HUTAN JIWA-JIWA YANG MEMBUSUK (5)
(Translater : Hikari)
Menghindari
serangan kaki-kaki kerangka, aku merapatkan jarak antara kami bersama Mururu.
Dia pasti mencoba untuk mempersiapkan serangan sihir yang besar. Setelah
ekornya dihancurkan, pergerakan si kerangka jadi melambat.
Rentetan
sihir yang menghalangi juga berkurang, dan dia hanya menyerang kami secara
gila-gilaan dengan kaki-kakinya. Kesampingkan aku, tidak mungkin dia dapat
mengenai Mururu dengan serangan semacam itu. Kedelapan kakinya masih dalam
keadaan prima tapi tulang-tulang mirip rusuknya tercabik-cabik.
Meski
demikian, dia tidak menggunakan sihir saat ini. Tapi di saat yang sama,
walaupun dia diserang habis-habisan oleh Mururu, dia tidak membiarkan satu
celah pun untukku mendekat. Apakah pergerakkanku jadi melambat? Atau dia hanya
waspada terhadapku? Sambil memegangi palu, aku mendecakkan lidah untuk kesekian
kalinya saat seranganku digagalkan lagi.
[Ada
apa, Renji?]
"Bukan
apa-apa."
Napasku
menjadi semakin kasar. Sebelum aku menyadarinya, aku sudah kehabisan napas.
Padahal aku cukup bangga dengan staminaku.
Sambil
memegangi palu dengan kedua tangan, aku melirik tangan kananku. Ke lukanya.
Kenyataan bahwa aku telah berhenti merasakan nyeri dari tangan yang itu berarti
keadaan pasti telah berubah menjadi sangat bahaya. Itu saja membuatku merasa
ingin menyerah, tapi aku belum bisa melakukannya. Aku malah jadi
meneritawakannya. Yang benar saja……Kenapa aku selalu terlibat dalam hal-hal
yang merepotkan seperti ini? Apakah aku hanya sial, atau mungkin aku dihantui
sesuatu? kenyataan bahwa aku ternyata dapat memikirkan sesuatu/seseorang
seperti itu, membuatku kehilangan kata-kata.
"Kau
mengkhawatirkanku?" (Renji)
[……Muu.]
"Aku
akan baik-baik saja. Aku benci bertarung, tapi aku tidak berencana untuk kalah."
Saat
aku berkata demikian, aku dapat merasakan keterkejutan datang dari Ermenhilde. Dia
ini mudah sekali dimengerti. Mungkin karena itulah, dia partnerku.
Aku
tidak berencana untuk kalah. Aku tidak bisa kalah——kalau aku kalah, aku akan
mati. Aku tidak ingin mati di dalam hutan terpencil seperti ini.
"Karena
itulah aku benci beradu tempur dengan monster."
[….Hm?]
"Bukan
apa-apa. Ayo, Ermenhilde——"
Aku
melirik sekilas pada Mururu, dan tanpa perlu bicara sedikit pun, kami sama-sama
menerjang si kerangka.
Si
kerangka sudah pasti lebih berkonsentrasi padaku, aku bisa merasakannya.
Aku
menghindari serangannya yang dapat membagi babak pembukaan. Berikutnya, aku
memanfaatkan momentumku untuk dengan cepat mendekatinya, tapi dia menggunakan
kakinya yang lain dan mengayunkan sebuah serangan padaku. Aku menahan serangan
ini dengan gagang paluku.
"——Guhh!?"
Tenaga
di balik serangan itu luar biasa, pada saat yang sama tangan kananku sakit
lagi. Karena serangan yang satu ini, aku dengan cepat menjauhkan diri dari makhluk
itu lagi. Adalah sebuah berkah bahwa aku tidak terhempas menjauh seperti saat
serangan ekor, tapi ada terlalu banyak perbedaan antara kekuatan fisik monster
dan manusia. Kenyataan bahwa kami hanya berdua untuk memenangkan pertempuran
inilah yang membuatnya sulit. Kalau kami tidak terpisah dari Aya dan yang
lainnya, aku tidak akan ragu-ragu sedetik pun sebelum melarikan diri dari lawan
selevel ini.
