakan yang tidak di perlukan. Mereka memeriksa daerah sekitar tanpa henti, memeriksa senjata mereka, mempersiapkan apa yang akan mereka butuhkan berikutnya.
Goblin Slayer menggerutu pelan. Para goblin tidak merawat senjata mereka; semua yang mereka miliki tidak dapat di perbaiki. Tidak ada senjata yang bagus di sini.
“Puji Tuhan,” Lizard Priest berkata dengan anggukan ketika dia melihat pemandangan di depannya. “Betapa perasaan yang sungguh melegakan jika seseorang mempunyai dua penjaga baris depan.”
“Kamu sendiri juga suka berdiri di garis depan.”
“Benar...” Witch bergumam. “Satu warrior...untuk...masing-masing...kan?”
Mereka telah meninggalkan para pemula di tangan Heavy Warrior pada lapangan latihan dan mereka sedang menuju jalan bawah tanah melalui salah satu lubang.
Tidak seperti fomasi lima dan dua biasanya, kali ini mereka membentuk satu grup yang terdiri dari enam orang. Itu artinya mereka membutuhkan formasi yang berbeda dari biasanya juga. Goblin Slayer dan Spearman berdiri di depan dengan High Elf Archer di belakang mereka, sedangkan pembaca mantra berdiri paling belakang.
Yang mana yang lebih penting? Panah High Elf Archer atau mantra Lizard Priest? Jawabannya sangatlah jelas.
“Aku sudah mengumpulkannya.” Goblin Slayer berkata, memberikan panahnya.
High Elf Archer melihat panahnya dan menjentikkan lidahnya. “Oh, yang— mata panahnya nggak ada!” Dia memasukkannya kembali dengan marah ke dalam tempat panahnya. Tidak ada yang bisa di lakukan lagi tentang hal ini. “Bagaimana denganmu Orcbolg? Dapat senjata bagus?”
“Pemulung nggak bisa pilih-pilih.”
“Kenapa kamu membiarkan gadis itu pergi tanpaku?”
“Kamu marah?”
“Nggak juga,” High Elf berkata, memalingkan pandangannya. “Tapi apa kamu nggak khawatir dengannya?”
“Kalau rasa khawatirku dapat membantu keadaan menjadi lebih baik untuk dia, maka aku akan melakukannya.”
Ihhhh...
Namun tidak lama setelah High Elf Archer menghela, telinganya mengepak mendengar sesuatu.
“Mereka datang.”
“Arah dan jumlah?” Goblin Slayer bertanya dengan segera, mengeluarkan sebuah kantung kulit kecil dari tas perlatannya.
Adalah dompet miliknya: koin di dalamnya berdenting. Dompetnya memiliki pola bunga dan tampak sudah cukup tua.  Dia mengikat mulut kantung itu dengan kuat, kantung itu menimbulkan suara tajam di saat dia melakukannya.
“Aku nggak tahu... suaranya bergema di segala arah...!”
“Yah, kita nggak punya waktu untuk membicarakan ini!” Spearman berkata, mengayunkan senjatanya untuk membersihkan kotoran yang menempel. “Apapun itu, kita nggak bisa membiarkan mereka sampai ke permukaan.”
“Nggak banyak pilihan. Mau aku yang melakukannya?”
Sebagai petualang yang berpengalaman, mereka dengan cepat merespon situasi. Bahkan seraya Dwarf Shaman berbicaram dia sudah menggapai tas berisi katalis miliknya, mempersiapkan mantranya. Witch dengan tenang mengangkat tongkatnya dan mulai memfokuskan diri untuk melantunkan mantra. Lizard Priest menepuk kedua tangannya.
“Puji Tuhan, membasmi goblin sungguh melibatkan dua hal terburuk akan merepotkan dan tidak terduga, benar?” dia berkata.
“Kamu...cukup...benar...” Witch berkata dengan tawaan kecil, dan bibir indahnya mulai membisikkan kalimat akan kekuatan sejati. “Sagitta...sinus...offero. berkah lengkungan pada sebuah panah!”
Mantra seorang wizard yang dapat mengubah tatanan logika dunia.
Sebuah aliran tak kasat mata melindungi party mereka, High Elf Archer dan Spearman berteriak.
“Mereka datang! Dari kedua dinding!”
“Mundur!”
Hujan batu dan tanah datang dari kedua sisi petualang. Pada hampir bersamaan, mereka semua melompat ke belakang.
“GRORB!! GROOROOBB!!”
“GROOBRR!”
Apakah ini adalah arti sesungguhnya dari sebuah kata gerombolan?
Petualang biasa mungkin tidak akan pernah menduga untuk dapat melihat sepuluh atau dua puluh goblin di dalam kehidupannya.
Goblin yang mereka temui berjumlah lebih dari itu, jauh melebihi itu, sekarang membajiri mereka. Para goblin melolong layaknya binatang, dan sangatlah mudah untuk menerka apa arti teriakan mereka.
Bunuh mereka. Curi dari mereka. Balas dendam. Balaskan dendam kematian saudara kita. Mati petualang, mati!
Mereka akan membantai para pria dengan segera. Sedangkan untuk para wanita, mereka akan merenggut setiap tetes dari harga diri mereka sebelum membunuh mereka.
Mereka akan menculik wanita dengan tongkat itu, mengikat kakinya, dan membuat dirinya mengandung anak goblin hingga dia mati dan tidak berguna lagi. Mereka mengetahui bahwa daging elf sangatlah empuk dan dapat bertahan lama. Mereka akan memotong lengan dan kaki elf itu sedikit demi sedikit dan memakannya.
Para wanita akan menangis; mereka akan memohon amounan; namun para goblin akan menghiraukan mereka.
Bunuh mereka seperti mereka membunuh kita!