Sementara
aku menerima serangannya, Mururu memperpendek jarak dengan si kerangka dan
menebas tubuhnya. Cakarnya yang tajam itu memangkas tulang dan menciptakan
retakan di permukaannya. Kami sudah pasti secara perlahan memojokkannya. Dengan
sekali lihat, aku dapat mengetahui berapa banyak luka yang muncul di tubuh si
kerangka.
Tapi
meski begitu, jauh di dalam pikiranku, aku masih merasakan sedikit kecemasan.
Mungkinkah musuh sekuat dan semenakutkan ini akan kalah dengan mudahnya? Tidak
mungkin itu akan terjadi.
"Kau
tidak apa-apa?" (Mururu)
"Yah,
tidak ada masalah. Kau?"
Mururu,
yang muncul di sebelahku sebelum aku dapat menyadarinya, bertanya begitu
padaku.
Tatapan
khawatirnya saat memandang ke arahku membuatku merasa sedikit canggung dan
malu.
Mururu
juga mulai kehabisan napas. Jika dilihat dari dekat, aku sadar bahwa pakaian
dan rambut putih bersihnya menjadi kotor. Ada luka-luka kecil berdarah di sana
sini pada kulitnya yang putih juga.
Aku
benar-benar ingin pertarungan ini segera berakhir, sehingga setidaknya dia bisa
mandi. Meskipun, kalau seorang pria sepertiku yang mengatakannya, aku akan
diperlakukan sebagai orang mesum.
Saat
kami berdiri bersama-sama, si kerangka berhenti bergerak dan hanya mengamati
situasi. Mungkin karena dia merasa waspada dengan kami berdua yang
bersama-sama. Bahkan saat dia akan menggunakan sihir, dia tidak memberikan
sensasi apapun secara spesifik.
"Aku
masih bisa melakukannya." (Mururu)
"Kalau
begitu, aku akan menerima serangannya dan seperti sebelumnya kau mendekat lalu
menyerangnya."
"….Kau
yakin?"
"Ya,
aku akan baik-baik saja."
Dia
pasti sudah menyadarinya dari keanehan suaraku. Tidak hanya tatapannya, bahkan
nada bicaranya terdengar khawatir. Untuk menenangkannya, aku memberikan seulas
senyuman…… Meskipun kuharap bibirku tidak kaku.
Mau
bagaimana lagi. Aku tidak punya banyak pengalaman memberikan senyuman sambil
merasa waspada. Aku tidak tahu bagaimana dia menerima senyum yang kuberikan saat
sambil menatapi si kerangka, tapi aku merasa bahwa Mururu sedikit tenang.
"Ayo
akhiri ini secepatnya. Aku mulai merasa muak dengan ini."
"Un."
[Kalian
benar-benar kurang merasa tegang, kalian tahu…?]
"Mana
mungkin aku akan merasa tegang dengan bahaya selevel ini."
Baik
aku dan Mururu tersenyum tipis menanggapi kata-kata Ermenhilde.
Kami
bukannya mengahadapi semacam monster yang di melampaui kekuatan kami, jadi
tidak mungkin aku merasa tegang. Kerangka ini jelas di atas level skillku, tapi
aku tahu monster yang jauh lebih kuat dari si kerangka brengsek ini.
Mungkin
kedengarannya aneh tapi menghadapi monster yang luar biasa kuat ini menambahkan
pengalamanmu. Dan aku sudah jelas pernah melawan monster-monster yang jauh
lebih kuat daripada kerangka ini. Pengalaman itu, fakta bahwa aku dapat selamat
melawan monster-monster tersebut, adalah salah satu dari sedikit senjata yang
kumiliki.
"Ayo!"
(Renji)
"Ya."
Sejak
awal, aku bukannya tidak punya aksi lain untuk dipilih. Aku tidak menghindari
serangan kerangka ini, dan si kerangka hanya mengincarku. Kalau begitu, aku
hanya bisa bertindak sebagai umpan. Ini tidak begitu berbeda dari strategi awal
kami. Yah, ini memang begitu amatir sampai-sampai tidak bisa dibilang sebagai
strategi.
Sekali
lagi, aku berlari menuju si kerangka dengan Mururu. Seperti yang diduga, dia
masih mengincarku dengan kaki-kaki yang mirip dengan laba-laba tersebut yang
mendatangiku. Aku menerima serangan itu, dan mengalihkannya. Pada saat yang
sama, Mururu mendekat untuk melancarkan serangan. Tapi kali ini cara musuh
melindungi dirinya berbeda. Mendadak, sebuah hawa dingin menjalar di tulang
punggungku dan aku mendapat firasat buruk.
"Itu
datang!"
Detik
berikutnya, tanah di bawah Mururu merekah dan menyerang dengan menjadi
tombak-tombak batu. Tapi, seakan dia sudah bisa menduga serangan tersebut,
Mururu menggunakan tombak-tombak yang mencuat itu sebagai tumpuan kaki dan
melompat. Dan dengan momentum tersebut, dia melancarkan sebuah serangan pada
kepala si kerangka. Gesit sekali! Jadi inilah yang dimaksud dengan dibuat tidak
bisa berkata-kata.
Dia
bukannya punya semacam kekuatan cheat
seperti kami. Ada sedikit orang yang dapat bertarung seperti itu bahkan saat
ini. Sekalipu dia adalah seorang beastwoman,
itu benar-benar mengagumkan.
Tapi,
aku tidak bisa berdiri terkagum-kagum saja. Sihir yang menyerang Mururu aktif
sekali lagi meksipun makhluk itu mendapat serangan.
"Kuh!?"
[Menghindar,
Renji‼]
Jangan
minta sesuatu yang jelas mustahil!
Aku
dapat menghindari serangan langsung, tapi kaki kiriku tersayat. Ini benar-benar
konyol, si kerangka sialan itu. Bisa tak kasat mata, bisa menggunakan sihir,
dan si brengsek keturunan Dewa Iblis.
Sambil
mengerutkan alis karena rasa nyeri di kakiku, aku menghindari tombak kedua dan
ketiga. Tepat saat aku berpikir kalau dia hanya menyerang dari bawah, sebuah
bola sihir tak kasat mata ditembakkan ke arahku. Tidak dapat merasakan serangan
kejutan itu, aku menahannya dengan gagang paluku hanya untuk terhempas.
Untungnya dia mengenai gagang, tapi aku tidak akan seberuntung ini untuk kedua
kalinya. Aku segera berdiri dan mulai berlari. Untuk sementara waktu, aku harus
terus bergerak, kalau tidak aku akan terbunuh dengan tertusuk oleh
tombak-tombak itu. Kakiku yang baru saja terluka juga terasa sakit, tapi aku
memutuskan untuk mengabaikannya.
Mururu
bergerak lebih baik dariku tapi bahkan dia pun tidak dapat menemukan kesempatan
untuk mendekat. Tombak-tombak batu dan bola-bola sihir tak terlihat, dan bahkan
serangan-serangan dari kedelapan kaki itu. Dia menghadapi situasi yang bahkan
lebih buruk dariku. Adalah hal yang mengagumkan bahwa dia masih menghindari
serangan langsung apapun.
Aku
sedikit kebingungan karena serangan sengit mendadak tersebut, tapi musuh juga
tidak punya waktu untuk bersantai. Bagaimanapun, dia juga mendapat banyak
cedera. Aku mengerahkan lebih banyak kekuatan di lengan yang memegang palu. Aku
harus bisa menyerangnya entah bagaimana caranya. Dan mengakhirinya.
Tapi,
bagaimana?
Aku
mempertanyakan diriku sendiri. Kalau serangan-serangannya seganas ini, aku
tidak akan bisa menyelinap melewati itu semua. Sekarang kaki kiriku juga
terluka, aku dalam situasi di mana berlari pun sulit. Meskipun aku akan
terbunuh kalau aku berhenti, aku harus menemukan cara untuk membunuh lawanku
juga.
[….Apa
kau baik-baik saja?]
"Apakah
aku terlihat baik-baik saja?"
Tanpa
menjawab kekhawatiran Ermenhilde, aku malah balik bertanya. Aku hanya
mendapatkan kesunyian sebagai balasannya. Itu adalah hal yang normal.
Bagaimanapun, tangan kananku dalam kondisi di mana aku bahkan tidak bisa
merasakan rasa sakit, belum lagi jumlah luka-luka kecil di tubuhku yang semakin
bertambah. Dan salah satu luka terbaru dalam daftar itu adalah di kakiku yang
pada dasarnya adalah tempatku menggantungkan nyawaku saat ini. Sekarang, aku
bahkan tidak yakin berapa lama lagi aku bisa terus bergerak.