“Minum tanpa henti, bernyanyi dengan lantang, biarkan para roh menuntunmu! Bernyanyi dengan lantang, melangkah dengan cepat, dan pada saat kau tertidur mereka akan melihatmu. Semoga sebotol fire wine menyambutmu dalam mimpi!”
Tidak di ragukan nyawa beberapa iblis kecil itu habis tanpa pernah terbangun dari mimpi itu. Tertangkap kabut putih dari anggur yang di cipratkan Dwarf Shaman , mereka mendapatkan diri mereka terpengaruh mantra Stupor.
Tersandung pada barisan depan mereka yang sekarang tertidur, para goblin mulai berjatuhan layaknya domino. Beberapa dari mereka terinjak hingga mati seraya goblin di belakang mereka memaksa untuk maju ke depan.
Terdengar jeritan dan teriakan. Merupakan sebuah malapetaka.
“Bodoh.” Tanpa keraguan, Goblin Slayer memutar kantungnya, menyerang monster terdekat. Kecepatan dan kekuatan sentrifugal dari koin di dalam kantung kulit kecil itu sangatlah cukup untuk membelah tengorak goblin.
Demikianlah uang yang telah secara tekun di kumpulkan semua penduduk desa untuk membayar petualang agar mereka dapat menyelesaikan permasalahan goblin yang mereka alami, sekarang telah di gunakan untuk membunuh goblin secara harfiah. Keadilan puitis tertinggi.
“GRB?!”
“GRORB?!”
Satu monster mendapati bola matanya pecah layaknya sebuah gelembung, dan masuk ke dalam otaknya, yang terus berlanjut hancur di dalam kepalanya.
Menghentikan satu atau dua goblin cukuplah mudah.
Goblin Slayer menendang goblin pertama ke damping, mengambil pedang makhluk itu dalam satu gerakan.
“Hrgh...!”
Goblin lain memanfaatkan kesempatan ini untuk menerjang mengarahnya dengan belati beracun. Goblin Slayer menyambut makhluk itu dengan perisainya, menyebabkan makhluk itu terbang.
Panah semakin banyak menghujani, namun seraya para goblin semakin terdorong oleh kekuatan tak terlihat, Goblin Slayer menghiraukannya, mereka bukanlah urusan dia.
“Aku mengirim beberapa dari mereka ke arahmu!”
“Aw, jangan bikin kerjaanku tambah banyak!”
Walaupun mengeluh, Spearman menampilkan teknik yang luar biasa. Dalam satu ayunan, dia menusuk beberapa makhluk yang berada di depannya, dan seraya dia menarik senjatanya kembali, dia menghantamkan pantat tombak ke belakangnya. Ujung belakang tombak itu menghantam tengkorak goblin yang terlempar karena perisai, menghancurkan kepalanya dan membunuhnya.
“Kita nggak akan membiarkan satu goblinpun melewati kita!”
“Itu memang tujuanku.”
Punggung kedua warrior itu bertemu, para goblin membanjiri mereka layaknya sebuah ombak hitam.
Jika di lihat dari ketangguhan dan kekuatan, Spearman jelas jauh di atas Goblin Slayer. Dia membasmi goblin layaknya sebuah gandum dengan setiap ayunan tombaknya.
Goblin Slayer, tentunya, mencoba untuk memastikan agar Spearman tidak di serang dari belakang. Dia menghabisi setiap monster yang terlewatkan oleh Spearman, menghadapi apa yang berada di depannya, dan melemparkan kepada Spearman apa yang tidak dapat di habisi sendiri.
Mereka sama sekali tidak berpikir tentang pertahanan, mereka hanya menggunakan Deflect Missile untuk menghalau batu yang terbang ke arah mereka.
Mereka hanya berfokus pada senjatanya masing-masing.
Namun tentu sajam bahkan bagi Goblin Slayer, semua tidak akan berjalan semua itu begitu saja.
“Shaman!”
Teriakan High Elf Archer terdengar oleh barisan depan mereka. Di belakang barisan formasi goblin berdiri satu monster dengan tongkat, melantunkan sebuah mantra.
Cahaya bersinar dari tongkat yang di angkatnya dan kemudian terbang.
Adalah sebuah mantra menyerang yang paling sederhana, Magic Arrow.
Mantra ini mungkin tidak begitu kuat, namun jika terkena, dalam beberapa kasus, dapat memutar balik arah pertempuran. Terlebih, karena ini adalah sebuah sihir, Deflect Missile tidak dapat menghalaunya.
Cukup cerdas, bagi seekor goblin. Namun Spearman berteriak dengan lantang. “Halau!”
Magna...remora,,,restinguitur! Akhir dari sebuah sihir!”
Witch tersenyum dan mekantunkan sebuah mantra yang hampir terdengar seperti lagu. Adalah sebuah Counterspell, dan mantra ini akan melawan kata kekuatan sejati yang telah di ucapkan shaman itu.
Di kala sihir itu bertemu dengan kata Witch, kebanyakan panah sihir menghilang, hanya meninggalkan beberapa dari panah sihir itu mencapai Spearman dan Goblin Slayer.
“Bisakah...kalian...tidak...menambah...pekerjaanku...?”
“Itu memang pekerjaanmu!”
Perdebatan demi perdebatan. Spearman maju menuju pusat para goblin bahkan seraya darah menetes dari luka di pipinya; tampaknya dia sama sekali tidak mempedulikan hal itu.
“Mereka mau panah? Aku akan berikan mereka panah,” High Elf Archer menggerutu, membiarkan busur bertali sutra laba-laba yang berbicara.
Salah satu panahnya terbang melintasi debu dan tebalnya udara, menancap pada leher shaman seperti yang dia harapkan.
“Tuh!”