Sekarang
atau tidak sama sekali. Tapi sekali lagi, aku hanya punya 4 perjanjian yang
terlepas. Itu jauh dari kata memuaskan. Melawan sesosok keturunan Dewa Iblis
selevel ini, aku tidak yakin kalau kekuatan sebanyak ini akan cukup untuk
menundukkannya.
"Tapi,
yah, aku juga tidak bisa menyerah."
Aku
tidak bisa kalah, aku tidak boleh kalah di sini.
Bahkan
dalam situasi mematikan seperti ini, aku tidak bisa menyerah. Aku harus
menghadapinya. Agar tidak terbunuh, aku harus membunuhnya lebih dulu. Aku harus
terus bertarung.
Meskipun
aku benci dengan gaya hidup semacam itu. Meskipun kupikir gaya hidup semacam
itu sama dengan gaya hidup seorang pahlawan yang kuhindari.
Aku
dipaksa untuk menjalani gaya hidup itu sekali lagi.
Ini
adalah situasi yang selalu diharapkan Ermenhilde. Tapi Ermenhilde yang seperti
itu saat ini sedang mengkhawatirkanku daripada fokus pada kerangka musuh. Kalau
kau akan menyatakan dirimu sebagai senjata semata, maka jangan memiliki emosi
seperti itu, dasar. Karena itulah aku tidak ingin melihatmu hanya sebagai
senjata. Dan kalau kau mengharapkan Yamada Renji Sang Pahlawan, maka percayalah
saja sepenuhnya padaku.
Tapi
aku yang tidak pernah yakin dengan kemenangan mutlak——sama sekali bukan seorang
Pahlawan.
Aku
dan Ermenhilde. Kami bukanlah seorang Pahlawan ataupun sebuah senjata. Kami
hanya pasangan seorang manusia yang membunuh seorang Dewa dan partnernya yang
percaya sepenuhnya kepadanya.
Hanya
itu saja yang kuinginkan. Begitulah yang seharusnya terjadi.
"Sekarang,
kalau begitu…"
Aku
menghadapi si kerangka. Rongga matanya yang kosong menatap tajam menembusku.
Dalam
tatapan yang seharusnya tidak ada itu, aku bisa merasakan kepercayaan diri atas
kemenangannya, meskipun itu hanya kerangka semata.
"Jangan
remehkan aku, kerangka sialan."
Detik
berikutnya, setengah bagian tubuhnya bersama keempat kakinya menghilang dalam
cahaya panas. Dengan kemunculan tiba-tiba cahaya kuat yang membutakan mata, aku
menggunakan tangan kiriku untuk menutupi mata. Serangan sihir muncul dari dalam
tanah, membelah awan dan menembus langit di atas. Di dunia ini di mana matahri
telah tenggelam, cahaya dari matahari tengah hari muncul selamat beberapa
detik. Hanya ada satu orang di seluruh dunia ini yang dapat menggunakan sihir
dengan kekuatan selevel itu. Aku memang mempercayai mereka, tapi……akhirnya
memastikan keselamatan mereka, aku benar-benar merasa lega. Semua itu terjadi
dalam sekejap, tapi itu memang nyata. Kehilangan sebagian tubuhnya, si kerangka
itu terjatuh ke tanah. Rasanya seperti seekor hewan yang merunduk pada makhluk
yang lebih kuat. Yah, makhluk yang lebih itu bukan aku walau begitu.
"……Apa
yang barusan?" (Mururu)
"Seperti
biasanya, dia benar-benar heboh." (Renji)
Aku
hanya membalas seperti itu terhadap gumaman Mururu.
Aku
mulai berjalan menuju si kerangka yang terjatuh. Dia tidak mencoba untuk
menyerangku dengan sihir lagi. Kau perlu banyak berkonsentrasi untuk
menggunakan sihir. Dengan kehilangan keempat kakinya, bahkan sebagai sesosok
kerangka, dia pasti kesulitan untuk berkonsentrasi dengan benar.
Sama
sekali tidak merasakan secuil pun simpati pada si kerangka tersebut, aku
mendekati kepalanya dan mengangkat paluku.
Tengkoraknya
yang seperti ogre bertanduk satu terangkat sedikit saat melihat langsung ke
arahku.
"———"
Dan
begitulah, tanpa mengatakan apapun, aku menghancurkan kepalanya.
Tidak
peduli betapa kerasnya pertempuran yang terjadi, akhirnya selalu seperti ini. Tidak
ada rasa kegembiraan, benar-benar antiklimaks. Jika sebuah film memiliki akhir
yang seperti ini, para penonton akan mulai meminta uangnya kembali. Begitulah
yang terjadi saat melawan monster-monster. Karena kami tidak dapat memahami
kata-kata satu sama lain, bahkan tidak ada alasan untuk menanyakan kata-kata
terakhir mereka.
Tetap
dalam pose yang sama setelah mengayunkan paluku, aku menghela napas.
"Aku
capek." (Renji)
[Itukah
hal yang pertama kali kau katakan……?]
"Tapi
sudah jadi kebiasaanku melakukannya, 'kan?"
[Itu
menyedihkan… …Benar-benar memalukan.]
Yah,
maaf.
Palunya
menghilang dengan berubah menjadi energi magis sewarna batu giok, dan tubuhku
kehilangan tenaga. Dengan tewasnya keturunan Dewa Iblis, sebagian besar
perjanjianku yang terlepas tertutup lagi. Ini benar-benar menyedihkan.
"Sudah
selesai?" (Mururu)
"Yah."
Kerangka
tersebut berubah menjadi lumpur hitam dan menghilang ke dalam tanah. Ini sama
dengan para keturunan Dewa Iblis yang dulu kuhadapi. Setelah memastikannya
sampai terakhir, akhirnya aku duduk di tanah.
"Serangan
itu, apakah itu kau Renji?" (Mururu)
"Itu
bukan aku. Itu Aya."
Melihat
lubang di perkemahan kami, aku menyadari bahwa mereka berada di bawah tanah,
tapi aku tidak pernah terpikir bahwa dia akan menembakkan sihir dari bawah
tanah. Ada kemungkinan bahwa entah Mururu atau aku yang akan juga ikut terkena
dan setengah bagian dari tubuh kami akan meledak.
Memikirkan
hal tersebut membuatku merinding, tapi, yah, baguslah semuanya berakhir dengan
baik. Kita biarkan saja itu. Kalau aku terlalu banyak memikirkannya, mungkin
aku malah jadi tidak bisa tidur.
Di
samping lubang yang terbentuk dari serangan sihir yang telah menghancurkan si kerangka,
aku dan Mururu sama-sama duduk. Ngomong-ngomong, ukuran lubangnya berdiameter 2
meter. Baik aku dan Mururu sudah pasti akan binasa kalau serangan itu menggores
kami walaupun sedikit…….aku harus berhenti memikirkannya. Itu buruk bagi
jantungku.
"Kau
tidak apa-apa?" (Renji)
"Hanya
lelah." (Mururu)
[……Apa-apaan
kalian ini, kacang dari kulit yang sama?]
"Benarkah?"
(Mururu)
"Kami
tidak semirip itu." (Renji)
Kehabisan
bahan untuk dibicarakan, kami berdua terdiam dan hanya menatapi lubang.
Setelah
bertarung begitu sengit, hampir mati, namun tidak menyerah…… Pada akhirnya, Aya
mengakhiri semuanya itu begitu saja dengan serangan kejutan entah dari mana.
Aku
selalu memikirkan hal itu. Entah kenapa aku merasa aku selalu berakhir dalam
situasi semacam itu.
Bahkan
setelah bertarung begitu keras, peran atau bagian terbaiknya dirampas oleh
Souichi atau Aya, atau rekan-rekanku yang lain. Bukan begitu, yah, aku puas
selama aku selamat, sih.
Sementara
aku berpikiran begini, Mururu yang sedang duduk di sebelahku, melihat ke
arahku.
"Apakah
aku bagus?" (Mururu)
"Yah,
kau tadi hebat. Kerja bagus." (Renji)
Aku
mengelus kepalanya dengan ringan seperti yang biasanya kulakukan pada Aya dan
yang lainnya saat itu.
Rambutnya
yang halus dan lembut terasa nyaman.
[Apa
yang kau lakukan?]
"Memujinya."
(Renji)
[Kenapa?]
"Ingin
saja."
Sambil
menghabiskan waktu seperti itu, aku mendengar suara-suara datang dari lubang
yang baru.