“Ada luka?” Pertanyaan itu datang dari Lizard Priest, yang tampak bosan di barisan belakang; menepuk ekornya di tanah dengan tidak sabar. Tanpa Priestess di sana, dia adalah satu-satunya cleric di party ini, satu-satunya yang mampu menggunakan keajaiban penyembuhan. Dia tampak merasa tidak puas karena harus berada pada garis belakang dan menyimpan mantranya.
“Nggak masalah,” Goblin Slayer menjawab singkat, memeriksa dirinya sendiri. Terdapat sebuah tempat di mana armor kulit dan baju besi usangnya telah tertembus; darah mengalir di sini dan di sana, dan dia merasakan sakit.
Dengan kata lain, aku masih hidup.
Dia terus mengayunkan pedangnya melawan goblin yang berada di depannya seraya merogoh kantung peralatannya, menggunakan ikatan tali untuk membimbingnya. Dia menarik  sebuah potion dan meneguknya kemudian melempar botol kosong itu dengan tangan kiri.
“GROORB!!”
“Mati.”
Sang goblin terhuyung ke belakang di karenakan hantaman tiba-tiba itu; Goblin Slayer menyayat tenggorokannya tanpa belas kasih. Darah membuih pada leher makhluk itu; Goblin Slayer menendangnya menjauh dan menarik pedangnya dari mayat itu.
“Kamu masih punya mantra?” Dia bertanya, menenangkan pernapasannya.
“Syukurnya...iya.” Witch membalas dengan senyuman.
“Kami juga.” Dwarf Shaman berkata.
“Haruskah saya menciptakan seekor Dragontooth Warrior?”
“Jangan.” Goblin Slayer menjawab pertanyaan temannya, menggelengkan kepalanya penuh arti. Dia mendengus halus, mendengak menatap langit-langit terowongan yang telah di gali goblin.
“Orcbolg,” High Elf Archer berkata dengan nada lemas. “Kamu berpikir sesuatu yang nggak menyenangkan lagi kan?”
“Ya,” Goblin Slayer mengangguk dengan anggukan. “Nggak menyenangkan untuk goblin.”
*****
Para petualang pada bangunan kantor setengah jadi mulai bersantai ketika suara pertarungan semakin terdengar menjauh.
“...Menurutmu mereka pergi ke sana?”
“Kayaknya.”
Mungkin kita akan di selamatkan. Ibu, ayah, mungkin kami akan selamat.
Seraya mereka saling bertukar pandang dan berbisik, setiap kata yang terucap dari mereka adalah rasa takut atau sebuah keluhan.
Ini nggak akan membantu sama sekali.
Heavy Warrior menghela seraya dia berdiri di pintu masuk, memandang keluar. Dia sedang gundah, dan dia membenci hal itu.
Bukanlah karena dia tidak mengerti apa yang di rasakan para pemula.
Setiap orang, ketika mereka gagal, ketika mereka menghadapi sesuatu yang sulit ataupun menyakitkan, mereka akan mendapati dirinya merasa takut. Dan mungkin mereka akan kaku tidak bergerak di karenakan frustasi.
Terlebih, semua anak kecil ini tidak ingin di bunuh oleh goblin. Tak seorangpun yang menginginkannya.
Namun apalah arti seorang petualang yang tidak pernah berpetualang? Tidak peduli walaupun mereka merasa takut, seoraang petualang sejati tidak akan pernah menyerah hingga mereka mati.
Bahkan jika lemparan dadu para dewa berikutnya mungkin akan sangat kritikal.
Di saat itu...
Fwump.
Terdengar suara langkah kaki berat, yang menyebabkan tanah sedikit bergetar.
Para pemula merinding, menelan liurnya dengan gugup; mereka menutup mata dan mulut dan berhenti berbicara.
Sebuah bayangan besar.
Tingginya melebihi pentungan raksasa yang berada di tangannya.
Heavy Warrior tidak perlu rwpot-repot membongkar ingatan pengetahuan monster miliknya untuk mengetahui apa yang ada di depannya.
“Kita dapat pengunjung besar dan jelek. Hob.”
Hob. Seejor hobgoblin.
Goblin tingkat tinggi yang terkadang muncul. Mereka tidak memiliki kecerdasan dan mereka juga bukan petarung yang cukup unggul, namun mereka memiliki tenaga yang tak terbatas. Di dalam banyak sarang, mereka berperan sebagai pemimpin, atau terkadang di pekerjakan sebagai penjaga.
“Hey bocah-bocah. Mau lihat sesuatu yang bagus?”
Heavy Warrior meludah pada telapak tangannya, menyebarkannya pada gagang pedang besarnya, kemudian menggenggam pedangnya dengan erat. “Aku nggak tahu apa yang di ajari mereka kepada kalian, tapi aku punya satu pelajaran untuk kalian.”
Kemudian dengan santainya dia berjalan keluar pintu.
“HHOOOORRBB!!”
Satu, dua, tiga langkah. Dia berjalan lurus menuju goblin raksasa itu.
Adalah sekedar seekor goblin. Namun tetap saja dia seekor goblin.
Goblin ini tidaklah sebanding dengan goblin champion yang pernah dia hadapi sebelumnya.
Tetap saja, serangan telak dari otot kekar itu tentunya tidak akan menyenangkan bagi Heavy Warrior. Tergantung keadaannya, serangan itu dapat menjadi fatal.
“Nggak peduli makhluk sebesar apapun yang kamu hadapi, sekali kamu mempunyai informasi yang cukup tentangnya—“
Siapa yang akan percaya bahwa senjata besar itu dapat di ayunkan berputar dengan begitu mudahnya?
Dia melangkah ke depan.
Dia membiarkan momentum dari tubuhnya menggiring dirinya. Jika kamu cukup kuat, itu bukanlah hal yang mustahil.
Tubuhnya mulai menekuk.
Pedang baja dua tangan ini jauh lebih mahal di banding perlengkapannya yang lain. Dan Heavy Warrior—
“—maka, kalian akan dapat membunuh segalanya—bahkan dewa!”
--mengayunkan pedangnya.
*****
Goblin selalu memikirkan kejahatan di dalam otaknya.
Dongeng yang di ceritakan selalu seperti itu, namun kemungkinan untuk dapat melihatnya secara langsung sangatlah jarang.
“GROB! GROORB!!”
“GORROOR!!”
Bagaimana ini bida terjadi?
Kepalanya berpikir seraya armor kulit baru yang masih kaku miliknya, mulai tertekan dan retak. Seharusnya dia mempunyai sebuah pedang di tangannya, namun tampaknya dia telah menjatuhkannya seraya dia berlari. Setiap kali dia melangkah, sarung pedang itu mengenai kakinya, mengingatkannya bahwa kepalanya sama kosong seperti sarung pedangnya.
Kegelapan malam tampak penuh dengan tawaan para goblin.
Bayangan pepohonan di dalam siraman cahaya bulan tampak begitu menyeramkan, dan sekumpulan pasang mata membara layaknya bintang di kegelapan.
Adalah sesuatu yang kebanyakan terlihat di dalam mimpi buruk. Mungkin para pemula—para pemula yang bahkan tidak sempat menyelesaikan latihan mereka—tidak pernah memimpikannya.
Tidak satupun dari mereka.
Kebanyakan dari mereka, ketika membayangkan dirinya di dalam keadaan genting, selalu berkhayal bahwa mereka dapat keluar dari situasi itu dengan gagah berani. Jauh dalam lubuk gua, di kelilingi goblin? Mereka akan mencari cara cerdas untuk dapat memutar arah pertarungan.
Namun mereka tidak pernah membayangkan bahwa mereka akan di kelilingi goblin pada sebuah lahan terbuka di malam hari.
“...Si-sialan!”
“Lewat sini, cepat!” seseorang berteriak dan merekapun bergegas memasukin hutan.
Mereka berpikir bahwa ini akan dapat memberikan mereka keuntungan di bandingkan jika mereka harus terperangkap di lapangan.
Pada awalnya, mereka mungkin berjumlah lima belas. Mereka sedang berjalan di jalan setelah latihan, berjalan kembali menuju kota.
Akan ada latihan lagi keesokkan harinya. Namun mereka ingin ingin pergi berpetualang secepatnya. Dan itulah yang selalu mereka perbincangkan.
Dan apa hasilnya?
Sebuah jeritan terdengar dari ekor grup mereka. Mereka berputar untuk melihat seorang gadis. Di kerubungi begitu banyak sosok gelap.
“Tidaaaak! Tidak, hentikan, hen—ahh! Gghh... Hrrgh...?!”
Mereka masih dapat mendengar jeritannya seraya nyawanya berakhir, suara gadis itu terdengar begitu menyayat hati seraya dia menangis dan memanggil ibunya.
Ketika sia berusaha untuk menyelamatkannya dan berhasil menarik gadis itu menjauh, semua sudah terlambat. Gadis itu penuh dengan luka sayatan dan robek pada bajunya, tulang muncuat keluar dan merobek daging. Tentu saja dia tidak hidup. Bagaimana mungkin dia dapat hidup?
...setelah itu, semuanya menjadi kekacauan.
“Goblin!”
Beberapa orang berteriak dan berusaha melarikan diri; yang lain berusaha untuk menghadapi para monster, namun satu menghilang, dan kemudian satu terpisah...
Sekarang hanya lima atau enam dari mereka yang tersisa.
“Aku kira goblin selalu menetap di dalam guanya...!”
“Sekarang mereka ada di sini, jadi berhenti mengeluh!” sang warrior berlari mengikuti, melepas helmnya yang terasa semakin panas. “Kita harus bisa kembali ke—“
Dia tidak sempat menyelesaikan ucapannya.
Sebuah batu menimpa kepalanya dari atas, menghancurkan tengkoraknya.
“Ap-apa—?!”
Di atas kita?!
Petualang lain berusaha untuk membersihkan ceceran otak yang menciprat di kepala mereka kemudian mendengak melihat pepohonan, di mana mereka melihat: mata bersinar para goblin.
“Aku nggak pernah dengar mereka bisa panjat pohon!!” Dia dapat menganggap dirinya beruntung karena dia tidak langsung menangis tepat pada saat itj.
Dia masihlah lima belas tahun. Bocah terkuat pada desanya. Dengan hanya bermodalkan itu telah cukup membuatnya yakin untuk meninggalkan desanya.
Dia mengetahui cara mengayunkan sebuah pedang. Pengintaian sederhana, bagaimana cara mendirikan tenda—Dan lain-lain. Dia selalu mengira dirinya “Piawai.” Sudah begitu terlambat baginya untuk menyadari betapa keliru dirinya.
Kelima petualang yang masih hidup berkumpul bersama, mencoba menjaga lutut mereka untuk berhenti bergetar.
Mereka menggenggam senjata mereka dengan gemetaran, berusaha melnatunkan mantra dengan lidah mereka yang terbelit, mencoba berdoa di tengah rasa takut mereka yang sangat.
Raungan tawa para goblin kembali terdengar.
“GOORORB!!”
“GROORB! GRORRB!!”
Mereka menunjuk para petualang yang ketakutan, mendekat dan terkekeh dengan begitu lantang.
Jika para petualang dapat memahami bahasa para goblin, rasa takut mereka akan semakin meningkat.
Dua poin untuk lengan. Tiga poin untuk kaki. Sepuluh untuk kepala. Dan lima untuk badan.