Setelah
menunggu sebentar, akhirnya sebuah lengan yang ramping menjulur keluar. Mururu
bersiaga, tapi aku mengenali tangan itu. Saat aku meraih dan menariknya, aku
melihat sebuah wajah yang tidak asing. Setelah melihat wajah itu, aku akhirnya
dari dalam lubuk hatinya, merasa benar-benar lega. Lengannya yang halus dan
lembut itu benar-benar ciri khas seorang gadis. Saat menariknya keluar dari
lubang, dia benar-benar berlumur tanah. Tidak hanya bajunya, rambut dan
wajahnya juga. Dan di atas semuanya itu, pakaiannya menempel pada tubuhnya
begitu lekat. Tapi Nona Francesca memiliki tubuh yang luar biasa, jadi terus
terang, itu pemandangan yang benar-benar menggoda.
"Jadi
kau selamat, Nona Francesca?" (Renji)
Mengalihkan
pandanganku dari sosoknya yang kotor namun sekaligus memikat itu, aku bertanya
demikian padanya.
"Ah,
Renji-sama!"
"Kau
benar-benar harus berhenti menggunakan '-sama'."
Setelah
menarik Nona Francesca, berikutnya Feirona muncul dari dalam lubang. Dia sama
seperti Nona Francesca, sepenuhnya berlumpur tanah dan lumpur. Pakaiannya juga
basah. Apa mereka jatuh ke sumber air bawah tanah atau semacamnya?
"Apa
yang terjadi?" (Renji)
"Aya-dono
mendorong kami dengan sihirnya."
"Aku
mengerti."
Jadi
Aya menggunakan sihir terbang pada mereka berdua untuk mengeluarkan mereka dari
lubang. Dia benar-benar terampil. Tidak ada satu pun dari mereka yang
kelihatannya terluka. Mereka hanya berlumur lumpur. Adalah hal yang luar biasa
bahwa dia dapat membuat mereka berdua keluar dari lubang ini tanpa terluka dan
tanpa membentur bebatuan sedikit pun padahal dia mungkin saja bahkan tidak
punya sumber penerangan di bawah tanah.
Yang
terakhirnya seharusnya adalah Aya sendiri. Saat aku menarik keluar Feirona
juga, dia menggunakan tangannya untuk menyingkirkan tanah dari rambut dan
pakaiannya. Penampilannya tetap terlihat tampan bahkan saat melakukan hal
semacam itu. Meskipun, ternyata akhirnya dia gagal menyingkirkan tanah
tersebut.
"Kami
tadi khawatir karena kalian tiba-tiba menghilang." (Renji)
"Kami
diserang oleh monster-monster. Dan yang lebih penting, tanahnya bergemuruh
tepat di bawah kami tepat saat kami terdesak." (Feirona)
"Sepertinya
begitu. Lubang yang sangat besar."
Saat
aku berkata demikian sambil mengingat lubang di perkemahan, wajah Nona
Francesca memucat.
Yah,
fakta bahwa kau selamat bahkan setelah jatuh dari lubang seperti itu, bisa
kubilang kalian semua benar-benar beruntung.
"Dan
ada sepasukan besar slime di bawah tanah juga. Baguslah Aya-sama berasama
dengan kami." (Francesca)
"….Slime."
[……Slime,
ya.]
Mururu
dan Ermenhilde bergumam di saat yang sama.
Slime.
Organisme bersel tunggal dengan tubuh lunak seperti jeli. Serangan fisik tidak begitu
berpengaruh. Mereka seperti musuh alamiah bagiku dan Mururu. Sepertinya Mururu
juga sadar dengan kenyataan itu karena dia menggumamkan nama itu dengan nada
jengkel.
Aku
juga, tidak punya kenangan yang bagus tentang slime.
Meskipun
itu monster kelas terendah dalam game, kenyataannya itu benar-benar merepotkan
di dunia nyata.
Pedang
dan tombak tidak mempan tapi kobaran obor atau serangan sihir efektif. Cairan tubuhnya
memiliki beragam efek dari meracuni atau melumpuhkan musuh sampai melarutkan
armor yang dikenakan dan menurunkan pertahanan lawan. Karena itulah, aku bahkan
tidak bisa menghitung berapa kali aku melihat neraka. Terutama, dengan adanya
wanita dalam grup kami.
Saat
aku mengingat kembali berbagai tragedi yang diakibatkan slime, pandangan
Feirona beralih ke lengan kananku.