Tidak ada bonus untuk pria, tetapi sepuluhnpoin tambahan untuk para wanita.
Cara terkeji untuk menentukan siapa yang akan mereka incar.
Dan semua ini di tambah dengan fakta bahwa ketapel dan tombak membuat mustahil untuk mengatahui siapa yang membunuh siapa, dan tidak di ragukan bahwa mereka akan berdebat tentang siapa yang memiliki poin terbanyak.
Para goblin memikirkan permainan menyenangkan yang mereka ciptakan ini. Mereka mengusung senjata mereka dengan riang.
Apakah ini akhirnya?
Gigi para petualang bergetar seraya mereka memperhatikan para goblin maju.
Di antara ujung pedang berkarat, mata tombak, batu kasar, tidak tampak sedikitpun belas kasih—
“O Ibunda Bumi yang maha pengasih, berkahilah cahaya sucimu kepada kami yang tersesat di kegelapan!”
Itulah di mana ketika sebuah keajaiban terjadi.
Sebuah kilauan meledak layaknya matahari, menyerang para goblin dengan kekuatannya.
“GROOROROB?!”
“GORRRB?!”
Para goblin menjerit dan terhuyung ke belakang; kemudian di antara mereka muncul sebuah sosok, dan satu sosok lainnya.
“Terima—ini!!
“Yaaaaahhhh!!”
Rhea Fighter menggenggam pedang tangan satu, sementara Rookie Warrior mengayunkan pentungannya ke sini dan ke sana.
Kekuatan mereka tidak seberapa namun efektif. Hajar, hajar, hajar.
Mereka seperti sebuah tornado yang turun memporak-porandakan para goblin.
“GORB?!”
“GOROORB?!”
Mereka mungkin tidak dapat membelah goblin menjadi dua, namun jika kamu menebas seekor makhluk dari pundak turun hingga badan, mematahkan tulang dan daging bersamanya, maka musuhmu akan mati.
Mereka tidak membutuhkan serangan kritikal untuk melawan goblin.
“E-ergh, aku masih belum terbiasa dengan perasaan ini!” Rhea Fighter mengeluh seraya dia menarik pedang dari salah satu monster.
“Mereka masih datang!” Rookie Warrior berteriak, menendang mayat goblin ke samping.
Dia sedang meniru Goblin Slayer. Jika pria itu bertarung pertarungan ini, dia akan menjatuhkan pedangnya dan mencuri senjata lain.
Tetapi juga, Spearman tentu akan bertindak lebih rapi, mengincar titik vital dan menusuk mereka dengan cepat sebelum bergerak menuju sasaran berikutnya.
Dan Heavy Warrior? Dia akan menyapu semua goblin dengan satu ayunan besar pedang besarnya.
Tapi kurasa aku nggak bisa melakukan satupun dari itu semua, jadi...!”
Memikirkan sebuah puncak yang belum dapat di daki, mengobarkan semangat bertarungnya.
“Baiklah kalian monster, maju...!”
“Oh, yang—! Kalau kamu sampai kehilangan senjata lagi, kamu nggak akan dapat sangu sampai kita beli senjata baru!” Apprentice Priestess menerikai Rookie Warrior, kemudian dia bergegas mendekati para petualang, memegang rumbai rok jubahnya agar dia dapat berlari. “Ada luka? Ngomong! Sini, aku akan merawatmu! Keajaiban hanya untuk luka yang parah saja!”
Beberapa petualang datang mendekatinya. Dia tidak melihat seseorang yang perlu membutuhkan perawatan darurat.  Ataupun seseorang yang terlihat seperti teracuni.
Tetap saja, ini bukanlah saat yang tepat untuk berkata Syukurlah kita sampai tepat waktu!
Sepuluh petualang muda terbunuh dengan begitu keji di jalanan.
Apprentice Cleric menggigit bibirnya dan mengeluarkan beberapa perban dari dalam tasnya. Diz tidak dapat mengunakan Minor Heal kepada semua orang.
“Ka-kalian...”
“Kami datang untuk—untuk menolong kalian!”
Suara itu datang dari Priestess yang mengusung tongkatnya, sumber dari Holy Light yang bersinar. Wajah kurusnya berkilau karena keringat, dan dia menatap pada gerombolan goblin; adalah kepercayaannya yang tidak pernah goyah yang membuat keajaibannya terus berlanjut.
“Semuanya berkumpul!” Priestess memerintahkan. “Kita akan keluar menuju lapangan! Dalam ruang tertutup seperti ini, kita akan jadi santapan goblin!”
“Tapi... Tapi kalau mereka mengepung kita di sana...”
“Aku akan melindungi kita dengan Protection... pergi saja!” Priestess berteriak, dengan tenang memikirkan bagaimana cara untuk menggunakan keajaibannya.
Kemungkinan terbesar, dia harus menggunakan dua keajaiban secara sekaligus untuk menghalau serangan goblin seraya mereka mundur. Dia masih dapat menggunakan tiga keajaiban per hari, jadi akan sangat percuma jika dia menyia-nyiakan satu pun keajaibannya.
Nggak ada Minor Heal hari ini juga ya?
Dia merasa pilu memikirkan itu, namun ini adalah cara terbaik bagi dirinya untuk bertarung. Jika dia tetap teguh pada kepercayaan itu, Ibunda Bumi yang maha pengasih akan selalu memberikan cahayanya.
“___”
Di antara para petualang yang datang untuk melakukan penyelamatan adalah seorang bocah dengan rambut merah, yang sama sekali tidak mengatakan apapun.
Riuhnya pertarungan. Teriakan dari kedua petarung baris depan mereka. Jeritan para goblin. Perlindungan dari dua cleric. Respon dari para petualang.
Sang bocah menyerap semua ini, mulutnya tertutup rapat, meremas tongkatnya dengan begitu keras hingga jarinya menjadi putih.
Mengapa? Karena di dalam party lima orang ini, adalah dirinya yang memiliki kekuatan tempud terbesar.
Aku nggak bisa menggunakan mantraku sembarangan.
Dia tidak akan membuat kesalahan sama seperti sebelumnya.
Terdapat begitu banyak goblin. Dan hanya terdapat tiga petualang termasuk dirinya yang dapat bertarung dengan benar, akan tetapi musuh mereka berjumlah lebih dari selusin.
Dapatkah dia mengalahkan mereka semua dengan hanya satu Fireball? Tidak, mustahil. Musuh mereka terlalu tersebar untuk bisa di bunuh dalam satu ledakan.
Namun menggunakan mantranya untuk mengalahkan satu goblin sama sekali tidak masuk akal.
Tetapi dia tidak mempunyai waktu untuk memikirkan ini. Terdapat goblin di segala arah, dan berdiri terdiam hanya akan membuat menjadi sasaran yang mudah.
Seperti acolyte yang mereka tangkap itu. Apa yang akan terjadi dengan gadis-gadis yang ada di sini?
Apa yang telah terjadi kepada kakak perempuannya...?
Tiba-tiba, Wizard Boy merasa pandangannya memanas seperti api, namun di saat yang sama dirinya sangatlah tenang.
Petualang aneh itu, Goblin Slayer—walaupun Wizard Boy enggan untuk mengakuinya, pria itu selalu tenang. Jika kemarahan dirinya memicu cara bagaimana dia menggunakan mantranya, kali ini dia akan benar-benar menjadi pria yang lebih rendah dari petualang itu.
Tidak-bukan berarti Goblin Slayer akan mengatakan apapun. Namun dirinya tidak akan pernah memaafkan dirinya sendiri.
Jadi apa yang akan ku lakukan?
Wizard tidaklah hanya sekedar melempar bola api dan memanggil kilatan petir.
Jadi apa yang dapat di lakukan—?
Pada saat itu, sebuah kilasan menyambar otaknya layaknya sebuah petir.
“Semuanya, tutup telinga kalian!”
“Apa?! Kami—sedikit sibuk—bertarung di sini—!”
“Buruan!”
“Aw, sial!”
Rookie Warrior dan Rhea Fighter tidaklah senang dengan instruksi tiba-tiba itu, namun mereka tidak mendebatnya.
Tidak ada waktu untuk di buang percuma.
Bocah berambut merah melirik pada Priestess, yang mengangguk serius kepadanya.
“Aku serahkan padamu!”
Seperti yang telah di lakukam Goblin Slayer padanya kala petualang setelah festival, dan di pegunungan bersalju.
Penggunaaan mantra, seperti kebanyakan hal lainnya, membutuhkan perintah dan kepercayaan pemimpin party.
Dan bocah yang di percayai Priestess—bocah wizard berambut merah—mengangguk dan mengangkat tongkatnya.
“Kamu juga! Lakukan apa yang dia katakan dan tutup telingamu!” Apprentice Cleric berteriak kepada para petualang yang di rawatnya.
Rookie Warrior dan Rhea Fighter dengan cepat menghabisi goblin yang berada di depan mereka dan kemudian bergegas mengambil jarak.
Aku Cuma punya satu kesempatan.
Dari mulut bocah itu keluarlah kata akan kekuatan sejati, mantra yang di lepaskan ke dunia ini.
“Crescunt! Crescunt! Crescunt!”
Hanyalah tiga patah kata. Sebuah kekuatan tak kasat mata membengkak, mengambang di udara, tumpah di depan saang bocah.
Apa yang terjadi berikutnya adalah satu suara.

HRRR RRRRRRAAAAA AAAAAAAAAAAAAAAAAH HHH!!!!
Udara bergetar.
*****
Seperti membunuh semua burung dengan satu batu.
Seperti itulah satu serangan dari pedang besar Heavy Warrior, di iringi dengan teriakan darinya.
Dalam satu serangan dashsyat, membelah setiap inci bagian hobgoblin—pentungannya, dagingnya, dan darah.
Darah hitam terciprat ke segala arah; makhluk itu terbelah dua ke bawah dengan begitu rapi sebelum pada akhirnya tergeletak di tanah.
Para pemula yang terpukau hanya dapat melongo seraya Heavy Warrior membersihkan pedangnya dan memasangnya kembali pada punggungnya.
“Oh-ho.”
Keseluruhan area terisi penuh dengan sebuah suara yang mengancam gendang telinga mereka.
Teriakan seseorang? Dari mana asal suara itu?
Dia mendengak mengarah langit, walaupun dia tidak akan menemukan jawabannya di atas sana.
“Sepertinya seseorang lagi bersenang-senang.” Heavy Warrior menyeringai seperti senyum seekor hiu.
*****
Tepat pada saat itu, ceceran bumi menghujani dari langit-langit, dan kelembaban dari ceceran itu membuat Goblin Slayer memberikan keputusan.
“Di atas.”
Dia membenamkam sebuah tombak tangan pada tenggorokan goblin dan kemudian menendang mayat yang berbuih itu menjauh, melepaskan senjata itu bersamanya. Sebagai gantinya dia mengambil sebuah golok dari pinggul makhlukmitu.
Goblin Slayer menyadari bahwa dia tidak sehebat Spearman dalam menggunakan tombak.
“Buka lubang di atas kita!”
Seraya teriakan itu terdengar barisan belakang, Dwarf Shaman sudah menggali isi tas katalisnya. “Satu lagi? Oke segera datang!”