"Sepertinya
kalian juga terlibat dalam masalah."
Dia
berkata begitu saat melihat lukaku. Seakan akhirnya dia melihat kondisiku, Nona
Francesca terkesiap saat menutupi mulut dengan tangannya.
"Yah,
aku hampir saja mati. Aku bisa selamat berkat Mururu."
"Un."
Mururu
menggembungkan pipinya dengan bangga. Itu begitu menggemaskan sehingga kami bertiga
pun mulai tertawa.
Akhirnya,
sebuah lengan ramping muncul dari dalam lubang.
"Yokkoi,
sho!"
Kupikir
seorang gadis muda seharusnya tidak berseru seperti itu.
Aya,
yang muncul dari dalam lubang, sama dengan dua yang lainnya, berlumuran lumpur
dan tanah. Tanahnya pasti menempel karena cairan dari para slime.
Normalnya,
dia selalu terlihat berwibawa dan memiliki kecantikan seorang dewasa, tapi wajahnya
saat ini terlihat sangat kekanak-kanakan.
"Yō."
(Renji)
"…
…Eh?" (Aya)
"Wajahmu
aneh juga."
Saat
aku berkata begitu, dia dalam diam kembali ke dalam lubang. Dia benar-benar
cepat, aku malah jadi melakukan tsukkomi
dalam kepalaku. Memangnya kau tikus tanah?
"Ayolah,
cepatlah keluar. Kita harus mempersiapkan perkemahan juga." (Renji)
Aku
menyambar pergelangan tangannya dan menariknya keluar. Tanpa banyak menolak,
Aya keluar dengan mudahnya. Alasan kenapa dia terasa begitu ringan pastilah
karena aku memanfaatkan dengan baik pinggiran lubang sebagai tumpuan dan
mengerahkan cukup tenaga. Dia keluar dengan begitu mudahnya sehingga rasanya
sedikit antiklimaks.
Karena
ini adalah dia, dia pasti tidak ingin terlihat berlumuran tanah, jadi aku
tadinya yakin dia akan menolak. Sama seperti bagaimana dia terlihat seperti
seorang dewasa, dia juga sangat benci terlihat lemah.
Dia
tidak mau selalu terlihat sebagai sosok yang sempurna, tapi dia mencoba untuk
selalu memperlihatkan sisi kuatnya, kurasa begitu.
"Kau
tidak apa-apa?" (Renji)
"Aku——tunggu,
Renji-san! Kau terluka!?" (Aya)
"Yah,
Mururu juga."
Aya
mulai menyentuh lukaku tanpa menahan diri, membuatnya semakin sakit. Aku sudah
melakukan perawatan pertolongan pertama pada luka yang sudah berdarah begitu
banyak itu, sampai-sampai kain yang membalutnya jadi berwarna merah. Lukanya tidak
begitu besar, tapi darahnya banyak sekali. Sementara aku berpikir begitu,
tiba-tiba kakiku kehilangan tenaga. Hah, tidak mengerti apa yang terjadi, aku
jatuh telentang.
[Renji?]
Suara
Ermenhilde terdengar jauh. Dan suaranya bukannya mengkhawatirkan kenyataan
bahwa aku jatuh, tapi bingung karena dia tidak mengerti kenapa aku tiba-tiba ambruk.
Bahkan
aku sendiri pun tidak yakin kenapa ini terjadi. tepat saat aku berpikir begitu,
kali ini, seluruh tubuhku kehilangan kekuatan.
Setelah
mengalahkan si kerangka, bertemu dengan rekan-rekanku, aku pasti terlalu
menenangkan diriku sendiri. Benar-benar menyedihkan. Pingsan hanya karena itu.
Aku
mencoba untuk meminta maaf tapi hanya bibirku yang bergerak tanpa bersuara
sedikit pun.
Setelah
menggerakkan bibirku dengan sia-sia beberapa kali, bahkan melakukannya pun
rasanya menyebalkan.
Aku
memejamkan mata.
Dunia
menjadi gelap sepenuhnya.
——Seseorang
mengguncangku. Suaranya terdengar bagaikan gema, tapi aku tidak bisa mengerti
apa maknanya.
Aku
capek.
Karena
itulah, aku melepaskan kesadaranku.
0 Comments
Posting Komentar