“Lubang? Kamu mau ngapain dengan lubang?” Spearman berteriak seraya dia mempekerjakan senjatanya untuk menghalau gelombang murka para goblin. Tubuhnya penuh dengan luka kecil, bukti bahwa dia tidaklahnkebal. Bahkan dengan beberapa petualang berpengalaman pada baris depan, pada akhirnya jumlah akan menang. Rasa perih atau rasa lelah, saling menumpuk secara terus menerus, yang akan menuju kematian pada waktunya.
“Aku punya rencana,” Goblin Slayer berkata pendek dan menghantam ujung perisai yang telah di asahnya masuk ke dalam dahi goblin. Melihat makhluk itu masih menolak ajalnya, Goblin Slayer mengayunkan golok barunya seolah sedang memotong kayu bakar.
Terdengar suara splorch yang memuaskan, dan otak berceceran ke segala penjuru dinding gua.
“Tapi pertama-tama, aku ingin membuat mereka merasa lebih takut lagi di gua yang lebih dalam.”
“Menggunakan Fear dan Tunnel secara bersamaan itu sedikit berlebihan bahkan bagiku!”
“Tuanku Goblin Slayer, mereka hanya perlu di desak lebih ke dalam benar?”
Dwarf Shaman berdiri di atas tas katalisnya agar dapat meraih langit-langit gua, yang di mana dia menggambar sebuah sigil. Lizard Priest bergerak maju untuk melindunginya; Saat ini menunjukkan taringnya yang mengerikan.
Tibalah waktu di mana dirinya dapat menggunakan kekuatan spritualnya yang telah dia simpan hingga saat ini.
Lizard Priest membuat sebuah gerakan aneh dengan kedua telapak tangannya dan menarik nappas, mengisi paru-parunya dengan udara. Dia terlihat seperti seekor naga yang mempersiapkan senjata napasnya.
“Bao long, leluhur terhormat, penguasa Cretaceous, ijinkan hamba meminjam kebringasan anda!” (TL note : Creataceous = Salah satu jaman masa purba.)
Ketika dia telah selesai melantunkan doanya, Dragon Roar meledak menembus terowongam. Suara hembusan nafas rahang  Lizard Priest menggetarkan udara.
Para goblin, mendengar raungan naga besar dan mengerikan di dalam terowongan mereka, merasakan keberanian mereka semakin menipis.
Dari awal goblin tidak pernah mempunyai keberanian. Mereka bertindak begitu kejam ketika mereka berada di posisi yang menguntungkan atau ketika sedang membalas dendam.
Dan ketika takut, mereka tidak mempunyai konsep mundur secara teratur.
“GORRRRBB! GBROOB!!”
“GROB! GGROB!!”
Menjerit dan menjatuhkan senjata mereka ke sini dan ke sana, mereka mulai berlarian. Witch menggunakan Light untuk menerangi sosok goblin mereka yang berlari.
Lizard Priest mendengus melihat pemandangan menyedihkan ini. “Mereka akan segera kembali,” dia memperingatkan. “Bahkan kekuatan naga tidak akan bertahan selamanya.”
“Aku nggak peduli.” Goblin Slayer menjawab, namun pada saat yang sama, menjaga postur berjaga rendah dan menatap pada kejauhan.
High Elf Archer, mulai tampak lelah, menepuk pundak Goblin Slayer. “Orcbolg, apa kamu berencana menggunakan scroll lagi?”
“Aku cuma punya satu.”
“...Itu sama sekali nggak membuatku lebih baik.”
Goblin Slayer mengangguk seraya dia melihat Dwarf Sha,an melanjutkan menggambar sebuah pola.
“Ada danau di atas kita.”
*****
Teriakan sang bocah di perkuat oleh sihir, menggema di keseluruhan udara dan pepohonan hutan.
Hanyalah sebuah suara yang keras. Bukanlah hal yang istimewa untuk sesuatu yang di hasilkan oleh kata yang dapat mengubah tatanan logika dunia.
Professornya di akademi tidak akan berhenti memberikan omelannya—namun saat ini dia sedang tidak berada di akademi.
Teriakan itu mungkin tidak memiliki ancaman fisik dari sebuah Fireball, namun suara lantangnya begitu berkumandang. Yang terpenting dari semua, area efeknya jauh leb8h besar dari Fireball. Goblin yang berada dekat dengannya segera jatuh tidak sadarkan diri, sementara yang lain terdiam terkejut, dan yang lainnya melupakan segalanya dan mulai berlari.
“GOOROB?!”
“GROOB?! GRRO?!”
Sang bocah menggenggam tongkatnya, menggigit bibirnya dengan begitu kuat hingga darah menetes darinya, dan menatap mengarah punggung para goblin.
Dia ingin membunuh mereka.
Makhluk yang begitu egois. Beringas dan gemar membunuh. Akan tetapi, sekarang mereka berlari. Dan dia membiarkan mereka.
Ini tidaklah cukup.
Terdapat kakak perempuannya untuk di kenang. Para petualang yang telah mereka bunuh. Sang acolyte yang dia dan partynya telah selamatkan.
Kemudian rasa malu karena mereka telah berhasil menjadi korban yang mereka semua rasakan. Ketidakberdayaan. Kesedihan. Kemarahan. Semua itu membara di dalam hatinya.
Untuk dapat melampiaskan semua itu—betapa menyenangkannya! Betapa memuaskannya!
Benar, tetapi...
“Kita pergi dari sini!”
Adalah teriakan Priestess yang menyadarkan bocah itu kembali. Dia menggenggam erat tongkatnya, yang masih bersinar dengan Holy Light, dan menggunakannya untuk menunjukkan arah mana mereka harus pergi.
“Pergi keluar dari hutan dan menuju kota!”
“Siap!” Rookie Warrior berteriak membalas. Dia membenamkan oedangnya pada tenggorokan goblin yang tidak sadarkan diri di sampingnya dan kemudian mulai berjalan maju. “Ini dia. Untuk bisa mencapai ke rumah adalah prioritas utama! Ikuti aku!”
“Biarkan dia  pimpin jalannya! Aku akan awasi grup ini—kamu jaga belakang kita!”
“Oke!” Rhea Fighter membalas Apprentice Cleric. Walaupun dengan semua pertarungan itu, rhea itu tidak tampak lelah. Apakah itu ciri khas kaum rhea? Atau memang itu bakatnya?
Rhea Fighter melewati sang bocah seraya dia menuju baris belakang. “Kerja bagus. Itu tadi benar-benar sesuatu.” Dia hanya dapat tersenyum kepada sang bocah ketika dia melewatinya, namun itu merupakan senyum yang tulus.
Setelah beberapa saat, sang bocah mengangguk. “...Terima kasih.”
Seraya party mereka mengelilingi para petualang dan mulai berlari, sang bocah melirik ke belakang.
Mantra yang dia gunakan tidak di maksudkan untuk membunuh, hanya untuk memberikan mereka peluang agar dapat melarikan diri.
Adalah benar: tujuannya kali ini tidak untuk membunuh goblin.
Adalah untuk menolong orang lain. Untuk mengeluarkan mereka ke tempat yang aman dan kembali ke kota.
Betapa memuaskannya jika dia dapat membantai seluruh goblin itu.
Tetapi—ya, tetapi.
Aku bukan Goblin Slayer.
Sang bocah melarikan diri dari medan tempur dan menghadap ke depan, berlari dengan yang lainnya.
Dia tidak melihat ke belakang kembali.
*****
Para goblin datang layaknya sebuah gelombang, dan sekarang mereka mulai tersapu satu persatu.
Air danau yang datang menyembur melewati langit-langit yang berubah menjadi longsoran lumpur, tumpah mengisi terowongan goblin.
Tidak beruntungnya bagi mereka, sarang mereka berada pada sebuah turunan. Para petualang telah sedikit mendapatkan tempat yang sedikit tinggi, dan itu sudah cukup untuk membuat mereka aman, namun untuk para goblin yang melarikan diri ke dalam terowongan...
“GORRRRBB?!”
“GBBOR?! GOBBG?!”
Para goblin timbul dari balik banjir itu dan kemudian kembali tenggelam, tenggelam di dalam air berlumpur. Adalah pemandangan yang begitu mengerikan.
“Aku rasa ini cukup bagus.” Spearman berkata, memukul goblin di kepala dengan pantat tombaknya dan memperhatikannya kembali tenggelam. “Tapi kita nggak bisa mengejar mereka kalau seperti ini. Gimana kalau mereka akan menyerang lagi ketika airnya mulai surut?”
“Ketika kita sampai dimujung terowwongan, gunakan mantra es.” Goblin Slayer memberikan arahan berikutnya kepada Witch, yang sekarang mempunyai ekspresi ambigu. “Es itu akan menjalar ketika membekukan air, menghancurkan terowongan ini. Mereka nggak akan bisa menggunakannya lagi.”
“Baik...aku...mengerti.”
“Kita harus mencari sarang mereka dari permukaan dan menghancurkannya.”
Goblin Slayer telah melakukan beberapa perhitungan mental. Para goblin hanya mencuri peralatan konstruksi, dan tidak mencuri makanan. Quest sebelumnya juga kurang lebih sama: mereka hanya menculik tahanan untuk membantu mereka meluangkan waktu.
Ini artinya jantung operasi mereka tidak berada jauh.
Apa yang para goblin pikirkan ketika mereka melihat sebuah bangunan yang sedang dalam tahap pembangunan dan para petualang berkumpul di sana? Goblin Slayer tidak mungkin dapat mengetahuinya.
“...Kurasa aku akan membiarkan kalian menangani itu. Aku capek.” Spearman meremas senjatanya dengan lemas kemudian duduk di samping terowongan. “Lain...kali... jika...kamu...ingin...jencan...ganda... Aku...harap...sesuatu...selain...goblin...”
“Aku mengerti.”
Jika di ingat, tidak satupun dari mereka yang beristirahat selama beberapa jam terakhir. Semua orang bertarung melewati malam. Mereka ingin sekali untuk dapat tidur dengan begitu nyenyak.
High Elf Archer, terlemah secara fisik di antara ke enam petualang tingkat silver, mendapati telinganya terjatuh lemas. “Aku capek banget...”
“Jangan perlakukan bumi seperti itu,” Dwarf Shaman menegur sang archer seraya gadis itu bersandar pada sebuah dinding. “Dia tadi bilang kalau kita harus mencari dan menghancurkan sarang mereka.”
High Elf Archer memanyunkan bibirnya. “Iya, aku tahu, tapi...!”
Dia sebenarnya tidak begitu marah. Dia mengelap pipi berlumur lumpur dan bergumam, “Inilah kenapa aku benci auest membasmi goblin.”
Kebanyakan petualang akan setuju dengannya.
Air bergelembung dan meletus seraya air naik dan turun. Apakah itu suara goblin yang sedang sekarat atau hanyalah suara banjir yang berlalu?
“Saya cukup terkesan anda mengetahui bahwa kita sedang berada di bawah sebuah danau.” Lizard Priest berkata dengan tenang seraya dia memperhatikan air. “Apakah tuanku Goblin Slayer pernah ke tempat ini sebelumnya?”
“Ya,” Goblin Slayer berkata acuh seraya dia memperhatikan para monster hanyut. “Dulu... Dulu sekali...”
Banyak goblin mati pada hari itu, begitu pula petualang.
Namun para petualang menang.
Lapangan latihan telah berhasil dipertahankan.
Akan tetapi, tampaknya jumlah goblin di dunia tidak berkurang sama sekali.